ONESHOT : One Chance

Hey… 

Alhamdulillah bisa post cerita baru di blog. Cerita ini bisa dibilang terinspirasi dari kedatangan Marc Marquez beberapa waktu lalu ke Indonesia. Authornya bingung antara senang dan sedih, haha. Senang karena Marc datang ke Indo, tapi sedih karena gak bisa liat. Dan pas balik, makin sedih karena ga senegara lagi sama Marc, hehe. Semoga suka yaa sama cerita ini… dan semoga dapat menghibur.. 


Happy reading ;)



Gorden bermotif sekumpulan bintang-bintang kecil itu tersibak oleh gerakan tangan gadis itu yang menarik ke samping. Mata gadis itu lurus ke depan, kosong seolah menerawang. 

Beberapa menit ia tetap tak bergerak, terus berdiri diam, seraya meresapi berbagai perasaan yang membuncah di dalam dirinya. 


Akhir-akhir ini entah kenapa Rachel merasa tak mengerti akan dirinya sendiri. Ia tak paham bagaimana hatinya. 


Rachel sudah menolak, dan berjanji untuk tidak akan pernah menerima kepedulian pria itu. Jangankan kepedulian, kehadirannya saja pun Rachel bersumpah tidak akan pernah menerimanya. 


Namun ibarat keajaiban yang tak pernah disangka-sangka, seiring berjalannya waktu, seiring hari yang kian bergulir, semakin aneh pula perasaan yang Rachel rasakan. Sesuatu perlahan tumbuh di dalam hatinya. 


Tiga minggu sudah pria itu berada di bawah atap yang sama dengannya. Bukan tanpa alasan, pria itu datang kemari karena permintaan ayahnya sendiri. Tak tanggung-tanggung memang orang yang menyokongnya dari belakang. Dan karena hal itu pulalah Rachel tak bisa berkutik dan protes apa-apa. 


Rachel tak menampik sikap yang ditunjukkan pria itu dari awal kedatangannya hingga hari ini sangatlah luar biasa. Ia sopan, ramah, sekaligus sangat memikat. 


Rachel juga sadar sejak kedatangannya ke rumah ini, pria itu terus saja coba mendekatinya, berusaha sebaik mungkin mendapatkan hatinya. Bahkan, pria itu telah mengutarakan rasa cinta terhadapnya. 


Sejak hari itu, Rachel coba berpikir keras apakah yang dikatakan pria itu adalah suatu kebenaran atau tidak. Memangnya apa yang dipikirkan pria itu ketika mengucapkan kata cinta kepadanya? 


Rachel coba memijat-mijat kening dan menarik alis matanya tinggi-tinggi, mengenyahkan pusing di antara kedua matanya. 


Sesungguhnya, Rachel juga masih ragu dan menduga-duga. Apa benar pernyataan cinta yang diutarakan pria itu memang murni dan bukan sekadar akal-akalannya saja? Namun, bagaimana bisa? Bagaimana mungkin pria itu benar-benar jatuh cinta kepadanya dalam waktu yang relatif singkat? Bahkan respons dirinya pun tidak cukup baik untuk memupuk rasa cinta di dalam diri pria itu. Lalu, bagaimana bisa? 


Rachel menghela napas seiring matanya yang mengikuti seekor merpati terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Jendela kamar Rachel memang sengaja dibangun menghadap ke taman belakang, jadi ia lebih mudah menyegarkan pikiran dan bersantai. 


Diakui atau tidak, Rachel pasti tahu alasan mengapa ia bisa merasa bimbang dan aneh seperti ini jika ia mau berusaha sedikit menyingkirkan egonya. 


Pria itu. Itulah alasannya. 


Ketika sang Ayah memanggilnya dan mengumumkan bahwa ia sudah menemukan seorang pria yang cocok untuknya, tanpa pikir panjang Rachel langsung berteriak bahwa ia tidak akan setuju dengan perjodohan ini. Memangnya sebegitu tidak sanggupnya dirinya untuk mencari sendiri sosok pria yang tepat untuknya hingga sang Ayah menjodohkannya seperti ini? Oh, Tuhan. Saat itu, Rachel benar-benar berontak dan merasa harga dirinya tersinggung. 


