TWOSHOT : That One Is Me #2 - END

Alhamdulillah bisa post lagi di blog. Semoga suka dengan cerita ini dan semoga dapat menghibur, yaa.. 

Happy reading :)




Marc menarik kenop pintu dengan perlahan, menyembulkan kepala kedalam untuk melihat keadaan sejenak, lalu masuk dan berjalan ke arah tempat tidur.

Diletakkannya semangkuk bubur yang digenggamnya keatas meja, kemudian coba membantu gadis itu untuk duduk. Ketika tangan Marc sudah ada di bahunya, Rachel mulai bereaksi berlebihan seperti biasa.

Raut wajah Marc tak berubah meski mendapat peringatan keras sebagai balasan niat baiknya. Ia justru tetap memasang wajah lembut.

“Jangan sentuh aku.”

Begitu respons Rachel, dingin dan menatap Marc tajam. Ia lalu berusaha untuk duduk sendiri dengan perlahan.

“Aku hanya mencoba membantu. Itu saja. Ayo, makan dulu.” Marc meraih mangkuk bubur tadi dan bersiap menyulangi Rachel.

“Tidak perlu pura-pura peduli. Apa kau pikir aku tidak bisa makan sendiri hingga kau bersikap seperti pahlawan?” hardik Rachel, arogan.

“Tidak seperti itu. Apa kau tidak bisa memikirkan satu saja hal baik tentangku?”

“Sudahlah. Tidak usah bersikap berlebihan. Letakkan saja bubur itu diatas meja dan keluarlah.”

Marc menelan ludah, bersabar semaksimal mungkin. “Kau tidak akan makan jika aku menuruti keinginanmu untuk hanya diam dan keluar dari kamar ini. Aku yakin itu.”

“Jangan sok tahu. Memangnya kau pikir kau sangat mengenalku?” Rachel tersenyum kecut, mengalihkan pandangan keluar jendela.

Hari sudah beranjak siang. Marc sengaja membuka jendela lebar-lebar agar sayup sinar mentari dapat menerobos masuk dan memberi kehangatan sekaligus cahaya.

Tadi pagi, Rachel masih belum sadarkan diri akibat peristiwa semalam, dan Marc memanfaatkan kesempatan itu untuk memandangi istrinya dalam-dalam. Marc selalu tahu bahwa gadis itu adalah gadis yang sangat baik dan lembut. Ketika matanya masih memejam, rasanya Marc tak dapat menahan gelora bahagia dalam dirinya karena telah mensahkan Rachel sebagai miliknya. Saat itu wajahnya sangat polos, menghangatkan, dan memancarkan kecantikan yang alami.

“Kenapa kau datang dan menyelamatkanku semalam?”

Gurat senyum di bibir Marc hilang saat tiba-tiba pikirannya kembali ke alam nyata. Dengan serampangan ia coba mengumpulkan diri.

“Tentu saja aku akan datang dan menyelamatkanmu. Apa kau pikir aku akan membiarkanmu pergi dan sendirian di jalanan, begitu?”

“Itu adalah kesalahan terbesarmu.”

“Tidak perlu memutuskan apakah itu adalah kesalahan terbesarku atau bukan. Fokus saja pada keselamatan dirimu. Apa kau sudah tidak menyayangi hidupmu lagi? Baik, jangan pikirkan aku. Tidak usah pikirkan apa yang akan aku rasakan saat dirimu terluka, walau aku akan sangat sakit melebihi dirimu jika kau sampai terluka sedikit saja, tapi coba pikirkan kedua orangtuamu. Apa yang akan mereka rasakan? Bagaimana perasaan mereka jika sampai tahu bahwa kau lari dari rumah semalam dan aku menemukanmu pingsan di tengah jalan?”

Gigi Rachel gemeretak mendengarnya. Bibirnya terkatup sangat rapat selama beberapa saat. “Diam. Jangan katakan sepatah kata lagi yang menggambarkan betapa sayang dan pedulinya kau padaku. Aku tidak akan terpengaruh meski kau meluapkan perasaan cinta yang kau gembar-gemborkan itu padaku setiap hari. Dan masalah orangtuaku, berapa kali harus aku katakan jangan libatkan mereka dalam urusan pribadi kita?” balas Rachel sengit.

