ONESHOT : All I Need

Hi! Alhamdulillah I have written a new FF and ready to post. I am sorry kalo alurnya terlalu cepat dan kurang jelas. Udah lama ga nulis, kata-katanya banyak yang diulang, dan agak klise. But, hope FF ini lumayan good to read.

Happy reading!! :)




“Iya, Bu, aku akan menjaga diriku baik-baik. Aku akan ke kamarku sekarang.”

Begitu cara Marc mengakhiri percakapan dengan ibunya beberapa menit yang lalu. Pembicaraan mereka nyaris selalu berlatar topik yang sama, hingga Marc pun terkadang merasa tak nyaman dengan sikap ibunya yang menurutnya berlebihan dalam melindunginya.

Memang, orangtua mana yang tidak akan melindungi dan memberi perhatian pada anaknya, terlebih jika mempertimbangkan kondisi kesehatan sang anak. Namun, Marc merasa ia sudah dewasa, dan ia dapat menjaga dirinya sendiri.

Yah, kekhawatiran ibunya memang melonjak drastis belakangan ini, mengingat apa yang baru saja terjadi.

Marc berhenti tepat didepan pintu kamarnya yang polos. Tampak sepi dan kosong. Tak ada lagi tali hiasan berisi nama dan kata-kata disana. Hanya kayu bercat cokelat gelap yang dingin.

Pelan-pelan ia menarik kenop pintu, sedikit dengan tangan bergetar, kemudian melangkah masuk dengan lesu.

Ruangan ini. Sudah lama tidak melihatnya. Marc bahkan tak begitu ingat kapan terakhir kali ia bersantai di kamarnya sendiri.

Sudah sangat berbeda rupanya. Perubahannya begitu drastis.

Marc menghela napas dan bersandar di punggung pintu, menyebar pandangan ke setiap jengkal ruangan, dan coba mengingat kembali situasi kamarnya sebelum “badai” kejam itu datang menerpa.

Dulu, ada lukisan yang dibingkai dengan dominasi warna biru di sudut sebelah kanan, tepat disamping lemari. Pemberian pertama gadis itu.

Diatas nakas yang berdiri disamping tempat tidur, ada sekitar tiga buah foto yang menghiasi.

Tak pelak di dinding kamarnya, terdapat hiasan berupa kata-kata yang sengaja ditempah khusus oleh mereka, juga foto-foto yang tergantung manis.

Dulu kamar ini begitu penuh dengan barang-barang mereka. Tak ada setiap jengkalnya yang luput dari bayangan gadis itu.

Kamar ini merupakan kamarnya juga.

Dulu.

Marc melangkah kearah lemari dengan sedikit tertatih. Ragu-ragu, ditariknya pintu lemari. Nihil. Bahkan kenangan terakhir pun telah lenyap tanpa sisa.

Tak ada lagi yang tertinggal. Semua musnah dalam sekejap. Marc sama sekali tak tahu kapan tepatnya semua barang-barang berharganya hangus tak bersisa. Namun, hatinya mengatakan pasti ibunya yang memindahkan semua barang-barang mereka, di hari ia mengumumkan bahwa ia tidak memiliki gadis itu lagi.

Kenapa? Kenapa senyeri ini?

Kini ia sudah benar-benar kehilangan gadis itu. Marc tak dapat lagi melihat sosoknya. Nyaris tak mungkin mengembalikan Rachel menjadi miliknya. Entah kapan ia akan menatap gadis itu lagi.

Segera. Ia hanya dapat berharap.

***

“Marc? Apa yang sedang kau lakukan? Kenapa kau mengunci pintunya?” panggil wanita separuh baya itu, seraya mengetuk pintu beberapa kali.

“Sebentar, Bu. Aku akan segera keluar.” Marc menyelesaikan gulungan terakhir pada lengan kemejanya, mematut dirinya sekali lagi di depan cermin, kemudian berbalik dan memutar kunci kamarnya.

“Kau mau kemana?” tanya wanita itu refleks, syok melihat putranya yang sudah berpenampilan rapi.

“Aku ingin berjalan-jalan sebentar, Bu. Menghirup udara luar, kurasa itu akan berdampak baik, bukan?”

“Kau baru kembali kemarin, Marc. Kau harus beristirahat di rumah, bukannya justru pergi seperti ini. Kau akan kelelahan nanti,” cegat sang Ibu. Raut wajahnya tampak nelangsa dan cemas.