Belum reda, amarah Rachel semakin bergolak sebab ayahnya mengundang pria itu tanpa bertanya terlebih dulu padanya dan memberinya izin untuk tinggal. Sungguh, Rachel seolah ingin meledak ketika melihat pria itu untuk pertama kalinya, berdiri di lantai yang sama dengannya dan berada di ruangan yang sama pula dengannya. 


Rachel meneguk ludah sembari berpikir, coba mengerti dirinya sendiri. Bola matanya berputar ketika ia mengusap pelipis. 


Rachel teguh dalam pendiriannya bahwa pria itu adalah pembohong ulung selama dua minggu pertama kedatangannya. Memasuki minggu ketiga, entah kenapa sedikit demi sedikit keyakinan itu luntur dan mulai terpupuk rasa simpati. 


Sikap itu tidak dibuat-buat. Sikap itu asli, mengalir apa adanya, sama sekali bukan topeng penyamaran seperti yang selama ini mengakar di pikirannya. Rachel baru merasa yakin untuk menyimpulkannya semenjak empat hari terakhir.


Rachel memejam ketika memutar ulang bagaimana ia membalas sikap sopan pria itu selama ini. Benar-benar bertolak belakang. Sikapnya pada pria itu sangatlah kasar, arogan, dan ia sudah berulang kali mengatakan bahwa ia tidak akan pernah menikahi pria itu, meskipun ia adalah pria yang baik. Rachel bahkan telah beberapa kali mengusir pria itu, baik secara langsung maupun berupa sindiran. 


Sebersit rasa bersalah menyelinap ke dalam benak Rachel ketika mengingat apa yang telah dilakukannya selama ini. Meskipun ia tidak menyukai pria itu, tidak sepantasnya ia menumpahkan seluruh kekesalannya hingga seperti itu. 


Jika diingat-ingat kembali, pria itu bisa digolongkan sebagai tipe pria yang luar biasa sabar dan rendah hati. Bagaimana tidak? Rachel sudah mengerahkan seluruh sifat kasar dalam dirinya untuk melawan pria itu. Ia berbicara dengan nada kasar dan tinggi ketika pria itu coba mengajaknya mengobrol, ia membuat pria itu terlibat masalah dengan sedikit menjebaknya (walau pada akhirnya ia ketahuan berbohong dan keluarganya semakin bersimpati pada pria itu), dan Rachel juga bahkan telah menghinanya. 


Sudah banyak. Sudah banyak sekali perlakuan kasar yang didapat pria itu dari Rachel. 


Namun, yang sungguh menakjubkan adalah, pria itu tetap tidak menyerah untuk membuat Rachel bicara baik dengannya. Ia terus mendekati Rachel. Ia sama sekali tidak menghiraukan hinaan, cercaan, serta perbuatan kasar yang Rachel tujukan padanya. Ia justru tersenyum ketika Rachel menatapnya dengan sorot mengintimidasi. Dan jujur saja, meski senyum itu sangat menawan, namun karena Rachel telah lebih dulu marah, senyum itu malah semakin melambungkan kekesalan yang dirasakannya. 


Sebenarnya, jika Rachel ingin realistis, bukan pria itu yang merupakan sumber masalahnya bagi Rachel. Pria itu hanyalah korban. Tidak lebih dari seorang pria malang tempat Rachel meluapkan seluruh amarah dan kebencian di hatinya. 


Malam luka itu. Ya, malam penuh luka itulah yang sebenarnya akar masalahnya di sini.


Apabila ia tidak mengalami kejadian menyakitkan beberapa bulan yang lalu, mungkin pria yang dibawa ayahnya itu masih memiliki harapan mendapatkan sikap baik dari Rachel sejak awal. 


