ONESHOT : Every Single Day With You

Hey! Good morning from here! 

Alhamdulillah cerita ONESHOT yang aku bilang sebelumnya bisa dipost hari ini. 

Aku harap ceritanya oke untuk dibaca yaa. Dan, tolong tinggalkan komentar apabila berkenan. Happy reading!! ;)




Rachel masih berkutat dengan urusan dapur. Dari tadi pagi hingga sekarang rasanya ia tak pernah lepas dari kegiatan masak-memasak, mencuci, mengepel, menyapu, mengelap, hingga merapikan seluruh rumah. 

Sesekali Rachel memijat keningnya pelan. Ia sudah bangun sejak jam lima pagi tadi dan ia belum membaringkan tubuh lagi hingga sekarang, sementara kini jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. 


Lelah, pegal, dan mengantuk. Itulah yang kini menyergap tubuh Rachel secara bertubi-tubi. Ia memutar leher dan memijit-mijit bahunya. 


Berulang kali Rachel menarik alis matanya tinggi-tinggi, berusaha sekuat mungkin agar matanya tetap terbuka. Oh Tuhan, rasanya tubuhnya ingin luluh lantak sekarang juga. 


Rachel kemudian coba melirik ke arah belakang dari atas bahunya yang merosot. Ia tahu benar siapa yang harus dilihatnya ketika tengah lunglai seperti ini. Dan benar saja, hatinya pun berubah menghangat dalam sekejap. Seulas senyum damai timbul dari sudut-sudut bibirnya. 


Beberapa menit Rachel memandangi wajah mungil itu, sementara otaknya mulai membangun alamnya sendiri. Ia seperti melihat sosok pria itu di dalam diri anak itu. 


Meskipun harus bersusah payah dan dikejar-kejar pekerjaan seperti ini, Rachel sama sekali tidak ingin mengeluh. Ia sudah sangat lengkap dengan kehadiran dua orang ini dalam hidupnya. Ia tak masalah jika harus berkorban dan kelelahan. Ini bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan senyum mereka.


Sebenarnya keputusan untuk tidak menunda momonganlah yang akhirnya sukses membawa Rachel sampai ke titik ini. Marc sudah berbuih memberitahunya agar mereka menunda momongan sedikit lebih lama, tapi Rachel tetap dalam pendiriannya bahwa ia tidak akan melakukan hal itu. Ia berulang kali meyakinkan Marc bahwa ia sudah siap untuk menjadi seorang ibu, sekaligus seorang istri yang selalu bertanggung jawab atas pekerjaan rumah. 


Ketika malam itu Rachel menggenggam tangan Marc erat-erat, dan menatap suaminya itu dengan sorot memohon, Marc pun akhirnya mengalah dan setuju. Mereka akan selalu siap kapan pun mereka kedatangan anggota baru dalam hidup mereka. 


Rachel, seorang gadis sederhana yang berasal dari kota sederhana pula, dengan segenap cinta dan kasih sayangnya, seluruh jiwa raganya, kecantikan luar dan dalamnya, berhasil menggoyahkan dan meruntuhkan hati seorang Marc Marquez dalam hitungan hari. 


Dia selalu berhasil mengandaskan ketidaksetujuan Marc atas keputusannya, selama keputusannya itu tidaklah menentang dan berdasarkan sesuatu yang buruk. Rachel Nicollina, sejauh ini, selama enam tahun usia pernikahan mereka, selalu berhasil menggetarkan hati Marc Marquez. 


“Ibu...,” panggil seorang bocah perempuan yang kini mendongak menatap ibunya dari sela-sela rambutnya yang terbang ke bagian wajah. 


Rachel yang tengah terenyak dan memutar ulang hari-hari pertamanya bersama Marc pun terlonjak seketika. Kepalanya tersentak balas menatap bocah itu. 


“Ya, Sayang?” 


“Ibu, kapan Ayah pulang?” tanyanya dengan nada memelas. Wajah mungilnya tampak mengiba dan matanya berbinar-binar. 


Rachel berjalan menghampiri bocah itu. Ditangkupkannya telapak tangannya di pipi anaknya. “Sebentar lagi, ya. Hari ini Ayah pulang sedikit lebih lama. Apa kau lupa dengan yang Ayah katakan tadi pagi?” 


Anak itu menggeleng. Bibirnya dimajukan beberapa sentimeter kedepan. “Tidak. Aku ingat, kok. Hanya saja sekarang aku sudah mulai mengantuk, dan aku ingin Ayah menemaniku tidur.” 


Hati Rachel terenyuh mendengarnya. Perkataan putrinya itu seakan menohok ulu hatinya. Anak itu merindukan Marc di sini. 


