FanFiction

*Sempat bingung berkali-kali sama cerita ini. Ga dapat feel-nya. Tapi seperti biasa, jika ada yang baca dan mau repot sedikit, tolong dikomen yaa ;)*

Misunderstanding #2 - END

 


Untuk dua hari tanpa hitungan hari ini hubungan suami-istriku bersama Marc berjalan biasa, nyaris terasa hambar. Aku dalam situasi-situasi tertentu bersikap acuh tak acuh padanya. Jarang tersenyum, menjawab pertanyaannya dengan tanpa basa-basi, dan yang paling parah, terkadang aku hanya mengangguk dan berjalan menghindarinya. Aku yakin Marc pasti merasakan perbedaanku yang begitu kontras, namun anehnya ia tidak pernah menanyakannya, sesuatu yang sangat jarang dilakukannya apabila melihat sedikit saja ada yang berubah dariku (terutama masalah fisik). Aku bingung, maksudku aku bersikap dingin padanya hanya untuk memancing emosinya dan berharap akan terjadi sedikit diskusi yang mungkin terkesan panas di antara kami (tapi pastinya aku ingin diskusi kami selesai saat itu juga, aku tidak ingin hal itu berlanjut lebih lama). Akibatnya, aku merasakan dua gejolak campuran perasaan yang berkeliaran liar dalam pikiranku, kesal dan sedih. 

Sejak berakhirnya tanggal kedua puluh satu dalam bulan ini tanpa terjadi sesuatu hal yang spesial, seperti yang telah kubayangkan dan kupersiapkan matang-matang sejak lama, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa hari jadi pernikahan bukanlah sesuatu yang penting, atau setidaknya bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan tolak ukur apakah suamimu mencintaimu atau tidak. Alih-alih, aku tetap merasakan sesuatu yang mengganjal dalam benakku, seperti perasaan “Aku harus membalas” akan sikap lupanya terhadap hari jadi pernikahan kami, yang akhirnya membuatku berubah sikap terhadapnya. 

Sempat timbul beberapa spekulasi yang beterbangan bebas di pikiranku saat detik-detik terakhir hari kedua puluh satu, saat aku memandangi punggung suamiku yang menghadapku dan aku menumpahkan tiga tetes air mata. Apakah Marc benar-benar lupa? Apakah ia sama sekali tidak ingat mengenai hari kami? Apakah ada sesuatu hal yang kulakukan sehingga membuatnya kesal dan tidak ingin mengingat hari pernikahan kami? Apakah cinta Marc masih sebesar cintanya yang dulu sebelum melamarku–dan yang paling penting, apakah Marc mencintai dan peduli padaku sebesar cinta dan kepedulianku padanya? 

Sebenarnya tidaklah seburuk itu apabila Marc tidak mengadakan sesuatu yang spesial di hari satu tahun kami bersama (dalam hubungan yang lebih dekat dan terikat, tentunya), walaupun aku sudah menyiapkan daftar panjang akan rencana yang akan kami lakukan. Mungkin aku hanya akan merasa sedikit tergores dan itu pastinya tidak akan berpengaruh lebih lanjut dan segera mengering (munafik bila kau sepenuhnya baik-baik saja setelah hari yang kau tunggu-tunggu sejak lama berlangsung jauh dari harapanmu). Namun paling tidak, Marc seharusnya mengucapkan serangkaian kata selamat padaku yang telah disusunnya di malam sebelumnya, atau bahkan apabila ia mengatakannya dengan spontan dan terbata-bata pun, aku akan tetap menerima niat baiknya yang tulus. Seharusnya hari itu Marc memelukku dengan erat sambil membisikkan, “Aku harap ini akan berlangsung selamanya”, atau hanya sekadar “Aku mencintaimu, Rachy”. Dan pada kenyataannya, ia sama sekali tidak melakukannya. Ia benar-benar tidak melakukannya. 

