ONESHOT : Hero Lives In You

Hi! 

Alhamdulillah ONESHOT baru udah siap. Secara pribadi authornya suka sama cerita ini. Semoga yang lain juga suka, yaa. 


Happy reading!! 





Marc menjeblak pintu rumah hingga terbuka lebar. Dengan sedikit terseok-seok, ia melangkahkan kaki memasuki ambang pintu. Tak diliriknya keadaan sekitar, hanya menunduk untuk meredam pusing yang mendera kepalanya sejak beberapa jam yang lalu. Kakinya tertatih menuju kamar yang terletak di lantai dua.

Malam belum begitu larut. Mungkin jarum jam pun masih menunjuk angka sepuluh. Ini tidak seperti biasanya. Marc tak memiliki kebiasaan pulang ke rumah di bawah jam dua belas sejak remaja. Ia selalu pulang terlambat. Sengaja memperlambat.

Entah apa yang sebelumnya ia makan, hingga mendadak kepalanya terasa pusing luar biasa dan lemas menyergap seluruh tubuhnya. Tapi, terkadang ia memang pusing mendadak seperti ini, kan? Beberapa saat setelah ia memutar kembali peristiwa-peristiwa menggegerkan di sepanjang hidupnya.

Marc terpaksa pulang lebih awal. Setidaknya ia harus segera pulang dan melempar tubuh pada tempat tidur, sebelum kepalanya semakin berputar dan ia bisa saja terkapar dengan menyedihkan di tengah jalan.

“Dari mana kau? Apa kau mabuk?”

Telinga Marc samar-samar menangkap secercah suara, dan ia yakin pertanyaan itu diajukan kepadanya. Namun, ia enggan merespons dan lebih memilih untuk kembali berjalan.

“Aku bertanya padamu, Brengsek! Apa kau tuli, hah?” pekik sang pemilik suara itu lebih keras.

Marc sama sekali tak berniat untuk bertengkar malam ini. Baru kemarin malam ia mengamuk pada pria paruh baya itu, dan malam ini ia sedang tak dalam kondisi yang bagus untuk mengulang kejadian semalam.

Maka, Marc memaksakan diri untuk menyahut pelan, sangat pelan hingga hampir menyerupai bisikan, “Apa pedulimu?” tanpa menoleh untuk menemukan tatapan bengis yang ditujukan padanya.

Pria dengan perawakan tinggi besar itu langsung melompat berdiri. “Kurang ajar!! Anak tak tahu diuntung! Untuk apalagi kau pulang ke rumah ini jika kau sama sekali tak memiliki rasa hormat terhadapku? Lebih baik kau pergi saja dan habiskan hidupmu yang tak berguna itu di jalanan! Aku bertanya baik-baik padamu dan kau justru menyahut dengan cara seperti itu!”

Sudut bibir Marc tertarik ke samping, tersenyum miris. Ia nyaris saja tak dapat menahan gelak tawanya. “Hormat? Rasa hormat kau bilang?” Dengan perlahan, Marc berbalik untuk berhadapan dengan pria yang telah memelototinya dengan garang.

Dengan raut wajah melecehkan, Marc melanjutkan perkataannya, “Sudahlah. Tidak perlu bicara tentang penghormatan disini. Sangat memalukan. Itu sangat menyedihkan.” Marc terkekeh dengan nada mencemooh, sembari menatap hina pria berusia jauh lebih tua darinya itu.

“Dasar kau tidak tahu diri! Kau pikir kau ini siapa, hah? Apa kau sudah merasa hebat sekarang?!”

Plak!!

Hening.

“Sudah? Apa sudah puas? Bisa aku istirahat di kamarku sekarang?” Marc  memalingkan wajah untuk menatap sepasang manik mata beringas itu untuk terakhir kali. Tatapan mata yang ia berikan begitu kasar dan tajam. Tidak ada secuil pun kasih sayang yang terpancar disana.  Dengan lemah, Marc berjalan terseret menuju kamar tidurnya kembali.

“Kau pikir kau bicara dengan siapa, Sialan?!” Pria itu melangkah dan menjambak kemeja Marc yang sudah lusuh hingga putranya itu nyaris saja terjerembab ke lantai yang dingin. Beruntung, Marc dapat mengontrol keseimbangannya hingga ia hanya terhuyung ke belakang. Pusing semakin menggerogoti kepalanya.

