ONESHOT : New Life With You

Hi! Alhamdulillah new FanFiction is ready to post. The idea was suddenly, dan awalnya juga gatau endingnya akan kayak mana. Sebenarnya mau nambah satu adegan untuk perkuat karakter Marc, tapi kayaknya it is gonna be a long story dan kepanjangan kalo dibuat ONESHOT. Then terakhir buat ending yang kayak gini.. 

Happy reading! Hope it is good to read :)






Marc menyebar pandangan matanya ke setiap jengkal bangunan yang berdiri gagah di hadapannya. Rasa yang sempat meluluhlantakkan relung hatinya kembali datang menyergap. Ia berdiri dengan bibir terkatup rapat.

Rumah ini. Tempat dimana ia lahir dan tumbuh besar. Rumah yang ia harap tak akan pernah dilihatnya lagi kini justru tersaji di depan matanya.

Tempat ini sangat menyedihkan bagi Marc. Rumah yang ada di hadapannya sekarang merupakan saksi bisu masa kecilnya yang kelam. Alasan dibalik sifat tak acuh yang dimilikinya. Ia bahkan tak ingat sudah berapa kali menjadi santapan kemarahan disini.

Menjadi pribadi yang kasar bukanlah kebanggaannya. Tumbuh besar dalam tekanan dan pada akhirnya membentuknya menjadi seorang pria yang seolah mati rasa tak pernah sekalipun terlintas di benaknya.

Jika diputar kembali, ia juga tidak tahu akan menjadi pria yang keras dan arogan seperti ini.

“Marc....”

Jantung Marc bagai dihantam beton saat tiba-tiba mendengarnya. Suara itu. Kelembutan itu. Panggilan yang sama.

“Kau sudah pulang?”

Marc semakin mematung di tempat. Hatinya mencelus membayangkan siapa yang tengah berdiri di belakangnya sekarang. Punggungnya kaku dan ngilu.

“Kau tidak ingin berbalik sekali saja dan melihatku?”

Marc tetap bungkam. Lidahnya kelu. Ia yakin betul siapa yang tengah berbicara dibalik punggungnya. Tidak salah lagi.

“Jika kau tidak ingin berbalik, tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan, selamat datang kembali. Sudah lama tidak bertemu. Kuharap kabarmu baik.”

Gigi Marc gemeretak ketika kemudian mendengar derap langkah yang menjauh. Hati kecilnya terusik.

Tidak, tidak, jangan pergi, jeritnya tak bersuara.

“Rachel?”

Langkahnya terhenti, sosok itu berdiri beberapa meter darinya.

Marc menatap gadis itu dengan mata berbinar. Arogan yang selalu terpantul pada matanya yang cokelat mendadak tak terlihat. Lenyap dalam sekejap.

Rachel berbalik perlahan, ragu-ragu mengangkat wajah dan membalas tatapan pria itu.

Seulas senyum kecil muncul perlahan dari sudut-sudut bibir Rachel. Senyum yang canggung namun manis.

Marc terenyak melihatnya. Gejolak rindu dalam hatinya kembali menguar.

“Aku... aku....”

“Berhenti disitu. Aku tahu apa yang ingin kau katakan. Aku juga ingin mengatakan hal yang sama,” sela Rachel, tersenyum lebih rileks.

Marc bergerak selangkah demi selangkah, kian memotong jarak hingga mereka hanya terpaut tiga meter.

“Dari mana saja kau? Kenapa baru kembali sekarang? Apa kau begitu sibuk di luar sana?”

“Tolong jangan berkata seperti itu. Kau tahu kebenarannya. Kau mengerti alasan mengapa aku tidak pernah kembali,” sahut Marc cemas.

“Benar. Dan aku juga mengerti satu hal lainnya.”

“Apa itu?” Alis mata Marc yang tebal berkedut penasaran. Kakinya ingin melangkah lebih dekat, namun dorongan lain dalam dirinya menolak. Sebentar lagi.

Rachel hening beberapa saat. Ia memandang pria di hadapannya dengan sorot tak terbaca. Marc sama sekali tidak mengerti apa maksud tatapan itu.

“Apa hal lain yang kau tahu?” ulang Marc hati-hati. Ia balas memandang Rachel penuh selidik, memastikan bahwa gadis itu tak salah paham terhadapnya.