“Aku sama sekali tidak melibatkan mereka dalam urusan pribadi kita. Aku hanya mencoba memberi pengertian padamu. Dengar, jika kau marah padaku, maka luapkan saja kemarahan dan kekesalanmu itu padaku. Berteriaklah, lontarkan apa pun yang kau inginkan, dan lakukan apa saja padaku. Tapi, jangan pernah kau ulangi hal yang serupa di masa depan. Jangan pernah bahayakan dirimu sendiri lagi karena emosi yang kau rasakan. Apa kau mengerti?”

Rachel tak merespons, ia hanya mendecakkan lidah dan memasang raut wajah muak pada pria di hadapannya ini. Mungkin ia sudah kehabisan kata-kata menghadapi dan menyanggah suaminya.

“Sudahlah. Lupakan saja. Yang penting sekarang kau sudah aman dan selamat. Ayo, makan dulu. Sehabis itu aku janji aku akan keluar dari kamar ini dan membiarkanmu sendiri jika memang kau menginginkan demikian.”

Marc sengaja mengalihkan pembicaraan. Ia tahu benar jika ia bersikeras untuk terus mendebat Rachel, maka gadis itu akan semakin benci dan kesal padanya. Oleh karena itu, Marc mengerahkan seluruh kesabaran dan menahan lidahnya. Dengan cepat ia mengambil mangkuk bubur yang masih penuh itu dan coba menyuapi Rachel sekali lagi.

“Makanlah. Aku mohon makanlah sedikit saja. Lihat, aku sama sekali tidak menyentuhmu, kan? Aku hanya coba menyuapimu saja. Ayo, buka mulutmu, Rachel...,” bujuk Marc lembut, perlahan tapi pasti mengarahkan sesendok bubur ke bibirnya.

Rachel tetap bersikeras menolak. Mulutnya tertutup rapat dan kepalanya tetap berpaling kearah jendela. Marc masih menunggu, menahan lidahnya untuk diam (meski sangat sulit dilakukan), dan tak menurunkan tangannya. Beberapa saat kemudian Rachel tiba-tiba beranjak, nyaris menumpahkan sesendok bubur itu jika Marc tak refleks menarik mundur tangannya.

Gadis itu mengabaikan niat baik suaminya dan justru berdiri menghadap jendela.

Untuk sesaat Marc tak protes dan hanya memandangi punggung Rachel yang tampak lemah. Ia menyukai bagaimana sinar matahari menyinari kepala Rachel dan membuat sosoknya tampak semakin feminin.

“Sampai kapan kau tidak akan makan?” Marc coba melangkah lebih maju.

“Berhenti disitu. Jangan berjalan lagi. Aku akan makan setelah kau keluar dari kamar ini,” tegas Rachel.

“Sudah kukatakan aku tidak akan keluar sampai aku melihat sendiri kau memakan bubur itu. Apa kau pikir aku tidak belajar dari pengalaman setelah menuruti kemauanmu dan tetap menemukan piring makan siangmu masih penuh waktu itu? Apa kau pikir aku tidak jeli melihat kejadian itu?”

Emosi mulai merayap naik hingga ke ubun-ubun Rachel. Ia merasa kesal karena menganggap perkataannya tak digubris. Kenapa pria itu tetap saja berkeras tak ingin keluar?? Sampai kapan ia akan memaksakan kehendaknya untuk melihatnya makan?

“Aku bilang keluar saja sekarang,” ulang Rachel, meninggikan nada suaranya.

Entah apa yang ada di pikiran Marc saat itu. Kenapa ia tidak mengalah sekali lagi dan menuruti permintaan Rachel? Toh, ia memang selalu mengalah, bukan? Dan ia juga bisa datang lagi nanti untuk memastikan apakah Rachel menghabiskan makan siangnya atau tidak. Tapi, entah kenapa kali ini dorongan untuk mengalah semacam itu tak keluar dari dalam dirinya.

Jadi, Marc menyanggah lagi, “Makan saja sekarang. Apa bedanya kau makan sekarang atau nanti? Jika kau tidak ingin aku menyuapimu, kau bisa makan sendiri. Tapi, yang pasti aku harus melihatmu makan dulu baru aku akan keluar,” Marc berbalik dan mengambil mangkuk bubur itu, kemudian menyodorkannya pada Rachel, “ini. Ambil ini dan makanlah jika tak ingin bantuanku untuk menyuapi. Kau harus makan di hadapanku atau aku tidak akan keluar. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi.”