Aliran udara murni masuk ke dalam paru-paru Rachel saat ia menarik napas dalam-dalam. Ia kemudian berbalik, merasakan peperangan batin, sedikit demi sedikit mencoba keras untuk lebih merendah dan berpikir jernih. 


Aneh. Sakit. Bersalah. Malu. Marah. Semua beradu satu. 


Rasa bersalah Rachel semakin menjadi ketika garis peristiwa barusan tiba-tiba melintas di otaknya. Ia merasa bimbang sekaligus tidak enak atas apa yang telah diucapkannya pada pria itu beberapa menit yang lalu. 


Entah apa yang merasuki jiwa pria itu hari ini. Sikapnya begitu berbeda. Tidak seperti biasa yang selalu mengumbar senyum, kali ini ia lebih ekspresif dan tegas. 


Apa mungkin perkataannya yang sudah melampaui batas dan menggores harga dirinya? Ah, entahlah. 


Hari ini, pria itu membuktikan pada Rachel bahwa ia tidak akan selalu mengalah dan diinjak-injak. Pria itu seolah mengatakan pada Rachel bahwa bagaimana pun juga, ia adalah seorang laki-laki. Ia adalah pemimpin. Ia tidak pantas mendapatkan semua perlakuan kasar tanpa alasan yang jelas seperti ini. 


Dan puncaknya, ia dengan lantang berkata akan mengabulkan keinginan terbesar Rachel dalam tiga minggu terakhir. 


Ia akan angkat kaki dari rumah ini secepatnya. Jika memungkinkan, besok pagi-pagi sekali ia sudah tidak ada di rumah ini.



***


Gadis itu sudah berlari bahkan sebelum ayahnya selesai berbicara. Dengan susah payah ia mengandalkan sisa-sisa tenaga untuk bisa sampai secepat mungkin ke kamarnya. Air mata berurai deras mengalir di kedua pipinya. Saat ini, ia hanya ingin sendiri. Jauh dari semua orang dan tekanan yang ada. 


Pria itu terus mengekor dari belakang. Sementara ayahnya memilih untuk tak bergerak dan hanya terduduk saja di sofa. Seberkas sesal menyusup ke jiwanya. Tidak seharusnya ia bersikap sekeras tadi pada putri tunggalnya sendiri. Meskipun usia Rachel telah menyentuh angka dewasa, namun pada kenyataannya ia belum benar-benar demikian. Mungkin karena ia adalah anak satu-satunya di keluarga itu. 


Marc sempat dicegat oleh pria paruh baya itu untuk memberi ruang pada Rachel agar bisa berpikir jernih dan menyadari perbuatannya. Marc menurut, namun hanya bertahan selama beberapa menit. Tak lama kemudian ia tak sabar dan memutuskan untuk mengejar gadis itu. 


Pertengkaran hebat antara ayah dan anak ini sebenarnya bukan murni dipicu oleh kesalahan Rachel semata. Ia juga ada ikut andil dalam kasus ini. Walaupun tidak bermaksud demikian, namun sama saja ialah yang ada dibalik kemarahan Rachel. 


Rachel sama sekali tak menghiraukan suara Marc yang terus memanggil namanya. Ia malah semakin mempercepat laju larinya. Tidak, ia tidak akan tampak lemah di hadapan pria itu. Marc tidak akan pernah melihatnya menangis, tekad Rachel dalam hati. 


“Rachel!! Kumohon, berhenti sebentar,” teriak Marc makin keras. Urat-urat di lehernya bahkan sudah menonjol keluar sanking kerasnya ia berteriak. Marc mengerahkan seluruh tenaga untuk mengejar gadis itu. 


Rachel tak menyahut, terus saja berlari hingga ia dapat merasakan tenaganya semakin lama semakin berkurang. Kamar Rachel memang sengaja dibangun di tingkat paling atas rumah itu, dan luasnya rumah yang dibangun ayahnya bertahun-tahun lalu itu membuatnya membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai kamarnya. 


