TWOSHOT : That One Is Me #1

Hai… 

Alhamdulillah bisa post lagi di blog. Semoga suka dengan cerita yang baru ini, yaa. Dan semoga juga dapat menghibur :) 


Happy reading!! 





Ribuan bunga dan kupu-kupu seolah masih mekar dan terbang riang di dalam hati Marc. Rasa bahagia karena telah berhasil mensahkan gadis itu sebagai istrinya tak mampu ia bendung dan terus terpancar dari ekspresi wajahnya yang ceria. Senyum pun tak kunjung pudar dari bibirnya yang terus merekah sejak hubungan mereka diresmikan dua hari yang lalu.  

“Rachel?” panggil Marc seraya menaiki undakan tangga. “Rachel?” 


Tak ada respons. 


Mungkin gadis itu tak mendengar.


“Aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku yakin kau pasti menyukai kabar yang akan aku sampaikan ini,” ujarnya lebih keras. 


Marc tak sabar jika harus menunda lebih lama untuk menyampaikan rencana bahagianya, oleh karena itu ia semakin mempercepat langkah dengan menaiki dua undakan sekaligus.


“Sayang?” panggilnya lagi.


Begitu tiba di ambang pintu dan hendak menarik kenop, tiba-tiba tangan Marc terhenti di udara ketika telinganya samar-samar menangkap secercah suara. Diurungkan niat untuk segera menerobos ke dalam. Alis matanya berkedut penasaran, berusaha mencerna baik-baik inti dari suara itu. 


“Kita sudah berjanji dan kau tetap saja pergi entah kemana. Kau tak pernah kembali meski kini sudah bertahun-tahun sejak kala kita duduk bersama. Kapan kau kembali? Kapan kau akan datang padaku? Bahkan kini aku sama sekali tidak tahu bagaimana kabarmu, apa kegiatanmu, dan bagaimana wajahmu. Apa kau banyak berubah? Apa aku masih mengingat wajahmu ketika kau ada di hadapanku? Cepatlah kembali. Aku menunggumu.” 


Walau hanya terdengar samar dan diiringi dengan isakan, Marc cukup jeli untuk menangkap maksudnya. 


“Sial!” gerutu Marc.


Braaakk!! 


Dengan kecepatan tak terduga, Marc menarik kenop pintu dan kemudian mendebamnya begitu keras hingga seorang wanita yang tengah duduk menghadap jendela di dalam ruangan itu terperangah kaget. 


Si wanita refleks berpaling kearahnya dan menjerit, “Apa-apaan kau ini, hah??!! Apa kau sudah tidak sehat hingga untuk masuk pun kau perlu bersikap demikian?!” 


“Diam!” bentak Marc. Musnah sudah kegembiraan yang sempat memenuhi tenggorokannya tadi. “Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau sibuk memandangi fotonya? Apa kau masih memimpikan sesuatu yang tidak mungkin itu? Apa kau masih mengharapkan kedatangannya?! Apa kau tetap saja berada dalam kungkungan mimpi-mimpi semumu itu?!” pekik Marc berapi-api. Dengan langkah lebar ia memotong jarak dan merampas bingkai foto mini dari genggaman tangan gadis itu. 


Praaang! 


“Hei! Kau pikir apa yang kau lakukan?! Beraninya kau....” Gadis itu melompat berdiri dari tempat tidur dan melempar tatapan tajam bak seekor elang pada pria di hadapannya. Giginya gemeretak ketika pria itu justru balas berteriak padanya. 


“Diam kau! Sudah berapa kali aku katakan untuk bangun dan lihat duniamu yang sesungguhnya? Aku sudah pernah bilang, kan, sedikit demi sedikit kau harus mengikis rasa cintamu yang tak masuk akal itu terhadapnya! Apa kau pikir dia juga memimpikanmu di luar sana? Apa kau sangka dia juga melakukan hal bodoh seperti yang kau lakukan di sini setiap hari, hah?! Bahkan kuyakin dia pun tak lagi mengingat bahwa kau pernah ada di kehidupannya! Sadarlah, Rachel! Jangan menjadi lemah seperti ini!” Tangan Marc merayap naik dan mencengkeram sepasang bahu gadis itu yang mungil, terlalu keras hingga ia mengerang sakit.


