ONESHOT : You And I, Our Way

Good morning/afternoon/evening!! 

I’m back!! 


Akhirnyaaa… Setelah sekian lama gak post fanfiction di blog, setelah hampir tiga bulan.. Alhamdulillah hari ini bisa ngepost lagi, hehehe. 


Sebenarnya cerita ini sudah ditulis sejak akhir Juni lalu, tapi baru bisa dipost hari ini. 


Ide ceritanya mungkin masih sama dengan fanfiction yang lalu, karena masih berhubungan dengan author-nya, hahaha. 


Maaf jika cerita ini rada gak jelas dan mengecewakan. Semoga dapat menghibur yaa! Happy reading ;) 



Braaak!!

Rachel buru-buru masuk ke dalam kamar dan mendebam pintu dengan kasar, melahirkan suara keras yang memecah keheningan rumah sederhana bergaya klasik dengan penghuni dua orang tersebut. 


Rachel menarik napas tercekat, tenggorokannya bagai tertonggok sesuatu yang bergerigi. Sepasang alis mata hitam rapinya saling bersentuhan saat ia meneguk ludah dengan susah payah.


Rachel berdiri di tengah kamar, merasa kosong dan seolah berada di awang-awang. Kepalanya lurus ke depan menghadap halaman yang berhiaskan bunga-bunga bermacam warna (dengan dominasi Hydrangea macrophylla dan dendrobium) serta kolam ikan berukuran sedang dengan air mancur yang mencuat dari bagian tengahnya. Pikirannya kosong selama beberapa saat. Sementara wajahnya sudah berubah pucat pasi menyerupai kertas. 


Tidak, ini pasti tidak mungkin. Ini pasti hanya mimpi dan aku tidak benar-benar mengalaminya. Ini tidak nyata. Aku harus bangun. Ayolah, Rachel! Rachel membatin sembari menunduk dan memejam mata keras-keras. Ia menepuk-nepuk pelan pipinya yang mengeras. 


Hari ini Rachel memutuskan untuk menemui Marc setelah mereka kehilangan komunikasi selama enam hari. Marc sama sekali tidak mengabarinya dan Rachel bukannya tidak ada usaha untuk mencari tahu keadaan pria itu. Ia sudah mengirim pesan sebanyak 10x dan menelpon sebanyak 15x selama enam hari terakhir. 


Sebenarnya Rachel ingin mencoba lebih banyak lagi, namun mengingat perkataan Marc beberapa waktu silam bahwa ia pasti akan sibuk menjelang hari keberangkatannya, mendorong Rachel berpikir dua kali untuk bertubi-tubi menghubungi pria itu. Meskipun terkadang ia kehilangan kendali dan mengetik banyak pesan tanpa menekan tombol kirim. Sesuatu berbisik pada Rachel agar ia lebih tenang dan bersabar. 


Minggu lalu pada pertemuan mereka di bawah langit malam yang berhujankan bintang-bintang (harus Rachel akui malam itu adalah salah satu malam terindahnya bersama Marc), pria itu dengan berat hati mengumumkan kepergiannya selama sekitar sebelas bulan ke Amerika Serikat. Tergantung dalam setiap kalimatnya bahwa Marc sangat sedih dan berat. 


Sudah beberapa hari berlalu sejak malam itu, dan kini tinggal menyisakan tiga hari lagi. Mereka malah kehilangan komunikasi. Marc malah menghilang secara tiba-tiba. 


Sungguh, Rachel sama sekali tidak pernah menuntut Marc untuk menghubunginya setiap saat, ia hanya ingin pengertian dari Marc sendiri dan setidaknya pria itu meluangkan waktu barang lima menit untuk sekadar memberi kabar. Tidak apa jika Marc akan tetap tinggal di sini, namun kini situasinya berbeda. Marc akan pergi. 


Rachel jenuh dengan perubahan sikap Marc yang begitu mendadak. Harinya semakin dekat dan ia tidak mau tidak menemani Marc saat hari terakhirnya di sini. Maka, setelah mengumpulkan seluruh keberanian dan susah payah mengenyahkan pikiran-pikiran negatif, Rachel dengan bermodalkan kepercayaan diri dan rasa sayangnya pada Marc, memutuskan untuk mengunjungi pria itu langsung di rumahnya. Tidak peduli Marc akan marah karena ia berkunjung tiba-tiba dan tidak memberi kabar terlebih dahulu. Toh, siapa yang memaksanya untuk melakukan ini? 


Awal Rachel melangkahkan kaki keluar dari pekarangan rumah, pikirannya sudah bersih dari hal-hal negatif tentang Marc dan tidak pernah terbesit sekalipun ia akan mendapat kabar sebesar ini dari orang lain. Kabar itu sontak membuat Rachel terguncang dan seolah ingin tumbang seketika. 