Sementara Rachel mulai kehabisan tenaga dan melambat, Marc makin mempercepat langkahnya. Hingga akhirnya ia sudah berada beberapa meter saja dengan gadis itu. Dapat melihat punggungnya yang begitu rapuh, Marc segera berlari lebih cepat dan berhasil menggapai lengan Rachel. 


Begitu merasakan lengannya tertahan, Rachel langsung berontak, “Lepas! Lepaskan aku, Sialan!” Air mata Rachel semakin menjadi-jadi. 


Marc coba mendorong lembut tubuh Rachel yang sudah melemah merapat pada dinding. “Tenanglah. Aku mohon, dengan sangat, tolong kendalikan dirimu,” suara Marc terdengar begitu penuh kasih sayang. 


Rachel belum kuasa untuk menyahut. Ia begitu kelelahan. Bulir keringat bergelantungan di kening dan pelipisnya, sementara air mata tak mampu ia cegah untuk terlihat jelas oleh Marc. 


Marc coba memeluk tubuh Rachel dan mengelus rambutnya. Beberapa saat Rachel tak menolak, mungkin karena saat ini ia memang butuh pelukan tulus dan ia sulit mengendalikan diri bahwa orang pemberi pelukan itu adalah orang yang paling dibencinya sekarang, tapi tak lama kemudian, setelah sesenggukan di pelukan Marc, Rachel dengan kasar melepaskan pelukan itu dan mendorong tubuh Marc menjauh. 


“Dasar bajingan! Kau membangun dinding di antara aku dan ayahku, lalu kau berpura-pura peduli padaku. Hah, menjijikkan. Sangat menjijikkan! Kau tahu, sikapmu itu sangat menjijikkan, Marc Marquez! Aku benci! Aku benci padamu!!” pekik Rachel berapi-api. Ia memandang Marc dengan sorot tajam. 


Marc terlihat terguncang selama beberapa saat setelah mendapat makian dari Rachel. Apa sebegitu buruknya ia di mata gadis itu hingga ia begitu marah sampai memakinya? 


“Rachel...,” panggil Marc, lebih lembut dari sebelumnya, “aku sungguh tidak bermaksud seperti itu. Aku bersumpah aku tidak pernah memiliki niat buruk terhadapmu, terhadap ayahmu, dan terhadap keluarga ini. Bagaimana mungkin aku menjauhkanmu dari ayahmu, kau adalah anaknya, terpikir seperti itu saja aku tidak pernah,” Marc coba menggapai lengan Rachel lagi. 


“Pembohong!” teriak Rachel. “Pertama, kau datang ke rumah ini, mendekati ayahku, mengambil hatinya dengan berpura-pura bersikap baik, lalu kau mendekatiku, menyatakan cintamu yang palsu itu, dan sekarang, kau menciptakan jarak antara aku dan ayahku! Kemudian apalagi? Apalagi yang akan kau hancurkan, hah? Siapa lagi yang akan kau adu domba?!” luap Rachel. Air matanya meleleh deras saat ia mengatakannya.


Marc merasakan dentaman yang begitu keras menghantam hatinya. Perkataan Rachel begitu menusuk ulu hatinya. Ia tak merespons, hanya menatap kedua bola mata Rachel yang begitu tajam dan menyorotkan kebencian kepadanya. 


“Oh... atau.. aku tahu...,” Rachel melempar senyum sinis pada Marc, “kau menciptakan semua kekacauan ini karena kau telah lebih dulu mengalaminya. Kau membuat jarak ini karena kau memang sudah memiliki jarak dengan kedua orangtuamu. Kau, dengan sikapmu yang sialan itu, mencoba sekeras mungkin untuk membuat runtuh keutuhan keluargaku. Iya, kan? Karena kau menderita, karena kau sangat menderita dengan keluargamu makanya kau juga ingin membuat hidup orang lain menderita. Kau tak rela melihat orang lain hidup lebih baik darimu, jadi kau akan melakukan apapun untuk memporakporandakannya. Benar, kan? Benar, kan apa yang kukatakan? Kau mencoba membuat orang lain sama menderitanya seperti dirimu. Mengaku sajalah, Marc. Topengmu kini telah terbongkar! Hah, dasar bajingan!” Napas Rachel tersengal-sengal sehabis meluapkan emosinya secara membabi buta.