Sudut bibir Marc tertarik kesamping dengan perlahan. Ia coba memberi senyum terbaiknya. “Aku tidak apa-apa, Bu. Aku janji tidak akan kelelahan. Aku sudah merasa jauh lebih baik sekarang. Kumohon, Bu....”

Marc harus keluar hari ini. Bagaimana pun cara membujuk ibunya, ia harus mendapatkan izin untuk meninggalkan rumah hari ini.

Marc menatap ibunya dengan sorot berbinar, mengilatkan kesungguhan yang luar biasa.

“Ibu, kumohon...,” pinta Marc lagi.

Sang Ibu tak berdaya berkeras. Hatinya akan selalu luluh jika mendapat tatapan berbinar dari putra semata wayangnya ini. Ia akan melakukan apapun demi kebaikan Marc. Terlebih, jika ia mempertahankan egonya dan terjadi percekcokan, ia takut hal itu justru akan mempengaruhi kesehatan Marc.

“Kau mendapat izinku. Tapi, jangan sampai terlalu lelah. Berjanjilah, kau akan menjaga dirimu dengan baik. Ibu tak ingin kau berbaring di rumah sakit lagi, Marc,” wanti ibunya.

“Aku berjanji. Aku pergi dulu, Bu.” Marc lekas berjalan cepat kearah pintu rumahnya setelah memeluk sang Ibu.

Hari ini, harapannya melambung tinggi.

Meski kemungkinan terbilang kecil dan Marc sangat sadar akan hal itu, ia tetap tak peduli.

Apa salahnya mencoba? Memangnya kenapa? Ia akan berkorban semua yang ia bisa.

Marc percaya pada gadis itu. Marc percaya pada cinta mereka.

Rachel, kumohon datanglah ke tempat kita. Kumohon, Sayang. Aku sangat merindukanmu, batin Marc menggebu.

***

Semua tampak begitu kompleks di mata Marc. Kebersamaan mereka terasa bagai embusan angin yang melintas kencang, menyibak mekar bunga di hati masing-masing, kemudian menyisakan rindu dan kenangan yang abadi.

Badai itu begitu buas menerkam ikatan mereka. Mereka terpental dan terpisah begitu jauh. Bahkan Marc tak ingat kapan terakhir kali membisikkan kalimat cinta di telinga gadis itu. Sudah begitu lama.

Rachel bukanlah orang pertama yang dilihatnya ketika sadar. Rachel tak ada disana untuknya. Gadis itu sama sekali tak menemaninya selama berada di rumah sakit.

Tapi, ia tak akan pernah menyalahkan Rachel atas apa yang terjadi. Ini murni merupakan kesalahan dan kecerobohannya. Cinta macam apa yang selalu diutarakannya pada gadis itu, namun ternyata tak mampu meyakinkan hatinya untuk percaya seutuhnya ketika masalah menghadang?

Penyesalan seolah meremas jantung Marc, mendentam kembali sakit yang memang sudah ada pada salah satu organ terpenting itu.

Marc memegangi dadanya, coba meredam nyeri yang terasa pada jantungnya.

Kemana dia? Kemana cintanya?

“Aaaa....”

Marc menangkap secercah suara dari belakang. Hatinya terusik begitu mendengar suara itu. Bukan perihal itu merupakan setengah teriakan, melainkan siapa si pemilik suara. Marc seperti mengenalnya.

Marc berbalik dengan cepat, menghampiri seorang gadis yang tengah berlutut di bawah pohon yang rindang.

Marc tak dapat melihat wajahnya, sebab sang gadis masih membersihkan debu dan bercak tanah pada sikutnya, namun Marc telah menyodorkan tangan untuk membantu.

Marc percaya pada cinta mereka. Dan, mungkin ini adalah buktinya.

Gadis itu menyambut uluran tangan Marc dan coba berdiri perlahan, kemudian menatap pria yang menolongnya dan terkesiap tanpa suara.

Mata mereka saling terkunci dalam diam. Keduanya terperanjat kaget dan sontak membisu.

Marc merasa lututnya lemas dan jantungnya yang tengah memulih pun justru memompa dua kali lebih cepat. Mulutnya tak mampu melontarkan sepatah kata pun selama beberapa waktu.

