ONESHOT : Unknown Feel

Hai. Alhamdulillah bisa post lagi di blog setelah hampir satu tahun gak ada post apa-apa. Blogku bagai tak terurus. Aku sempat jarang main blog dan gak tau mau post apa. Udah lama gak nulis dan rasanya ketika balik nulis itu bingung mau nulis apa dan gimana. Tapi pelan-pelan aku usahain untuk nulis biar terbiasa lagi dan pada akhirnya lahirlah cerita ini. Sebenarnya aku gak bener-bener berhenti nulis, cuma kadang-kadang aja coba-coba nulis dan tulisannya pun gantung. Gak jadi satu cerita yang full

Namun, walaupun kayak gitu, aku bersyukur bisa nulis cerita yang full lagi. Oh ya, mau kasih tau sedikit tentang ide ceritanya. Jadi ide cerita ini itu dari diri penulisnya sendiri, yang kadang angin-anginan perasaannya. Masih moody mungkin yaa. Dan pada akhirnya aku tuangin ke sebuah tulisan yang hasilnya kayak gini. 


And… inilah FanFiction perdana setelah sekian lama gak nulis cerita yang full. Mudah-mudahan masih enak dibaca dan masih nyambung, soalnya penulisnya ngerasa canggung untuk nulis lagi setelah lama gak nulis. Happy reading :) 



 


Rachel mengerjapkan matanya lemah, sembari mematut dirinya didepan cermin berbentuk oval untuk kesekian kalinya dalam setengah jam terakhir. Tangannya terkulai lemas dikedua sisi tubuhnya, sementara tatapan matanya diarahkan lurus kedepan.

Lesu. Ia kembali merasakannya.

Entah perasaan macam apa yang sering menghampiri hatinya ini. Rachel selalu gagal mengendalikannya. Perasaan itu semacam suatu keganjilan dalam dirinya.

Sejak remaja dulu, ia sering merasakan hal seperti yang tengah mengganjal hatinya kini. Perkara yang sama. Lagi, menyergap batin.

Rasa itu  datang secara tiba-tiba, lalu berlalu setelah menggeluti dirinya selama beberapa saat seperti angin yang berkesiur. Meninggalkan dirinya sendiri disini dengan bekas-bekas kedatangan rasa tak diketahui tersebut.

Terkadang rasa itu berubah menjadi gundah yang beringas. Bagai mengiris-iris jantungnya dan mengakibatkan sakit yang luar biasa. Rachel sering memegangi jantungnya ketika dibawah kontrol perasaan itu, nyeri.

Pada awal-awal rasa itu muncul, ia tak terlalu menghiraukan dan menganggapnya hanya masalah sepele. Ia urung berpikir lebih jauh dan bahkan terlebih lagi untuk pergi memeriksakan apa penyebab rasa aneh yang dideritanya ini.

Ketika perihal itu datang, dirinya berubah menjadi sosok yang begitu cemas dan terus diliputi oleh ketakutan yang menyala. Entah rasa macam apa yang terus mengganggunya selama ini. Ia juga tak punya jawaban jika ditanya alasan dibalik rasa itu muncul.

“Sayang....”

Lembutnya sentuhan pada pundaknya mengentak lamunan Rachel. Ia sontak terperanjat dan mengangkat wajahnya yang sempat ditenggelamkan kebawah.

“Kau mengagetkanku,” Rachel menyambut sebuah tangan yang tertangkup di pundaknya.

Sosok itu membungkuk, berbisik, “Kau terlalu serius berpikir sehingga tidak menyadari kehadiranku.”

Senyum kecil refleks terulas di bibir gadis itu. “Tidak,” sahutnya pelan.

Hening sejenak. Marc tak berkata apa-apa lagi. Ia menegakkan tubuh perlahan, mengamati wajah Rachel pada pantulan cermin, kemudian bertanya dengan hati-hati, “Apa ada sesuatu yang salah?”

Marc sangat jeli terhadap perubahan sekecil apapun dalam diri gadis yang dicintainya tersebut. Rachel tak melontarkan apapun selain tanggapan singkat, namun Marc tetap dapat membaca dari gerak tubuh dan suasana hati yang terpancar di wajahnya.

Marc memang menaruh perhatian besar pada Rachel sedari dulu. Mereka telah saling mengenal sejak usia remaja dan terus berlanjut hingga kini. Mungkin jika dihitung-hitung, suami istri itu telah mengenal selama kurang lebih delapan tahun. Lima tahun pada fase remaja, satu tahun ketika memutuskan berkomitmen, dan satu tahun lainnya dalam atap pernikahan.

Bisa jadi waktu delapan tahun belumlah apa-apa untuk mengenal secara mendalam diri pasangan, terlebih lagi lima tahun pertama mereka habiskan ketika masih dipengaruhi oleh keadaan mental remaja yang belum stabil. Namun hal itu berbeda dalam kasus kehidupan mereka. Meski baru delapan tahun, Marc sudah cukup paham tipe kepribadian Rachel dan sigap dalam melihat perubahan yang terjadi pada dirinya.