Kenzel begitu dekat dengan Marc. Mereka bahkan hampir tak terpisahkan. Sejak Kenzel hadir di kehidupan mereka, Marc selalu ada di sisinya, kecuali di saat-saat tertentu yang tidak bisa dihindari seperti sekarang ini. Itu pun Marc tak lupa memberitahu anak satu-satunya itu. Dia tidak pernah berbohong dan menutupi apapun dari Kenzel. Meskipun, yah, anak itu baru berusia balita dan Marc juga tahu apa yang pantas diberitahukannya dan mana yang tidak. 


“Malam ini ibu saja ya yang menemanimu. Besok malam baru Ayah yang menemanimu kembali. Kau mau, kan?” Rachel coba membujuk anak itu. 


Kenzel diam. Sepasang alis matanya berkedut. Ekspresi wajahnya tampak ingin protes, sementara bibirnya terkatup rapat. 


Rachel ikut mengernyit melihat ekspresi putrinya. “Kenapa? Apa kau tidak mau ditemani oleh ibu?” Rachel pura-pura memasang wajah cemberut. Tubuhnya sedikit dicondongkan ke belakang, menjauhi Kenzel. 


Kenzel buru-buru bangkit dari kursinya. Ia mengguncang-guncang lengan ibunya. “Jika aku tidak ingin tidur dengan Ibu, apa Ibu marah?” 


Rachel melirik Kenzel dari sudut matanya. Tangannya kini bersedekap dan kepalanya sengaja sedikit diangkat. “Tentu saja. Apa kau tidak sayang ibu?” 


“Tapi aku juga sayang Ayah. Aku ingin Ayah di sini sekarang,” elak bocah itu. Wajahnya kini ditekuk ke bawah. Sementara jari-jarinya sibuk memelintir kemeja usang ibunya. 


“Memangnya siapa yang lebih kau sayangi? Ayah atau ibu?” tantang Rachel. 


“Ayah!” pekik Kenzel refleks. Lalu kemudian ia sadar apa yang diucapkannya. Ia buru-buru mengoreksi, “Tidak, maksudku, aku sayang kalian berdua.” Kenzel tersenyum kikuk lalu segera memeluk pinggang ibunya. “Aku sayang Ayah dan Ibu,” katanya sambil tergelak di perut Rachel. 


Rachel terkikik melihat kelakuan anaknya. Ia kemudian mengusap rambut bergelombang milik Kenzel dengan sangat lembut. “Kalau kau menyayangi ibu, kau berarti mau ‘kan tidur dengan ibu dulu malam ini?” 


Rachel merasakan perutnya tergelitik karena Kenzel mengangguk-angguk di perutnya. 


“Sebenarnya aku ingin bersama Ayah, tapi... Hmm, aku mau kalau begitu. Tapi besok pagi Ayah sudah pulang, kan? Dan aku mau besok malam Ayah yang menemaniku, ya.” 


“Oke, besok malam Ayah yang menemanimu. Sekarang, sikat gigi dulu, ya. Baru kemudian ke tempat tidur. Ibu mau membereskan mangkuk buburmu ini, setelah itu ibu menyusul. Oke?” tawar Rachel. Ia merosot perlahan hingga ukuran tubuh mereka sejajar. 


Bocah itu mengangguk begitu semangat, hingga mungkin lehernya pun terasa sakit. “Aku tunggu Ibu di kamar. Jangan lama-lama, ya.” Kenzel tersenyum dengan lebar, menampakkan deretan gigi-giginya yang rapi dan terawat. Ia lalu menggelitiki pinggang ibunya sebelum berlari. 


“Hei, Kenzel!! Hati-hati! Jangan berlari! Awas jatuh!” teriak Rachel seraya bangkit berdiri. Segurat senyum manis merekah di bibirnya, sementara kepalanya menggeleng-geleng melihat tingkah putrinya itu. Anak itu begitu senang mengusili ibunya. 


Rachel mengawasi tubuh Kenzel yang berlari dan semakin lama semakin mengecil, hingga akhirnya ia berbelok ke samping menuju kamar tidurnya. Lagi-lagi hati Rachel terasa tenang melihatnya. Betapa beruntungnya ia memiliki Kenzel dan Marc. 


Setelah larut dalam kebahagiaan selama beberapa menit, Rachel kembali melanjutkan kegiatannya. Ia membereskan mangkuk bubur bekas Kenzel makan, mengutip sisa-sisa bubur yang jatuh, mencuci mangkuk tersebut, lalu mengelap meja makan dan meja dapur dengan kain yang sudah lusuh, yang khusus digunakannya untuk mengelap bagian dapur. 


Kemudian setelah selesai, ia mengedarkan tatapan ke sekeliling. Oh, akhirnya, dapur ini bisa bersih dan mengilap juga, batinnya takjub. 


