TWOSHOT : The Real Future Of Us #2 - END

Hai… 

Alhamdulillah akhirnya bisa selesaikan TWOSHOT kali ini dan siap untuk dipost :D 


Secara pribadi, aku suka sama cerita ini, karena bikin aku baper dan aku juga selipkan harapanku di cerita ini. Semoga dapat menghibur dan semoga lebih baik buat dibaca, yaa. 


Happy reading everybody :) 




Matahari sudah muncul dari peraduannya sejak beberapa jam yang lalu. Ketika bangun tadi, Marc sudah memberitahu Rachel bahwa ia akan memanfaatkan hari yang senggang ini hanya di rumah bersama dirinya. Dan, ia pun juga akan melakukan salah satu aktivitas favoritnya, yaitu berolahraga. Marc sudah berjanji pada istrinya itu untuk tidak keluar rumah selain untuk bekerja selama beberapa hari ke depan. Tidak ada satu pun dari mereka yang tahu kapan tepatnya Rachel akan melahirkan. Wanita itu bisa melahirkan kapan saja, bukan?

Marc meminta Rachel untuk menemaninya selama berolahraga di halaman samping. Namun Rachel tidak sepenuhnya menolak, tapi mengatakan pada Marc bahwa ia akan segera menyusul. Ia akan melakukan sesuatu dulu di kamar, baru setelah itu ia menghampiri Marc.

Marc sempat bertanya pada Rachel apa yang hendak dilakukannya, namun gadis itu tidak memberitahunya. Rachel meyakinkan Marc bahwa ia tidak melakukan sesuatu yang berat dan tentu saja akan memberitahunya begitu ia selesai.

Marc pun akhirnya setuju dan bersiap-siap untuk ke kolam renang di samping rumah mereka. Sementara Rachel, ia akan melakukan sesuatu yang cukup penting. Ia akan berbicara pada wanita itu. Setelah sekian lama, ia akan mendengar suaranya lagi. Jantung Rachel memompa dua kali lebih cepat hanya dengan memikirkannya saja.

“Jadi, apa Ibu akan datang?” ujarnya sedikit ragu.

“Tidak.”

Rachel refleks memejam ketika mendengar jawaban pendek itu. Nada suaranya datar dan dingin. Sama sekali tak berubah. Rachel menghela napas sedih.

“Aku dan Marc akan sangat senang jika Ibu bisa datang. Marc akan menghubungi Ibu jika aku sudah di rumah sakit. Kalian berdua bisa menemaniku di sana. Apa Ibu tidak ingin melihat wajah cucu Ibu? Apa Ibu sama sekali tidak ingin menggendongnya?”

Terdengar desiran yang cukup keras dari ujung sana.

“Begini... besok atau lusa aku akan pergi dari kota ini. Maksudku, aku akan pindah dan memulai hidupku yang baru. Jauh dari kota ini, jauh dari rumah ini, dan yang pastinya jauh dari semua yang telah terjadi. Aku tidak bisa datang. Aku benar-benar tidak bisa. Kau mengerti?”

“Ibu akan pergi? Kenapa begitu mendadak?” Rachel tersontak kaget.

“Apa aku harus memberitahumu lebih dulu untuk setiap yang akan aku lakukan?”

“Hm, tidak juga...,” sahut Rachel pasrah. Sikapnya pun masih sekasar dulu.

“Tapi, dengar aku. Dengarkan aku baik-baik. Sebelum aku pergi jauh, aku akan mengatakan satu hal padamu.”

Sepasang alis mata Rachel langsung berkedut penasaran. “Apa itu?”

“Aku sudah tidak menghadiri pernikahanmu dengannya, aku juga tidak pernah mengunjungimu ataupun coba meneleponmu, dan untuk kali ini pun, aku juga tidak akan datang. Tapi... dibalik semua ini…ada sesuatu hal yang besar.”

Rachel paham betul kemana arah pembicaraan yang coba diutarakan ibunya. “Aku tahu, dan aku sangat paham akan hal itu. Ibu selalu menyakitiku dan bahkan coba menyiksaku, tapi itu bukan hati Ibu yang melakukannya. Itu kebencian yang terus menggerogot di hati Ibu yang justru melakukannya. Penderitaan yang Ibu rasakan, dan kesusahan yang selalu menimpa kehidupan Ibu, itulah yang telah mengubah hati Ibu dan menutup mata Ibu. Dan itu jualah yang terus menekan batinmu dari dalam, hingga kau tidak dapat menemukan jalan penyaluran lain selain aku, yang saat itu berada paling dekat dari jangkauanmu. Aku sungguh mengerti bagaimana hal itu.”