Rachel melirik mangkuk itu dari atas bahunya yang sedikit merosot lemas. “Apa kau tidak dengar ucapanku? Apa kau tidak mengerti apa yang aku inginkan? Aku ingin sendiri sekarang! Keluarlah dari sini!” pekik Rachel terbawa emosi.

“Apa susahnya untuk makan sedikit saja?! Aku janji aku akan keluar setelah melihatmu menghabiskan bubur ini. Kau sudah pingsan dan kehujanan semalam, bahkan tadi pagi pun kau tidak makan apa-apa karena masih belum sadar, jadi kau harus habiskan ini sekarang juga! Apa kau tidak berpikir bagaimana cemasnya aku saat melihatmu dalam keadaan seperti semalam?! Aku akan merasa tenang setelah melihatmu memakan sesuatu, jadi lakukan saja hal itu. Mudah, kan?” Marc balas dengan nada tinggi yang sama. Meski ia selalu mengalah, namun jika sudah menyangkut kebaikan dan kesehatan Rachel, maka ia tidak akan pernah mundur.

“Diam, Brengsek! Jangan memaksaku untuk menuruti keinginanmu. Memangnya kau pikir kau ini siapa hingga berani-beraninya menentukan aku akan makan atau tidak, aku akan melakukan ini atau tidak, aku ini, aku itu, atau tidak??!! Keluar dari kamar ini sekarang juga atau aku yang akan keluar!” jerit Rachel, mengacungkan satu jarinya kearah pintu.

“Aku selalu menurut apa pun yang kau katakan, lantas kenapa sekali ini saja kau tidak mau menuruti aku, hah? Lagi pula, aku hanya memintamu untuk makan. Memang apa susahnya?!”

Nada suara Marc sangat tinggi hingga Rachel terkesiap tanpa suara. Untuk sejenak, ia sendiri juga merasa syok dengan perubahan volume suaranya, namun segera meyakinkan diri bahwa sedikit keras bukanlah suatu masalah jika akan berdampak baik bagi gadis itu.

Mereka saling beradu tatapan, sama-sama beringas, seolah-olah sedang menimbang apakah mereka akan menyerang lebih jauh atau mundur perlahan. Namun tampaknya tak ada satu pun yang bersedia untuk mundur, tersirat dari tatapan mata dan raut wajah masing-masing.

“Memang tidak ada susahnya. Tapi aku tidak akan makan jika kau tetap ada disini. Apa kau dengar?” Mata Rachel mulai terasa panas terbakar amarah, namun ia tetap menatap suaminya dengan sorot bagai ingin mencekik.

Tangan Marc naik dan mencengkeram sepasang bahu Rachel. “Kenapa kau tidak mengerti juga bahwa aku hanya ingin memastikan kebaikanmu, hah? Apa begitu sulit bagimu untuk melihat niat baikku??”

“Lepaskan aku, Sialan! Jangan berani-beraninya menyentuhku!!” ronta Rachel, bergerak kesana-kemari untuk melepaskan diri.

“Apa kau akan bersikap sama jika yang ada di hadapanmu saat ini adalah Marc Marquez? Cintamu yang hilang dan selalu kau dambakan untuk kembali itu?”

“IYA, tentu saja! Tentu saja aku akan menuruti apa yang dia katakan! Kenapa? Apa kau pikir kau dan dia tak ada bedanya, begitu? Huh, jangan bermimpi. Kau tidak akan pernah bisa menggantikan dia. Apa kau pikir dengan memiliki nama depan yang sama sepertinya juga akan membawa efek yang dahsyat, begitu? Apa kau pikir aku akan takluk dan menganggapmu sama sepertinya? Tidak, itu tidak akan pernah, Marc Martinez!!”

Marc Martinez...

Itu salah. Itu benar-benar salah.

“Aku bukan Marc Martinez!! Aku bukan Marc Martinez!!! Kau dengar? Namaku bukan seperti yang kau sebutkan tadi!! Aku bukan Marc Martinez, Rachel!!” kalap Marc, mengguncang sepasang bahu gadis itu hingga ia sedikit mengerang.