Marc telah pergi. Marc telah pergi tanpa memberitahunya. Wanita berusia sekitar 35 tahun itu berkata bahwa tuannya telah berangkat ke Amerika sejak beberapa jam yang lalu. Marc sama sekali tidak mengirimkan pesan. Marc tidak mengingatnya ketika akan pergi. Bahu Rachel merosot dan air mata mulai menggenangi kedua pelupuk matanya. Bagaimana ini bisa terjadi? Ada apa dengan Marc? Bagaimana bisa ia pergi begitu saja tanpa memberi kabar? Terseok-seok Rachel berjalan dan merebah di atas tempat tidur. 


Pelan gadis itu meraih sebuah bantal kecil berbentuk hati berwarna merah muda yang merupakan pemberian Marc saat ulang tahunnya tahun lalu dan meletakkannya di atas dada. Erat Rachel mendekap bantal kecil itu, seolah-olah benda empuk itu dapat meredam rasa kecewa dan kesedihan yang meluap-luap di dalam hatinya. Terdengar isakan kecil saat akhirnya Rachel kandas dan menempelkan bantal itu di wajahnya. 


Rachel menangis sesegukkan di sana. Lelehan air matanya jatuh mengaliri pelipis dan berakhir di seprei. Tak sedikit bantal mungil itupun ikut meresap air mata Rachel yang deras. 


Kesepian, kecewa, kesal, marah, sedih, kehilangan, hingga rasa dikhianati pun bergabung menjadi satu mengendapi relung hati Rachel. Ia belum siap. Bukan begini caranya. Rachel tidak siap jika harus ditinggal seperti ini oleh Marc. Tidak, ini tidak benar. 


Rachel berguling dan memukul bantal dengan tangannya yang lemah. Kepalan tangannya yang rapuh menghasilkan suara kesepian yang begitu kental. Ia menangis sekali lagi di sana ketika getar ponsel mengagetkannya. Rachel refleks tersentak dan mengangkat wajah. 


Giginya gemeretak saat Rachel meraih benda pipih itu dan menemukan nama Marc telah tertera di sana. Untuk apa sekarang ia menghubunginya? Apa Marc baru ingat bahwa ia memiliki seorang gadis? Apa ia baru sadar bahwa ia telah meninggalkan seseorang di sini tanpa kabar? Sebenarnya apa yang ada di pikirannya? 


Namun, meskipun begitu, Rachel tetap menjawab panggilan Marc setelah menarik napas panjang dan berdeham sekali. Ia mengucek-ngucek mata saat langsung menyembur Marc dengan amarah, “Ada apa?!” 


Tidak ada jawaban selama beberapa detik. Rachel diam sembari mengatur napasnya yang amburadul. Hingga tak berapa lama kemudian, mulai terdengar helaan napas dari ujung sana, diiringi oleh suara yang terdengar seperti desiran. 


“Apa kau marah?” tanya Marc dengan tenang. 


Rachel menelan ludah dan memejamkan mata keras-keras, berusaha menahan diri. Apa kau marah? Oh Tuhan, memangnya apa yang laki-laki itu pikirkan? 


“Menurutmu bagaimana? Apa yang akan kau lakukan jika aku pergi ke luar negeri secara tiba-tiba tanpa memberitahumu? Maksudku, aku pergi tanpa meninggalkan pesan sama sekali. Apa yang akan kau lakukan?” Rachel bangkit dan duduk di salah satu ujung tempat tidur. Suaranya tegas dan penuh penekanan. 


Sekali lagi terdengar helaan napas dari ujung sana. “Aku tidak harus menjawabnya karena kau tidak akan pernah melakukannya.” 


“Apa kau bilang? Aku tidak akan melakukannya?” Suara Rachel refleks meninggi hingga ia hampir tidak bisa mengendalikannya. Gigi-giginya kembali bergesek tajam. 


“Benar.” 


Lidah Rachel berdecak saat ia memukul bantal lagi, sedikit lebih bertenaga daripada sebelumnya. “Dengar, Marc. Dengarkan aku baik-baik.” Rachel beranjak dan berjalan ke arah jendela. 


“Kau pikir apa yang kau lakukan? Kau pergi tanpa memberitahuku. Kau meninggalkanku di sini seolah-olah aku bukanlah siapa-siapa bagimu. Kau pergi begitu saja bagai aku tidak pernah ada. Kau, dengan sikapmu yang seenak itu, dengan jalan pikiranmu yang tak pernah dapat aku mengerti, telah meninggalkan aku di sini tanpa sepatah kata. Kau pergi bagai kau tidak memiliki seseorang yang berat untuk ditinggalkan. Kau ....” Tenggorokan Rachel mulai tercekat menahan tangis. 


