TWOSHOT : The Real Future Of Us #1

Hai… 

Kali ini aku ngepost TWOSHOT yang baru. Hm, sebenarnya mau dibuat ONESHOT aja, tapi karena mungkin bakal kepanjangan kalo ONESHOT, jadinya aku mutusin buat dijadikan TWOSHOT. 


Secara pribadi aku suka sama cerita ini, karena ada beberapa poin yang bikin aku baper dan ini juga kurang lebih merupakan harapanku di masa depan, yaitu punya keluarga yang kubangun sendiri yang kurang lebih begini, hahaha...


Oke, sekian aja. Happy reading!! Semoga suka dengan ceritanya... :) 





Rachel coba menyibak tirai jendela di samping pintu masuk utama rumahnya. Dengan saksama ia menyapukan pandangannya ke sekeliling lewat sebuah celah kecil. Sepi. Remang-remang. Tidak ada satu pun orang di luar sana.

Dengan perasaan cemas, Rachel coba menenangkan dirinya dengan mengembuskan napas panjang. Ia kemudian berbalik, menoleh ke arah jam dinding yang tergantung di dekat ruang keluarga.

Sudah pukul sepuluh lewat lima belas menit.

Lagi, Rachel diserang oleh perasaan waswas.

Marc memang sudah memberitahunya bahwa ia mungkin akan pulang terlambat hari ini, dan suaminya itu juga telah menyarankannya agar tidur lebih dulu, tidak perlu menunggu kepulangannya. Namun, tetap saja, bagaimana mungkin kau bisa tidur nyaman tanpa suami dan satu-satunya orang yang begitu kau cintai. Terlebih dalam keadaan hamil besar seperti ini. Tentu bersama  Marc adalah hal yang paling diharapkannya.

Sebenarnya, rasa khawatir yang dirasakan Rachel sudah bertubi-tubi. Sekitar lima belas menit yang lalu ia baru saja menelepon Marc dan menanyakan keadaannya. Tapi, belum sempat ia puas dan merasa tenang, tiba-tiba saja telepon itu terputus dan ia tidak dapat menghubungi Marc lagi setelah itu.

Lantas saja perasaan Rachel semakin menjadi-jadi, menekan batinnya dan membuatnya serasa ingin menyusul suaminya itu jika tidak memikirkan keadaan anak mereka nanti. Belum lagi kebiasaannya tidur lebih awal selama kehamilannya menyebabkannya harus merasakan kantuk yang luar biasa menyergap sekarang ini.

Oh, kenapa begitu bercampur aduk? batin Rachel sembari berjalan pelan dan duduk di sofa ruang keluarga.

Rachel coba menelepon Marc sekali lagi, siapa tahu sekarang ia sudah dapat menghubunginya. Namun, tetap nihil. Ia sama sekali tidak bisa menghubungi pria itu. Dan entah kenapa Marc juga tidak meneleponnya kembali.

Di saat terhujani perasaan risau seperti ini, satu-satunya hal yang dapat Rachel pikirkan adalah bagaimana percakapan mereka berlangsung pagi ini di mana Marc dengan berat hati memberitahu bahwa ia mungkin akan pulang sedikit lebih lama, dan bagaimana ia pun harus berusaha setengah mati untuk menahan agar ia tidak mengutarakan perasaannya yang begitu berat mengizinkan Marc.

Rachel memijat-mijat kening ketika mengulang hal itu kembali.

“Rachel, aku minta maaf sebelumnya kepadamu, tapi sepertinya hari ini aku akan pulang lebih lama. Kumohon kau jangan menungguku. Kau harus tidur yang cukup untuk kebaikanmu dan anak kita,” ujar Marc sembari menangkup kedua pipinya di ambang pintu, hendak berangkat bekerja. 

Sontak perkataan Marc barusan seolah menyambar dada Rachel. Pulang terlambat? 


“Kira-kira jam berapa kau akan pulang?” tanya Rachel ragu-ragu, bersiap mendengar jawaban apa pun dari Marc. 


“Yang pasti aku akan berusaha pulang secepat mungkin. Aku tidak bisa memastikan, tapi kurasa tidak sampai tengah malam.” 