Marc terus mengamati selama beberapa saat, sementara Rachel tampak enggan menjawab. Bahkan, ia menundukkan kepalanya sekali lagi.

“Lihat aku. Katakan apa yang mengusikmu.” Pelan, Marc memutar tubuh gadis itu menghadapnya dan mengangkat dagunya perlahan.

Rachel bungkam. Ia menatap pria yang kini dihadapannya dengan sorot mendung.

Ada seberkas nelangsa yang menyelinap kedalam benak Marc. Hatinya menolak terhadap kemungkinan bahwa rasa yang sama kembali mengusik istrinya. Namun logikanya tahu dengan pasti bahwa apa yang menjadi ketakutan yang ditolaknya itu memang benar alasan dibalik menghilangnya keriangan Rachel.

Rachel selalu terbuka atas apa yang terjadi pada dirinya. Ia menceritakan pada Marc apa yang ia rasakan, apa yang membuatnya sedih atau bahagia, hingga ia selalu membagikan pada Marc walau sekadar tersayat luka kecil. Ia juga tak ragu berkonsultasi dengan Marc untuk perihal yang satu ini.

Rachel berhasil mendapatkan kenyamanan ketika berbicara dengan Marc. Gadis itu merasa Marc dapat mengerti kondisinya dan mampu memberikan masukan-masukan lembut yang mudah diterima oleh hatinya yang rentan. Lain daripada itu, Marc juga pernah beberapa kali hanya mengalirkan kasih sayangnya melalui pelukan hangat tanpa mengatakan sepatah kata apapun dan entah bagaimana hal itu cukup untuk membuatnya merasa lebih baik daripada sebelumnya.

Tak ayal, kebiasaan saling terbuka satu sama lain itu membuat Marc tahu kemungkinan paling besar yang dapat membuat Rachel semurung ini. Ia mengetahui tentang eksistensi perasaan tak diketahui itu dalam diri istrinya.

“Kau mau ikut aku balkon?” tawar Marc seraya tersenyum, coba mempraktikkan cara yang lebih nyaman.

Ketika Rachel juga hanya diam, Marc memutuskan untuk langsung mengambil tangannya dan menuntunnya kearah balkon disamping rumah mereka.

Marc sengaja mendesain balkon untuk berada disamping rumah, alih-alih membuatnya berada didepan atau dibelakang. Terdapat danau buatan yang terhampar tenang dibagian samping, dengan jarak pandang yang mampu menembus cukup jauh untuk menyaksikan taman kota yang tak jauh dari rumah mereka. Dua alasan itulah yang kemudian membuat Marc yakin untuk menempatkan balkon dibagian samping.

“Kau selalu suka berada diatas sini,” ujar Marc memulai ketika mereka tiba di balkon.

Tak ada sahutan selama beberapa detik, sehingga Marc melanjutkan, “Apa kau mau melihat kearahku sebentar dan memberiku sebuah senyuman?”

Kening Rachel berkedut. “Memberi senyuman? Apa maksudmu?”

“Ya, memberi senyuman,” ulang Marc.

Wajah gadis itu diliputi kebingungan. “Bukankah aku selalu memberikannya tanpa kau harus meminta?”

“Benar. Tapi aku tak tampak kesenangan itu sejak tadi pagi. Aku belum mendapatkan senyummu yang murni.”

“Aku ada tersenyum sekali ketika kau datang tadi,” Rachel coba membela diri. Ia masih saja menganggap bahwa Marc tidak mengetahui apa yang terjadi padanya.

Marc mengambil napas dalam, memikirkan apa yang hendak dikatakannya. “Tanpa keriangan. Itu senyum karena keharusan.”

“Tidak,” sangkal Rachel cepat. “Aku tidak pernah terpaksa untuk melakukan hal sekecil apapun jika untukmu. Aku tulus tersenyum padamu.”

“Apa kau tahu sesuatu?”

“Beritahu aku.”

Marc mengalihkan kembali tatapannya pada Rachel setelah sempat memandang kedepan, memberinya tatapan redup. “Aku…,” jedanya seraya menggapai tangan gadis itu, “aku… apa kau tahu bahwa aku merindukan senyummu yang sesungguhnya? Kebahagiaanmu, kesenangan yang terpancar pada matamu. Aku merindukannya.”

“Kau bercanda.” Kepala gadis itu refleks jatuh kebawah.

“Apa aku pernah berbohong padamu?”

Rachel diam beberapa saat. Hatinya mengakui bahwa Marc belum pernah berbohong padanya. Pelan, ia bertanya, “Kenapa kau merindukannya?”

“Karena itu adalah milikku. Ayolah, kembalikan apa yang seharusnya menjadi milikku, Rachel.”

