Last #2 - END

Hi! Udah lama sekali menghilang dan blog ini semakin ga terurus aja. Gatau apa masih ada pembacanya atau enggak, haha. Ini tulisan pertamaku setelah sekian lama ga nulis cerita lengkap. Mudah-mudahan ga terlalu membosankan. Happy reading! Oh ya, cerita ini rencananya juga aku post di wattpad dan storial :) 




Rachel memijat pelipisnya pelan. Ia duduk menghadap tirai besar bercorak dedaunan kering yang baru disibakkan kesamping beberapa menit lalu. Siluet mentari samar-samar bias memasuki ruangan.

Entah kenapa, kepalanya serasa tak berhenti berdenyut. Ini sudah dua hari ia mengistirahatkan tubuh di kamar, namun denyutan itu tak kunjung usai mengguncang kepalanya. Rasanya seperti ada monster kecil yang menggerayangi kepalanya.

Rachel menarik napas dalam, mengisi paru-paru dengan udara sebanyak mungkin agar terasa lebih longgar, namun tidak terlalu berdampak signifikan. Ia baru akan bangkit berdiri ketika pada detik yang sama terdengar suara bel dari arah pintu utama. Bergegas, Rachel bertolak menuju pintu depan dan melewati Marc yang tengah menyantap makanannya di ruang makan tanpa meliriknya sama sekali.

“Terima kasih,” ujar Rachel sembari melayangkan senyum kecil pada pria bertopi hitam di hadapannya. Ia kemudian segera menutup pintu dan berbalik.

“Siapa yang datang, Rachel?” Marc bangkit berdiri hendak mendekat, namun langsung urung begitu melihat gadis itu berjalan cepat kearahnya.

“Ini,” sahut Rachel, meletakkan selembar amplop coklat di atas meja.

Marc masih berdiri, menatap Rachel sekilas, lalu segera membuka amplop tersebut dan membaca secarik kertas didalamnya.

“Kau mau aku yang menandatanganinya lebih dulu atau kau duluan?” tanya Rachel ketika ia menarik kursi dan duduk di hadapan Marc. Mereka hanya dipisahkan oleh meja makan oval bertaplak abu-abu.

“Tidak ada yang menandatanganinya diantara kita. Kau mau aku merobeknya atau membakarnya?” Marc menyambar segelas air di sampingnya dan menenggaknya hingga tandas. Mendadak ia merasa kering.

Kening Rachel berkedut mendengarnya. “Jangan macam-macam. Tanda tangani saja surat itu. Tidak ada bedanya kau atau aku duluan yang melakukannya. Sebentar, aku akan mengambil pulpen.”

Rahang Marc mengeras. Raut wajahnya berubah suram. Tercetak jelas kemarahan dari sorot matanya. “Aku tidak main-main, Rachel.”

Gadis itu berhenti sejenak, menghela napas. “Aku juga tidak main-main,” sahutnya dingin sebelum melanjutkan langkah.

Marc menggeram kesal. Giginya gemeretak menahan ledakan emosi. Rachel masih dapat mendengar suara gemeretak itu ketika berjalan. Ia baru saja akan memutar kenop pintu kamar ketika telinganya menangkap bunyi robekan beberapa kali.

Sontak, Rachel berbalik dan mendapati serpihan kertas tengah melayang-layang di udara.

“Apa yang kau lakukan, Marc?” pekiknya tajam.

“Aku hanya melakukan apa yang aku katakan tadi.”

Amarah Rachel otomatis naik ke ubun-ubun. Ia segera memangkas jarak diantara mereka dan berlutut meraih potongan kertas kecil-kecil yang sudah tergeletak di lantai. Tidak ada lagi kalimat lengkap sebagai perihal surat yang sempat tertera disana. Kini hanya menyisakan kata “su”, dan “rai” pada dua potongan kertas yang kini berada di genggaman Rachel. Selebihnya masih berserakan di lantai.

“Kau keterlaluan, Marc!” jerit Rachel saat ia bangkit berdiri. Matanya berkilat menatap Marc.

“Aku hanya merobeknya. Kurasa itu masih lebih baik daripada aku membakarnya didepanmu.”

Rachel merasa tubuhnya memanas. Darahnya semakin mendidih. “Apa susahnya tinggal menandatangani? Aku sudah menunggu ini sejak lama. Kau justru menghancurkannya begitu saja sesukamu.”

