No More Love For You #5

Hai!! Alhamdulillah bisa ngelanjut FF ini lagi setelah… lama juga yaa gak dilanjut.. 

Sempat bingung kelanjutan cerita ini mau dibuat gimana, tapi aku putuskan buat milih alur yang begini. Semoga suka yaa. 


Dan semoga juga ide buat lanjut FF ini kedepannya lancar.. 


Happy reading everybody! 





Sejak kepulangannya dari kediaman Rachel dan Bibi Darcy, Marc terus saja dihantui oleh berbagai pikiran yang bercampur aduk. Secercah kesal menyusup ke dalam pikirannya, sementara di hatinya dicamuki oleh perasaan tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Alex bisa sampai tidak memberitahunya tentang berita sebesar ini?

Pandangan Marc menyapu ke arah depan, menangkap satu per satu objek yang ada di hadapannya.

Bangunan yang kini menjadi pusat perhatiannya begitu kokoh dan tegap. Dengan kesan klasik yang sangat menguar dari bangunan tersebut, cukup menjadi bukti bahwa bangunan itu sama sekali bukanlah selera Marc. Marc menyukai warna yang lebih cerah.

Meskipun Marc benar-benar tidak dalam kondisi yang cukup mampu untuk berkonsentrasi, namun tetap saja ia mengikuti kata hatinya untuk menunggu. Suara hatinya seolah memaksa agar ia menahan diri dan tidak langsung mendatangi tempat itu dan meluapkan emosinya secara membabi buta.

Sudah sekitar lima belas menit Marc duduk diam di dalam mobil, di suatu sudut yang cukup strategis untuk memantau keadaan di depan sana. Mata Marc menyorotkan dua perasaan berbeda yang mewakili hatinya. Tatapan tajam terlihat jelas dari sudut-sudut matanya, sangat tajam dengan raut wajah keras hingga siapapun yang melihatnya mungkin akan menyamakan tatapan itu dengan tatapan seekor elang. Tajam dan mematikan.

Namun ketika seorang gadis keluar dari tempat itu dan berdiri seraya tersenyum melayani pelanggan, tatapan es itu mencair seketika. Raut kasar yang sempat membingkai wajah tampannya, dengan luluh berubah menjadi sebuah ekspresi yang begitu lembut dan menenangkan. Kedua sudut bibirnya perlahan-lahan mulai tertarik ke samping dan membentuk sebuah lengkung yang menawan.

Gadis itu berdiri tepat di bawah pohon dan disinari oleh sinar mentari yang jatuh secara samar-samar di atas kepalanya. Rambutnya diikat ekor kuda, tampak cocok dengan wajahnya yang begitu manis. Sementara senyum tak sedikit pun pudar hingga semakin menarik hati Marc untuk jatuh dan jatuh lagi pada gadis itu.

Beberapa menit yang sangat menyenangkan dapat melihat senyum alami dari seorang gadis yang begitu kau cintai.

Namun ketika gadis itu masuk kembali, senyum di wajah Marc pun menguap dan ikut hilang seiring tubuh gadis itu yang menghilang di balik pintu. Marc buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku depan celananya.

Tangannya sibuk mengusap layar dan mencari nomor telepon yang ingin ia tuju. Dan begitu mendapatkan nomor telepon itu, Marc cepat-cepat menempelkan ponsel di sisi telinga sebelah kanan.

“Halo?”

“Halo, Mr. Pedrosa. Di mana kau sekarang dan apa yang kau lakukan?”

“Hm... aku sedang bekerja. Di The Kafka. Ada yang bisa aku lakukan untukmu?”

Marc berdeham sebelum menyahut, “Oh, iya, jika kau punya waktu, apa kau bisa temui aku di depan The Kafka?”

“Tentu saja, Mr. Marquez. Aku akan segera datang. Tapi... jika boleh tahu, mengapa kau tidak langsung masuk saja?” Suara Mr. Pedrosa di ujung telepon sedikit terdengar bergetar dan ragu-ragu, takut apabila orang yang sedang bicara padanya ini tersinggung dan menganggapnya tidak sopan.