“Rachel...?” panggil Marc gelagapan. “Rachel?”

“Marc....”

“Rachel, kau… aku merindukanmu. Aku sangat merindukanmu,” Marc spontan memeluk gadis itu erat, meluapkan sesak yang dirasakan pada jantungnya selama ini.

Rachel tak membalas, ia justru coba melepaskan diri dan berbalik. “Sudah lama tidak bertemu. Kuharap kau baik. Aku harus pergi sekarang.”

Marc menatap punggung Rachel yang menjauh darinya. Tidak, ia tidak akan kehilangan lagi. “Aku tidak baik, Rachel. Aku sama sekali tidak baik. Aku nyaris tak akan pernah melihatmu lagi untuk seumur hidupku. Aku nyaris kehilangan hidupku.”

Bilah bambu bagai menyayat paru-paru Rachel dalam hitungan detik, ia sulit bernapas. Kehilangan hidup?

“Apa maksudmu dengan kehilangan hidup?” Rachel refleks berputar dan memandang Marc dengan selidik.

“Aku... iya, aku nyaris kehilangan hidupku.”

“Apa yang kau katakan? Apa maksudmu?” desak Rachel.

Marc memotong jarak diantara mereka, coba lebih dekat. “Lupakan itu. Aku sudah menunggu untuk bertemu denganmu lagi. Aku sangat rindu, kau tahu?”

“Katakan yang jelas, Marc. Apa kau hanya bergurau dan mempermainkanku?” Rachel mundur selangkah, tak melepaskan pandangan pada mata pria itu.

Seulas senyum muncul dari sudut-sudut bibir Marc. Matanya berkilat girang. Rachel masih peduli sebesar kepeduliannya yang dulu. Gadis itu masih sama. “Aku sangat senang dapat melihatmu lagi. Rachel, aku mencintaimu.”

“Jangan pernah katakan itu. Aku tahu kau berbohong. Lupakan saja hal itu.” Rachel membuang pandangan, mundur sekali lagi. Ia tak ingin terseret pada kesalahan yang sama.

“Rachel... apa kau mau mendengar satu hal saja lagi dariku? Apa kau akan percaya sekali ini saja? Aku mohon, dengarkan aku.” Marc coba menggapai lengan Rachel.

“Aku tidak tahu. Kita bicara lain kali, Marc.”

Marc tak melepas lengan gadis itu. Tidak, tidak lagi.

“Kumohon, sekali ini saja, dengarkan aku sebentar.”

Rachel mengalami peperangan batin yang menekan. Apa yang harus dilakukan sekarang?

“Rachel,” Marc menggenggam erat tangan gadis itu, “aku selalu mengatakan cinta padamu, kan? Aku selalu berkata aku mencintaimu, merindukanmu, menyayangimu, mempercayaimu, dan kau adalah prioritas dalam hidupku. Tapi, aku menghancurkan semuanya. Aku melanggar semua janjiku, menghamburkan harapan kita, mematahkan cintamu. Aku sangat menyesali hari itu. Sungguh, aku tak seharusnya percaya pada orang lain dan menyia-nyiakanmu. Aku minta maaf, Rachel. Aku benar-benar minta maaf....”

“Aku harus pergi, Marc. Aku harus pergi sekarang.”

“Tidak, kau tidak akan pergi kemana-mana. Kau akan disini bersamaku. Kau akan selalu bersamaku. Aku akui semua kegetiran diantara kita adalah salahku. Semua kesedihanmu adalah kesalahanku. Aku akan menebusnya. Aku berjanji akan menebus semuanya, Rachel....”

Rachel refleks mengangkat mata, menatap Marc dengan serius. “Apa kau pikir akan mudah untuk menebusnya? Aku kau pikir kau akan mengobati semua luka-lukaku yang aku sendiri tidak tahu apakah luka ini akan membaik atau tidak? Apa kau sungguh berpikir semua akan gampang dan selalu dalam kendalimu? Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Marc?”

“Aku sadar ini adalah salahku. Aku akui tidak mudah untuk mendapatkan cinta dan kepercayaanmu lagi. Aku tahu aku telah sangat menyakitimu dengan tidak percaya padamu. Rachel, aku sungguh-sungguh minta maaf. Maafkan aku.”