Aku membalikkan tubuh untuk kesekian kalinya dalam satu setengah jam terakhir saat aku memutuskan untuk menarik selimut dan tidur (tadinya kupikir aku akan segera terlelap). Namun aku masih terjaga sampai detik ini, yang tak kuketahui jelas penyebabnya, tapi mungkin karena perasaanku yang berkecamuk. Jadi, aku melirik jam dinding yang tergantung di sudut kamar dan kembali memejamkan mataku sembari berharap aku akan segera terlelap dan melupakan perasaan kesalku pada Marc. Bagaimana pun juga, betapa pun kesalnya aku pada suamiku, aku tetap mengharapkan suasana rumah tangga yang harmonis dan romantis bersamanya. Aku tidak menikahinya untuk menjalani suatu jenis kehidupan yang hambar. Sudah beberapa hari aku bersikap dingin dan uring-uringan padanya, dan sekarang aku menyerah. Usaha bodohku berakhir sia-sia dan aku meyakinkan diriku bahwa kedinginan sikapku hanya akan membuat hubungan kami semakin jauh dan mungkin rentan. Dan detik itu juga, aku berjanji pada diriku sendiri dengan segenap cintaku padanya untuk kembali bersikap baik seperti biasa dan menyingkirkan jauh-jauh kedangkalanku akan “Aku harus membalas sikap lupanya”. Pemikiran dangkal itu tidak akan mempan lagi menguasai diriku. Tidak, aku tidak akan melakukannya lagi. Aku meyakinkan diriku bahwa aku mencintai suamiku apa adanya. Bahkan apabila ia tidak mengingat hari penting dalam pernikahan sakral kami ini sekalipun (jujur, rasanya sangat sulit). Aku tetap menyukainya. 

Tepat tengah malam saat aku merasa bahwa aku baru tertidur kurang dari satu jam (mataku yang sulit sekali dibuka menjadi buktinya), aku merasakan sesuatu yang menimpa pinggangku. Sesuatu yang sedikit kuat namun hangat. Aku tersentak bangun dan bergerak dengan hati-hati. Aku yakin itu adalah tangan Marc. Aku dapat merasakan kelembutan sentuhannya. Dan tepat saat aku ingin berbalik menghadapnya, saat itu jugalah ia berbisik dengan nada semangat yang tidak dibuat-buat di telingaku, “Selamat ulang tahun pernikahan yang pertama, Sayang.” 

Aku terkesiap, merasa aneh sekaligus bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Apa aku sedang bermimpi? Apa aku sedang berimajinasi? Atau mungkin aku sedang mengigau? Tidak, itu tidak mungkin. Aku yakin ini nyata karena aku dapat merasakan sakit di pahaku saat aku mencubit dagingnya. Aku langsung mengerutkan dahi, tidak peduli dengan nada bicara Marc yang bersemangat dan terselimuti kehangatan, ia tetap membuatku terperanjat. “Apa? Ulang tahun pernikahan?” kataku di tengah-tengah keanehan yang berputar ria di kepalaku. 

“Ya, apa kau lupa, Nyonya Marquez?” Marc bertanya. Terselip nada sindiran halus dari “Nyonya Marquez” yang dilontarkannya. Tapi, bukan itu yang sekarang menjadi fokus dan inti kebingunganku. Lagi pula Marc pernah beberapa kali memanggilku dengan nama keluarganya (sekarang aku termasuk di dalamnya) di saat-saat tertentu. Seperti saat ia tiba-tiba menghampiriku di dapur ketika memasak dan langsung mengalungkan tangannya di sekeliling tubuhku, lalu berbisik dengan nada menggoda yang luar biasa sambil menempatkan dagunya yang keras di permukaan bahuku yang feminin, “Apa yang akan kau buatkan untukku kali ini, Nyonya Marquez yang cantik?”. Hanya terdapat sedikit perbedaan saja, “... yang cantik”, Marc tidak menambahkannya sekarang. 

Aku tetap diam selama beberapa menit, bersusah payah mencari-cari sendiri berbagai kemungkinan yang mungkin keluar. Bagaimana bisa Marc tiba-tiba mengucapkan selamat padaku padahal hari ulang tahun pernikahan kami sudah berlalu? Sebenarnya kesalahan ada di pihakku atau pihaknya? Aku masih menatap sepasang mata Marc yang gelap sampai ia akhirnya memecah keheningan tak elegan di antara kami, “Oke, baik, tampaknya kau memang lupa. Hari ini adalah hari dimana aku menikahimu, Rachy-ku yang manis. Satu tahun yang lalu,” ujarnya dengan nada yang begitu meyakinkan dan mantap. Setidaknya telingaku menangkap suatu ketegasan seorang laki-laki dari nada bicaranya. 