“Oh, tidak apa-apa. Aku hanya mampir sebentar. Aku ingin bicara padamu beberapa menit. Apa kau bisa datang sekarang?” tanya Marc coba mengakhiri keingintahuan Mr. Pedrosa. “Dan... oh ya, jangan tutup teleponnya selagi kau berjalan keluar. Aku akan menuntunmu ke arah mobilku. Kau mengerti?”

Mr. Pedrosa mulai beranjak dari meja kerjanya. “Tentu, tentu saja. Aku akan segera sampai di depan.”

Tak lama waktu berselang....

“Mr. Marquez, aku sudah di depan pintu, di mana kau?” Dengan mata menyipit Mr. Pedrosa coba melihat ke sekeliling, mencari tahu keberadaan mobil Marc.

“Aku melihatmu. Sekarang, coba lihat lurus ke depan. Mobilku ada di sudut jalan di hadapanmu, tidak begitu jauh, dan aku menggunakan mobil berwarna hitam. Apa kau bisa melihatku?” Marc terus memantau Mr. Pedrosa.

Setelah melihat lebih saksama, akhirnya Mr. Pedrosa mengangguk mengerti. “Aku melihat mobilmu. Aku akan segera datang,” ujar Mr. Pedrosa menutup telepon dan mulai menyeberang menghampiri mobil hitam di ujung sana.

Setelah sampai tepat di mobil Marc, Mr. Pedrosa langsung membuka pintu mobil dan duduk di samping Marc.

Marc melihat keadaan Mr. Pedrosa yang sedikit tersengal-sengal sebab berlari untuk menyeberang, dan ia memberi waktu bagi pria itu untuk mengatur napasnya kembali.

Setelah lebih baik, Mr. Pedrosa langsung bertanya, “Apa ada yang bisa kubantu, Mr. Marquez?”

Marc mengangguk, tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya dan terus menatap ke depan. “Benar. Sebenarnya aku ingin bertanya suatu hal padamu.”

“Apa itu?” tanya Mr. Pedrosa waswas. “Jika kau ingin menanyakan keadaan coffee shop ini, aku sudah berusaha keras bekerja untuk tempat ini. Aku terus memantau dan melihat sendiri keadaan karyawan dan aku juga selalu rutin mengecek keadaan keuangan,” beber Mr. Pedrosa, berjaga-jaga jika Marc menanyakan kinerjanya selama ini.

“Oh bukan. Aku bukan ingin menanyakan bagaimana situasi dan kondisi di sini. Jika aku ingin menanyakan hal itu, aku bisa langsung masuk dan melihat sendiri keadaannya. Tapi aku ingin menanyakan tentang salah satu pelayan yang ada di sini.”

“Siapa itu?” Alis Mr. Pedrosa beradu satu, bingung.

“Rachel. Namanya Rachel Nicollina. Kau pasti tahu dia, kan? Dia seorang pelayan baru. Dan yang ingin kutanyakan adalah, apakah adikku tahu menahu tentang hal ini? Apa dia tahu bahwa gadis bernama Rachel itu bekerja di sini?”

Mr. Pedrosa tampak kaget sejenak. Siapa sebenarnya gadis itu? Mengapa Mr. Marquez tiba-tiba menanyakannya? Apa dia ada hubungannya dengan gadis bernama Rachel itu?

“Dia... ya, benar, dia adalah pelayan baru di sini. Dia baru masuk bekerja hari ini. Dan apakah Mr. Alex tahu mengenai dirinya... itu juga benar. Mr. Alex selalu tahu siapa-siapa saja yang bekerja di sini, karena memang dia sering berkunjung kemari.”

Teng!

Mata Marc membulat seketika. Tenggorokannya seperti tersumbat sesuatu, ia sulit menelan ludah. Sementara punggungnya bagai membeku hingga ia sulit bergerak.

Alex tahu tentang Rachel. Adikku jadi sudah tahu bahwa Rachel bekerja di sini, geming Marc dalam hati.

“Hm, Mr. Marquez? Apa kau baik-baik saja?” tanya Mr. Pedrosa heran ketika melihat raut wajah Marc yang datar dan pandangannya yang kosong lurus ke depan.