“Bahwa kau... kau, meninggalkan aku sendiri disini. Mungkin aku tahu alasan dibalik kau pergi begitu saja, tapi yang tidak kumengerti pada awalnya adalah, kenapa kau meninggalkan aku disini tanpa sepatah kata pun. Kau tidak mengatakan apakah kau akan kembali atau tidak, kau juga tidak memberitahu kemana kau akan pergi, dan aku mulai menerka-nerka alasan dibalik kepergianmu semenjak hari itu.”

“Aku tidak meninggalkanmu. Aku sama sekali tidak pernah meninggalkanmu sendiri disini,” pekik Marc tergesa, lupa bahwa ia telah setengah berteriak. Namun setelah sejenak, dan mendapati Rachel tak merespons apapun selain menatapnya dengan diam, Marc tersadar dan menarik napas panjang. “Maksudku, aku tidak berniat melakukannya. Aku sama sekali tidak bermaksud meninggalkanmu disini.”

“Lalu kenapa kau tetap melakukannya? Apa begitu sulit bagimu untuk menghubungiku sebelum kau pergi? Apa kau tak pernah terpikir apa yang aku rasakan setelah kepergianmu yang tiba-tiba? Apa... apa kau pikir, kau akan selalu ada di hatiku dan aku akan terus menunggumu yang tak pasti hingga akhir hidupku? Apakah aku sebodoh itu?”

Spontan Marc merasakan dunia berhenti. Dinding beton seolah menghimpit tubuhnya dan membuat paru-parunya haus akan oksigen. Ia tidak percaya apa yang baru saja ditangkap oleh telinganya.

“Kenapa, Marc? Kenapa kau melakukannya dan membuatku kehilangan harap serta keyakinanku?” cecar Rachel. Nada suaranya masih terkategori tenang, namun ketenangan itulah yang justru membuat Marc semakin kelabakan dan berkeringat dingin.

Jantung Marc bak tertohok sebilah bambu, begitu sakit hingga  darahnya berdesir kencang tak terkendali.

“Kebungkamanmu semakin membuatku yakin akan dugaan yang terus kupertimbangkan selama ini. Semua sudah berakhir. Tak ada lagi tempatku di hatimu, dan begitu pula kau. Untungnya aku bisa mengatasi rasa sakit itu dan pada akhirnya mengeluarkanmu dari hatiku.”

“Hentikan!”

Rachel terkesiap mendengar suara Marc yang tiba-tiba menjadi begitu tinggi. Ia nyaris terjerembap jika tak sigap menahan bobot tubuhnya. Marc... pria itu berteriak padanya?

Marc maju dengan kecepatan tak terduga. Dua meter telah sirna diantara mereka. Kini giliran jantung Rachel yang memompa dua kali lebih cepat. Apa, apa ia benar-benar telah memancing amarah pria itu? Raut wajahnya begitu keras dan matanya berkilat tajam.

“Aku tahu kau sedang berbohong. Kau bohong saat mengatakan kau bisa mengatasi rasa sakitmu dan tidak mencintaiku lagi. Kau masih sama, masih seperti yang dulu, sama sekali tak berubah. Aku sangat yakin hal itu. Kau, dan aku, masih memiliki perasaan, harapan, dan tujuan yang sama. Aku tidak percaya apa yang barusan kau katakan meski kau beribu kali mengatakannya,” tegas Marc bulat.

Mata mereka terkunci satu sama lain. Rachel dapat merasakan haru memenuhi setiap organ tubuhnya. Tak ada keraguan dalam kata-katanya. Marc melontarkannya dengan begitu lugas dan penuh keyakinan. Ia sama sekali tak menyangka.

“Katakan padaku kau baru saja berbohong. Aku tahu kau masih mencintaiku dan begitu pula aku. Jika kau benar-benar telah menghapus aku dan semua kenangan kita, kau tak akan berdiri di hadapanku sekarang. Kau akan pergi dan tidak datang kesini. Apa kini kau mau mengakui perasaanmu yang sebenarnya?” tuntut Marc lagi.

Rachel semakin terpojok dan diam di tempat. Marc… kenapa dia mengatakannya? Kenapa dia menanyakan sesuatu yang memang ia selalu tahu jawabannya?