Rachel mengusap pelipisnya dengan punggung tangan, mengambil air dan meminumnya, lalu berbalik dan menuju kamar Kenzel. 



***



Marc memacu mobil dalam suasana yang sangat hening. Jalanan sudah sunyi oleh hiruk-pikuk pejalan kaki, dan sudah mulai senyap pula oleh hingar-bingar kendaraan yang berlalu-lalang. Hanya terlihat sesekali kendaraan besar yang melintas, lalu sepi lagi, dan muncul lagi kendaraan lain, begitu seterusnya. Hanya satu-dua kendaraan yang berkeliaran. 


Marc dapat dengan lancar membelah jalanan karena malam yang memang sudah larut. Sangat remang-remang di dalam mobil, dan bertambah gelap sebab Marc menutup rapat-rapat kaca jendela. 


Hari ini adalah hari yang melelahkan bagi Marc. Pekerjaan yang menumpuk menunggu tanggapan darinya memaksanya pulang lebih lambat dan meninggalkan keluarganya di rumah. 


Ketika memikirkan raut wajah Rachel yang lembut, senyumnya yang sehangat kopi, serta wajah Kenzel yang manis, melambungkan kembali semangat Marc yang sebelumnya sempat jatuh. 


Ia begitu ingin bertemu mereka. Saat menyampaikan bahwa hari ini kemungkinan ia akan pulang larut malam, rasanya hatinya ingin menjerit berontak. Begitu sulit hanya meninggalkan mereka berdua di rumah. Rasanya tidak tenang. 


Marc dapat melihat sorot lampu berpendar di persimpangan jalan secara samar-samar dari dalam mobilnya yang hampir gulita. Dan ia tahu bahwa ia hanya tinggal berbelok ke kiri lalu mengemudi sedikit lagi dan tiba di rumah. Marc semakin semangat memacu mobilnya. 


Setelah kurang lebih sepuluh menit lagi menyeruak jalanan, akhirnya Marc sampai di rumah. Ia segera memarkir mobil dan melepas safety belt


Marc memutar kunci pintu dan mendorongnya hingga berderit terbuka, lalu melangkahkan kakinya memasuki rumah sederhana namun berkesan hangat dan anggun itu. 


Sepi. Tidak ada teriakan Kenzel, tidak ada suara Rachel yang menggema karena melarang anaknya itu untuk berlari-lari di dalam rumah. 


Pasti mereka sudah tidur, pikir Marc. 


Ia kemudian menaiki tiga anak tangga menuju kamarnya. Dan ketika melongokkan kepala ke dalam, ia tak dapat menemukan siapa-siapa. Sebelumnya ia pikir pasti Rachel sudah tidur menunggunya pulang. Namun ia tidak ada di sana. 


Marc lalu berputar dan mencari ke kamar Kenzel. Mungkin mereka tidur bersama di sana. 


Namun ketika tengah berjalan, Marc tiba-tiba berhenti tak jauh dari dapur dan ruang keluarga. Matanya berkelana menelusuri seluk-beluk dapur. Tampak bersih dan mengilap. Semua tersusun rapi di atas meja. Sementara di ruang keluarga, Marc dapat melihat bantal-bantal kursi tergeletak dengan teratur di atas kursi panjang di depan televisi. Ambal dibawahnya juga tampak sempurna, meskipun berwarna putih, tapi tak tampak noda yang begitu kentara. 


Dalam hati Marc mengacungkan dua jempol kepada istrinya. Dia begitu salut pada Rachel. Wanita itu masih tergolong muda, tapi sudah begitu telaten menjalankan roda rumah tangga. Pasti sulit menjaga rumah tetap dalam keadaan rapi dan bersih ketika kau memiliki seorang anak balita yang aktif. 


Ia tahu persis bagaimana kelakuan Kenzel di rumah. Bocah itu sangat lasak dan terkadang menghamburkan bantal-bantal di ruang keluarga. Anak itu juga ceroboh ketika makan, ia bisa sangat belepotan dan ikut meninggalkan sisa makanan di ambal atau kursi. 


Marc sendiri kadang merasa kesal dan angkat tangan melihat tingkah aktif Kenzel. Namun Rachel, wanita itu seharian bersama Kenzel dan merasakan betapa aktifnya bocah itu, tapi Marc belum pernah sekalipun mendengarnya mengeluh. 


Kewalahan? Sudah pasti. Ia saja yang bekerja di luar tetap merasa kewalahan, apalagi Rachel sebagai ibunya. Belum lagi ia harus mengatur pengeluaran keluarga, membagi-bagi prioritas, mengurusi rumah, melayani kebutuhan suami dan anak, serta mendidik dan mengontrol Kenzel. Sungguh menakjubkan. 


Jujur, Marc merasa sangat beruntung telah memperistri Rachel. Wanita itu sangat tangguh dan kuat. 