Rachel terperanjat melihat sikap Marc yang tidak pernah ditampilkannya. Dalam hati ia bertanya-tanya. Apa ini sikap aslinya? Apa begini karakter sebenarnya? Tapi, tunggu dulu, kenapa ia jadi begitu marah? Nama yang disebutkan Rachel adalah namanya yang benar, lalu apa salahnya? Kenapa ia justru mempermasalahkan nama dan tidak menerimanya?

“Aku bukan Marc Martinez, kau mengerti? Jangan pernah lagi kau memanggilku dengan nama itu,” tegas Marc bulat, benar-benar kehilangan kendali.

Mungkin sudah saatnya untuk mengakhiri sandiwara ini. Ya, ia sudah tidak tahan lagi terus mendapat penolakan dari gadis yang dicintainya. Kenapa mereka harus berjauhan dan saling bertengkar seperti ini? Tidak, ini tidak benar. Sudah cukup kepura-puraan ini.

“Lalu siapa kau jika bukan Marc Marti....”

“Marquez. Marc Marquez. Namaku  adalah Marc Marquez Alenta.”

Teng!

Sepasang mata Rachel membulat seketika. Jantungnya bagai didentam oleh beton. Apa yang dia katakan tadi?

“Aku adalah Marc Marquez yang kau cintai, Rachel. Aku adalah Marc yang sama,” aku Marc.

Rachel tak bergeming selama sejenak. Ia sudah berhenti meronta dan justru memandang mata “Marc” dalam-dalam.

“Pembohong. Ternyata kau ini andal sekali dalam bersandiwara, ya? Apa yang kau harapkan? Apa yang kau inginkan? Apa yang ada di pikiranmu? Apa kau pikir aku ini anak kecil, begitu, hingga akan percaya dengan segala yang kau katakan? Apa kau anggap aku ini tidak bisa lagi membedakan setiap orang? Apa kau sungguh berpikir akan mudah untuk mengelabuiku?” Rachel mengambil tangan Marc di bahunya dan mengempaskannya ke udara.

“Apa kenangan dapat berbohong? Apa kau akan percaya jika aku katakan semua kenangan kita ketika masih berusia 12 tahun?”

Rachel menggeleng tak percaya. “Kenangan apa yang kau bicarakan? Tentu saja kau akan tahu semua kenangan kami jika kau benar-benar berniat untuk menipuku. Apa kau sangka aku tidak berpikir sejauh itu?” cela Rachel, tersenyum masam.

“Benarkah? Kalau begitu, apa orang lain bisa tahu tempat rahasia kita ketika saling berbagi dan apa hal yang selalu kita lakukan disana sehabis bercerita satu sama lain? Apa orang lain bisa tahu apa yang kita tulis di batang pohon di tempat itu? Apa ada yang tahu bahwa kau pernah mengusiliku dengan mengubur petunjuk saat kita bermain siapa yang lebih cepat dan menemukan petunjuk itu? Katakan padaku, siapa yang selalu datang pagi-pagi ke dekat jendela kamarku dan memberi satu dari beberapa permen kesukaannya tiap kali ada orang yang memberikan padanya?”

Dada Marc membusung bolak-balik seiring napasnya yang memburu. Matanya tak beralih dari Rachel, begitu juga dengan gadis itu yang terus memancangkan tatapan padanya.

“Bukan hanya satu, tapi semua orang juga akan tahu semua itu jika ia bertemu dengan Marc-ku dan menginterogasinya sedemikian rupa,” balas Rachel lagi, tetap keras kepala.

“Begitu? Kau tidak percaya dengan semua yang aku katakan? Kau pikir aku sedang berbohong? Baiklah. Apa kau ingat ini?” Marc menggulung lengan bajunya hingga ke lengan atas dan menampakkan segaris bekas luka, “luka ini. Bekas luka ini. Apa setiap orang memiliki bekas luka dengan bentuk yang sama? Apa kau ingat bagaimana aku mendapat luka ini? Ini karena aku terjatuh sehabis berusaha menolongmu dari atas pohon. Ranting pohon yang tajam kemudian menusuk lenganku dan aku harus dibawa ke rumah sakit karena perihal itu. Kau ingat semua itu? Kau ingat bagaimana kau menangis sejadi-jadinya karena mencemaskan keadaanku?”