“Bahkan jika kau tidak ingin mengatakannya, aku selalu tahu apa yang sebenarnya kau rasakan padaku. Aku tidak akan memaksa, karena aku akan selalu berpegang pada keyakinanku. Bahwa kau, kau masih memiliki perasaan yang sama. Bahwa kau, akan selalu menjadi gadisku.”

Rachel butuh waktu untuk mengumpulkan diri sejenak, “Lantas mengapa kau tak pernah kembali? Kenapa kau pergi begitu saja dan meninggalkan aku sendiri disini? Apa itu yang kau sebut dengan perasaan yang sama?”

Marc memejam, menyusun matang kata-kata yang akan dilontarkannya. “Rachel, dengar,” Marc kemudian menggapai tangan Rachel dan menuntunnya untuk duduk di bangku panjang di pekarangan, “dengarkan aku baik-baik. Apa kau pikir ada yang dapat menggeser posisimu setelah hanya kepadamu aku dapat bersikap lembut? Apa kau sungguh berpikir aku dapat melupakan dan melepasmu begitu saja? Aku bahkan tak dapat mengontrol diriku ketika berhadapan dengan ayahku sendiri, dan kau tahu itu. Kau tahu semua yang terjadi, kau mengerti alasan dibalik sikapku yang keras, dan kau juga tahu hanya kau satu-satunya tempatku berbagi....”

Marc sengaja menggantung ucapannya, sembari menunggu tanggapan Rachel. Gadis itu hanya diam dan menyelami kedua bola mata Marc.

“Aku akan mengatakan semuanya padamu. Aku sama sekali tidak meninggalkanmu. Saat itu benar-benar mendadak karena aku harus segera menangani urusan keluargaku. Aku tidak tahan terus menjadi objek kemarahan dan pelampiasan. Aku ingin mengakhirinya, dan ya, itu sudah selesai sekarang. Apa kau tahu alasanku kembali kesini?”

Rachel tak menyahut, mencerna baik-baik arah pembicaraan mereka.

“Tidak ada alasan bagiku untuk kembali kesini. Kau tahu betapa kesalnya aku pada apa-apa yang telah terjadi di kota ini. Jangankan untuk menetap, menginjakkan kaki saja disini lagi rasanya aku tak pernah mau. Tapi, aku harus kembali. Aku tetap harus kembali karena kau masih disini. Kaulah alasanku kembali, Rachel. Kaulah satu-satunya alasanku ingin kembali kesini,” ungkap Marc panjang lebar.

Kaulah satu-satunya alasanku... 

Secercah haru semakin membuncah dalam diri Rachel. Cara Marc mengucapkannya begitu yakin dan berani. Sebesar itukah rasa cintanya? Perut Rachel menggelenyar membayangkan pengorbanan yang telah Marc lakukan untuknya.

“Lalu, apa kau akan pergi lagi? Apakah aku cukup untuk tetap menahanmu disini?” tanya Rachel menguji.

“Tentu saja aku akan pergi. Untuk apa memangnya aku tinggal disini lagi. Itu sama saja dengan aku datang pada masalahku yang baru. Tidak, aku tidak akan mempertaruhkan hidupku lagi. Aku akan pergi besok.” Marc membuang napas berat, mengusap pelipis dan mengenyahkan garis peristiwa kelam yang akan segera timbul.

“Kau akan pergi besok? Kau akan pergi lagi?” Rachel terjingkat kaget.

“Iya, aku akan pergi besok.”

Raut wajah Rachel berubah drastis. Ia tampak begitu syok dan kelimpungan, namun Marc justru memandangnya seraya mengulum senyum. Ekspresi gadis itu begitu nelangsa, namun entah kenapa Marc justru merasa ekspresi itu sangat menggemaskan, sampai-sampai ia harus menelan tawanya.

Lagi, gadis itu masih sama. Sifat dan sikapnya sama sekali tak berubah. Ia bereaksi berlebihan jika menyangkut hubungan mereka.

Dan, satu bukti lagi. Rachel begitu syok ketika tahu ia akan pergi besok. Itu berarti gadis itu masih mencintainya. Ia tidak ingin mereka terpisah lagi.

“Kau sungguh akan pergi?” waswas Rachel.