Lagi, hati Rachel bagai menjerit protes. Marc akan pulang malam? Itu berarti ia akan sendiri seharian di rumah, dan saat malam tiba pun ia tetap akan sendirian hari ini. 


“Marc...,” panggil Rachel lemah, seraya menggapai lengan Marc. Jika tidak berpikir bahwa air mata akan semakin membuat Marc berat untuk meninggalkannya, ia pasti sudah menangis sejadi-jadinya di pelukan suaminya itu. 


Marc sangat tahu bahwa istrinya itu keberatan membiarkannya pergi hari ini, tampak dari manik matanya yang mulai berbinar dan raut wajahnya yang begitu gulana. 


Maka, Marc pun langsung menarik tubuh Rachel masuk ke dalam pelukannya, dan berbisik tepat di telinganya, “Hanya hari ini, Rachel. Hanya hari ini saja aku akan pulang terlambat. Aku berjanji padamu, aku akan pulang secepat yang aku bisa. Aku berjanji. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian di rumah ini hanya bersama dengan anak kita,” Marc melepas pelukannya dan menunduk untuk menatap perut Rachel yang sudah membesar, “karena aku sungguh-sungguh mencintaimu dan anak kita. Aku tidak akan membiarkan kalian kesepian. Aku akan segera pulang. Jaga baik-baik dirimu dan anak kita, ya?” kemudian Marc mengusap perut Rachel dan mengecup keningnya. 


Ketika Marc baru berjalan selangkah keluar dari rumah, Rachel kembali memeluknya dari belakang. “Pulanglah. Cepat pulanglah, Marc. Aku akan merindukanmu,” Rachel menempelkan pipinya di punggung Marc, menahan air mata yang kian mendesak untuk menetes. 


Jantung Marc bagaikan diremas dan dipelintir, ia mendadak merasa sesak di dadanya. Rachel adalah satu-satunya orang yang ada di kehidupannya. Tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya. Dan Rachel pun juga tidak memiliki siapa-siapa lagi selain ibu dan dirinya. Tidak ada yang bisa dimintai tolong untuk menemani Rachel di rumah selagi ia bekerja. 


Ketika memikirkan kondisi seperti itu, di mana mereka sama sekali tidak memiliki orang lain selain satu sama lain, itu sangat menggores dan menyayat hati Marc. 


Marc berbalik sekali lagi dan mengatakan dengan sangat lembut, “Kau bisa pegang kata-kataku, Sayang. Aku berjanji untuk pulang secepat yang aku bisa. Aku berjanji. Jaga dirimu.” Marc lalu mengelus pipi Rachel dan berbalik untuk benar-benar pergi.


Tanpa sadar sebulir air bening jatuh dan mengalir di pipi Rachel. Ia buru-buru menghapus air mata itu, teringat perkataan Marc bahwa ia tidak boleh menangis karena kesedihan lagi ketika bersamanya. Tidak, tidak lagi. Ia tidak akan merasakan kesedihan lagi.

Rachel sadar bahwa jika ia terus hanyut dan terbawa situasi seperti ini, ia mungkin akan melanggar janjinya pada Marc bahwa ia tidak akan menangis pilu. Jadi, meski dililit perasaan gundah, Rachel coba menguatkan dirinya. Dengan perlahan sambil menyangga perutnya, ia bangkit dari kursi dan berjalan pelan menuju kamar tidurnya.

Ia akan menunggu Marc di kamar saja. Ia bisa membaca buku atau melakukan apa pun di sana untuk mengalihkan perhatiannya. Dengan demikian, ia bisa berpikir positif dan itu juga akan baik bagi perkembangan anak mereka yang akan segera lahir, yang diperkirakan akan hadir di kehidupan mereka dalam hitungan hari.

***

Hanya ada dua hal yang kini benar-benar bernaung di dalam hati Marc. Sedari memacu mobilnya hingga telah tiba di halaman rumah, dua hal itu tetap tak beranjak pergi. Tetap, dan malah semakin menyeretnya.

Wanita itu, istrinya. Sedang apa dia sekarang? Apa ia menuruti perkataannya untuk tidur lebih dulu? Atau dia malah keras kepala dan menunggu kepulangannya?