Hening.

Lama tidak terdengar respons dari ujung telepon.

Rachel diam, menunggu jawaban yang akan terlontar dari ibunya.

“Bagaimana kau bisa menyimpulkan hal sekonyol itu? Omong kosong dari mana itu? Sama sekali tidak benar.”

Rachel mengambil napas sebelum membalas, “Ibu, kali ini tolong jangan menyangkal. Aku tahu dengan pasti apa yang aku katakan adalah suatu kebenaran, tapi Ibu selalu tidak berani untuk mengakuinya. Ibu, apa Ibu tahu? Kini aku sudah memiliki keluarga kecil yang kubangun sendiri, bersama pria yang kucintai dan dia juga sangat mencintaiku. Aku bahkan sebentar lagi akan memiliki seorang anak. Aku akan segera menjadi seorang ibu, sama sepertimu..., Ibu...,” Rachel mendadak tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Ia tercekat, serasa ingin meneteskan air mata.

“Aku tidak akan menghentikan Ibu jika memang Ibu akan pergi. Dan, apa kau tahu, Ibu? Meskipun selama ini aku juga tertekan selama bersamamu, tapi aku nyaris tidak pernah menyesalinya. Aku tidak akan menyesal karena aku telah memiliki seorang Ibu. Bagaimana pun juga, aku masih cukup beruntung. Ibu... aku hanya ingin meminta doa dan restumu untuk kehidupanku. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk masa depan anak ini. Aku akan melakukan apa pun yang terbaik untuknya. Dan aku yakin ayahnya pun juga akan jauh berbeda dari bagaimana ayahku dulu bersikap kepadaku....”

Secara samar-samar, Rachel dapat mendengar isak dari wanita yang tengah berbicara padanya ini.

“Ibu....” Rachel pun tak dapat menahan lebih lama lagi air matanya. Air bening itu meleleh turun membasahi kedua pipinya.

“Apa yang kau katakan tentang sikapku padamu selama ini adalah suatu kebenaran yang memang tidak pernah berani kubagi pada siapa pun. Jadilah ibu yang baik. Jangan pernah sia-siakan anakmu. Jangan jadikan dia sebagai luapan emosimu. Tanamkanlah nilai-nilai baik padanya sejak kecil. Jangan biarkan masa lalumu yang kelam bersamaku ikut membayangi kehidupannya. Jangan pernah contoh sikapku selama ini kepadamu. Dan tolong katakan ini pada Marc. Jadilah ayah yang baik dan selalu bertanggung jawab atas keluarganya. Jika kau ataupun anakmu sampai terluka sedikit saja olehnya, aku sendiri yang akan datang dan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Dan, ibu sangat  menyayangimu, Rachel. Ibu akan selalu menyayangimu, anakku.  Selamat tinggal.”

Tidak ada suara lagi.

“Ibu? Halo? Ibu?”

Tidak ada jawaban.

Rachel berusaha menelepon ibunya kembali, namun nomor teleponnya tidak aktif. Ibunya sudah memutus sambungan teleponnya, dan dia juga tidak memberitahu kemana dia akan pergi sebelum mengakhiri sambungan telepon tersebut.

Rachel menangis terisak-isak. Ternyata selama ini yang ia yakini tentang ibunya memang benar. Dia sudah mengakuinya sendiri. Sekarang, kemana dia harus datang atau menghubungi wanita yang telah melahirkannya itu?

Rachel meluapkan seluruh tekanannya selama ini dengan menangis sejadi-jadinya.

Hingga sekitar lima belas menit kemudian.....

Rachel mulai berhenti menangis dan coba mengendalikan dirinya. Ia menghapus air matanya dengan kasar, beranjak perlahan meninggalkan tempat tidur, lalu berjalan menuju samping rumahnya. Ia ingin menemui Marc. Hanya pria itu yang benar-benar diinginkannya sekarang.

Ketika sudah berdiri tak jauh dari kolam renang, Rachel dapat melihat Marc masih dengan sangat bersemangat berenang membelah kolam renang tersebut. Namun tak lama kemudian Marc berhenti dan menangkap sosoknya yang tengah berdiri memandanginya.

Marc masih belum bangkit dari kolam renang, dan ia tercengang melihat keberadaan Rachel di sana. Mata Marc naik turun mengamati penampilan istrinya itu.