Kau mencoba membuat orang lain sama menderitanya seperti dirimu. 


Tidak. Itu sama sekali tidak benar. 


Cukup. Sudah cukup. 


Emosi Marc mulai bangkit perlahan-lahan. Seluruh perasaan dalam dirinya berkobar-kobar seolah mengamuk. Ini sudah sangat menyayat hatinya. Harga dirinya seolah jatuh. Marc berani bersumpah ia tidak pernah terpikir akan membuat hidup orang lain sama menderitanya seperti dirinya. Sudah cukup ia saja yang menderita. Memiliki orangtua yang masing-masing memiliki urusan dan kepentingannya sendiri. Sudah cukup ia saja yang terlantar. Jangan sampai orang lain ikut merasakan sakit yang sama sepertinya. Terlebih Rachel. Tidak, gadis itu tidak boleh menderita seperti dirinya. 


Meskipun Marc terlahir tanpa kasih sayang dari kedua orangtuanya, dan tumbuh dalam dunia yang tanpa belah kasih antar sesama manusia juga, ia sama sekali tidak memiliki niat menarik orang lain untuk menjadi sama sepertinya. Keras. Sakit. Hidup seperti itu benar-benar menyakitkan. 


Namun Marc benar-benar tak mampu menahan emosinya lagi. Ia benci dituduh atas apa yang tidak diperbuatnya. Terlebih telah menyangkut urusan keluarga dan masa lalu. Ia benar-benar kehilangan kesabaran. 


Marc maju selangkah sambil menyelami kedua bola mata Rachel. “Terserah. Terserah kau saja ingin mengatakan apa. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli lagi dengan sikapmu, dengan segala sesuatu dalam dirimu, dengan hidupmu. Tapi satu hal yang perlu kau camkan baik-baik. Aku, sedikit pun tidak pernah seperti yang kau pikirkan. Aku memang menderita. Aku akui aku memang tumbuh menderita dalam keluargaku, namun aku bersumpah aku tidak akan pernah membuat orang lain sama sepertiku. Apalagi ikut menarikmu untuk menderita bersamaku. Tidak, itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak serendah itu, kau mengerti?” desis Marc. Sorot matanya menajam bagai tatapan elang. 


“Dan satu hal lagi,” tambah Marc sebelum berbalik pergi, “aku akan mengabulkan keinginan terbesarmu sejak tiga minggu terakhir. Aku akan pergi dari rumah ini besok pagi. Aku akan pergi secepatnya. Kau tidak akan melihatku lagi ketika kau membuka mata besok. Puas? Apa kau puas sekarang akhirnya aku angkat kaki dari rumah ini?” 


“Hiduplah dengan baik, karena kini kau tidak lagi memiliki orang yang ingin membuatmu menderita,” sindir Marc sebelum berlalu pergi. 


Usai Marc benar-benar menghilang dari pandangannya, di sini Rachel diliputi oleh perasaan yang berkecamuk. Marc mengatakan ia akan pergi. Marc akan menghilang dari hidupnya. Seharusnya ia gembira, sebab tak akan ada lagi orang yang mengganggu hidupnya, namun kenapa kini perasaan senang itu tak muncul? Meskipun ia merasa puas telah meluapkan seluruh isi hatinya, entah kenapa justru perasaan bersalah dan tidak ingin kehilangan yang menyelisip di jiwanya. 


Rachel benar-benar tidak mengerti. Ia bingung dengan apa yang dirasakannya. Rachel hanyut dalam perasaan bersalah yang melebur dengan rasa tidak ingin kehilangan sambil terduduk di lantai. 