Marc berbicara dengan nada menuntut, seolah-olah Rachel telah mencuri sesuatu yang berharga darinya. Gadis itu sadar apa yang dimaksudkan suaminya, hingga ia tak sanggup menahan gelak ringan untuk tak terlontar dari bibirnya. “Kalau begitu, kini kau tak lagi merindukannya karena kau sudah mendapatkannya? Aku sudah tersenyum, bahkan tertawa.”

“Tidak sesederhana itu. Apa kau pernah dengar cerita seorang pria yang tetap memendam rindu berkelanjutan meski ia sudah bersama kekasihnya?”

“Itu berarti bukan si kekasih yang diharapkan pria itu,” komentar Rachel.

Marc menyangkal penuh percaya diri, “Tidak seperti itu. Pria itu sangat mencintai kekasihnya, namun ia terus merindukannya meskipun sudah bersama-sama.”

“Cerita apa itu. Apakah ia benar-benar merindukan kekasihnya atau justru orang lain yang dirindukannya?” Rachel menunjukkan reaksi tidak setuju.

“Pria itu mencintai kekasihnya, hanya saja ia tetap rindu. Apa kau tahu kenapa?”

“Karena ia tidak merindukan kekasihnya, tapi orang lain,” sahut Rachel cemberut.

“Pernah dengar pengaruh rasa takut kehilangan?”

Rachel berpikir sejenak, “Rindu adalah rindu, sementara rasa takut akan kehilangan adalah perasaan yang berbeda. Dua rasa itu tak dapat disatukan.”

Marc meraih pinggang gadis itu. “Kedua hal itu saling berhubungan. Kau mau tahu kenapa si pria tetap saja rindu?”

“Kau harus memberiku alasan yang logis.”

“Hmm, itu karena... pria itu merasakan rindu yang mendalam, namun ia juga dipengaruhi oleh rasa takut akan kehilangan. Ia rindu, dan rindu itu tak pernah memudar karena ia takut kehilangan kekasihnya. Oleh karena itu ia terus rindu, dan selalu bersikap layaknya orang yang tengah merindu, karena ia takut kehilangan kekasih yang selalu dirindukannya. Bagaimana? Logis, kan?”

Rachel memandangi Marc dengan pandangan heran. Ia mencerna apa yang dipaparkan oleh suaminya itu. Beberapa saat, ia menyangkal lagi, “Tidak seperti itu. Itu sama sekali tidak berhubungan. Siapa yang mengatakan cerita seperti itu padamu?”

“Aku.”

“Kau?”

“Iya, aku yang mengatakannya. Barusan. Berdasarkan pengalaman pribadiku, yang kurasakan setiap harinya bersama istriku,” sahut Marc enteng, terkekeh, lalu mengacak-acak rambut gadis itu.

Rachel tercengang. Marc mengutarakannya dengan begitu mudah, sementara ia sudah berpikir serius.

“Jangan terlalu serius. Aku benar, kan. Pria itu adalah aku, jadi tetaplah bersama pria itu, ya,” Marc mengusap-usap rambut Rachel yang tertiup kersik angin.

“Kau ada-ada saja. Aku pikir kau serius!” Rachel berontak tak terima, mencubit lembut pinggang Marc.

Marc terbahak. “Aku memang serius. Aku serius merindukanmu dan takut kehilanganmu. Katakan padaku di bagian mana kesalahanku.”

“Kesalahanmu adalah kau membiarkan aku berlarut dalam keseriusan sementara kau....”

“Sementara aku mencintaimu,” timpal Marc seraya mengecup kening gadis itu.

“Oh ya ampun, Marc. Kau ini. Aku marah padamu.”

“Jangan tunjukkan ekspresi itu, atau aku akan semakin merindukan setiap hal dari dirimu. Dan, em, jangan marah, ya, atau aku akan....”

“Kau akan apa?” Rachel bersikap uring-uringan.

“Aku akan memelukmu,” Marc tertawa, kemudian langsung mendekap gadis itu dalam pelukannya.

Rachel mengulum senyum. Marc memang selalu memiliki cara untuk membuatnya diam seribu bahasa. “Kau ini...,” gemas Rachel sembari mencubit perut Marc.

Marc melepas gelaknya. Mereka larut dalam tawa yang renyah. Pada akhirnya Rachel tenggelam dalam kesenangan tanpa ia sadari.

“Aku mencintaimu, Rachel. Teruslah bergembira seperti ini, Marc membatin sembari mengecup rambut istrinya.

“Oh ya, apa kau mau duduk bersantai disini sembari menikmati segelas susu dan biskuit?” tawar Marc setelah tawa mereka mereda.

Rachel mendongak menatap Marc, “Tentu saja.”

“Kalau begitu, ayo temani aku masuk kedalam lalu kembali lagi kesini.”

Segurat senyum lebar muncul di sudut-sudut bibir Rachel. Ia mengangguk semangat. “Kali ini giliranmu yang menyiapkan camilan, kan.”

Marc terkekeh geli. “Kau akan mendapatkannya, Kesayangan.”


END

 

Comments