“Apa susahnya menandatangani kau bilang? Kalau begitu, apa susahnya membuangnya? Apa susahnya melupakannya?” Marc maju selangkah dan mencengkram lengan gadis itu.

“Lepas!” teriak Rachel. “Kau benar-benar brengsek.” Rachel memandang Marc nanar. Sebulir air sudah menggenang di pelupuk matanya, siap meluncur.

“Sudahlah, Rachel. Untuk apa memanjangkan masalah? Lagi pula, aku sudah mengakui kesalahanku, meminta maaf padamu, dan yang paling penting surat cerai itu sudah kulenyapkan. Untuk apa lagi menyesalinya?” Sudut bibit Marc tertarik kesamping, coba membujuk.

Rachel hendak merespons, bibirnya sudah terbuka ingin melontarkan beragam kata, namun entah kenapa tidak ada yang mampu diutarakannya. Lidahnya mendadak kelu, gadis itu kehabisan kata-kata.

Ketika Marc masih melembutkan sikap dan terus tersenyum, Rachel memanfaatkan kelengahan itu untuk menyentak cengkraman Marc hingga terlepas. Sebulir air bening telah jatuh membasahi pipinya.

“Aku akan mengurus surat itu lagi. Kuharap akan segera selesai. Kau tunggu saja,” ujar Rachel lemah. Hanya itu perlawanan tertangguh yang mampu dilontarkannya.

Rachel sudah memutar tubuhnya saat tiba-tiba suara pecahan kaca riuh terdengar. Buru-buru ia kembali menghadap Marc dan mendapati seluruh benda yang ada diatas meja makan telah berhamburan di lantai.

Rachel diam dan tidak bergeming. Sorot matanya mengilatkan ketidakpercayaan akan apa yang terjadi. Ini sungguh bukan Marc. Pria itu tidak pernah membabi buta seperti ini.

Mata mereka terkunci cukup lama. Marc berusaha keras meredam marah, tampak dari deru napasnya yang memburu, sementara Rachel masih memandangi Marc dengan kaget.

“Ini bukan seperti dirimu. Kau bukan Marc yang aku kenal,” lirih Rachel bergetar.

Marc mengatur ritme napasnya sekali lagi sebelum menyahut, “Rachel, tolong jangan katakan apapun lagi tentang hal itu. Itu sudah selesai. Tidak ada lagi perihal yang sama. Jangan membesar-besarkan masalah. Aku hanya melakukan kesalahan malam itu, kan, dan aku sudah berulang kali meminta maaf. Apalagi sekarang? Kenapa kita tidak berdamai saja? Kenapa harus mempersulit hal yang seharusnya tidak sulit?”

Rachel terenyak. Ia sungguh dibuat bungkam oleh serentetan kata-kata Marc barusan. Kenapa jadi seolah-olah Rachel yang egois dan kekanakan? Kenapa jadi tampak seperti Rachel yang menyiksa pria itu?

Rachel menggeleng beberapa kali, masih diliputi keterkejutan. “Kau benar-benar berubah. Aku semakin yakin untuk segera mengurus surat itu kembali,” ucapnya pelan dan nyaris menyerupai bisikan. Gadis itu langsung berlari menuju kamar.

Prang!

“Tidak bisakah kau melupakan surat sialan itu?! Harus berapa kali aku katakan padamu untuk melupakannya? Aku nyaris gila, Rachel. Kau sungguh membuatku seperti orang kehilangan akal. Kenapa kau seperti ini? Kau ego....”

“Apa seperti ini dirimu yang sebenarnya?! Kau berkata seolah-olah aku yang paling buruk. Seolah-olah aku yang menyakitimu. Kau tidak pernah mengerti. Kau tidak pernah merasa salah! Kau yang egois!” luap Rachel berapi-api.

“Bukan seperti itu. Rachel! Aku belum selesai. Rachel!” Marc meremas rambutnya kesal. Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, Rachel lebih dulu lanjut berlari dan mendebam pintunya keras.

Kondisi semakin menegang dan tak terkontrol. Marc merasa sangat frustasi. Ia memaki dirinya sendiri. Sialan!