Marc segera menjeblak pintu rumah dengan menggebu, menguncinya kembali, lalu berlari kecil menaiki undakan tangga, dan cepat-cepat memutar kenop pintu kamar tidurnya.

Saat berhasil membuka pintu dengan lebar, di saat itu pula Marc merasakan aliran kelegaan murni menyelisip ke dalam dadanya.

Rachel sudah tertidur. Wanita itu sudah terlelap.

Namun ketika melihat bagaimana posisi tidurnya sekarang, Marc mengerutkan kening dan dengan cepat merayap ke atas tempat tidur.

Rachel tidur dalam posisi bersandar pada dinding tempat tidur. Ia menggunakan bantal sebagai sanggahan punggungnya. Kepalanya tidak dalam posisi yang bagus, sehingga itu mungkin akan membuat lehernya terasa sakit. Dan Marc juga melihat sebuah buku tergolek di sampingnya.

Itu cukup menjadi bukti bahwa Rachel bukan sengaja untuk tidur, namun ia terlelap tanpa disengaja ketika membaca sebuah buku.

Marc dengan hati-hati coba menarik bantal di belakang Rachel, mengaturnya sebagai sanggahan kepala, menggendong tubuh Rachel dan menidurkannya pada posisi tidur yang baik. Ia juga tak lupa menyimpan kembali buku yang tadi dibaca Rachel ke dalam nakas di samping tempat tidur.

Seberkas sesal yang sempat mengisi hatinya, kembali dirasakan Marc menikam ulu hatinya. Lihat apa yang terjadi ketika ia meninggalkan Rachel sendirian di malam hari. Dia tidak tidur dengan benar!

Marc meringis membayangkan keadaan Rachel tadi, dan ia berjanji bahwa selanjutnya, ia akan melakukan apa pun agar jangan sampai ia harus meninggalkan Rachel sendiri di rumah lagi di malam hari.

Marc mengecup pipi Rachel sebelum beranjak kembali dari tempat tidur. Ia akan membersihkan diri dulu sebelum ikut tidur. Sebenarnya ia masih ingin memandangi istrinya dan meluapkan rasa rindunya, namun jika wanita itu sampai terbangun, maka malam ini tentu akan terjadi sebuah perdebatan kecil.

Rachel pasti akan bersikeras untuk menyiapkan air hangat baginya, namun Marc justru sama sekali tidak menginginkan hal itu. Tidak ketika Rachel tengah mengandung seperti ini. Jadi, untuk menghindari perdebatan itu, lebih baik ia mandi sekarang daripada Rachel lebih dulu menyadari kepulangannya.

Marc segera berjalan menuju ke kamar mandi. Dan setelah sekitar lima belas menit, ia kembali keluar dengan selapis handuk. Marc membuka lemari, kemudian mengenakan sehelai kaus berwarna merah dan bokser berwarna hitam dengan cepat.

Marc mematut diri sejenak di depan cermin, dan di saat itu pula ia menangkap pantulan senyum Rachel melalui kaca. Alis mata Marc berkedut melihat itu, dan ia pun langsung berbalik untuk melihat apakah Rachel sudah terbangun atau belum.

Namun, wanita itu sama sekali belum terbangun. Ia masih menutup matanya, namun bibirnya membentuk sebuah lengkungan tipis.

Marc terkekeh kecil ketika melihat kelakuan istrinya itu. Oh ya ampun, dia pasti sedang bermimpi indah!

Senyum yang menguap dari wajah Marc semakin lebar, dan ia tidak dapat mengabaikan kegemasan pada istrinya itu.

Marc cepat-cepat naik ke atas tempat tidur, lalu menyisipkan jari-jarinya di sepanjang rambut Rachel, sambil terus memandanginya dengan senyuman.

Oh, yang benar saja, rasanya ingin sekali ia mencubit pipi wanita itu jika tidak memikirkan bahwa saat itu ia tengah tertidur.

Senyum di wajah Rachel semakin mengembang, dan kini ia mulai bergerak-gerak kecil. Ketika melihat itu, Marc tidak tahan untuk tidak tertawa.