Oh ya ampun, wanita itu tampak cantik sekali!! batin Marc sambil terus menyusuri penampilan Rachel.

Rachel berdiri dengan sinar mentari samar-samar menimpa dirinya. Beberapa helai rambutnya terbang tertiup sepoian angin. Ia berdiri di sana, sambil memegangi perutnya, dengan berbalut setelan lumayan longgar dan sederhana sepanjang lutut.

Marc terpana selama beberapa saat, belum bergerak dari kolam renang itu.

“Marc...,” panggil Rachel akhirnya.

Baru setelah mendengar suara Rachel yang memanggil namanya, Marc tersadar dan buru-buru keluar dari kolam renang. Ia meraih handuk kecil yang tersampir di punggung kursi, mengusap wajah dan rambutnya, lalu memotong jarak dari Rachel hingga mereka berdiri berhadapan.

Saat melihat wajah Rachel yang tertunduk, Marc coba mengangkat dagunya dengan lembut. Dan begitu berhasil menatap matanya, kening Marc sontak berkerut.

“Apa kau habis menangis?” tanya Marc penuh selidik.

Rachel tak dapat menutupinya, dan ia juga sama sekali tidak berniat untuk menutupi fakta itu. Jadi, ia hanya mengangguk lemah, tanpa membalas tatapan yang dipancangkan Marc padanya.

“Kemarilah. Duduk dulu,” ajak Marc sembari menuntunnya, tidak ingin langsung menginterogasi.

Rachel kemudian duduk di kursi yang ada di sampingnya, dan Marc memutuskan untuk berlutut agar bisa lebih dekat dengan Rachel.

“Ceritakan padaku. Apa yang membuatmu menangis?” Marc coba bertanya selembut mungkin, memberi kenyamanan seperti yang selalu dilakukannya pada Rachel, agar ia lebih leluasa bercerita.

“Sebenarnya....” Rachel mengepalkan kedua telapak tangan di atas lutut. “Sebenarnya, apa yang ingin kulakukan tadi adalah... menelepon ibuku.”

Marc menggelenyar ketika mendengar kata “ibuku” terlontar dari mulut Rachel. Ia nyaris terjengkang ke belakang.

“Ibumu?”

Rachel mengangguk dua kali. “Benar. Ibuku.”

Emosi Marc mendadak tersulut hingga ke ubun-ubun, teringat kali terakhir ia bertemu dengan wanita itu dan terlibat pertengkaran hebat. “Apa yang dia katakan? Apa dia mengatakan hal yang buruk hingga kau menangis? Oh yang benar saja, kenapa kau harus meneleponnya lagi, Rachel? Ah tidak, ini bukan salahmu. Mana nomor teleponnya? Berikan padaku. Aku akan meneleponnya kembali dan melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sejak dulu. Dia tidak bisa menyakitimu lagi.” Marc dengan laju tak disangka berdiri dengan garang, raut wajahnya berubah keras, dan ia mengepalkan kedua telapak tangan di kedua sisi tubuhnya. Namun ketika ia hendak berjalan ke dalam, Rachel dengan sigap menggamit tangannya.

“Tidak, Marc. Dia sama sekali tidak bersalah kali ini. Akulah yang bersalah. Apa kau bersedia mendengarkan ceritaku?” Rachel mendongak menatap Marc yang masih berdiri. Ia menggoyang-goyangkan tangan Marc, berusaha meredam emosinya.

Marc menatap kedua bola mata Rachel yang menyiratkan kepiluan mendalam. Itu adalah tatapan paling sedih dari Rachel sejak mereka resmi bersama. Marc tak tega menyaksikan Rachel menatapnya dengan sesedih itu. Maka, ia menyingkirkan sementara emosi yang sempat dirasakannya, dan kembali berlutut.

“Maafkan aku. Emosi yang kurasakan sangat besar hingga menguasai diriku. Aku jadi mengabaikanmu. Maafkan aku.”

“Tidak apa-apa. Aku mengerti. Emosi itu muncul begitu saja karena kepedulianmu padaku,” Rachel coba mengambil napas sebelum melanjutkan, “Marc, aku tahu setiap pertemuanmu dengan ibuku tidak pernah berakhir baik. Dan yang terakhir kali pun kau harus mendapat tamparan darinya. Tapi, Marc....”

Marc coba menyelami bola mata Rachel lebih dalam.

“Hari ini aku mendapatkan sebuah pengakuan darinya.”