Untuk beberapa detik lagi aku masih tak menggumamkan apapun, dan Marc masih bertahan dengan tetap menyunggingkan senyuman manisnya padaku. Namun setelah melewati detik kelima belas, kupikir sekarang aku paham kemana arah pembicaraan ini dan mungkin “kesalahpahaman” yang sedang terjadi. Maka, aku menggerakkan tubuhku dan mulai meluruskan keadaan yang sedikit berbelit, “Marc, sesungguhnya ... hmm,” tiba-tiba aku ragu mengatakannya, tidak ingin Marc merasa kecewa dan malu. Tapi, aku mulai berdeham dan meyakinkan diriku bahwa aku harus tetap mengatakannya, bahwa ia sudah salah mengingat hari ulang tahun pernikahan kami dan agar ia tidak berada di titik yang salah lebih lama lagi, “Hari ini bukanlah hari ulang tahun pernikahan kita, Marc. Kau keliru. Sebenarnya hari itu adalah tiga hari yang lalu. Dua puluh satu Oktober,” jelasku sambil terus menatap matanya yang telah berubah kosong. Entahlah, tapi aku merasa Marc sedikit kecewa dari pengamatan kilat yang kulakukan saat menyelami matanya. 

Kami masih saling memandang satu sama lain dalam waktu yang terasa lama, hingga akhirnya Marc memutar matanya ke arah lain dan menelan ludah, “Sungguh? Aku tidak tahu ... hmm, maksudku, aku mungkin keliru melihat kalender,” Marc berujar malu-malu. Dalam suatu tempat di lubuk hatiku yang terjauh aku dapat merasakan bahwa Marc sedang berusaha untuk menutupi kekonyolan dan kesalahpahamannya, mungkin tidak ingin terlihat bodoh dihadapan istrinya. 

“Ya, Marc,” aku menyahut dengan nada yang sengaja kubuat agar terdengar mengayomi dan tidak mengejek. 

“Lantas kau tidak mengingatkanku akan hari jadi pernikahan kita waktu itu?” Marc bertanya lagi. Kali ini aku semakin yakin bahwa ia memang sedang menutupi kegugupannya. 

“Aku  mengharapkan kau duluan yang akan mengatakannya, dan sampai detik terakhir hari itu pun aku tetap mengharapkan bahwa kau yang akan melontarkannya duluan,” kataku, merasakan hujaman rasa bersalah karena telah menganggap Marc melupakan hari penting kamipadahal ia hanya kelirudan meragukan cinta serta kepeduliannya padaku. 

Marc sempat terdiam sebelum akhirnya mengangguk dan menjulurkan tangannya untuk menyusuri wajahku, “Jadi ... hmm, sebelumnya ... yah ... pertama, aku ingin minta maaf padamu karena telah keliru dan gagal menjadi seperti yang kau harapkan di hari penting kita. Kedua, karena aku telah salah paham dan terlanjur menganggap hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kita, bagaimana kalau malam ini kita keluar untuk makan malam? Kau mau?” Marc bertanya dengan sedikit keraguan yang berhasil kutangkap. Dari raut wajahnya aku dapat melihat bahwa ia benar-benar berharap agar aku mengiyakan tawarannya dan melupakan kekonyolan dirinya. Aku tersenyum, diam-diam bersyukur bahwa meskipun Marc sempat berusaha untuk tidak terlihat bodoh dan menutupi kegugupannya, ia tetaplah pria gentle yang berani mengakui kekeliruannya dan meminta maaf, terlebih lagi ia sedang berusaha untuk menebus kesalahannya padaku. Sifat dalam diri priayang kini kudapatkan dalam diri Marcyang benar-benar kusukai dan kuapresiasi. 

Jadi, dengan senyum penuh yang merekah di wajahku, aku menjawab, “Tentu, Marc. Aku mencintaimu,” sambil meraih tangannya yang sudah terlepas dari pinggangku, lalu memasukkannya dalam genggaman tanganku yang sedikit dingin namun tetap lembut. 

“Oke, aku juga mencintaimu, Rachel,” Marc berkata sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku dan ia menampakkan seulas senyum termanisnya. Seulas senyum yang selalu tampak tulus dan penuh kasih sayang. Kemudian, ia mengatakan bahwa aku mungkin perlu beberapa tambahan jam tidur untuk berada dalam kondisi sempurna malam ini ketika berdua bersamanya, karena aku telah lebih dulu kehilangan beberapa menit jam tidurku untuk berbincang dengannya dan mengklarifikasikan yang terjadi. 

Aku tersenyum dan kembali memejamkan mataku, membayangkan hal-hal luar biasa yang akan terjadi. Malam ini, dalam sebuah makan malam yang romantis, berdua bersama suamiku, bersama seorang Marc Marquez Alenta. 

END 

Comments