Rachel mencebik bibir bawah, merasakan dilema menusuk batinnya. Kenapa Marc harus mengatakan ini setelah apa yang terjadi? Apa saat itu ia benar-benar tak dapat mempertimbangkan cinta mereka? Mata Rachel memanas, air matanya mendesak untuk meluncur turun.

“Aku tidak tahu apakah aku pantas mendapatkannya atau tidak, tapi aku akan mengatakan ini. Berikan aku satu kesempatan lagi, Rachel. Berikan aku satu kepercayaan lagi. Aku berjanji aku tidak akan merusaknya. Aku berjanji. Kau bisa pegang janjiku yang ini. Jika aku kembali melakukan hal yang sama, kau bisa melakukan apapun yang kau mau. Kau bisa tinggalkan aku untuk selamanya. Tapi kali ini, aku tidak akan kehilanganmu lagi. Kumohon, Rachel, maafkan aku. Tinggallah disini untukku. Tinggallah disini bersamaku,” pinta Marc dengan sorot berbinar, namun menyiratkan keseriusan yang utuh.

Rachel gagal menahan air bening untuk tak meluncur membasahi wajahnya. Dengan cepat, ia menyapu air mata yang mulai membanjir.

“Jangan menangis. Aku tak ingin melihatmu menangis. Maafkan aku, ya. Aku berjanji tak akan melakukannya lagi....”

Dilema semakin dalam bergejolak dalam diri Rachel. Apa yang harus dilakukannya? Ia mencintai Marc. Ia sungguh mencintai pria itu dengan tulus. Namun, cintanya itu telah dipatahkan begitu saja. Meski saat itu Marc mungkin benar-benar kehilangan kontrol dirinya, tapi tetap saja hal itu membuatnya sedih. Ia takut ia tak akan pernah memiliki Marc lagi.

“Kau percaya padaku, kan? Kau mencintaiku, kan? Apa kau ingat harapan-harapan yang kita susun dan selalu kita usahakan, Rachel? Kita akan membangunnya lagi. Kita akan merealisasikan harapan kita. Kita akan mengusahakannya bersama, kan? Kembalilah. Tinggallah bersamaku.”

“Apa... apa kau bersungguh-sungguh mengatakannya?”

“Tentu saja. Kau dapat pegang kata-kataku. Kita akan bersama, Rachel. Aku janji tak akan mengulanginya lagi.”

Mereka saling beradu tatapan. Sorot mata keduanya menyiratkan keseriusan dan ketulusan yang serupa. Mereka saling mencintai. Betapa sering pun Marc melukai hatinya, Rachel tetap akan kembali. Ia akan selalu mencintai Marc dengan cara dan cinta yang sama.

“Berjanjilah, berjanjilah, yaa.”

“Aku berjanji,” balas Marc yakin.

“Marc....”

“Iya?”

“Apa yang terjadi padamu? Apa maksud ucapanmu tadi ketika kau katakan kehilangan hidup? Apa kau serius?” Rachel menatap Marc dengan kecemasan yang dalam. “Apa, apa perihal jantungmu?”

Marc tersenyum simpul, mengangguk perlahan. “Benar. Aku berada di rumah sakit untuk waktu yang cukup lama. Bahkan aku harus meminum banyak obat. Ketika aku sadar bahwa aku telah melakukan kesalahan, dan aku tidak dapat menghubungimu, bahkan setelah aku mencari ke rumahmu, aku tetap tidak menemukanmu, tak lama jantungku terasa sakit sekali. Sepertinya rasa sakitnya kambuh kembali.”

“Maafkan aku. Aku tak ada disana ketika kau sakit. Maafkan aku, Marc,” Rachel tampak begitu ketakutan.

“Ini adalah salahku. Tidak apa-apa, Rachel. Kini aku juga sudah sembuh, kan. Yang terpenting bagiku adalah, kita kembali bersama. Kau akan selalu ada disampingku.” Marc coba menenangkan, memeluk Rachel.

“Jangan sakit lagi. Sehatlah, Marc. Jaga dirimu. Aku janji tidak akan jauh lagi.”

“Tetaplah disini bersamaku, ya. Berjanjilah padaku.”

“Aku berjanji. Dan berjanjilah untuk selalu berusaha tetap sehat.”

“Aku akan mencoba. Selama aku memilikimu.” 


END


Comments

Post a Comment