Begitu nyaman dan tenang rasanya melihat istrimu, satu-satunya wanita yang ada di kehidupanmu, tertidur seperti ini, sambil tersenyum, dan ia juga tengah mengandung anakmu.

Namun tanpa disangka, tiba-tiba saja garis peristiwa sekitar satu tahun yang lalu itu kembali terlintas di pikiran Marc. Entah kenapa kejadian itu kembali terngiang di kepalanya. Sebuah kejadian yang begitu terpatri di dalam otaknya.

Saat itu, hari itu, sekitar pukul tujuh malam....

“Ada apa kau datang kemari?” tanya wanita itu angkuh. Tatapan matanya sangat dingin seperti es. 

“Maaf, Nyonya. Maksud kedatanganku ke sini adalah untuk....” 


“Dilihat-lihat dari penampilanmu, sepertinya kau datang ke sini dengan suatu maksud yang besar. Sebelumnya, aku ingin bertanya kepadamu. Apa kau masih menjalin hubungan dengan putriku?” Wanita paruh baya itu menaikkan sebelah alisnya, memandang Marc dengan sorot merendahkan. 


“Itulah yang ingin kubicarakan. Aku datang ke sini untuk meminta izinmu agar mengizinkanku menjadi suami dari putrimu. Aku ingin menikahinya, Nyonya. Aku sungguh ingin menikahinya. Aku ingin menjadi suami serta ayah dari anak-anaknya. Dan aku ingin membangun sebuah rumah tangga bersama Rachel.” Dengan jantung yang berdegup dua kali lebih keras, Marc berusaha untuk berbicara tanpa nada gugup dan keraguan. Jangan sampai belum apa-apa dia sudah dicap oleh wanita di hadapannya ini sebagai lelaki pengecut. 


Raut wajah wanita itu terlihat syok. “Kau ingin menikahi dia?” 


Marc mengangguk dengan mantap. “Benar, Nyonya. Aku ingin menikahinya.” 


“Tidak. Tidak boleh. Aku tidak akan pernah mengizinkannya. Dia tidak boleh menikah denganmu,” tegas wanita itu sembari membuang muka. 


Marc pun mendadak terlihat panik. “Maaf, tapi kenapa? Aku berjanji akan selalu membahagiakannya. Aku akan melakukan apa pun untuknya. Kami saling mencintai dan apa salahnya jika kami berniat untuk menikah?” 


“Jangan bermimpi, itu tidak akan pernah terjadi! Dia tidak boleh menikah!” 


“Apa kau sudah menjodohkannya? Maksudku, jika dia tidak boleh menikah denganku, apa dia boleh menikah dengan pria lain?” tanya Marc penuh selidik. 


Wanita itu kembali menatap Marc dengan ekspresi kesal. “Sekali aku bilang tidak boleh, itu berarti kau tidak boleh menikahinya! Apa kau tidak mengerti juga?” bentak wanita itu, tajam. 


“Tapi kenapa aku tidak boleh menikahinya? Apa ada sesuatu yang salah denganku? Nyonya, kau sudah melihat sendiri bagaimana kami saling mencintai. Aku juga sudah memiliki pekerjaan tetap dan aku bisa menghidupi putrimu. Lalu, di mana kesalahannya?” Marc tetap berusaha untuk mencari tahu. Dia tidak akan menyerah untuk meminta Rachel menjadi istrinya. Dia tidak akan melepaskan gadis itu begitu saja. 


“Sebelum aku bersikap kasar padamu, lebih baik kau keluar dari rumahku sekarang! Dan lupakan saja niatmu untuk menikah dengannya! Aku tidak akan pernah mengizinkannya. Kau mengerti? Keluar kau sekarang juga!” pekik wanita itu sembari melompat dari kursi. Ia memandang garang ke arah Marc, seolah-olah ingin membunuhnya saat itu juga. 


“Maaf, Nyonya, tapi aku tidak akan pergi dari sini sebelum aku mendapatkan izinmu. Atau paling tidak, katakan padaku alasanmu menolak pernikahan kami!” Marc mulai berbicara sedikit lebih tinggi. 


