TWOSHOT : Last #1

Happy reading :) 






“Apa kau sudah merasa lebih baik?”

Wajah Rachel refleks tertoleh kesamping, kearah sebuah gelas tinggi berisi cokelat panas yang baru saja teronggok disampingnya. Ia menatap gelas itu sejenak, lalu kembali berpaling kedepan.

Embusan angin meniup helai-helai rambutnya yang terbang ke bagian wajah. Sejulur tangan mencoba menyibaknya dengan lembut, namun Rachel menimpal tangan tersebut dengan melakukannya sendiri.

“Kau tidak menjawab pertanyaanku,” ujar sang pemilik suara yang sama, duduk disamping Rachel.

“Aku baik-baik saja.”

 “Apa kau masih merasakan nyeri atau semacamnya di perutmu?”

“Sudah sembuh. Aku tidak lagi merasakan nyeri.”

Marc menelan ludah dengan getir. Ia mengangguk perlahan.

“Kau seharusnya tidak perlu repot-repot membuatkan cokelat panas ini.”

“Apa itu salah?”

“Jangan salah paham. Aku hanya tak ingin kau merasa bersalah dan mencoba menebus apa yang telah terjadi,” jelas Rachel. Tulang-tulangnya bagai beku tak bisa digerakkan. Punggungnya kaku.

“Apa kau sungguh merasa bahwa aku menebusnya dan bukannya tulus membuatkan minuman ini untuk istriku?”

Istri…

Istriku. 


Mata Rachel mengerjap. Sesuatu yang padat menohok jantungnya. “Dulu. Sekarang aku bukan istrimu lagi,” sahutnya bergetar.

“Aku tidak merasa telah menceraikanmu. Tidak pernah. Tidak akan pernah terjadi,” tegas Marc. Raut wajahnya berubah keras, seiring telapak tangannya yang membulat.

Semilir angin sejuk kembali menerpa, semakin menambah kesan dingin yang membungkus suasana sore itu. Tidak ada yang melontarkan sepatah kata apapun. Keduanya saling menatap lurus kedepan, menembus daun-daun pepohonan yang berterbangan dan menjelajahi dunia masing-masing. Hening.

Marc tidak menikahi Rachel untuk mengalami perceraian. Tidak bahkan sekali pun terbesit di benaknya untuk berpisah dengan gadis itu. Setidaknya, Rachel juga memiliki keyakinan yang sama hingga peristiwa malam itu mengobrak-abrik kepercayaannya.

Marc memang pernah beberapa kali mengenyampingkan dirinya. Dan Rachel tahu itu mungkin dilakukan tanpa sengaja dan ia tetap memakluminya. Namun, apa yang terjadi kala itu sungguh membalikkan apa yang selama ini dimakluminya. Apa yang selama ini digenggamnya erat-erat, dan apa yang selama ini selalu ditepisnya jauh-jauh.

Malam yang dingin. Di tepi jalan…

Mungkin Marc memang benar mengabaikannya.

Demi orang lain.

“Bagaimana dengan berkas-berkas perceraian milikmu? Apa kau sudah menemui pengacaramu lagi?” lanjut Rachel, grogi.

“Lupakan itu.”

“Kurasa dalam beberapa minggu kedepan semuanya sudah selesai, kan?”

“Apa kita dapat membicarakan hal lain? Sudah kubilang lupakan itu. Kita tidak akan bercerai. Tidak akan pernah. Dan jangan berharap untuk sebuah perceraian,” tegas Marc sekali lagi. Nada bicaranya meninggi, dibalut emosi. Matanya menembus mata gadis itu dengan serius.

“Kenapa?” Rachel bertanya dengan gemetar. Ia terperanjat kaget mendengar suara Marc yang tiba-tiba meninggi. Mulutnya terkunci cukup lama, sebelum pada akhirnya hanya satu kata yang mampu terlontar dari bibirnya.

“Tidak ada kenapa. Aku katakan kita tidak akan bercerai, berarti kita tidak akan pernah bercerai. Jadi, jangan tanyakan tentang hal itu lagi.” Marc semakin tersulut emosi. Gigi-giginya gemeretak kesal.