***



Sinar matahari secara samar-samar menembus tirai jendela kamar Rachel yang berwarna biru muda. Bola mata gadis itu bergerak-gerak ketika merasakan silau menerpa kelopak matanya yang tertutup. Pelan-pelan ia membuka matanya, coba menyesuaikan dengan keadaan. 


Rachel kemudian bangkit dari tempat tidur sembari menoleh ke arah jam dinding yang tergantung di samping lemari pakaian. 


Pukul sembilan pagi. 


Teng! 


Rachel refleks membelalak begitu melihat sudah jam berapa sekarang. Buru-buru ia berlari keluar kamar, tak peduli akan matanya yang sembab akibat semalam terlalu banyak menangis.

Begitu melihat jam tadi, hanya satu yang ada di pikiran Rachel. Dan itulah alasan kenapa ia langsung meninggalkan kamar tanpa berpikir apa-apa terlebih dahulu. 


Dengan sekuat tenaga Rachel berusaha berlari menuju kamar pria itu, mencari tahu apakah ia masih berada di kamarnya atau tidak. 


Ketika akhirnya tiba di ambang pintu, Rachel cepat-cepat menarik kenop dan mengedarkan tatapan ke setiap inci kamar itu. 


Bersih, rapi, dan sepi. Tak ada tanda-tanda kamar itu ada yang menempati. 


Rachel memeriksa lemari pakaian. Kosong. Memeriksa kamar mandi, tetap nihil. Dentuman panik mulai menyerang Rachel. 


Dia kemudian keluar dan mencari ayahnya, coba menanyakan keberadaan pria itu. Dan saat berhasil menemukan ayahnya, Rachel dengan tergesa-gesa bertanya, “Di mana dia?” 


Sang Ayah tampak kebingungan dengan tingkah putrinya. Wajah sayu, rambut berantakan, mata sembab, napas tersengal. Apa yang terjadi dengan putrinya itu? 


“Siapa? Marc? Jika kau menanyakan dia, dia sudah pergi.” 


Teng! 


Rachel lemas mendengar jawaban sang Ayah. Oh Tuhan, secepat itukah? Kenapa tidak menunggunya? Apa dia benar-benar marah? Rachel memejam tak berdaya. 


Lalu kemudian sesuatu dalam dirinya bangkit dan mendorong agar ia mencari ke seluruh rumah serta sekitar rumah. Mungkin memang dia sudah pergi, tapi siapa tahu ada barangnya yang tertinggal atau ia masih berada di sekitar sini. 


Rachel berlari lagi ke seluruh rumah, membuka setiap kamar dan melongokkan kepala ke dalam untuk sekadar mengecek, lalu mencari ibunya dan berhasil menemukannya di halaman depan. Ibunya itu tengah mengurusi tanaman kesayangannya. 


Ketika melihat penampilan Rachel yang awut-awutan, ibunya langsung bertanya heran, “Ada apa denganmu, Sayang? Kau tak tampak seperti biasanya.” 


“Di mana dia? Di mana Marc? Apa dia benar-benar sudah pergi?” sambar Rachel langsung tak peduli. 


“Ya, dia sudah pergi,” sahut sang ibu heran. Semua orang tahu jika Rachel sangat membenci Marc, ia begitu ingin Marc pergi dari sini, lalu kenapa tiba-tiba ia jadi peduli dan menanyakannya seperti ini? 


Rachel coba melihat ke sekitar rumah, ke luar pagar, berjalan tak jauh dari rumah, dan tetap tak menemukan siapa-siapa. Dia benar-benar sudah pergi. 


Tanpa mampu dicegah air mata kembali menggenangi pelupuk mata Rachel. Ia berjalan lesu menuju teras samping rumahnya. Itu adalah salah satu tempat favoritnya di saat lunglai seperti ini. 


Rachel duduk dengan kaku menatap ke depan di teras samping, merasa bingung dengan apa yang telah terjadi. Apa yang Marc katakan semalam adalah benar. Ia benar-benar pergi. Ia sangat marah. Ia tak memberi kesempatan bagi Rachel untuk bicara sepatah kata pun lagi hari ini kepadanya. 