“Nyonya, kenapa aku tidak boleh menikahinya? Apa ada sesuatu yang salah? Apa... apa ada laki-laki lain yang sudah kau siapkan? Atau... kenapa? Apa dia belum boleh menikah? Jika itu alasannya, aku bersedia untuk menunggu, Nyonya. Aku akan menunggu, dan akan selalu menunggu putrimu,” ujar Marc berusaha menggunakan cara apa pun untuk meyakinkan ibu dari calon istrinya ini. 


“Tidak! Dia tidak akan pernah menikah! Kau tahu? Dia tidak akan pernah menikah untuk seumur hidupnya!!” 


Dia tidak akan pernah menikah untuk seumur hidupnya. 


Marc terkesiap dan hampir tertelan lidahnya sendiri mendengar perkataan wanita di hadapannya ini. Benarkah dia adalah ibu dari gadis yang sangat dicintainya? 


“Tapi... kenapa?” Marc mulai gelagapan, tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. 


“Karena aku tidak akan membiarkannya bahagia! Dia tidak boleh bahagia sementara aku harus menderita selama bertahun-tahun dalam membesarkan anak itu!!” 


Jantung Marc bagaikan tersetrum listrik. Ia seperti diterjunkan ke laut bebas. 


“Nyonya, tapi kau adalah ibunya... bagaimana…?” 


“Aku sangat menderita bersama ayahnya dulu, dan anak itu semakin membuat penderitaanku menjadi dengan kehadirannya dan sikapnya ketika masih balita. Dia begitu menyusahkanku! Dia adalah gangguan dalam hidupku! Kau mengerti?! Dia adalah kesalahan! Apa kau pikir aku akan membiarkannya hidup bahagia bersamamu sementara aku begitu kerepotan dalam membesarkannya? Apa kau pikir aku akan membiarkannya pergi sekarang tanpa memperoleh keuntungan darinya?! Kau pikir lalu untuk apa selama ini aku membesarkannya kalau bukan untuk berguna ketika dewasa?!” 


Marc semakin berubah kaku. Kali ini, ia benar-benar tidak dapat meredam emosinya lagi. Wanita ini sudah keterlaluan. Dia begitu kejam, bahkan kepada putri semata wayangnya sendiri. Sebenarnya ibu macam apa dia yang berniat untuk membuat putrinya menderita sama seperti dirinya? Tidak ada ibu mana pun yang sampai setega itu pada anaknya sendiri. Anak kandungnya sendiri. 


“Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Kau begitu kejam. Kau bukanlah seorang ibu. Kau adalah wanita paling bengis yang pernah kutemui. Bukannya bersyukur memiliki anak, kau malah ingin memanfaatkannya untuk kepentinganmu sendiri! Kau adalah ibu terburuk yang pernah ada di dunia! Bagaimana bisa gadis seperti Rachel bisa memiliki ibu sepertimu? Benar-benar menyedihkan! Kau benar-benar menyedihkan, kau tahu? Tidak ada seorang anak pun di dunia ini yang berharap memiliki ibu kejam sepertimu! Tidak akan pernah ada seorang pun!!” 


Plak!! 


Sebuah telapak tangan mendarat dengan beringas di pipi Marc. 


“Diam kau! Kau tidak tahu apa-apa tentangku dan hidupku! Begitu banyak penderitaan telah menempah diriku menjadi keras seperti ini. Jika bukan untuk bermanfaat, lalu untuk apa kulahirkan dia? Apa hanya untuk menyusahkan diriku saja sampai aku mati? Hah, tidak mungkin!” 


Marc maju selangkah untuk dapat berbicara tepat di depan wajah wanita kejam itu. “Memalukan. Hanya kata itu yang dapat menggambarkan betapa buruknya dirimu. Dan kau camkan ini baik-baik. Aku akan tetap menikahi Rachel dengan, ataupun tanpa izin darimu. Karena kurasa dia sama sekali tidak membutuhkan izin dari seorang ibu yang selalu ingin mengambil keuntungan saja darinya. Dan kau tahu? Cepat atau lambat Rachel juga akan segera tahu kebenaran dari orang yang selama ini selalu dia panggil “ibu”. Aku tidak dapat menyembunyikan hal semacam ini darinya jika dia bertanya kepadaku. Jadi, bersiap-siaplah mulai detik ini dia tidak akan pernah lagi menganggapmu sebagai seorang yang begitu hormat dan patut diberi kasih sayang, karena memang kau sama sekali tidak pantas menyandang sebutan ibu....” 