“Pengakuan apa?” sela Marc refleks.

“Pengakuan bahwa apa yang kuanggap dan kuyakinkan pada diriku selama ini ternyata benar. Kau tahu, meski semenjak kecil aku tak benar-benar bahagia dan memperoleh kasih sayang darinya, tapi aku selalu berpegang teguh bahwa ia mungkin tidak sengaja melakukan hal itu padaku. Bukan dia yang melakukannya, tapi penderitaan dan tekananlah yang mendorongnya. Dan hari ini dia mengakui hal itu....”

Rachel diam sejenak, dan Marc memanfaatkan jeda itu untuk menyela, “Bahwa kau hanya korban dari emosinya? Maksudku, kau adalah pelampiasan dari emosi tak tertahankan yang dirasakannya selama ini?”

“Kau benar.” Rachel coba menatap kedua bola mata Marc lebih lekat. “Dan kau tahu apa, Marc? Dia akan pergi dari kota ini. Dia akan pergi dari sini secepatnya. Dan kini aku tidak tahu harus mencarinya kemana. Nomor teleponnya juga tidak aktif.” Tenggorokan Rachel mulai seperti tersumbat lagi. Ia tercekat.

Marc menyadari bahwa istrinya itu tengah menahan tangis. Ia dengan perlahan mengambil telapak tangan Rachel yang masih membulat.

“Mengetahui suatu fakta yang begitu besar seperti ini bagiku... ini sangatlah sulit. Benar-benar sulit. Dan aku tahu kau pun mengalami dilema yang besar sekarang. Tapi, Rachel, jika takdir memang akan mempertemukan kalian lagi, maka itu akan segera terjadi, meski kini dia pergi entah kemana, dan di sini pun kau juga begitu merindukannya. Satu hal yang ingin kukatakan padamu sekarang adalah, kuatkan dirimu dan berbahagialah, karena selama ini dugaanmu ternyata benar dan kau mendapatkan sebuah pelajaran lagi agar siap menjadi seorang ibu....” Marc menggenggam tangan Rachel erat-erat, menyalurkan kasih sayang dan keamanan baginya.

“Kau benar. Dibalik semua ini, aku dapat berbahagia dan menjadikannya sebagai sebuah pelajaran. Kau tahu apa? Dia mengatakan bahwa dia menyayangiku, Marc. Dia sangat menyayangiku. Dan dia juga mengatakan bahwa aku harus jadi ibu yang baik, yang akan selalu menjaga anakku dan menanamkan nilai-nilai baik padanya sejak kecil. Dia juga....” Rachel coba meraih tangan Marc yang satu lagi, menggenggam dan membawanya ke atas lututnya.

“Dia mengatakan bahwa kau juga harus jadi ayah yang baik. Ayah dan suami yang selalu bertanggung jawab, yang tidak akan pernah melupakan, apalagi meninggalkan keluarganya. Kau pasti tidak memercayainya. Dia peduli padamu, Marc. Ibuku peduli padamu... karena kini aku pun yakin dia juga sudah menganggapmu sebagai anaknya. Marc, akhirnya kita dapat memercayai satu orang lagi. Akhirnya kita memiliki anggota keluarga yang juga siap menerima kita, Marc....” Air mata Rachel meleleh ketika mengatakannya. Satu tangannya bergerak ke wajah Marc, mengusap-usap pipinya lembut.

Mata Marc ikut berbinar ketika mendengarnya. Tapi dia tidak akan menangis haru di hadapan istrinya yang tengah rentan. Hal itu pasti akan menyebabkan Rachel bertambah pilu.

Jadi, untuk lebih menenangkannya, Marc berkata dengan penuh kasih, “Iya, kau benar. Kini kita telah memiliki seseorang lagi, kan? Kelak, kita akan datang bersama anak kita mengunjunginya. Dan ibumu juga akan datang ke rumah kita untuk menemuimu dan bermain dengan anak-anak kita. Benar, kan? Rachel, percayalah, dengan begini, aku yakin kita akan semakin tegar untuk menghadapi masa depan. Bersama, kita akan membangun sebuah keluarga yang baik bagi anak-anak kita. Kita akan melakukannya bersama-sama.”

Setetes lagi air mata Rachel meluncur di pipinya. Ia mengangguk penuh keyakinan. “Kita akan melakukannya. Untuk anak-anak kita nanti. Masa depan kita bersama-sama.” Lengkung tipis mengembang di wajah Rachel. Ia memajukan tubuhnya, ingin mengecup dahi Marc.