Sejak awal Rachel memang nyaris tidak pernah memberinya secuil rasa kebahagiaan. Ia juga sadar bahwa Rachel tidak pernah mencintainya. Hanya dirinya di sini yang begitu jatuh dan menginginkan gadis itu. Jika Rachel hidup dalam mimpi-mimpinya yang palsu, maka Marc hidup dalam harapan-harapannya yang semu. Harapannya begitu besar hingga ia lupa bahwa setiap pernikahan pastilah membutuhkan cinta dari kedua belah pihak. Dan dalam kasusnya, ia tidak memiliki sedikit pun cinta dari sang istri.


“Kau yang diam, Brengsek! Jangan berteriak padaku!! Memangnya kau pikir kau ini siapa hingga kau berani-beraninya bicara dengan nada tinggi padaku? Apa kau sudah merasa hebat dan berkuasa dengan menikahiku? Apa kau pikir kau telah memiliki hak terhadapku, hah?!” teriak gadis itu tak ingin kalah. Matanya mulai memerah, dan ada setitik bulir di sudut-sudut matanya. 


“Dengar,” Marc menarik napas dalam-dalam, memaksimalkan kesabarannya, “katakan padaku sampai kapan kau akan terus memimpikan sesuatu yang kau sendiri tahu bahwa itu tidak akan mungkin terjadi, huh?! Katakan padaku apa kau akan menghabiskan seluruh hidupmu yang berharga hanya untuk menunggunya yang sudah pergi entah ke belahan bumi yang mana?! Sadarlah, Rachel! Dia bahkan mungkin sudah menikah dan hidup bahagia bersama keluarganya sendiri! Dan kau, di sini? Apa yang kau lakukan? Hanya menangis saja setiap hari dan terus menutup matamu untuk orang yang begitu mencintaimu? Hah, bodoh! Itu tindakan yang bodoh sekali, kau tahu??!!” 


“Tidak! Tutup mulutmu itu! Jangan pernah kau menjelek-jelekkan dirinya di hadapanku! Karena aku sama sekali tidak akan terpengaruh oleh omongan tak bergunamu itu! Dia adalah pria yang kucintai, yang selalu kunanti, dan aku percaya dia juga sangat merindukanku. Jangan sekali-sekali lagi kau berani bicara buruk tentangnya padaku!! Memangnya kau ini siapa hingga sesuka hatimu berani mengatur hidupku?! Apa memangnya hakmu atas hidupku ini, hah?!” pekiknya habis sabar, seraya mengentakkan tangan Marc hingga terlepas dengan kasar dari bahunya.


Mereka saling beradu tatapan. Raut wajah sepasang suami istri itu tampak sangat beringas bagai ingin menerkam satu sama lain. Tak ada satu pun yang bersedia mengalah. Ego menguasai diri mereka masing-masing, terpantul dari kata-kata kasar yang mereka lontarkan begitu saja tanpa banyak berpikir. Keheningan terasa begitu berat. 


“YA! Apa kau sudah lupa bahwa sekarang aku adalah suamimu yang sah? Apa aku harus mengingatkanmu setiap hari?? Aku sudah menikahimu dan kau telah menjadi milikku! Apa yang kau lakukan, apa yang kau pikirkan, apa yang kau sukai atau tidak kau sukai, mulai sekarang itu harus sesuai keinginanku! Kau harus mendapat izinku untuk setiap sesuatunya. Kau tidak lagi bebas seperti dulu. Kau terikat denganku sekarang. Jika aku tidak izinkan, maka kau tidak boleh melakukan suatu hal meski kau begitu ingin melakukannya. Apa kau mengerti?!” Dada Marc membusung bolak-balik mengiringi napasnya yang tak beraturan. Emosinya tersulut hingga ke puncak menanggapi sikap “istrinya” yang terus berontak padanya. 


“Aku tidak peduli!!! Aku tidak peduli tentang statusmu ataupun semua ocehanmu itu!!” jerit gadis itu kalap. “Terserah kau mau mengatakan apa. Kau bebas untuk melakukan apa pun yang kau mau. Apa yang kau pikirkan, apa yang baik atau tidak baik untuk hidupmu, lakukan saja itu sesuka hatimu! Aku sama sekali tidak peduli dengan semua itu! Aku tidak peduli tentang status suamimu itu, kau tahu?!” Sudut-sudut bibir gadis itu bergetar ketika mengatakannya, menyiratkan betapa geram dirinya saat disinggung tentang hidupnya yang kini membutuhkan izin dari pria yang telah “dinikahinya” ini. “Urus saja hidupmu sendiri! Dan biarkan aku melakukan apa pun yang kumau!”