Marc kemudian memilih untuk menyeret langkah kakinya kearah sofa marun yang berada paling dekat dengannya daripada berdiri diam seperti orang bodoh. Bolak-balik ia mengambil napas dan mengembuskannya perlahan, coba menetralisir emosi yang terasa begitu mencekik. Selama beberapa saat ia terpejam, meredam ego dan berusaha mengalah sekali lagi. Ini juga demi kebaikan mereka. Jika tak ada yang mau mengalah maka semua kekacauan ini tak akan pernah selesai. Tidak ada salahnya mengorbankan diri sendiri demi sesuatu yang tak ingin dilepaskannya. Tidak ada salahnya menekan emosi untuk kesekian kalinya demi hubungan yang sudah susah payah dibinanya. Beberapa menit berlalu, Marc lalu melangkah menghampiri Rachel setelah merasa lebih baik. Ia yakin Rachel sedang menangis sekarang.

“Rachel?” panggilnya ketika melongokkan kepala kedalam kamar. Dugaannya benar. Dari pundaknya yang bergetar, Marc tahu Rachel tengah menangis hebat.

“Rachel? Bisakah kau melihatku?” Marc coba memutar tubuh Rachel menghadapnya.

Gadis itu tak bergeming. Ia memaksa dirinya untuk tetap berada pada posisi memunggungi Marc.

“Aku minta maaf,” ujar Marc lembut, berlutut dihadapan Rachel. Ia tahu tidak ada gunanya terus memaksa gadis itu untuk berbalik karena Marc sadar Rachel tidak akan mau melakukannya.

“Jangan menangis lagi. Aku minta maaf. Bukan seperti itu maksudku.” Marc mengempas egonya ke titik paling dasar. Hatinya seakan dipelintir menyaksikan gadis itu tersedu.

“Lalu seperti apa maksudmu?” isak Rachel.

“Aku yang salah. Aku minta maaf. Tapi aku mohon jangan mengungkit tentang hal itu lagi didepanku. Aku bisa kehilangan kendali seperti tadi. Kau tahu, aku begitu tertekan dan amarahku langsung meluap ketika mendengarnya. Kau pasti mengerti kenapa aku seperti itu.” Marc menggosok-gosokkan buku tangannya di lengan Rachel. Sebelah tangannya yang lain coba mengusap jejak air mata di wajah gadis itu.

“Apa kau merasa benar ketika mengatakannya tadi?”

“Tidak. Aku salah. Seharusnya aku tidak emosi seperti tadi, tapi aku tidak mampu menahannya.”

“Kau berbicara seolah-olah aku yang menyiksamu. Seolah-olah aku yang paling jahat. Bagiku, justru kaulah yang menyakitiku. Kau mengatakan hanya melakukan kesalahan malam itu, namun pada kenyataannya kau melakukan lebih daripada apa yang terjadi waktu itu. Aku hanya selalu menyembunyikannya,” ungkap Rachel.

“Apa selama ini kau sering merasa sakit?”

“Aku cukup sering merasakannya.”

“Kau sering tidak bahagia?”

“Aku sering tidak bahagia.”

Marc merasa didentam balok kayu. Rachel tidak bahagia bersamanya. Gadis itu sakit selama ini. Ulu hati Marc seperti ditancap sebilah bamboo. ”Kenapa kau tidak pernah mengatakannya padaku?”

“Itu karena aku berusaha melupakannya. Aku menghindari pertengkaran,” erang Rachel. Ia mengusap pipinya, menghapus air mata yang masih mengalir disana.

“Tapi inilah akibat dari sikap menghindarmu itu. Kau terus menekan rasa sakit yang kau rasakan namun kau tidak sadar telah mengubahnya menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja,” Marc menatap intens mata sembap Rachel, “seperti sekarang ini,” lanjutnya.

Rachel diam dan masih sesenggukan. Sesekali ia cegukan karena tenggorokan yang tercekat.

“Katakan sesuatu, Rachel.” Marc menggoyang lembut tangan gadis itu.

Rachel masih mengunci mulutnya.

“Katakan sesuatu, Rachie...,” ulang Marc lebih lembut.

Rachie.

Hati Rachel tiba-tiba menggelenyar mendengarnya. Itu adalah panggilan sayang dari Marc untuknya. Pikiran Rachel melayang ke beberapa tahun silam, pada masa ia saling bertukar nama khusus dengan Marc. Rachie dan Markie. Nama spesial yang hanya boleh disebutkan oleh mereka berdua.

“Aku tidah tahu,” jawab Rachel pada akhirnya.

“Jangan seperti itu. Katakan sesuatu....”