Marc... sesal Rachel. 


Ia sudah sangat bersalah. Ia dihukum. Kepergian Marc adalah hukuman baginya. Kenapa ia baru menyadarinya sekarang bahwa, ia tidak seharusnya berlaku buruk pada Marc. Kenapa ia baru menyadarinya sekarang bahwa, ia mungkin memiliki perasaan berbeda pada Marc. 


Air mata kembali tumpah saat Rachel mengakui perasaan yang dirasakannya terhadap Marc. 



***



Sepanjang hari, Rachel lebih banyak diam dan menyendiri. Ia tak bicara dengan ayah, maupun ibunya. Ia banyak menghabiskan waktu hanya di kamar dan balkon rumahnya, sambil merenungi apa kesalahannya dan apa yang seharusnya ia lakukan. 


Ia selalu menutup diri untuk mendengarkan asal usul Marc. Ia tidak tahu latar belakangnya, rumahnya, bahkan nomor teleponnya. Rachel tidak tahu harus mencari pria itu di mana. 


Bertanya dengan ayah atau ibunya? Tidak, untuk saat ini ia belum siap menanyakan keberadaan Marc pada orangtuanya. Ayahnya pasti akan memarahinya karena tidak bersikap baik selagi Marc ada di sini. Sementara ibunya, Rachel memang belum mencobanya, namun masih ragu jika akan menanyakannya. Walaupun ibunya sangat menyayanginya, namun jika sudah seperti ini, mungkin beliau pun akan ikut marah kepadanya. 


Rachel tidak sanggup lagi jika harus mendapat amarah di saat seperti ini. 


Kini, setelah Marc pergi, entah kenapa Rachel merasakan penyesalan yang begitu mendalam. Sebagian dirinya bagai tidak terima dan ikut protes terhadap keegoisannya selama ini. Apa sebegini menderitanya ia kehilangan Marc? 


Rachel merapatkan lagi jaket merah muda yang membungkus tubuhnya. Ia memeluk dirinya sendiri, menghalau udara dingin yang meniup permukaan kulitnya. 


Jika ia masih memiliki satu kesempatan untuk bertemu dengan Marc, Rachel berjanji pada dirinya sendiri tidak akan pernah menyia-nyiakannya. Hal pertama yang akan dilakukannya adalah memeluk pria itu erat-erat, meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya selama ini, menangis di dadanya, lalu ia akan bicara sejujurnya akan perasaan yang dirasakannya. Tidak peduli apa yang akan dipikirkan dan dikatakan pria itu, yang penting ia telah mengeluarkan semua beban dan sesal yang menumpuk di hatinya. 


“Marc...,” panggil Rachel. Bibirnya bergetar saat mengucapkan nama pria itu. 


Embusan angin malam semakin menggigit permukaan kulit Rachel. Kedua telapak tangannya yang mungil disembunyikan di dalam kantong jaketnya, sembari ia terus bergelung memeluk dirinya sendiri. 


“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Marc. Jika aku masih diberi kesempatan untuk bertemu denganmu, aku ingin mengatakan bahwa aku... aku ingin kau tetap tinggal bersamaku.” Suara Rachel agak tercekat saat mengatakannya. Ia memejam pilu. 


“Dan jika memang kau masih mau bertemu denganku, aku ingin mengatakan bahwa aku... aku mencintaimu dan tidak akan pernah pergi lagi darimu. Walaupun beribu kali kau mengusirku, menolakku, menghinaku, aku akan tetap tinggal di sini. Karena sebenarnya kau sangat membutuhkanku. Kau sangat membutuhkan aku di sampingmu.” 


Dunia Rachel seolah berputar-putar tak menentu. Ia seperti terbang bebas dan hidup di mimpinya sendiri. Suara Marc. Itu adalah suara Marc. Apa ia sudah gila hingga seolah-olah mendengar suara Marc ada di sini? Oh, Tuhan. Jantung Rachel seolah melompat hingga ke tenggorokan. 