Namun ketika melihat Rachel sedikit kesulitan mencapainya karena perutnya yang sudah membesar, Marc cepat-cepat menahan lengan Rachel tetap di tempat semula dan berujar, “Tidak, biar aku saja yang menciummu. Kau pasti ingin menciumku, kan?” Kemudian Marc segera maju dan mengecup kening istrinya.

Rachel memejam, meresapi kasih sayang Marc.

“Tapi... kau percaya diri sekali jika aku ingin menciummu tadi,” goda Rachel ketika Marc sudah memundurkan dirinya sedikit.

“Jadi, kau ingin menggodaku lagi?” Marc menyeringai jail.

Rachel tergelak kecil. “Jika kau menganggapnya seperti itu.”

“Tentu saja aku menganggapnya seperti itu,” sahut Marc bangga.

“Tapi... apa kau sungguh tidak ingin maju sedikit agar aku bisa menciummu? Aku juga ingin mencium suamiku, kau tahu.” Pipi Rachel merona saat mengatakannya.

“Haha, tentu, tentu, Sayang.” Marc tertawa terbahak sebelum memajukan tubuhnya, agar Rachel tidak perlu bergerak dari tempatnya duduk.

“Aku mencintaimu,” bisik Rachel sebelum melayangkan sebuah kecupan di kening Marc.

***

Selama beberapa hari kemudian, Marc maupun Rachel sama-sama memutuskan untuk memadukan selera mereka. Meski tidak dapat dipadukan seutuhnya, namun Marc dan Rachel saling membuka hati dan beberapa kali mengalah untuk selera dan keinginan yang lainnya. Mereka dengan sangat bersemangat menyiapkan setiap detailnya dengan teliti. Marc begitu senang hingga terkadang ia tidak dapat mengontrol perasaannya. Dan jika Marc sudah begitu gembira, Rachel-lah yang tentu saja menjadi korbannya. Pasti wanita itu yang selalu dicubit gemas dan perutnya yang diusap-usap.

Meski agak keteteran dengan sikap Marc, namun Rachel tak pernah mengeluh. Ia bersyukur. Sangat bersyukur bisa memiliki suami seperti pria yang tinggal bersamanya kini.

Mereka begitu riang membayangkan bahwa mereka akan segera kehadiran anggota baru dalam keluarga kecil mereka.

Dan selama ini pula, Marc sama sekali tidak terpikir bahwa hari itu akan jatuh di hari yang juga terasa spesial baginya. Marc menduga hari bahagia itu akan meleset sekitar dua atau tiga hari, namun pada kenyataannya dugaannya itu tidak terbukti sama sekali.

Hari itu... tanggal itu...

17 Februari...

Tanggal yang merupakan tanggal kelahirannya juga…

Ketika dokter menjabat tangannya dan menyampaikan sebuah kabar yang begitu ingin didengarnya selama sembilan bulan belakangan ini, Marc benar-benar kehilangan pertahanan dirinya. Kakinya lemas dan beruntung, ia jatuh tepat di atas kursi yang ada di belakangnya.

Anaknya telah lahir ke dunia ini.

Anaknya, putranya, cintanya, telah hadir di kehidupan mereka yang sepi.

Marc sama sekali tidak dapat menghalau air mata yang tiba-tiba saja menetes. Air mata bahagia. Air bening itu meluncur begitu saja.

Begitu Rachel sudah sadar dan ia dapat menemui istri tercintanya itu, lagi-lagi Marc merasa lemah sekaligus bersemangat. Ia datang dengan menggendong putra mereka di pelukannya.

Rachel yang baru pertama kali melihat anaknya pun, seketika itu juga langsung menangis haru. Tangisnya pecah. Akhirnya, ia dapat melihat anak yang selama ini ia kandung dan ia kasihi. Buah hatinya bersama Marc. Darah dagingnya.

Dan kebahagiaan yang Rachel rasakan semakin lengkap ketika melihat siapa yang tengah menggendong anaknya.

Marc. Suaminya. Suami dan anaknya tengah bersama. Putranya tampak tenang dan aman di pelukan ayahnya.

Air mata Rachel kembali jatuh ketika melihat pemandangan mengharukan itu.

Marc tersenyum kepadanya, dan Rachel pun membalas senyuman itu dengan segurat senyum yang lebar.

Marc lalu datang padanya dan mereka menikmati saat-saat bahagia yang sudah mereka nantikan. Bersama anggota baru keluarga kecil mereka.