Dunia Rachel seolah berputar-putar. Alam pikirannya seakan ditarik ke masa silam. Dengan saksama ia memerhatikan bekas luka itu, sembari mencocokkan bahwa luka itu memang benar adalah luka yang diperoleh Marc karena berusaha menyelamatkannya dulu. Tempat dan bentuk yang sama. Alur cerita yang diungkapkannya juga persis.

Rachel tak dapat menemukan alasan yang baik untuk menyangkal. Maka, ia hanya diam dan menahan air mata yang sudah menggenangi pelupuk matanya.

Marc dapat melihat raut wajah Rachel yang berubah drastis. Ia tampak sangat syok dan Marc yakin pertahanan gadis itu mulai melemah. Nyaris tak ada alasan baginya untuk menyanggah.

“Tidak hanya itu saja. Kau mau lihat tanda tanganku? Kau mau lihat bagaimana caraku menggambar rumah? Menggambar pohon? Kau tahu bahwa aku selalu menggambar rumah dan pohon dengan teknik yang sama. Kau ingat alasanku, kan? Itu karena aku menginginkan setiap orang langsung tahu bahwa aku yang menggambar itu setelah melihat kekhasan dariku. Lihat ini,” Marc menggapai tangan Rachel dan menggiringnya kearah nakas, kemudian mengeluarkan secarik kertas dan pulpen, “kau ingat bagaimana tanda tanganku? Ini, seperti ini, kan? Memang waktu itu kita masih kecil, tapi tanda tanganku tidak pernah berubah dari terakhir kali aku menunjukkannya padamu. Dan, coba lihat, aku akan menggambar rumah dan pohon....”

Marc menggerak-gerakkan tangannya dengan luwes diatas kertas, sembari terus berharap bahwa ia akan berhasil meyakinkan gadis itu. Apa yang dilakukannya selama ini adalah palsu. Kesalahan. Kepura-puraan. Dan ia melakukan semua itu karena satu alasan.

Rachel menyimak baik-baik setiap garis yang digoreskan Marc. Jemari pria itu begitu lentur, tak menunjukkan kekakuan sedikit pun. Jika ia sedang berbohong dan melatih diri untuk semua ini, tentu akan ada celah dimana ia lupa ataupun salah dalam menarik garis. Namun, ia benar-benar terlihat serius dan percaya diri.

Setelah Marc selesai menggambar, Rachel pun semakin terenyak. Ia sudah memerhatikan setiap garis dan ya, memang benar, itu adalah cara Marc menggambar. Ia sangat jeli memerhatikan pria itu ketika mereka masih kecil dulu. Hasil gambarnya pun semakin menguatkan hati Rachel untuk percaya. Ia memang benar adalah Marc. Marc cinta sejatinya.

“Bagaimana? Apa kau percaya setelah melihat semua ini? Atau, kau butuh bukti apalagi? Katakan saja apa yang kau ingin aku lakukan sebagai pembuktian. Tanyai semua tentang kita padaku. Aku akan menjawab semua pertanyaanmu,” ujar Marc sedikit mendesak.

Sebulir air bening jatuh membasahi pipi Rachel. Dengan cepat ia mengusap air mata itu dan langsung berlari meninggalkan Marc.

“Rachel... kumohon percayalah padaku!!”


***


Garis-garis masa lalu kembali melintas di benak Rachel. Masa-masa indahnya bersama Marc dulu kembali datang dan menyerbu pikirannya, menyapu segala keraguan yang sempat dirasakannya.

Pria itu telah melakukan hal yang benar-benar meruntuhkan keraguannya. Separuh hatinya masih tak ingin percaya, namun sebagian yang lain terus mendorong agar ia percaya. Bukti kuat sudah dilihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Lantas, kenapa ia masih ragu? Tidak, sebenarnya keraguan itu telah sirna, namun Rachel hanya tidak ingin mengakuinya saja.

Jika ia memang benar adalah Marc, kenapa ia tidak langsung mengatakannya? Kenapa harus membuat permainan semacam ini? Apa gunanya? Apa motivasinya? Sandiwara ini sangat menyiksa batin mereka berdua.

Dan, yang lebih buruk lagi, apa yang telah dilakukannya pada Marc? Berjuta penolakan, beribu kata kasar, makian, bahkan tindakan yang tidak sepantasnya. Oh!