Marc tersentak kaget dan langsung menoleh. “Oh iya, aku baik-baik saja. Terima kasih atas informasi dan waktunya, Mr. Pedrosa.”

“Sama-sama, Mr. Marquez. Jika ada yang ingin kau tanyakan atau ada yang bisa kubantu, hubungi saja aku,” sahut Mr. Pedrosa bersiap-siap keluar dari mobil Marc.

Marc hanya tersenyum tipis ke arah Mr. Pedrosa. Dan Mr. Pedrosa pun membalas senyuman itu dengan senyum lebar ketika menutup kembali pintu mobil Marc.

Sementara sendiri di dalam mobil....

Marc merasa benar-benar tidak menyangka dan tidak habis pikir. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa Alex, adiknya sendiri, hanya diam saja dan tidak bicara padanya mengenai hal ini? Jika ia beralasan tidak bisa bicara padanya karena akhir-akhir ini ia sering keluar rumah, kenapa pagi ini ketika mereka berpapasan, Alex juga tidak memberitahunya?

Tidak, tidak ada alasan bagi Alex untuk menyangkal.

Marc semakin merasa kegeraman merayap naik hingga ke ubun-ubun kepalanya. Dengan cepat, ia memutar mobil dan segera berbalik pulang ke rumah. Namun tanpa sengaja tiba-tiba mata Marc menangkap sesuatu. Marc menghentikan lagi mobilnya dan kembali ke tempat semula.

Itu seperti mobil Alex, terka Marc dalam hati. Dia terus memerhatikan baik-baik mobil itu, coba melihat siapa yang ada di balik kemudi.

Ya, dan benar saja, tak lama kemudian, seorang pria bertubuh tinggi dan tegap keluar dari mobil itu dan berjalan ke arah pintu masuk The Kafka.

Ketika menyadari bahwa si pemilik memang benar adalah adiknya, Marc sangat terkejut dan terbelalak. Dan ketika melihat pergerakan Alex, Marc pun cepat-cepat ingin ikut keluar dan mencegat adiknya, namun kemudian ia sadar jika itu bukanlah sebuah tindakan yang bagus. Berbicara lewat telepon masih jauh lebih baik daripada turun dan berbicara langsung di depan keramaian dalam suasana hati yang buruk seperti ini. Tidak akan ada yang tahu apa yang akan diucapkannya dan dilakukannya ketika berhadapan dengan Alex secara langsung.

Tidak, jikalau pun Marc akan meluapkan kekecewaannya pada Alex, dia tidak akan meluapkannya di tengah keramaian seperti ini. Dia tidak akan menjadi tontonan banyak orang. Akal sehatnya masih cukup berfungsi untuk berpikir dan tidak mengorbankan nama baiknya dan juga nama baik Alex.

Jadi, Marc buru-buru mengeluarkan ponsel dan menelepon Alex sebelum ia sempat masuk ke dalam sana.

Dengan masih terus mengamati pergerakan Alex dari jauh, Marc tanpa basa-basi langsung menyembur, “Alex? Aku minta kau pulang sekarang.”

Alex berhenti beberapa langkah di depan mobilnya. “Apa? Kau ini kenapa? Jika kau sudah sampai di rumah, ambil saja kunci di tempat biasa, aku tidak jadi membawanya. Aku masih ada urusan, sudah dulu.”

Marc mulai merasa panik. “Tidak. Bukan soal itu. Aku ingin bicara serius padamu. Aku minta kau pulang sekarang. Cepat pulang. Sekarang.”

Alex meremas rambutnya sendiri, merasa gemas dengan sikap Marc yang memintanya pulang sementara masih ada hal yang harus dilakukannya.

“Yaampun, Marc. Kau ini. Nanti saja bicaranya. Aku masih ada urusan lain. Sudah, aku matikan teleponnya.” Alex berjalan semakin dekat ke arah pintu masuk.

“Tidak, jangan, Alex. Kumohon. Ini penting sekali. Sungguh, aku serius. Cepat pulanglah.” Punggung Marc menegak, semakin merasa panik.

Tidak, Alex tidak boleh sampai masuk ke dalam dan menemui Rachel sebelum ia sempat bicara padanya.