“Kau … apa yang kau lakukan, Marc? Apa yang telah kau lakukan?! Bagaimana bisa kau pergi begitu saja? Bagaimana kau melakukannya? Bagaimana bisa, Marc?!” luap Rachel berapi-api. Matanya berkilat-kilat penuh amarah. Rachel tersengal. Punggungnya mengesot dinding dan ia ambruk di lantai. 


Marc tidak merespons selama beberapa saat. Ia hanya diam dan membiarkan suara desiran itu mengisi kesunyian. Ia kemudian mengambil napas, mengumpulkan diri, menggigit bibir bawah sekaligus menjilatinya, lalu dengan sedikit letih menyahut, “Aku tidak melakukannya. Aku tidak pernah melakukannya. Aku sama sekali tidak melakukannya. Itu tidak benar.” Ada penekanan dan keyakinan yang menggantung dalam kalimat Marc. Ia berbicara dengan tegas dan lugas. 


Rachel dapat merasakan emosi mulai naik hingga ke setiap helai rambutnya. Wajahnya memanas dan kulit bagian tengkuknya bagaikan ikut tertarik. “Hari ini aku mengunjungi rumahmu dan aku tidak menemukanmu di sana. Alih-alih, aku malah bertemu dengan pembantu rumahmu. Ia mengatakan bahwa kau telah berangkat ke bandara. Apa fakta ini yang ingin kau hindari? Apa ini yang ingin kau sangkal? Apalagi yang bisa kau elak, Marc? Bagaimana kau menjelaskannya padaku?” 


“Fakta apa? Itu bukan fakta. Sama sekali tidak benar. Aku, tidak pernah melakukannya. Tidak, pernah,” tegas Marc. 


Sementara Rachel seolah ingin meledak seketika. Emosinya sudah tersulut hingga ke ubun-ubun. Kebenaran apalagi yang akan ditolak oleh Marc? Mata Rachel menyala-nyala dengan bara amarah saat ia memekik, “Baik, jika kau tetap berkeras tidak pernah melakukannya, dan jika kau yakin dengan apa yang kau katakan, bahwa kau tidak pernah membohongi dan meninggalkanku, katakan keberadaanmu sekarang. Ada di mana kau?” Rachel berharap Marc tidak akan mengingkari keberadaannya. Semoga pria itu mengaku dan berkata jujur. 


Di seberang sana Marc dapat merasakan bibirnya berubah kaku dan memutih. Ia tak bergeming sejenak. “ Aku … aku, ada di …,” sendat Marc. Ia menarik napas, berdeham, mencebik bibir bawah, kemudian mengakui, “di depan kamarmu. Tepat di depan pintu kamarmu. Aku ada di depan kamarmu, Rachel.” 


Mendadak Rachel terlihat seperti orang yang berusaha mengeluarkan sesuatu yang gempal dari tenggorokannya. Lidahnya kelu dan seolah lengket di tenggorok. Dunia bak berjungkirbalik. Marc ada di depan kamarnya? Apa ia sedang dipermainkan? Permainan macam apa ini? 


“Kemarilah, Rachel. Aku menunggu. Datanglah padaku, Sayang. Kemarilah dan lihat aku,” pinta Marc. Suaranya sama sekali tidak berubah. Bulat dan tenang. 


Bulir keringat mulai jatuh dan membasahi pelipis Rachel. Ia bahkan dapat merasakan bibirnya ikut mengalir keringat. Selama beberapa menit ia tetap duduk dengan kaki yang diluruskan. Lututnya terasa lemas seolah ia baru saja berlari jauh saat akhirnya Rachel mencoba berdiri secara perlahan. 


Tornado bagai berputar di dalam dirinya saat Rachel susah payah mencapai pintu. Ia berjalan terhuyung-huyung. 


“Marc,” panggilnya saat menemukan sosok itu di balik pintu. Oh Tuhan, apa ini mimpi? Marc ada di hadapannya sekarang. Pria itu tidak pergi. Ia masih di sini. Marc berdiri di depannya. 


Sementara Marc tidak menyahut ataupun kembali memanggil Rachel. Ia hanya melangkah dan memotong jarak yang ada. Mata mereka saling terkunci saat Marc menyentuh pipi Rachel dan berujar, “Kenapa lama sekali? Aku menunggumu di sini saat pertama kali aku menelpon. Aku merindukanmu. Sangat.” 


Satu-satunya bukti Rachel tadi menangis adalah bulu matanya yang tampak lembap. Rachel malah memejam sehingga Marc dapat melihat dengan jelas perubahan matanya tersebut. 


“Apa kau menangis?” Marc menyentuh dagu Rachel dan mengangkat kepalanya yang tertunduk. 


Bibir Rachel melengkung tipis dan ia mengangguk. Tanpa berkata lagi Rachel langsung memeluk Marc dan bergelayut dalam dada pria itu. 


Marc dengan sigap menangkap tubuh Rachel. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu menangis,” bisik Marc di telinga Rachel. 