“Jadi begini caramu berbicara dengan orangtua? Apa ini hasil belajarmu selama ini? Cih! Lebih baik dulu aku tidak pernah menyekolahkanmu jika aku tahu ternyata kau akan jadi seperti ini! Dasar bajingan! Apa ini hasil didikan ibumu yang selama ini kau bangga-banggakan itu, hah??!!”

“DIAM!!!”

Emosi Marc tersulut dengan kecepatan tak terduga. Amarah langsung bergolak hingga ke ubun-ubun kepalanya. Sisi paling sensitif dari dirinya terusik.

Ibu? Tadi dia menyebut ibu? Sial!

“Tutup mulutmu yang hina itu, “Ayah”!! Jangan berani-beraninya kau menyebut ibuku dengan mulut kotormu itu! Karena kau sama sekali tak sepadan jika dibandingkan dengannya! Aku tak mengerti bagaimana dulu ibuku bisa jatuh cinta dengan pria menyedihkan seperti dirimu, tapi yang pasti, setelah apa yang kau lakukan pada ibuku hingga kematiannya yang tragis karena ulahmu yang memalukan itu, aku tak akan pernah menganggapmu sebagai ayah apalagi sosok yang patut dihormati, kau tahu? Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah menghormatimu karena kau memang sama sekali tak layak untuk dihormati! Kau mengerti? Apa kau dengar? Kau tak akan pernah layak menjadi seorang ayah sampai kapan pun!!” teriak Marc membabi buta. Ia tidak tahan jika ayahnya itu telah menyinggung perihal ibunya.

Teng!

Dengan sigap, Marc menangkap tangan itu dan menggantungnya di udara.

“Kau ingin menamparku? Kau ingin memukulku? Kenapa? Kau tidak terima dengan apa yang aku katakan? Apa aku membuat kesalahan? Apa yang aku katakan adalah kebohongan? Hah, apa perlu aku belikan kaca ekstra besar hingga kau dapat memandang dirimu sendiri dan menyadari bahwa kau itu sangat memalukan? Apa tidak puas selama pernikahan kau selalu saja menyakiti dan memukuli ibuku? Dan bahkan ketika kematiannya pun kau hanya berdiri diam saja dengan santai tanpa mencoba melakukan sesuatu sementara ibuku sudah bergetar-getar dengan menyedihkan di lantai. Dasar kau lelaki pengecut. Sebenarnya lelaki macam apa kau ini?” cela Marc tanpa merasa bersalah. 

Dada Marc membusung bolak-balik seiring napasnya yang memburu. Sepasang mata cokelatnya menyorotkan tatapan seolah hendak membunuh. Begitu tajam bak tatapan elang. Sementara pria yang berdiri kaku di hadapannya, hanya bisa diam membisu mendapat makian dari putra kandungnya sendiri.

Mereka saling beradu tatapan.

Senyap.

Kemudian setelah berselang beberapa saat, dengan pusing yang masih berdenyut diantara kedua matanya, Marc melenggang keluar melalui pintu rumahnya yang masih menganga.

Sebelum benar-benar keluar dari rumah yang mencekam tersebut, Marc berbalik dan menatap tajam pria yang selalu melontarkan hinaan kepadanya itu sekali lagi.

“Dan jangan pernah kau mengungkit tentang ibuku lagi. Jangan menyebut namanya lagi. Apa kau mengerti? Camkan ini baik-baik. Jika kau membenci aku, jika ingin memukulku, lampiaskan saja kekesalanmu itu padaku. Tapi jangan pernah mengaitkan apa yang kini aku lakukan padamu dengan ajaran ibuku. Sekali saja kau melakukan kesalahan seperti ini lagi, maka bisa kupastikan kau akan melihat sisi terburuk dari diriku. Kau mengerti?” desis Marc.

Lalu, tanpa menunggu respons dari pria itu, Marc langsung berbalik dan mendebam pintu dengan keras.

Mungkin memang seharusnya ia tidak pernah pulang ke rumah sebelum larut malam menyapa.


***


“Hei! Kau mau kemana? Berani-beraninya kau mengabaikan aku!! Kembali, Sialan! Aku akan mengajarkan bagaimana caranya bicara dengan seorang ibu! Dasar kau kurang ajar! Tidak tahu diri!!”