“Aduh, kau ini sebenarnya kenapa? Tidak biasanya kau ingin bicara serius denganku. Memangnya ada hal penting apa yang ingin kau bicarakan? Jika ingin bercerita tentang wanita barumu, nanti saja. Aku sungguh tidak ingin mendengarnya,” sahut Alex angin lalu. Dia kemudian kembali berjalan.

Sialan!!! Wanita baru?? Memangnya dia kira aku lelaki bajingan? gerutu Marc dalam hati. Api amarah semakin bergolak di dalam dirinya.

“Aku bilang cepat pulang, Alex!! Aku tidak menerima alasan apapun. Pulang sekarang atau kau akan menyesal. Aku tidak mau tahu. Ini demi diriku.” Marc mulai kalap sebab Alex telah menyentuh gagang pintu masuk.

Alex pun mendadak refleks berbalik. Dia menghela napas panjang. “Aku pulang sekarang,” lalu Alex langsung menutup telepon.

Alex sangat menyayangi kakaknya. Jika kakaknya itu telah berbicara sesuatu dengan mengatasnamakan dirinya, hatinya pasti akan selalu luluh. Dan Marc menggunakan kelemahannya itu sekarang dengan mengatakan “demi diriku”. Alex tidak bisa menolaknya. Dia akan meninggalkan apapun pekerjaannya jika Marc sudah berkata seperti itu.

Sementara Alex telah mengalah dan masuk ke dalam mobilnya kembali, Marc pun merasakan kelegaan yang luar biasa. Akhirnya dia berhasil menggagalkan Alex untuk masuk ke dalam coffee shop itu.

Marc mengembuskan napas panjang, mengusap pelipis, menormalkan kembali detak jantungnya, lalu berbalik dan memacu mobilnya membelah jalanan untuk pulang ke rumah.


***


Marc sengaja mengambil jalan pintas untuk dapat tiba lebih dulu di rumah. Jika ia mengambil jalan biasa, kemungkinan besar Alex akan menyadari bahwa ia tengah mengemudi dengan Marc di dekatnya. Jadi, Marc sengaja mengambil jalan lain untuk menghindari kemungkinan itu.

Setibanya di rumah, Marc langsung memarkir mobil dan duduk di teras. Ia tahu bahwa ia bisa saja mengambil kunci rumah di tempat biasa dan masuk ke dalam, namun ia memutuskan untuk duduk dan menunggu kehadiran Alex di luar saja.

Kemeja hitam polos yang dengan sangat rapi dikenakannya tadi pagi, kini sudah tersibak keluar dengan kusut. Dua kancing teratas kemejanya sudah dilepas dan tampak noda berwarna putih di bagian kerahnya. Sementara ikat pinggangnya, Marc sudah melepas kepalanya, tapi belum melepasnya secara utuh. Rambutnya yang sudah disisir rapi dan diberi gel rambut, kini sudah awut-awutan dan semakin berkilat karena bercampur keringat.

Marc tidak peduli dengan penampilannya sekarang. Semua ini ia lakukan hanya untuk gadis itu, dan kini ia telah gagal dan bahkan mendapati suatu fakta yang begitu besar tentang adiknya sendiri. Penampilan sudah tidak penting lagi sekarang.

Ketika sedang duduk terpaku mengamati lantai, coba memikirkan apa yang telah terjadi, di saat itu pula Marc mendengar deru mesin mobil memasuki pekarangan rumahnya. Marc langsung terdongak mengikuti mobil itu yang diparkir si pengemudi di samping mobilnya. Dan tak lama kemudian, si pengemudi pun keluar dari mobil itu lalu berjalan menghampiri dirinya yang duduk di teras rumah.

“Kenapa tidak langsung masuk? Aku sudah bilang, kan, aku tidak membawa kunci rumah, jadi kau bisa mengambilnya di tempat biasa,” ujar Alex sembari mengambil kunci yang ia letakkan di tempat yang hanya ia dan Marc yang mengetahuinya.

Alex kemudian memutar kunci itu dan membuka pintu. “Masuklah.”