“Iya, dan tidak sendiri. Aku akan pergi denganmu. Aku tidak akan meninggalkanmu disini.  Aku tidak akan pergi jika tidak bersamamu. Bahkan jika kau tidak ingin ikut sekalipun, aku akan tetap tinggal. Satu yang pasti, aku tidak akan kehilanganmu lagi.”

Semilir angin datang menerpa. Keheningan tercipta diantara mereka. Rachel sibuk dengan perasaannya yang tak tergambar karena kata-kata pria yang setia ditunggunya selama ini. Penantiannya tidak sia-sia.

“Kau mau ikut denganku, kan? Rachel, kau bersedia tinggal untukku, kan?”

Sebulir air bening meluncur membasahi pipi Rachel. Pertahanannya ambruk. Air matanya terus mendesak untuk mengalir.

Marc… pria itu. Inikah hari yang selalu ditunggunya?

“Jangan menangis. Aku tidak ingin melihat air matamu. Aku datang untuk membawamu bersamaku. Kembali bersatu dan memulai hidupku yang baru. Apakah kau mau menerimanya, Rachel?” Secara tak terduga Marc berlutut perlahan, menyodorkan tangannya di hadapan gadis itu.

Rachel memfokuskan pandangan pada tangan Marc yang disodorkan padanya. Apa ia benar-benar serius?

“Apa... apakah kau yakin? Apa kau bersungguh-sungguh mengatakannya?” gelagap Rachel.

“Aku yakin, Rachel. Aku sangat yakin. Aku sudah memikirkannya berulang kali. Bahkan aku sudah mempertimbangkan dari sudut pandangmu. Kita memiliki latar belakang yang nyaris serupa, kan? Kuharap kau bersedia menerimanya.”

Kupu-kupu seolah terbang riang di dalam diri Rachel. Mungkin ini adalah awal yang baru bagi kehidupan mereka berdua. Inilah saatnya untuk melepaskan yang sudah berlalu dan beranjak maju kedepan.

Rachel kemudian menyambut tangan Marc dengan gemetar, menautkan jari-jari mereka.

Bibir Marc refleks tertarik kesamping begitu Rachel bersedia menjabat tangannya. Bunga yang sempat layu di dalam hatinya kini mekar kembali.

Rachel. Gadis kecil yang mampu menggoyahkan kearoganan dan kekasaran dalam dirinya. Satu-satunya gadis yang mampu membuat hatinya bergetar.

Marc tidak akan pernah melepaskannya.

“Marc, aku... kenapa kau rela melakukannya?” tanya Rachel sedikit tercekat.

“Aku mencintaimu. Karena aku menyayangimu, Rachel. Aku ingin kau selalu bersamaku. Oh, iya, maafkan aku telah berteriak padamu sebelumnya, ya. Aku benar-benar tidak bisa menerima saat kau katakan bahwa kau telah melupakan aku. Tadi kau hanya bercanda, kan?” Marc menggenggam erat tangan Rachel, menghapus air matanya dengan tangan yang lain.

Rachel terkekeh kecil mendengarnya. Tentu saja ia hanya bergurau. Apa Marc benar-benar memercayainya? “Iya, aku hanya coba memastikan saja. Sekarang bangunlah....”

“Apa kau meragukanku? Rachel, dengar, meski dulu aku pernah mengalami kekelaman yang dalam, tapi aku harap aku tak akan membaginya padamu. Biar aku saja yang merasakannya. Aku tidak akan memberimu sedikit pun kekelaman. Berjanjilah, berjanjilah kau akan tetap tinggal dan terus menjadi seperti ini. Jangan ada keraguan lagi terhadapku, ya, karena itu melukaiku,” pinta Marc dengan mata berbinar. Ia duduk perlahan di samping Rachel.

“Maafkan aku, aku tidak akan melakukannya lagi. Dan berjanjilah dengan janji yang sama....”

Mereka saling memandang dalam diam, bertukar senyuman penuh arti. Kelegaan menyisip di hati masing-masing. Akhirnya cinta mereka telah kembali.

"Aku mencintaimu,” bisik Marc. “Besok kita akan pergi dan memulai hidup yang baru di suatu tempat. Di mana saja, kau yang memilih. Asal kita bersama.”

“Selama kita bersama,” ulang Rachel yakin, menatap langit dan membayangkan saat-saat bahagia mereka.


END

Comments

Post a Comment