Rachel terus berlari tanpa memedulikan suara-suara yang terdengar di belakangnya. Dengan sekuat tenaga, ia coba menghalau hinaan-hinaan yang dicurahkan padanya. Toh, ini bukan pertama kalinya, kan? Jadi, seharusnya ia dapat mengatasi hal semacam ini.

Bulir air mata terus mengucur dari kedua matanya yang agak sembab. Kesedihan. Kepedihan. Itulah makanan sehari-harinya.

Gadis itu tak tahu hendak berlari kemana. Tak tahu akan meluapkan apa yang dirasakannya pada siapa. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain ibunya. Dan, tentu saja pria itu. Tapi, bukankah pria itu juga sudah sibuk dan tertekan dengan masalahnya sendiri? Bagaimana ia dapat semakin menambah beban pada orang yang begitu dicintainya itu?

Tidak. Kali ini ia harus menangani masalahnya sendiri.

“Marc...,” panggilnya penuh asa.

Ketika Rachel sudah melambatkan langkah, di saat itu pula ia merasakan sesuatu yang bergetar dari saku celananya.

Dengan cepat, ia mengusap layar benda pipih itu dengan harapan tinggi.

Semoga itu adalah Marc. 

Bagaimanapun juga, di saat seperti ini, ia benar-benar membutuhkan kasih sayang dan penenangan dari pria itu.

“Halo?”

“Hai. Ini aku. Kau belum tidur?” sapa suara di ujung sana.

“Belum. Ada di mana kau sekarang? Apa kau sudah pulang?”

“Di taman biasa. Dan tidak, aku tidak akan pulang lagi.”

“Lagi? Apa maksudmu?” tanya Rachel bingung.

“Apa kau bisa temui aku di taman biasa? Tempat ini tidak begitu jauh dari rumahmu, kan? Aku ingin bicara denganmu.”

Rachel mengangguk. “Tentu saja. Aku akan segera ke sana. Lagipula, kini aku tengah berdiri tak jauh dari taman itu. Tunggu aku, ya?”

Tanpa menunggu sahutan lagi, Rachel langsung memutus sambungan telepon dan bergegas menuju taman. Tempat di mana mereka sering bertemu dan saling berbagi cerita, hanya sekadar melepas kalut di hati masing-masing.

“Marc...,” sapa Rachel seraya menghampiri Marc.

“Aku senang kau bisa datang.” Marc melempar senyum kecil pada Rachel.

“Tentu saja aku akan datang,” balas Rachel riang. “Ada apa? Apa ada masalah?”

“Tunggu dulu,” sanggah Marc mendadak. Telunjuknya mengangkat sedikit wajah Rachel. “Kau menangis?”

Ia selalu tahu. Rachel tak pernah dapat menyembunyikannya. Marc akan selalu menyadarinya.

Maka, Rachel hanya mengangguk lemah. “Iya,” kemudian tangannya bergerak menggenggam pergelangan tangan Marc. “Tapi tidak perlu cemas. Aku baik-baik saja. Hanya masalah biasa.” Rachel memaksa senyum.

“Tidak. Kau tidak baik-baik saja. Apa yang terjadi?”

“Seperti biasa. Dan aku sudah mengatasinya. Ayolah, kita tidak bertemu untuk membicarakan hal ini, kan? Apa yang ingin kau bicarakan padaku?” alih Rachel.

Marc mengembuskan napas panjang. “Sama sepertimu. Hal yang sudah biasa.”

“Kau bertengkar dengan ayahmu lagi?” tanya Rachel hati-hati.

“Begitulah. Aku memang selalu bertengkar dengannya, kan? Tidak ada hari tanpa hinaan dan kata-kata kasar lainnya.”

Marc berbicara dengan begitu tenang, seolah-olah nada tinggi dan kekasaran merupakan hal kecil dalam hidupnya. Tapi, memang seperti itulah faktanya. Kekasaran sudah mengalir di hidupnya sejak ia masih berusia balita.

Rachel meringis mendengar perkataan pria yang tengah menengadah ke langit di hadapannya ini. Ia menggapai telapak tangan Marc yang disampirkan di punggung bangku. Ia yakin kini perasaan pria itu sedang dalam kekalutan yang luar biasa.