“Aku pikir kau sudah pergi.” Rachel melepaskan diri dari Marc dan menatapnya dalam-dalam dengan mata berbinar. “Bagaimana bisa kau ada di sini?” 


“Bagaimana bisa aku berada di sini itu tidaklah penting. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana bisa aku pergi tanpa memberitahumu? Bagaimana bisa aku pergi tanpa mengingatmu, Rachel? Rachel, gadisku.” Seulas senyum kecil muncul di masing-masing sudut bibir Marc, di bawah kulit berbayang yang mungkin baru beberapa hari lalu dicukur. Kini giliran Marc yang menarik tubuh Rachel masuk. 


Rachel tak menolak untuk tenggelam dalam dada Marc. “Jangan begini lagi,” manja Rachel. Ia tersenyum kekanakan di sela antara bahu dan leher Marc, merasakan aroma maskulin menyeruak dari dalam tubuh pria itu. Aroma yang sangat Rachel sukai. Aroma tubuh Marc. “Maafkan aku telah marah padamu.” 


Selapis penyesalan sempat membuncah dalam diri Marc. Ia tidak seharusnya melakukan ini. Rachel menangis. Gadisnya menangis karena ulahnya sendiri. Seharusnya ia berpikir dua kali sebelum melakukan permainan bodoh ini. Namun, meskipun penyesalan sempat menggelegak di dalam dirinya, Marc memutuskan untuk mengambil sisi positifnya. Kini ia tahu bagaimana reaksi Rachel. Gadis itu sangat, sangat mencintainya. 


“Kau tidak bersalah. Akulah yang membuatmu menangis. Maafkan aku, Rachel. Ini tidak akan terjadi lagi. Tidak akan pernah terjadi lagi.” Marc mengelus lembut rambut Rachel. 


“Apa kau tetap akan pergi?” Rachel mendongak menatap Marc. Terpancar setitik kesedihan dan cemas dari kedua bola matanya. 


“Ya, aku tetap akan pergi. Tapi tidak dalam minggu ini. Aku mengundurnya sampai aku benar-benar bisa meninggalkanmu di sini. Sangat berat untuk itu. Aku berjanji, Rachel, aku akan segera kembali. Aku akan menghubungimu kapanpun aku punya waktu. Aku mencintaimu. Bertahanlah, hm? Demi kita.” Marc mencoba kuat walaupun ia juga bagaikan dikikis dari dalam. Ini tidak mudah. Benar-benar tidak mudah. Namun, bagaimanapun juga, ia harus kuat. Sebagai laki-laki, ia harus kuat agar Rachel dapat terus bersandar padanya. 


Rachel menyembunyikan helaan napas leganya di leher Marc. Tangannya merayap naik, mengusap tengkuk Marc, lalu kepala bagian belakangnya, mengelus-ngelus rambut Marc yang tebal dan lembut. 


Rachel begitu menyukai rambut Marc. Ia menyukai segala sesuatunya dari Marc. Namun bagian favoritnya adalah mata, rambut, dan kumis tipis Marc yang baru tumbuh. Rachel juga menyukai bekas cukuran Marc di atas bibirnya tersebut. 


Rachel masih mengelus rambut Marc saat membalas, “Aku juga. Aku juga mencintaimu. Aku sangat menyayangimu, Marc. Sangat.” Rachel mengeratkan dekapannya dan semakin bergelung pada Marc. 


Marc diliputi kelegaan yang luar biasa. Ia bahagia sekaligus bangga memiliki Rachel. Gadis sederhana yang mampu memporakporandakan hatinya yang sepi. Gadis kecil yang berhasil menggetarkan hatinya yang kokoh. Gadis biasa dengan seluruh rasa cintanya yang murni. Satu-satunya gadis yang sangat dicintainya setelah ibunya melebihi ia mencintai dirinya sendiri. 


Semua sudah lengkap selama ia memiliki Tuhan dan Rachel. Marc tidak butuh apa-apa lagi. 


Dengan perlahan, Marc mengecup puncak kepala Rachel. “Aku ingin kau selalu bersamaku dan menjadi masa depanku, Rachel Nicollina Guerrero,” bisik Marc. 



END 

Comments

  1. Jujur, entah kenapa aku itu suka banget baca oneshoot. Tapi nggak bisa buat. Memang sudah nasib mungkin.
    Kapan-kapan bisa kasi tipsnya ya kak :)

    Oh iya kak menurut aku, apapun itu judul ffnya, gimanapun alur ceritanya, yang penting cast nya itu Marc pasti deh jadi keren.

    Dan makasih udah tag namaku di twitter. Terima kasih :)

    ReplyDelete
  2. plis romantis banget, btw yang terakhir jadi teringat surat suka pas ospek wkwkwk

    ReplyDelete

Post a Comment