Mereka berdua pun memasuki rumah lumayan besar yang sengaja didesain dengan dominasi warna cokelat muda itu.

Marc langsung mengempaskan tubuh di sofa ruang tamu, sementara Alex menutup pintu lebih dulu sebelum mengikuti kakaknya duduk di sofa.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Alex tanpa basa-basi.

Marc mendecak lidah sebelum menyahut pendek, “Rachel.”

Alex tampak syok selama beberapa saat. “Kenapa? Ada apa dengannya?”

Gigi-gigi Marc saling beradu tajam, semakin merasa kesal. “Tidak usah pura-pura tidak tahu, Alex. Aku sudah tahu semuanya. Rachel bekerja di coffee shop kita, kan? Dan mengapa kau tidak memberitahuku? Hari ini aku datang ke rumahnya dan ingin bicara padanya, namun yang dapat kutemui hanyalah bibinya. Dan di sana pulalah aku tahu bahwa Rachel telah bekerja di The Kafka.” Marc tidak sabar untuk mengulur-ulur waktu. Ia langsung saja berdiri dan menatap Alex dengan sorot tajam.

“Marc...,” Alex coba menjelaskan. “Sebenarnya aku… sudah ingin memberitahumu. Hanya…,” Alex mendadak gelagapan.

Marc semakin menatap Alex dengan sorot tajam bak ingin melahap adiknya itu. “Aku tidak dapat menemukan alasan yang baik bagimu untuk menyangkal. Aku tidak menerima alasanmu yang mungkin tidak masuk akal itu. Jadi, simpan saja untuk dirimu sendiri.”

“Dan aku ulangi sekali lagi. Kenapa hingga detik terakhir sebelum aku pergi ke rumahnya pun kau tetap tidak memberitahuku? Kenapa kau tidak memberitahu bahwa Rachel-ku telah melamar pekerjaan di sana??!! Aku bisa melakukan apapun untuknya. Dia tidak perlu repot-repot bekerja sebagai pelayan. Aku bisa membantunya mencari pekerjaan lain jika dia mau. Atau dia pun bahkan dapat tidak perlu bekerja seperti ini!” kalap Marc, mulai tidak bisa mengendalikan emosinya.

Alex ikut berdiri. “Jangan bodoh! Apa kau kira sekarang dia mau mendengarkanmu? Jangan lupa apa yang telah kau lakukan terhadapnya selama ini! Aku berani bersumpah akan sangat sulit baginya untuk percaya padamu lagi! Dan berapa lama kau sudah mengenalnya? Apa masih kurang bagimu untuk memahami dirinya?”

“Jika kau tidak tahu apa-apa tentangnya, lebih baik kau diam saja! Dia tidak bicara padamu lagi, kan sejak kalian berpisah? Jadi, kau sama sekali tidak tahu apa yang terjadi padanya, bagaimana keadaannya, alasan kenapa dia bekerja, dan bagaimana dia menjalani hidup setelah berpisah darimu. Sebelum kau mengetahui kebenarannya, coba kendalikan dirimu dan bertanyalah pada dirimu sendiri. Kau tidak memiliki hubungan apapun lagi dengannya, dan selama ini kau juga selalu menyakitinya, jadi kenapa tiba-tiba kau peduli padanya seperti ini? Aku minta maaf jika harus mengatakan ini, tapi inilah kenyataannya, Marc. Kau tidak memiliki hak apapun lagi terhadapnya. Kau sudah tidak lebih dari sekadar teman baginya. Jadi, cobalah untuk memahami statusmu sekarang ini!”

Kau sudah tidak memiliki hak apapun lagi terhadapnya. 

Kau sudah tidak lebih dari sekadar teman baginya. 


Jantung Marc seolah dihantam oleh beton. Dadanya sesak, udara tidak bebas masuk ke dalam paru-parunya. Perkataan Alex begitu mendentam dadanya. Ia bagai jatuh dari ketinggian beratus-ratus kaki dan menghantam tanah di bawahnya. Tertusuk dedurian dan merobek setiap jengkal kulitnya.