Rachel kembali hening. Ada peperangan batin yang sedang berkobar didalam dirinya. Mungkin apa yang dikatakan Marc tidak salah semua. Mungkin perkataannya ada benarnya juga. Tidak semua perkara yang diduga baik akan berakhir baik. Mungkin Rachel hanya kurang terbuka. Mungkin pertengkaran hebat ini juga dipicu oleh sikapnya yang belum dewasa. Dan mungkin selama ini ia hanya berkutat pada asumsinya saja. Rachel coba berpikir dan mengoreksi dirinya sendiri, mencari tahu biang permasalahan yang sedang terjadi.

“Rachel?”

Gadis itu tersentak. Ia dipaksa keluar dari alam lamunannya. “Maafkan aku,” ucapnya cepat. Kepalanya mendongak menatap Marc.

Marc mengukir senyum tanpa sadar. “Aku juga minta maaf, Rachie.”

“Tapi kenapa kau sering kali mengabaikanku demi orang lain?”

“Iya, aku menyadarinya. Aku salah. Aku akan belajar untuk berkata tidak pada orang lain. Maafkan aku. Maaf juga aku telah bertindak kasar padamu tadi. Aku berteriak dan justru menyalahkanmu,” sesal Marc.

“Aku selalu tahu kau punya hati yang terlalu baik. Bukannya aku tidak memahamimu, hanya saja aku tidak mau kau mengorbankan dirimu sendiri demi orang lain, dan kau bahkan tetap mengabaikanku disaat darurat sekalipun.” Rachel mengatakannya dengan sendu. Kepalanya tertunduk menatap tangannya yang digenggam Marc. “Aku... aku tidak menyukainya. Kadang aku merasa bukan prioritasmu....”

Marc tercenung. Ia terdiam. Kini ia paham betapa terluka gadisnya itu. “Aku akan mengusahakannya,” lontar Marc. Ia berusaha tersenyum, meski jiwanya masih merasakan hantaman rasa bersalah. Jemarinya membelai jemari Rachel yang hangat. “Kau tetap prioritasku. Tidak ada yang berubah.”

Rachel tersenyum kecil. “Kau harus berupaya lebih keras.”

“Tentu saja. Boleh aku minta sesuatu?”

“Apapun.”

Marc menyusun kata-kata terlebih dahulu. Memilah kata terbaik agar tidak melukai Rachel. “Jangan pernah lagi menyimpan sendiri rasa yang kau rasakan, ya? Terutama rasa sakit. Jika kau merasa sakit, biarkan aku tahu. Terkadang aku terlalu bodoh untuk menyadarinya. Berbagilah padaku. Cerita denganku. Beritahu aku....”

Rachel tertegun. Ia menyelami kedua bola mata Marc, mencari arti ucapannya. Tak lama ia menemukan setitik kesungguhan disana.

"Kau mau, kan membaginya padaku?"

Gadis itu lalu mengangguk, ekspresinya melembut. “Aku akan menceritakan padamu apa yang aku rasakan, apa yang aku sukai dan apa yang tidak kusukai darimu,” jelas Rachel dalam sekali tarikan napas. Ia menyunggingkan senyum hangat.

“Ada apa?” tanya Marc mengernyit saat menyadari perubahan mimik Rachel.

Rachel memilin ujung bajunya. Ia ragu sejenak. “Emm, maafkan sikapku yang juga kadang salah dan menyakitimu....”

Marc bernapas lega. Ternyata permintaan maaf. Ia sudah dihantui hal-hal buruk tadi ketika melihat ekspresi Rachel yang mendadak berubah. “Kau dan aku sama-sama salah, dan kita sudah sama-sama minta maaf.”

Rachel mengangguk lagi. Ia mengulum senyum manis saat Marc mengusap pergelangan tangannya.

“Jadi, kita baikan?”

“Kita baikan," ulang Rachel, tertawa kecil.

“Tidak ada lagi surat sialan itu, kan?”

“Kau yang sekarang menyinggungnya di hadapanku. Apa kau yang kini berniat melanjutkannya?”

Marc terkekeh. Rachel-nya telah kembali. Ia sudah berhenti menangis dan kini mampu bergurau. “Kau gadis paling menggemaskan yang pernah aku kenal.”

“Aku juga mencintaimu, Marc.” Rachel tertawa renyah, sembari mendekatkan wajahnya dan mengecup rambut hitam suaminya.

Tawa Marc pecah menyambut tawa Rachel. Gadis itu selalu tahu bagaimana cara menaklukkan hatinya. “Kau gadis paling berharga yang kumiliki,” aku Marc sembari melayangkan kecupan di kening gadis itu.

“Kau juga yang terbaik,” balas Rachel tersipu.


END 


Comments