“Kau tidak bisa berlepas diri seperti itu saja, Rachel! Kita sudah menikah dan aku berhak atas dirimu! Hidupmu sudah berubah dan sadari itu! Kau sudah memiliki hidupmu yang baru bersamaku! Jadi, mulai detik ini belajarlah untuk melupakan masa lalumu itu dan cintai aku. Katakan padaku jika kau ingin melakukan apa pun. Karena kau akan memerlukan izinku bahkan untuk keluar selangkah dari rumah ini sekalipun! Kau mengerti?! Lakukan saja seperti yang aku katakan dan tetap dalam batasanmu,” tegas Marc sekali lagi. Dengan api amarah yang masih bergolak-golak, ia berbalik dan melenggang keluar, sebelum semakin kehilangan kesabaran jika bertahan lebih lama bersama wanita yang tak pernah menganggapnya itu. Entah apa yang bisa dilakukannya pada wanita itu nanti.


“Kalau begitu, ceraikan aku.” 


Teng! 


Hening. 


Hati Marc mencelus mendengarnya. Kakinya mendadak berhenti dua langkah dari gadis itu. Jantungnya bagai dihantam beton, terasa sesak. Tulang belakangnya kaku, ia seperti sulit untuk berbalik. 


“Apa?” 


“Aku bilang, ceraikan aku.”


Punggung Marc bak dicelup kedalam air es, kaku dan ngilu. Bibirnya masih terkatup rapat, tak terlontar sepatah kata pun.


“Dengan begitu, kita berdua tidak akan saling menderita lagi dan akan bebas untuk melakukan apa pun yang kita inginkan. Kita juga tidak perlu bicara seperti ini dan menguras tenaga untuk sesuatu yang tidak berguna setiap harinya.” Gadis itu melirik Marc dari atas bahunya yang telah terkulai lemas. 


Marc terdiam kaku. Rachel memang tidak pernah mencintainya, dan ia sudah tahu itu sejak awal walau pada akhirnya ia tetap nekat menikahinya. Namun, Marc sama sekali tak menyangka jika kata itu akan terlontar dari mulut istrinya. Tidak, bahkan dalam mimpi pun kata itu tak pernah terlintas. Bagaimana dia sanggup mengatakannya? Hati Marc bagai disayat oleh bambu, didentamkan ke tembok, lalu dicincang kembali hingga berkeping. 


“Kenapa sekarang kau diam? Ayo, jawab aku,” desis gadis itu. “Apa kau setuju untuk mengakhiri semua drama ini?” 


Mata Marc memejam, menyusun matang-matang kata yang tepat untuk dilontarkannya. 


“Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan menceraikanmu dan berpisah darimu sampai kapan pun. Kita akan bersama selamanya. Belajarlah untuk menerimaku mulai sekarang.” Dan Marc pun benar-benar keluar dari kamar itu setelah mengatakannya, tanpa menunggu respons apa-apa lagi. Hanya itu yang dapat dikatakannya. Apa pun yang terjadi, ia tidak akan melepaskan Rachel. Tidak peduli sampai kapan gadis itu baru bisa menerimanya sebagai seorang suami. Tapi yang pasti, apa yang sudah ada didalam genggamannya, tak akan pernah ia lepaskan lagi dengan mudah.


Bayang-bayang kejadian menggegerkan semalam berputar kembali di kepala Marc. Pusing mendera diantara kedua matanya. Ada sebersit harapan yang terselip, namun ada lebih banyak dorongan untuk menyerah. Kemana gadis itu pergi?

Hujan semakin menjadi-jadi. Petir sesekali menyambar dan mengakibatkan Marc harus menepi sejenak. Angin berembus kencang, menyibak helaian spanduk toko dan menyapu rata debu di aspal.

Perut Marc menggelenyar membayangkan gadis itu akan melakukan sesuatu hal yang bodoh, terlebih yang membahayakan dirinya. Marc tahu benar perangai Rachel, dan ia sama sekali tidak ragu jika gadis itu akan melakukan apa pun yang pertama kali terlintas di benaknya apabila telah kehilangan kontrol.

“Apa kau lihat gadis ini melintas di sekitar sini?” tanya Marc kelabakan sembari menunjukkan layar ponselnya, tak peduli buliran air menimpa benda elektronik itu.

Pria gempal itu menggeleng, kemudian berlalu dengan enteng.

Tulang-tulang Marc mulai tersisip dinginnya malam. Tubuhnya mulai menggigil. Kemeja hitam yang sebelumnya ia kenakan dengan rapi, kini sudah tersibak awut-awutan dan terlihat semakin hitam.

Mungkin sudah satu jam ia mondar-mandir di jalanan hanya untuk menemukan gadis itu. Rachel pergi tanpa memberitahunya, dan ia juga tidak sedang bersama kedua orangtuanya. Lantas, kemana lagi dia pergi?