“Aku memang tidak memiliki hak apapun lagi terhadapnya, aku memang bukan kekasihnya lagi, tapi aku masih mencintainya. Aku masih sangat mencintainya, kau tahu? Dan aku akan selalu mencintainya. Semua yang selama ini aku lakukan, itu tidak kulakukan karena aku adalah laki-laki brengsek. Jika kau tidak tahu alasanku, sebaiknya kau juga diam dan kendalikan dirimu. Karena aku tidak selalu menceritakan kepadamu setiap momen dan kebersamaan kami berdua.” Marc maju beberapa langkah ke arah Alex, berhenti tepat di depannya hingga wajah mereka hampir bertabrakan.

“Selain aku kecewa padamu karena tidak memberitahuku masalah Rachel, aku juga kecewa padamu sebagai adikku satu-satu-satunya dan yang paling aku sayangi. Sejak kecil, aku selalu sangat menyayangimu dan menceritakan apapun tentang diriku. Katakan padaku, apa yang tidak kau ketahui tentang aku kecuali beberapa hal yang memang tidak bisa kubagi pada siapapun? Apa aku pernah berbohong padamu? Apa aku pernah tidak berbagi apapun dalam hidupku padamu? Tidak pernah, kan? Jadi kenapa sekarang kau berbohong dan menyembunyikan sesuatu dariku, Alex???!!!” pekik Marc tepat di wajah Alex.

“Aku lebih kecewa padamu karena kau, adikku sendiri, bisa sampai tidak memberitahu dan menyembunyikan suatu hal seperti ini dariku! Apa yang kau pikirkan pagi ini saat aku mengatakan padamu bahwa aku akan ke rumah Rachel? Sebenarnya saat itu kau bisa saja memberitahuku, namun kau tetap tidak melakukannya hingga aku keluar dari rumah. Sebenarnya apa yang kau pikirkan, Alex? Apa yang kau pikirkan saat memutuskan untuk berdiam diri saja seperti yang kau lakukan pagi ini, hah??!!” Napas Marc mulai tersengal-sengal. Ia mencengkeram kaus biru yang Alex kenakan, menariknya, lalu mendorongnya hingga Alex pun memundurkan langkahnya.

Alex diam dan hanya menunduk mendapat perlakuan seperti ini dari Marc. Ia sama sekali tidak memiliki niat untuk membalas ataupun sekadar menyahut. Karena jikalau pun ia menyahut, apa yang bisa dikatakannya? Marc telah kecewa atas dua hal terhadapnya. Diam-diam Alex mengutuki dirinya sendiri. Sebenarnya pagi ini ia pun sudah dilanda kebingungan yang amat luar biasa. Marc begitu bersemangat, dengan penampilan yang sudah disiapkannya sedemikian rupa, ia tidak sampai hati jika harus memberitahu Marc dan mematahkan rencananya ingin bertemu Rachel di rumahnya.

Jika saja ia lebih memilih untuk menghentikan Marc pagi ini dan memberitahu semuanya, mungkin Marc akan mengubah rencananya dan ia tidak akan memberi kekecewaan pada Marc.

Oh Tuhan, sesal Alex dalam hati.

“Marc, jika kau benar-benar kecewa padaku karena menyembunyikan hal ini darimu, aku sungguh-sungguh minta maaf atas kesalahanku. Tapi saat itu yang dapat kupikirkan hanyalah aku akan memberitahumu di waktu yang lebih tepat. Kau begitu senang pagi ini, bagaimana aku bisa merusaknya dan membuatmu mengubah rencanamu?” Alex coba memotong jarak dari Marc.

“Aku minta maaf, Marc....” Tatapan Alex mulai tampak mengiba dan menyiratkan rasa bersalah.

Marc masih diam dengan raut wajah kecewa yang mendalam. Ia sama sekali tidak menatap ke arah Alex. Bibirnya kaku dan terkatup rapat.

Marc memang sangat menyayangi Alex. Meski mereka sering bertengkar, namun itu bukanlah suatu tombak yang mengikis kedekatan mereka. Marc selalu menceritakan apa saja yang ia alami, dan Alex pun selalu mendapatkan kenyamanan jika bercerita dengan kakaknya.