Sudah beberapa hari kondisi begitu menegangkan diantara mereka berdua. Marc menjadi sangat sensitif terhadap kata perceraian. Kepalanya serasa akan meledak jika membayangkan hal itu benar-benar terjadi.

“Iya. Kita bicara nanti. Aku ingin istirahat di kamar sekarang,” akhir Rachel setelah bungkam cukup lama. Marc tampak masih belum bisa membicarakan perkara ini. Wajah Rachel kemudian tertunduk. Ubin yang berada dibawahnya bagai membelah diri. Berjumlah banyak sekali. Kepalanya mulai berdenyut-denyut.

“Apa kau pusing lagi?” Marc sigap menangkap tubuh Rachel yang nyaris terhuyung kebelakang ketika berdiri. “Hati-hati….”

“Biarkan aku berjalan sendiri,” tolak Rachel saat Marc mencoba menggamit lengannya. Ia baru saja berjalan selangkah saat objek yang berada didekatnya semakin terlihat bergoyang-goyang.

“Kumohon. Biar aku yang memban…,” Marc segera menggendong Rachel begitu tubuhnya nyaris terjerembap dan langsung membawanya ke kamar.

***

“Marc, apa kau bisa pulang sekarang?” 

Marc terdangak. Ponsel yang berada di genggamannya meluncur perlahan keatas meja persegi panjang yang berada di hadapannya. Ia menatap kosong kedepan. 


“Ada apa, Mr. Marquez?” 


Marc terjingkat kaget. Suara itu membuyarkan rajutan alam dunianya sendiri. Ia berdeham, dengan ragu-ragu menyahut, “Ah, tidak ada. Tidak ada apa-apa.” 


Si penanya tersebut kemudian mengangguk, membetulkan letak kacamatanya dan menyimak satu per satu menu dalam daftar makanan yang berada diatas meja. 


“Rachel, aku mungkin akan pulang sedikit terlambat. Maafkan aku. Apa kau baik-baik saja di rumah?” 


Marc menunggu balasan dengan waswas. Pikirannya mulai berkecamuk. Tak lama ponsel hitam itu kembali bergetar. 


“Aku merasa tidak enak badan. Mungkin demam. Jam berapa kau akan pulang? Apa aku minta tolong bibiku saja untuk membelikan obat?” 


Bimbang menyelimuti benak Marc. Ia menarik napas panjang, gundah. Peperangan batin menyerang hatinya, merambat pada pikirannya yang seolah terbagi dua. 


“Iya, aku akan pulang beberapa menit lagi. Sebentar, ya,” balasnya lagi. 


“Mr. Marquez, apa menurutmu kerja sama antara perusahaan kita dapat memenangkan tender berikutnya?” 


Marc refleks menoleh kearah pria berbadan gempal tersebut, seraya menegakkan punggung dan duduk lebih formal. “Aku yakin dengan masa depan kerja sama ini. Kurasa jika kita berhasil memenangkan tender tersebut, hal itu akan berdampak baik bagi kedua perusahaan. Lagi pula, aku juga sudah meninjau segi kelebihan pesaing kita, dan aku mulai mencari celah untuk menerobos kelebihan itu.” 


“Bagus kalau begitu. Dan masalah pembebasan lahan nanti, biar aku saja yang mengurus. Aku juga tengah berunding dengan beberapa orang kepercayaanku untuk secara legal membebaskan lahan penduduk di daerah itu. Kurasa kita telah mengambil keputusan tepat untuk menggunakan strategi yang tidak memicu kemarahan masyarakat setempat.” Lagi, pria itu membetulkan letak kacamatanya yang merosot. 


“Iya, kuharap tidak akan terjadi keributan untuk masalah pembebasan lahan. Aku serahkan perihal itu padamu, namun aku tetap meninjau apa yang akan terjadi selanjutnya,” sahut Marc cepat. Ia berharap acara makan malam ini berakhir secepat kilat. 


“Em, oh ya, apa kau dapat mengantar Miss Roselyn pulang? Aku tidak dapat mengantarnya karena masih ada urusan yang harus kuselesaikan lagi sehabis ini. Tidak ada yang berada di tempat untuk menjemputnya. Jika kau tak keberatan, apa kau mau melakukannya?” 