Apa ini efek kejadian semalam? geming Marc dalam hati.

Kakinya kembali berjalan kesana-kemari, berusaha semaksimal mungkin menanyai setiap individu yang melintas. Pandangan matanya ia sebar di setiap jengkal.

“Hei kau yang di sana! Menyingkirlah dari jalanan itu jika tidak ingin dilindas oleh truk pengangkut pasir yang akan segera lewat!” teriak seseorang dari kejauhan memperingati. Marc tak dapat melihat jelas wajahnya, hanya mendengar peringatan yang diberikannya.

Di saat-saat seperti ini, harapan sangat rentan terlepas dari hati siapa pun. Tak terkecuali dirinya. Tampaknya memang asanya yang selama ini didambakannya bersama gadis itu telah pupus tersapu air hujan.

“Apa kau pernah lihat gadis ini? Maksudku, apa hari ini kau melihat dia berjalan di sekitar sini?” tanya Marc lagi pada seorang wanita yang tengah berusaha menuntun anak-anaknya menepi ke pelataran toko.

“Tidak. Maaf,” tukasnya pelan. Kemudian ibu dan anak-anaknya itu pun juga meninggalkannya tanpa petunjuk.

Marc merasa kekesalan memenuhi setiap organ di tubuhnya. Bukan jengkel dengan setiap orang yang ditanyainya tak ada satu pun yang membantu, namun ia marah lebih kepada dirinya sendiri. Mungkin ia sudah terlalu keras pada Rachel. Mungkin seharusnya ia dapat menahan diri dan lebih mengerti. Dan, mungkin, seharusnya ia tak pernah memainkan permainan yang sama-sama menyakiti diri mereka ini.

Mata Marc mendadak menyipit, coba melihat lebih jelas sosok samar-samar yang duduk sendiri di bangku di perempat jalan. Tampaknya itu adalah seorang wanita. Tapi, siapa yang malam-malam begini di tengah hujan deras mau duduk sendirian di sana?

Mata Marc membulat ketika ia menyadari sesuatu.

“Rachel!!!”



***

 
Rachel tak dapat menahan lebih lama dingin dan ngilu yang semakin menggerogot. Sekujur tubuhnya sudah basah kuyup dan kini membuatnya pusing luar biasa. Tak ada seorang pun yang menghiraukannya. Mereka semua sibuk hilir mudik untuk mencari tempat berteduh.

Rachel semakin mengeratkan tangannya untuk memeluk dirinya sendiri. Sesekali dilihatnya sekitar kemudian kembali menenggelamkan wajah diantara kedua lutut. Tak ada niatnya untuk menepi dan pulang. Lagi pula, memangnya siapa yang akan peduli padanya apalagi rela mencarinya di tengah guyuran hujan deras seperti ini?

Marc? Ah, pria itu lagi. Tidak, meski dia selalu mengungkapkan rasa cintanya, tapi Rachel yakin cinta yang selalu dibanggakannya itu tidaklah sebesar yang dibayangkan hingga membuatnya berkorban untuk meninggalkan rumah yang hangat dan nyaman.

Suara terakhir yang berhasil ditangkap oleh telinganya adalah derap langkah yang semakin mendekat. Namun, Rachel tak dapat melihat siapa si pemilik langkah. Penglihatannya begitu buram dan ia semakin sulit membuka mata.

Bugh!

Dan akhirnya ia benar-benar ambruk.

“Rachel!!!”



To Be Continued... 

 

Comments

  1. Itu Rachel sama Mach kenapa nikah padahal mereka ngak saling mencintai ya gan...
    Apa mereka dijodohin ?

    Harusnya mereka ngakusah nikah kalo emang berakhir dengan perceraian...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada sesuatu kenapa mereka menikah. Rachel dipaksa padahal dia gak mau. Tapi Marc, dia bener-bener suka dan serius sama Rachel.. thank you for reading yaaa :)

      Delete
  2. Ikut emosi juga ini sama Rachel, lagian ini motivasi Marc terus mertahanin Rachel kuat jg ya, btw, aku suka penyampaian emosi Rachel 😁

    ReplyDelete
  3. Ikut emosi juga ini sama Rachel, lagian ini motivasi Marc terus mertahanin Rachel kuat jg ya, btw, aku suka penyampaian emosi Rachel 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu Marc udah ekstra sabar hadapin Rachel, Kak, wkwkwk.. thank you for reading yaa, Kak :D

      Delete

Post a Comment