Kata-kata Marc terpotong begitu matanya menangkap sesuatu. Ia tidak jadi melanjutkan kalimatnya. 


Gadis itu langsung berlari begitu melihat Marc sudah menyadari keberadaannya di balik pintu. Meski langsung berlari dan tidak mengatakan apa-apa, namun Marc dapat melihat bahwa gadis itu telah dibanjiri air mata. Dia pasti mendengar semua percakapannya dengan wanita itu sejak awal. 


Namun wanita angkuh itu sama sekali tidak terusik meski ia juga sudah menyadari keberadaan Rachel. Dia benar-benar terlihat santai dan bukannya merasa bersalah ataupun mencoba mengejar anaknya itu. 


Marc-lah yang justru merasakan perasaan bercampur aduk. Ia segera berlari menyusul gadis itu sambil berteriak memanggil namanya. 


“Rachel!!! Kumohon berhenti! Aku mohon, Rachel! Kita akan membicarakan semua ini!!” 


Namun Rachel tak bergeming dan terus berlari, hingga Marc pun benar-benar merasa panik dan semakin mempercepat laju larinya.


Ketika mengingat kembali peristiwa menggemparkan itu, tiba-tiba saja luka yang sudah lama ia kubur pun kembali menganga.

Ia tidak jauh berbeda dari Rachel. Jika Rachel memiliki ibu yang kejam seperti itu, dan ayahnya sudah meninggal, ia juga memiliki kondisi keluarga yang hampir persis.

Marc ditinggalkan oleh kedua orangtuanya di panti asuhan. Menurut cerita orang yang merawatnya selama di tempat itu, orangtuanya sengaja meninggalkannya di malam hari dalam keadaan hujan deras. Tidak ada sepucuk surat yang ditinggalkan bersamanya, hingga sampai sekarang pun Marc tidak pernah mengetahui hal sekecil apa pun mengenai kedua orangtuanya.

Dan hingga kini, tetap tidak ada orang yang coba mencarinya di panti asuhan itu. Itu cukup membuat Marc menyimpulkan bahwa memang kedua orangtuanya sama sekali tidak peduli terhadapnya.

Di sinilah ia sekarang. Hanya berdua bersama istrinya. Tidak ada kerabat yang bisa mereka kunjungi, juga tidak ada anggota keluarga yang akan datang berkunjung sesekali.

Marc mendadak tersentak begitu merasakan sebuah telapak tangan tertangkup di lengannya. Rachel tidak tersenyum lagi, mungkin dia sudah tidak memimpikan hal yang sama.

Namun Rachel terus menyentuh-nyentuh tangannya, menjalar naik turun.

Pelan-pelan Rachel membuka kelopak matanya. Dan begitu berhasil, ia mendapati tangannya telah berada di atas tangan yang lain.

Rachel mendongak dengan mata menyipit, perlahan baru menyadari bahwa si pemilik tangan adalah suaminya sendiri.

“Marc...,” panggilnya pelan, hampir menyerupai bisikan. “Kau sudah pulang?”

Rachel berusaha untuk bangkit, namun Marc segera menahannya.

“Jangan bangun. Aku sudah pulang dan kau tahu, aku juga sudah mandi. Jadi tidak ada alasan bagimu untuk beranjak dari sini,” Marc mengerling puas pada Rachel.

Mata Rachel kini sudah terbuka sempurna. “Sungguh? Kapan kau pulang? Kenapa aku tidak tahu? Kenapa kau tidak membangunkanku agar aku bisa menyiapkan air hangat?”

“Apa aku harus membangunkanmu yang tengah tertidur sambil tersenyum, saat kehamilan pula, hanya demi bisa mandi dengan air hangat?”

Rachel terlihat berpikir. “Hm, mungkin. Jika kau benar-benar kedinginan untuk bisa mandi,” Rachel tergelak. “Dan, apa? Aku tersenyum saat tertidur?”