Deg!


Marc merasa beban berton-ton dijatuhkan padanya. Lubuk terdalamnya bagai ingin menjerit. Jantungnya seperti didentam beton. Apa lagi ini? 


“Kuharap kau tak keberatan,” tukas pria gempal itu lagi. 


~~~


Marc berjalan ekstra cepat menuju mobilnya yang terparkir di bawah pohon bagian samping restoran. Seorang wanita membuntuti dengan sedikit memaksa berjalan. Ia tampak kesulitan mengikuti langkah Marc yang lebar-lebar. Marc beberapa kali memperlambat derap langkahnya, memberi kesempatan wanita itu untuk menyamai posisinya. 


Satu-satunya yang memenuhi kepala Marc saat ini adalah segera pulang ke rumah. Ini sudah dua jam sejak balasan terakhirnya tadi pada Rachel. Entah pembelaan apa yang akan dikatakannya nanti pada istrinya itu. 


“Apa kau buru-buru, Mr. Marquez? Kau tampak sangat bergegas.” 


“Emm, sedikit,” responsnya singkat. 


“Kalau begitu, biar aku pulang naik taksi saja. Kau pulanglah lebih dulu.” 


“Tidak apa-apa. Aku sudah mengiyakan untuk mengantarmu.” 


“Baiklah kalau begitu.” Wanita itu coba berjalan lebih cepat. 


Marc kemudian menyesali apa yang telah diucapkannya. Kenapa ia tidak membenarkan apa yang dikatakan wanita itu tadi? Kenapa masih saja mempertimbangkan orang lain dan mengorbankan kepentingannya sendiri? Ah, ia tetap tidak bisa menolak orang lain yang meminta tolong padanya. Bahkan sekali. Bahkan disaat Rachel sedang sakit sekalipun. 


“Marc….” 


“Rachel?” Marc terenyak. Ia mematung di tempat. 


Kenapa semua datang di waktu yang sama? 


Marc merasa otot-ototnya melemas. 


Rachel mengenakan jaket tebal dan bahkan sarung tangan malam itu. Wajahnya terlihat pucat. Tangannya gemetaran menenteng sebuah plastik putih. Ia tampak begitu lemah. 


“Kenapa kau keluar malam-malam begini? Bukankah kau demam? Aku baru saja akan pulang.” Marc menghampiri Rachel dan membelai rambutnya yang dingin. Ia lalu melirik sebuah plastik yang berada di sisi kanan gadis itu. “Kau tidak harus keluar saat sakit begini hanya untuk membeli obat, Rachel. Kau bisa bilang padaku untuk membelikannya.” 


Bibir Rachel terkunci. Jantungnya bak diremas-remas. Matanya kemudian beralih ke belakang Marc. “Kau bersamanya?” tanya Rachel, pelan sekali. 


“Dia salah satu klienku. Tadi ia tidak bisa diantarkan oleh yang lain, jadi aku dimintai tolong untuk mengantarnya,” papar Marc langsung pada intinya. 


“Lalu apa kau bisa mengantarnya ketika orang lain tidak bisa? Bagaimana denganku, Marc? Apa aku harus mengantri hanya untuk meminta tolong padamu?” 


“Tidak seperti itu. Rachel, aku….” 


“Marc, awas!” 


Tes, tes…


Darah. 


Marc menelan ludah. Napasnya memburu. Kejadian tragis itu berputar-putar di kepalanya. Geram, ia melangkah cepat ke kamar, meraih ponsel Rachel yang tergeletak diatas nakas, mengusap layarnya beberapa kali, lalu menempelkan ponsel itu di telinga.

“Kau pengacaranya Rachel, kan? Ini aku, Marc Marquez, suami Rachel. Aku minta kau batalkan kasus perceraianku. Kalau perlu, bakar saja semua berkas-berkasnya. Dan jangan menolak atau katakan apapun pada Rachel. Kau akan berurusan denganku jika berani melakukannya.”


To Be Continued... 

 

Comments