Bukan hal yang aneh jika sekarang Marc kecewa dengan Alex. Alex punya banyak kesempatan, namun tidak satu pun digunakannya. Itulah yang lebih menggores hati Marc. Adiknya sendiri tidak memberitahu dirinya tentang suatu hal yang besar.

Marc tidak akan mampu mengendalikan dirinya jika berdiri lebih lama lagi di hadapan Alex. Maka, Marc hanya membalas dengan melempar tatapan kasar pada Alex, melepaskan tangan Alex pada sikutnya, lalu segera berjalan cepat menaiki undakan tangga meninggalkan Alex yang masih merasa bersalah di bawah.

Setelah Alex tidak dapat melihat lagi tubuh Marc yang menghilang di lantai dua, ia pun semakin merasa kesal terhadap dirinya sendiri. Dia ingin mengejar Marc, namun Alex sangat tahu bahwa di saat seperti ini Marc tidak akan meladeninya apalagi menyambut permintaan maafnya. Dan oleh karena itu, Alex hanya dapat duduk kembali di sofa sembari berharap Marc akan merasa lebih baik dan mereka dapat bicara seperti biasa kembali.


***


Selama seharian ini, Rachel sangat berharap Alex datang ke coffee shop-nya. Bukan tanpa alasan, melainkan Rachel ingin menanyakan tentang kebenaran Alex. Jika dia adalah pemilik tempat ini, Rachel ingin memastikan bahwa ia tidaklah berdiri di sini karena belas kasihan orang lain. Bukannya sombong, ataupun lainnya, namun Rachel benar-benar tidak bisa menerima keberhasilan akibat campur tangan orang lain yang merasa iba terhadapnya. Rachel menerima bantuan, hanya saja tidak dengan bantuan instan yang memungkinkannya berdiri di tempat yang diinginkannya tanpa usaha sama sekali.

Jam terus berdetak. Kini jarumnya sudah menunjuk angka empat sore. Ini adalah waktu bagi Rachel untuk pulang.

Sekali lagi Rachel coba melihat ke sekeliling The Kafka, masih setengah berharap Alex ada di tempat ini dan ia bisa menanyakannya sekarang, namun Alex tetap tidak ada di sini.

Mungkin memang pria itu tidak datang, batin Rachel.

Rachel kemudian mulai menerima bahwa hari ini dia tidak bisa bicara dengan Alex, dan ia pun berjalan pulang ke rumah dengan harapan baru. Semoga Bibi Darcy sudah tiba di rumah lebih dulu, harap Rachel.

Lima belas menit kemudian Rachel pun tiba di rumah. Dia langsung memutar kenop pintu dan masuk ke dalam.

Untuk sejenak Rachel mengistirahatkan tubuhnya di atas sofa di ruang keluarga, seraya membuka ikat rambut dan bersandar santai.

Hari ini adalah hari yang melelahkan baginya. Rachel belum pernah bekerja di luar sebelumnya. Ini adalah kali pertamanya. Jadi, wajar saja ia merasa begitu kelelahan karena tubuhnya belum terbiasa.

“Rachel? Kau sudah pulang?” sapa secercah suara yang begitu dikenali Rachel.

Rachel refleks menoleh ke arah sumber suara. “Bibi? Iya, aku baru saja sampai.”

“Minum dulu. Bibi sudah siapkan teh.” Bibi Darcy meletakkan nampan yang dibawanya ke atas meja di depan Rachel. Dia pun tak lama ikut duduk di sebelah keponakannya itu.

“Kau tampak kelelahan. Maafkan bibi, Rachel. Karena bibi kau harus bekerja seperti ini.”

Rachel buru-buru menyanggah, “Tidak, tidak, Bibi. Aku sungguh tidak apa-apa. Malah aku senang bisa mendapat kesempatan untuk mencoba pengalaman baru. Bibi ingat, aku belum pernah bekerja di luar sebelumnya, kan. Jadi, ini bisa melatih kemandirian dan diriku untuk bekerja keras,” Rachel mengerling pada bibinya, coba meyakinkan bahwa ia senang bisa bekerja seperti ini.