“Kenapa kau lari? Apa kau masih tidak percaya padaku?”

Rachel tersentak begitu menyadari sesuatu. Ia berdeham untuk menutupi kegugupan dirinya. “Kenapa kau melakukan semua ini? Kenapa kau menyiksaku?”

“Aku tidak menyiksamu. Aku... hm, sebenarnya ini adalah ide ibumu.”

“Ibuku? Ibuku tahu tentang semua ini? Jadi ibuku sudah tahu sejak awal bahwa kau adalah Marc yang aku cintai?” tuntut Rachel.

“Benar. Ibumu sudah tahu sejak awal. Dan, aku sudah katakan berkali-kali bahwa aku tidak setuju dengan ide ini. Kau tahu, kan, ayahmu tidak pernah menyukai aku apalagi sampai setuju dengan pernikahan kita, namun di sisi lain ibumu yakin bahwa aku adalah pria yang pantas menjadi suamimu. Jadi, ibumu pun menemuiku untuk menyampaikan rencana ini. Sudah kukatakan bahwa aku tidak akan menikahimu tanpa restu dari ayahmu, tapi aku terus diyakinkan dan akhirnya aku pun mulai menyerah.”

“Lalu?”

“Lalu aku setuju untuk menyamar dan tak membiarkanmu mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Ibumu meyakinkanku bahwa ia akan mengurus masalah ayahmu, dan aku hanya harus meyakinkanmu saja. Ibumu juga yakin bahwa kau tidak akan menyadari fakta tentangku dan ternyata ia benar. Kau tidak menyadari aku siapa karena memang aku banyak mengubah penampilanku untuk semua ini. Wajahku pun sudah banyak berubah dari masa kecilku. Aku terus meyakinkan....”

“Kenapa setelah menikah pun kau tetap tidak memberitahuku? Seharusnya kau memikirkan apa yang aku alami setelah dipaksa menikah,” sela Rachel tak sabar.

“Sebenarnya aku ingin memberitahumu setelah menikah, namun aku juga memiliki rencana tersendiri. Aku akan melihat bagaimana reaksimu setelah menikah dengan pria yang tidak kau cintai. Awalnya aku pikir kau akan jatuh cinta padaku dengan identitas palsu, tapi ternyata tidak. Kau justru benar-benar mengamuk dan kita terus bertengkar hampir setiap hari. Sampai pada kejadian semalam, dimana aku berpikir ribuan kali untuk mengakhiri semua ini dan mengakui yang sebenarnya. Aku tidak akan membuatmu menderita lebih lama lagi. Aku akan mengakhiri kesalahpahaman ini,” ungkap Marc panjang lebar. Gurat senyum timbul di sudut-sudut bibirnya.

Rachel menatap Marc dengan serius selama beberapa saat, coba mencari kebenaran sembari memikirkan setiap kejadian yang ia paparkan. “Jadi... intinya kau melakukan semua ini untuk menguji rasa cintaku, begitu?”

Marc menarik napas dalam, lalu mengulum senyum. “Yah, sedikit.”

“Apa aku dapat memercayai semua pengakuanmu?”

“Tentu saja.”

“Sungguh?”

“Sungguh. Aku bersumpah aku adalah Marc Marquez, Rachel.”

Rachel tak dapat menahan gejolak bahagia didalam dirinya. Air matanya kembali berlinang dan ia langsung memeluk pria di hadapannya.

“Kau sangat menyebalkan. Aku pikir kau tak pernah kembali dan aku harus menghabiskan sisa hidupku bersama orang yang tidak aku cintai,” curah Rachel di sela-sela tangisnya.

Marc sigap menyambut Rachel dan balas memeluknya. “Tapi, ternyata kau salah, kan. Bagaimana bisa aku tidak kembali dan membiarkanmu menikah dengan orang lain?”

“Hm, dasar kau ini... kau kembali dengan membawa hobi baru, ya? Huh, hobi bersandiwara. Apa kau tidak tahu bahwa aku sangat merindukanmu?”

Marc refleks terkekeh. “Maafkan aku, maaf, tapi dengan begitu aku jadi semakin yakin bahwa kau benar-benar mencintaiku. Mencintaiku dengan jati diriku yang sesungguhnya.”