“Marc...,” Rachel refleks berbalik. 


“Ini aku. Ini aku, Marc. Aku di sini, Rachel. Aku di sini....” 


Untuk beberapa saat Rachel coba menatap dalam sosok di hadapannya. Apa benar dia adalah Marc? Bukannya dia sudah pergi? Apa dia sedang bermimpi? 


“Aku masih di sini. Aku tidak per....” 


Dengan segenap jiwa dan raganya, Rachel langsung melempar diri ke pelukan Marc. Erat-erat didekapnya pria itu, seolah-olah tidak ingin pria itu pergi lagi. Rachel mulai kembali banjir air mata. 


Marc dengan sigap menangkap tubuh Rachel dan balas memeluknya. 


Rachel menangis sesenggukan di dada Marc, dan Marc berusaha selembut mungkin untuk menenangkannya. Ia mengusap-usap rambut Rachel lembut. 


Begitu melegakan dapat memeluk seseorang yang kau kira tak akan pernah bertemu dengannya lagi, namun ia masih ada di sini hanya demi dirimu. 


Beberapa menit Rachel meluapkan seluruh kesedihannya dalam pelukan Marc, dan setelah merasa lebih baik, ia melepaskan diri dari Marc dan bertanya, “Bagaimana? Bagaimana bisa kau masih ada di sini? Bukannya kau mengatakan kau akan pergi?” 


“Apa aku mengatakan akan pergi selamanya?” goda Marc. 


“Apa?” Rachel menatap Marc heran. 


“Aku memang mengatakan akan pergi, akan jauh darimu, tapi apa aku mengatakan akan pergi selamanya? Apa aku mengatakan akan pergi darimu selamanya? Tidak, kan?” Marc coba menghibur Rachel. Ia memberi gadis itu senyuman termanisnya. 


“Lalu di mana kau seharian ini? Dari mana saja kau? Kenapa lemari pakaianmu kosong?” 


“Oh, apa kau begitu kehilanganku hingga membongkar lemari pakaianku?” Marc mengerling jail pada Rachel. 


Senyum malu tak dapat disembunyikan oleh Rachel terulas di bibirnya. Pipinya mulai bersemu merah. 


“Kau ini...,” Rachel melayangkan tinju lembut ke lengan Marc. 


Marc terkekeh kecil melihat tingkah Rachel. Haaa, gadis itu sangat menggemaskan ketika tersipu seperti ini. 


“Jadi... apa kau benar-benar ingin aku tinggal? Apa aku tidak salah mendengar bahwa kau mencintaiku?” goda Marc lagi. 


Rachel diam dan hanya menatap kedua bola mata Marc dalam-dalam. Lalu kemudian ia tersenyum kikuk dan mengangguk perlahan. 


“Ah, kau sangat menggemaskan, Rachel,” Marc mengacak-acak rambut Rachel gemas, lalu menarik tubuh gadis itu kembali ke dalam pelukannya. 


“Aku minta maaf atas sikapku selama ini. Aku sungguh-sungguh minta maaf atas perbuatan dan perkataan burukku kepadamu,” sesal Rachel. 


“Sudahlah. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Lupakan saja. Sekarang, yang terpenting, mari kita buka lembaran hidup kita yang baru. Maksudku, mari selalu hidup bersama. Apa kau bersedia memberiku satu kesempatan untuk membuktikan cinta dan kasih sayangku padamu?” 


Rachel mendongak untuk melihat wajah Marc dari bawah bulu matanya yang lembap. “Tentu saja. Buktikan cinta dan kasih sayangmu. Aku menunggu,” Rachel tersenyum lalu kembali memeluk Marc erat-erat. 


Marc balas tersenyum dan mengecup puncak kepala Rachel. “Akan aku buktikan padamu. Aku mencintaimu, Rachel.” 


“Aku juga mencintaimu, Marc....” 


Mereka saling berbagi kasih sayang di bawah sinar bulan yang benderang.





END

Comments