***

Hari itu merupakan hari yang cerah. Mentari bersinar terang, namun tidak begitu terik. Sepoi angin sesekali meniup permukaan kulit.

Marc dengan perasaan gembira membuka pintu rumah dengan lebar. Sebelah tangannya yang lain masih menggendong putranya yang tengah tertidur.

Perasaan yang baru. Perasaan yang baru kini dirasakannya. Perasaan menjadi seorang suami sekaligus seorang ayah.

Marc memberi isyarat agar Rachel masuk lebih dulu. Sejak dari rumah sakit, Marc jarang sekali memberi kesempatan pada Rachel untuk menggendong putra mereka. Rachel sempat protes karena sikap Marc itu, namun Marc dengan mengerling jail berkata bahwa putra mereka akan lebih senang berada di pelukannya.

“Apa kau tidak lihat bagaimana dia tidur dengan nyenyak di pelukanku?”

Begitu kata Marc, yang sontak membuat Rachel terkekeh dan tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Lagi pula, itu justru suatu yang patut ia syukuri. Marc sangat menyayangi anaknya. Dan Marc pun juga penuh dengan nada canda ketika mengatakannya. Jadi, itu bukan suatu masalah.

Rachel berhenti beberapa langkah dari pintu rumah, dan Marc menutup pintu terlebih dahulu sebelum ikut berhenti di samping Rachel.

Mereka berdua menyapukan pandangan ke seluruh rumah, lalu secara serentak menatap putra mereka.

“Rumah ini tidak akan sepi lagi. Sudah ada tangisan bayi di sini,” ujar Marc seraya mengelus pipi putranya.

“Benar. Rumah ini akan ramai. Dan kau mendapat satu alasan lagi untuk segera pulang ke rumah ketika bepergian,” Rachel melirik Marc sambil tersenyum penuh arti.

Marc balas melempar senyum pada istrinya. “Tentu saja. Aku akan pulang secepat mungkin.”

“Rachel, Sayangku. Kini kita telah memiliki seorang putra. Aku harap dia akan menjadi seorang pria yang baik di masa depan. Kita harus selalu mengajarkan hal-hal baik padanya. Ingat, meskipun kita begitu menyayanginya, namun kita tidak boleh terlalu memanjakannya. Kita tidak boleh memberinya kasih sayang berlebihan hingga dia menjadi besar kepala,”  lanjut Marc menambahkan.

Rachel mengangguk mengerti. “Berjanjilah padaku kita akan menjadikannya seorang pria yang bertanggung jawab dan memiliki cinta di dalam hatinya. Seperti dirimu.”

“Tentu saja. Dan Rachel, jangan bersedih lagi, ya. Di sinilah kita sekarang. Apa pun yang sudah terjadi, kita sama sekali tidak dapat mengubah ataupun memperbaikinya. Biarkanlah masa lalu kita masing-masing menjadi sebuah pelajaran dan menjadikan kita lebih baik dalam mendidik anak-anak kita. Dan berjanjilah padaku kita juga akan menjadikannya seorang pria yang tegar.”

Rachel meraih pinggang Marc, melingkarkan tangannya disana. “Tentu, Marc. Kita akan melakukan yang terbaik untuknya. Karena inilah masa depan kita yang sesungguhnya. Masa depan keluarga kecil kita.”

Mereka tersenyum satu sama lain. Kemudian, Marc menuntun Rachel menaiki undakan tangga menuju kamar mereka. Kamar di mana akan ada suara bayi yang terdengar di sana.


END


Comments

  1. Keren bgt ff nya dan marc karakternya so sweet bgt :)

    ReplyDelete
  2. Kayak komentarku di part awal sih, kamu lebih menyampaikan cerita dengan teknik tell, tapi itu lho, pengaturan alurnya dapet banget. Di sini, aku suka pas bagian Rachel bicara sama ibunya. Lewat telepon tapi emosinya dapet, apalagi kalo di pertemukan. Hadeuh... Dan aku juga suka bagian Marc terharu karena anaknya lahir pas di hari lahirnya. Coba dicerita ini ada Alex ya....hehehehh emang sih, banyak kalimat2 yang pas untuk dikantongi. Dijadiin quote gitu. Sudah ya, Dek, komenku panjang mulu :v

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe, syukurlah kaaak... Suka kalo ada Alex yaa kak? Hihihi... ga apa kak, thank you for reading yaaa kaaak :D ;)

      Delete

Post a Comment