Rachel tersenyum girang, kemudian melepas pelukannya. “Kau sudah sangat menyiksaku dengan melakukan semua ini. Apa kau sungguh meragukan cintaku?”

“Tidak seperti itu. Setelah apa yang terjadi, aku sendiri jadi menyesali perbuatanku padamu. Aku minta maaf, ya. Tidak seharusnya aku berbuat seperti itu hanya demi melihat sedalam apa rasa cintamu padaku. Kau mau memaafkan aku, kan?” Tangan Marc terangkat dan menyapu sisa air mata di pipi Rachel.

Rachel tersenyum dan menahan tangan Marc tetap di wajahnya. “Lupakan saja. Yang sudah terjadi, biarkanlah terjadi. Aku juga minta maaf atas apa yang telah aku katakan atau lakukan. Kau telah mendapat begitu banyak kata-kata kasar, bahkan sampai makian....”

Marc menatap sepasang mata Rachel. Ada setitik rasa bersalah disana. Tatapan mata yang kini dipancarkan padanya sangat berbanding terbalik dari sebelumnya. Kini sorot matanya begitu meneduhkan. Raut wajahnya juga sangat lembut, persis ketika ia masih kecil dulu.

Rachel juga menyelami kedua bola mata suaminya. Ternyata, ia sudah menikahi pria yang dicintainya, tak seperti apa yang selama ini dianggapnya. Rachel dapat melihat keseriusan disana. Setelah melihat dari sudut pandang berbeda, Rachel baru menyadari bahwa sorot mata itu masih sama. Sama seperti 14 tahun yang lalu.

“Sekarang, sudah tidak ada lagi kebohongan. Dasar pernikahan ini telah berubah menjadi cinta dan kasih sayang. Tetaplah menjadi seperti ini. Gadis yang tegas dan selalu aku cintai.” Marc mengusap rambut Rachel dan mengecup keningnya.

Seulas senyum muncul di bibir Rachel. “Aku mencintaimu.”

“Aku mencintaimu,” bisik Marc. “Oh, ya, omong-omong, sepertinya kau tak harus mengubah kebiasaan barumu selama pernikahan.”

“Kebiasaan apa?”

“Kebiasaan mendebatku. Tapi, jangan lakukan itu sering-sering. Itu juga tidak baik, kan. Lakukan sesekali saja. Kau tahu, rasanya menyenangkan melihatmu sedang dalam keadaan kesal dan marah,” ledek Marc.

Rachel pura-pura merajuk. “Kau ini benar-benar menyebalkan. Aku tidak mau bicara padamu lagi.”

“Tidak mau, ya? Baiklah kalau begitu, lagi pula kau juga selalu mengusirku. Jadi, memang lebih baik aku pergi saja.”

Rachel buru-buru mencekal lengan Marc agar tidak pergi. “Aku hanya bercanda. Kau ini, serius sekali....”

Marc melepas tawanya ketika melihat wajah Rachel yang tersipu. Gadis itu memanyunkan bibirnya, pura-pura sebal sekaligus malu-malu.

Rachel mencubit lembut tangan Marc untuk menutupi salah tingkahnya.

Kemudian, sepasang suami istri itu saling merangkul satu sama lain, menikmati waktu-waktu indah mereka, dan masuk ke dalam rumah untuk menyantap makan siang mereka yang sempat tertunda.

Dan Marc yakin, kali ini ia tidak akan berdebat lagi dengan Rachel.


END


Comments

  1. Kaget lho pas Rachel bilang Marc Martinez, ih itu apa bedanya. Ternyata beda nama doang 😁 nggak nyangka aja sih sama alasannya, kasian aja Rachel, yg di bohongi, capek2 dia baper sebegitu lamananya 😂

    ReplyDelete
  2. Kaget lho pas Rachel bilang Marc Martinez, ih itu apa bedanya. Ternyata beda nama doang 😁 nggak nyangka aja sih sama alasannya, kasian aja Rachel, yg di bohongi, capek2 dia baper sebegitu lamananya 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi Marc mau nguji seberapa dalam cinta Rachel, Kak, makanya bohongin Rachel sampe dia marah-marah tiap hari gitu, hahaha.. thank you for visiting yaa, Kak :D

      Delete

Post a Comment