“Tentu saja tidak, Rachel. Aku tidak akan melakukannya. Kau tahu, memang sedikit dingin, tapi ketika remaja aku pun pernah beberapa bulan sering mandi di malam hari langsung dengan air dingin, jadi mengulangnya sekali ini tidak masalah, kan?” Marc ikut tergelak, sambil mencubit pipi Rachel dengan kasih sayang.

“Hm, kau benar juga,” sahut Rachel membalas dengan melayangkan tinju kecil ke bahu Marc. “Tapi lain kali kau harus membangunkan aku, ya… dan kau juga belum menjawab pertanyaanku yang satu lagi. Kau pasti berbohong saat mengatakan aku tertidur sambil tersenyum. Iya, kan?”

Kali ini, Marc benar-benar melepas tawanya. “Tidak, aku tidak berbohong. Kau benar-benar tersenyum, Rachel….”

Wajah Rachel mulai merona merah. “Oh, sungguh? Kau tidak sedang coba menggodaku, kan?”

“Apa aku terdengar menggoda? Beritahu aku, kau pasti memimpikan aku, kan?” tebak Marc percaya diri. Ia memasang wajah bangga.

“Tidak juga. Aku bermimpi tentang anak kita nanti,” elak Rachel, tersipu.

“Benarkah? Apa yang kau mimpikan? Ayolah, katakan padaku kau pasti memimpikan aku juga,” sahut Marc tak mau kalah.

“Tidak, tidak. Aku tidak bermimpi tentangmu. Tapi... apa kau tahu? Aku tadi bermimpi tentang anak kita dan... ayahnya,” Rachel mendorong tubuh Marc lembut, merasa salah tingkah.

Marc refleks terbahak. “Apa kali ini kau yang menggodaku? Kau sudah belajar bagaimana caranya menggoda?”

“Siapa yang selalu menggodaku hingga kini aku sudah bisa menggodanya kembali? Kau, tentu saja kau, Marc Marquez, si tukang menggoda,” tuduh Rachel. Ia tertawa puas.

“Kau ini yaa... bagaimana caranya kau bisa belajar menggoda secepat itu?” tanya Marc gemas.

“Karena setiap hari aku terus belajar bagaimana caranya menggoda darimu, Tuan Marquez,” Rachel terkikik begitu mengatakannya. Ia menjauh dan berusaha untuk berbalik.

Marc dengan segera menggagalkannya dengan lembut. Ia menangkap tubuh Rachel. “Hm, kau ini...,” Marc coba menggelitik.

Rachel tertawa makin kencang ketika Marc menggelitikinya. Ia bergerak-gerak pelan kesana-kemari, sambil memegangi perutnya.

“Hahaha… cukup, cukup, Marc. Jangan bermain lagi. Aku dan anak kita ingin kembali tidur sekarang.”

Marc masih terkekeh. “Huh, baiklah, baik, Nyonya Marquez. Kau kalah dalam pertandingan ini, ya? Jangan lupakan bahwa skorku sudah ada satu, dan kau masih kosong,” ujar Marc sembari mematikan lampu.

“Tapi lihat saja nanti. Aku yang akan memenangkannya, Marc sayang,” bisik Rachel, saat Marc sudah berbaring di sampingnya.

“Kau sungguh yakin? Kalau begitu, mari kita tidur dan kita lanjutkan besok pagi. Kau akan lihat betapa lihai aku dalam pertandingan mengerjai orang lain. Apalagi mengusilimu,” bisik Marc sambil mengerling menggoda. Refleks senyum lebar kembali tersungging di bibir mereka masing-masing.


To Be Continued...

Comments

  1. Sebenernya kamu nulisnya emang lebih banyak pakai tell daripada show. Tapi nggak ngebosenin, karena kamu bisa ngatur naik-turunnya alur, jd itu bisa memengaruhi feel cerita dan ini dapet banget. Apalagi pas bagian Marc mau ngelamar Rachel. Euh... Itu kayak ada something gitu bacanya. Keep writing ya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi, iyaa kak, aku juga sering kebawa pas nulis narasinya, jadi panjang ._. Hehehe, syukurlah kalo ga ngebosenin yaa kak.. iyaa, thank you for reading kaaak :D ;)

      Delete

Post a Comment