Rachel bisa mengatakan apapun, namun dia lupa bahwa sedari kecil, ia sudah tinggal dan dirawat oleh bibinya. Jadi, bibinya itu tahu persis apa yang dirasakan olehnya dan kebiasaannya menyembunyikan sesuatu untuk menjaga perasaan orang lain.

Dia kelelahan. Aku tahu itu, Rachel. Aku tahu ini adalah suatu yang berat bagimu. Aku percaya kau rela melakukan semua ini, namun pada awalnya, kau pasti merasa perbedaan yang begitu kontras. Aku bersyukur bisa memilikimu, gumam Bibi Darcy sembari memandangi wajah keponakan kesayangannya.

“Oh ya, aku sampai lupa menanyakannya. Apa hari Bibi baik? Apa Bibi menemui kendala hari ini?” tanya Rachel coba mengalihkan pembicaraan.

“Tentu. Tentu hari bibi baik. Dan aku pun yakin kau juga begitu. Tapi bibi belum bisa mendapatkan pekerjaan hari ini. Besok bibi akan keluar lagi untuk mencari lowongan.”

Rachel mengangguk mengerti. Di zaman sekarang ini memang tidak mudah mencari pekerjaan, apalagi untuk seorang wanita seusia Bibi Darcy.

“Hm, Rachel...,” panggil Bibi Darcy.

“Ya?”

“Pagi ini sebelum bibi berangkat, dia datang ke rumah dan menanyakanmu.”

Alis Rachel berkedut penasaran. “Siapa?” 

“Marc.”

Teng!

Marc? Dia datang ke sini? Mau apa? Untuk apa dia sampai datang kemari?

“Apa yang dia katakan pada Bibi? Apa dia menanyakan sesuatu?” tanya Rachel penuh selidik.

“Dia menanyakanmu, Sayang. Dia bertanya apakah kau ada di rumah atau tidak.”

“Dan apa yang Bibi katakan? Apa Bibi memberitahunya bahwa aku bekerja?” tanya Rachel lagi, antusias. Dia tidak bisa berbohong kalau dia masih memiliki perasaan yang sama terhadap Marc seperti sebelum mereka berpisah. Perasaan itu masih ada. Di hatinya.

“Apa yang bisa bibi katakan? Dia sudah datang ke sini dan sikapnya masih sangat sopan seperti dulu. Jadi bibi mengatakan bahwa kau sudah bekerja dan kau pasti ada di tempat kau bekerja saat itu.”

“Apa dia bertanya di mana aku bekerja?” Jantung Rachel mulai berdegup lebih keras.

“Benar. Dan bibi menjawab pertanyaannya. Bibi mengatakan di mana kau bekerja. Apa dia ada menemuimu di sana?”

Rachel tak bergeming selama sejenak. Seberkas rasa ingin tahu menyelisip ke pikirannya, sementara senang tak mampu dicegah masuk ke dalam hatinya. Jika Marc sampai datang ke rumah ini, dan bertanya tentang dirinya, itu berarti pria itu masih peduli terhadapnya. Rachel tak mampu menolak bahwa ia senang mengetahui fakta bahwa Marc telah datang ke sini pagi ini untuk menanyakannya.

“Rachel?”

“Hm, ya?” jawab Rachel, kembali dari lamunannya.

“Apa dia datang menemuimu? Apa dia membuat keributan di sana?” tanya Bibi Darcy, merasa menyesal jika dugaannya sampai benar terjadi.

“Tidak. Dia tidak datang, Bibi. Hm, Bibi, aku ingin membersihkan diri dulu. Aku akan segera kembali begitu aku selesai.” Setelah mengucapkan itu, Rachel langsung beranjak menuju kamarnya, sebelum sempat mendengar respons bibinya.

Bibi Darcy hanya mengangguk meski Rachel tak dapat melihatnya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Bibi Darcy tahu mengapa Rachel tiba-tiba bersikap seperti tadi dan langsung melarikan diri.

Itu karena keponakannya itu masih memiliki perasaan yang sama terhadap Marc. Gadis malang itu masih mencintai Marc Marquez dan senang mengetahui fakta bahwa Marc pun juga masih sangat mencintainya.


To Be Continued…

Comments

Post a Comment