“Meski itu adalah kenyataannya, dan meski aku tahu benar bahwa kau sangat menderita, tapi aku tidak ingin mendengar kata-kata semacam tadi terlontar lagi dari mulut kekasihku ini, ya? Aku benci nada bicara seperti itu. Karena menurutku kata-kata itu beserta nada bicara semacam itu mengesankan keputusasaan. Kau adalah pria yang tegar, bukan? Seorang pria yang selalu memiliki harapan dan terus berjuang walau ia tahu jalan kehidupan yang akan ia tempuh tidaklah mudah dan penuh kerikil.” Rachel coba mengalirkan ketenangan melalui telapak tangannya. Ia membundarkan telapak tangan Marc lalu menggenggamnya.

Marc menoleh ke arah Rachel. Wanita itu tersenyum dengan begitu tulus dan hangat. Tenang rasanya menyelam di sepasang bola matanya. Ada setitik cinta disana. Cinta dan kasih sayang yang begitu tulus dan dalam.

Rachel adalah seorang gadis sederhana. Ia berasal dari keluarga yang sederhana pula. Namun siapa sangka gadis sesederhana dirinya tidaklah memiliki alur kehidupan yang sesederhana kepribadiannya jua.

Berlatar belakang keluarga yang tidak harmonis, Rachel terus tumbuh menjadi gadis yang kuat dan selalu bertarung untuk tetap bertahan. Siapa yang pernah menduga bahwa gadis kecil seperti Rachel, dapat beralih menjadi pribadi baru yang selalu memiliki harapan dan terus menularkan harapan itu pada orang-orang di sekelilingnya?

Mengagumkan. Ketegaran dan ketulusan itulah yang terus menarik hati Marc untuk jatuh dan jatuh lagi pada gadis sederhana di hadapannya ini.

“Marc? Apa kau dengar aku?”

Marc tersentak ketika Rachel menggoyang-goyangkan lengannya. “Ah, iya, aku dengar,” Marc coba mengumpulkan diri.

“Marc, Sayang, aku tahu kita sama-sama berasal dari keluarga yang kurang, atau bahkan dapat dikatakan sama sekali tidak harmonis. Hampir setiap harinya aku datang padamu dan meluapkan kesedihanku. Kita memiliki segudang masalah masing-masing. Tapi, walaupun kita terus mengalami tekanan seperti ini, aku mohon kau jangan putus harapan dan menyalahkan siapa pun. Karena sebenarnya di balik ini semua, ada pelajaran berharga yang terselip. Dengan menjalani hidup seperti ini, kita akan sadar betapa sulitnya untuk bertahan. Kita berdua akan tahu bahwa hidup tidaklah semudah itu. Dan kita akan lebih menghargai perjuangan sekecil apa pun itu. Kau mengerti maksudku, kan?”

Marc menyambut tangan Rachel yang mengusap pipinya. “Aku mengerti. Aku mengerti maksudmu,” sahutnya dengan tatapan berbinar. “Rachel, berjanjilah padaku, kau akan selalu menjadi seperti ini dan terus ada di sisiku apa pun yang terjadi. Aku sudah kehilangan ibu sejak usiaku masih remaja, dan aku benar-benar kekurangan kasih sayang seorang wanita. Aku tidak ingin kau, wanita yang sangat aku cintai, juga ikut meninggalkan aku.”

Bulir air bening kembali muncul di sudut-sudut mata Rachel. Kegetiran kembali datang dan mengusik ulu hatinya. Ia tahu betul bagaimana perasaan kekasihnya itu sekarang. Ia juga sudah merasakannya sendiri.

“Tentu saja, Marc. Bagaimana kau dapat berpikir seperti itu? Aku mencintaimu. Aku sungguh mencintaimu dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kau tahu, kan, jika aku nyaris persis sepertimu. Kau adalah tempatku berbagi, dan aku juga merupakan orang dimana kau bebas untuk meluapkan seluruh emosi dan isi hatimu tanpa merasa waswas ataupun tidak nyaman. Kita saling mengerti karena kita sama-sama merasakan hal yang serupa. Itulah mengapa aku dapat begitu bebas bicara denganmu. Marc, selalu ingatlah, kapan pun kau butuh aku, aku akan selalu ada di sini,” Rachel menurunkan tangannya ke dada Marc, menekan telunjuknya disana, “aku selalu ada disini. Selalu. Ingatlah, ya?”

Marc spontan menahan jemari Rachel tetap di dadanya. Ia memandang gadis itu lekat-lekat. “Di sinilah kita sekarang. Tidak peduli betapa sulit rintangan di depan, betapa tekanan ini menyudutkan kita, kau dan aku akan berjuang bersama untuk terus dapat berdiri dan bertahan di tengah-tengah kesulitan.”

“Berjanjilah. Berjanjilah padaku. Kita akan tetap bersama,” ujar Rachel sedikit bergetar.

Marc segera menarik Rachel masuk dalam dekapannya. Ia meluapkan seluruh beban di hatinya pada gadis itu.

“Aku mencintaimu,” bisik Rachel, nyaris terisak di dada Marc.

“Aku mencintaimu....”

Malam itu begitu cerah dan tenang, serta tak menunjukkan indikasi akan turun hujan sama sekali. Namun, tiba-tiba saja cuaca berubah. Terdengar gemuruh dan angin mulai bertiup lebih kencang.

Marc melepas pelukannya ketika menyadari perubahan tersebut. Ia memandang langit sekilas, sebelum meraih tangan Rachel. “Sepertinya akan turun hujan. Ayo, aku akan mengantarmu pulang.”

“Tidak. Aku tidak mau.”

“Tidak mau?”Alis mata Marc berkedut heran, gagal melangkah.

“Tidak,” ulang Rachel.

“Dengar, aku tidak mau kau kehujanan dengan menolak untuk pulang seperti ini,” tegas Marc, sembari menggandeng tangan Rachel dan membimbingnya pulang.

“Aku bilang tidak mau, Marc! Apa kau tidak mengerti juga?” timpal Rachel lebih keras. Ia memasang wajah cemberut.

Marc terpaksa melepas tangan Rachel dan duduk kembali di sampingnya. “Lalu apa yang kau inginkan jika tidak ingin pulang? Kau ini, keras kepala sekali.”

“Apa kau marah padaku? Kau tidak ingin menemaniku? Baiklah, kalau begitu kau pulang saja lebih dulu, aku bisa pulang sendiri,” cetus Rachel, sembari beranjak dengan kasar dan tidak menghiraukan Marc.

Marc tergelak. Dengan sigap ia menangkap lengan gadis itu. Ia tahu bahwa Rachel tak akan bisa marah padanya. “Rupanya gadis ini tidak mau menurut juga, ya? Baik, baik, jika kau tidak ingin pulang, lalu apa yang ingin kau lakukan, hm?”

Rachel berbalik. “Duduk lebih lama bersama seseorang di sini.”

“Seseorang? Siapa itu?”

“Seorang pria. Yah, yang pasti dia bersedia mengalah dan mengikuti keinginanku,” sindir Rachel.

“Oh ya? Kalau begitu, mari kita duduk bersama di sini sampai pagi,” Marc menggapai lengan Rachel dan menariknya mendekat, hingga ia terduduk kembali di sebelahnya. “Ternyata kau ini keras kepala sekali, ya?”

“Kau baru menyadarinya?”

“Hm, tidak juga. Tapi, meskipun gadis ini sangat keras kepala dan tidak mau mendengarkan orang lain, entah kenapa aku tetap merasa berbeda ketika berada di dekatnya. Entahlah. Mungkin dia telah menyihirku agar aku tidak bisa mengabaikan keinginannya.” Marc melepas tawanya.

Rachel memajukan bibir seraya menyenggol lengan Marc. “Huh, aku sama sekali tidak menyihirmu, Tuan Marquez. Kaulah yang telah membuatku terus ingin berada di dekatmu.”

“Oh, begitu ya? Kalau begitu, sekarang kau memiliki satu julukan baru. Si putri yang gemar menyihir hati.” Marc tertawa terbahak-bahak.

“Tidak, Marc.... Kau ini yaa....”

Dan mereka saling melepas gurau di tengah-tengah guyuran hujan.


END


Comments

  1. Persamaan yg membuat mereka bersama ya, duh Marc hidupmu gini-gini amat ya. Btw, maulah diajakin hujan-hujanan😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa, Kak, jadi lebih saling mengerti, hehe.. ayok, Kak, kita hujan-hujanan bareng, wkwk :D

      Delete

Post a Comment