Sekali lagi Marc merasakan kekaguman pada istrinya sendiri. Dan ia bertekad dalam hati, ia tidak akan pernah mengecewakan Rachel. Ia akan melakukan segala yang terbaik untuk keluarga kecilnya. Ia berjanji dalam hati akan menjadi sosok suami sekaligus ayah terbaik bagi Rachel dan putri semata wayangnya. 


Marc kemudian melepas kepala ikat pinggang, namun belum menariknya secara utuh untuk melepaskannya. Ia kembali berjalan menuju kamar Kenzel sembari melepas dua kancing teratas kemejanya. 


Tak lama ia sudah sampai di depan pintu bergorden merah muda itu. Marc memutar kenop pintu dan menemukan dua wanita paling berharga dalam hidupnya selain ibunya tengah tertidur pulas di sana. 


Marc masuk secara perlahan, merangsek ke tepi istrinya. 


Dari posisi tidurnya, Marc tahu bahwa Rachel sebelumnya pasti berusaha menidurkan Kenzel. Tangannya masih melingkar di pinggang anak itu, sementara telapak tangan Kenzel tertangkup di punggung tangan ibunya. 


Indah sekali menyaksikan dua wanita berhargamu sedang tidur berdua seperti ini. 


Mata Marc bergerak naik-turun menyusuri Rachel dari atas hingga bawah. Dia mengenakan sehelai kemeja pudar, dengan lengan yang digulung hingga sikut, dan noda yang tampak pada bagian kerahnya. Wajahnya terlihat begitu lelah, Marc dapat melihat itu. 


Marc lalu menyisipkan sejumput rambut Rachel ke belakang telinga. Rambutnya pun tampak kusut dan tidak disisir. Marc mengambil lengan Rachel dan memerhatikannya. 


Inilah tangan yang selalu siap melakukan apa saja untuknya dan Kenzel. Inilah tangan yang selalu melakukan pekerjaan rumah. Inilah jari-jari yang selalu sigap dan luwes menyelesaikan berbagai tugas. Dan inilah orang yang tidak memiliki hubungan darah dengannya, namun selalu ikhlas melakukan apa saja untuk melengkapinya. 


Rachel, aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Sayang, ucap Marc dalam hati seraya membawa tangan Rachel ke wajah dan mengecupnya. 


Saat Marc tengah mencium tangan Rachel, tiba-tiba Rachel mengerang dan menggeliat. Samar-samar dapat dilihatnya sesosok pria tengah memegangi tangannya. Rachel pun mengernyit sebelum berbisik, “Marc? Apa itu kau?” 


Marc melepaskan tangan Rachel dan membelai rambutnya. “Ya, ini aku,” bisiknya kembali. 


Rachel berusaha bangkit perlahan, dan Marc membantunya dengan menopang punggungnya. “Aku ketiduran ketika sedang menidurkan Kenzel. Jam berapa ini?” 


“Hampir jam satu malam.” 


Rachel mengucek-ngucek kedua matanya. “Apa kau mau mandi? Akan aku siapkan air hangat. Sebentar.” Rachel hendak menuruni tempat tidur, namun tangan Marc terulur untuk menahannya. Rachel sedikit kaget melihat aksi Marc. 


“Ada apa, Ma....” 


“Tidak usah. Aku mandi dengan air dingin saja,” timpal Marc. 


“Marc, ini sudah lewat tengah malam. Pasti sangat dingin. Sudah, biar aku siapkan saja. Kau buka dulu bajumu. Sebentar.” Sekali lagi Rachel berusaha menyentuh lantai, namun gagal karena Marc kembali menahannya. Bahkan ia sedikit menariknya mendekat. 


“Tidak usah, Rachel. Aku tidak apa-apa.” Marc meraih telapak tangan Rachel. 


Rachel ingin berkeras, namun Marc dengan segera menggosok-gosokkan ibu jarinya di sepanjang urat Rachel dan menatap matanya dalam-dalam. 


Rachel hanya bisa terdiam mendapat perlakuan seperti itu dari Marc. Mereka saling memandang satu sama lain. 


“Rachel, aku ingin berterima kasih,” ujar Marc. 


“Untuk apa?” Rachel mendadak bingung. 


“Untuk telah menjadi istriku, ibu dari anakku, dan dengan ikhlas hidup bersamaku, dengan segala kekuranganku ini.” 


“Terima kasih. Terima kasih telah rela melakukan semua ini,” sambung Marc. Ia terlihat begitu jujur dan lepas. 


Sudut-sudut bibir Rachel bergetar mendengarnya. Hatinya tersentuh. Perkataan Marc begitu dalam dan menembus jantungnya. Rachel dapat melihat setitik ketulusan memancar di mata Marc. Tanpa sadar sebulir air bening mulai menggenang di pelupuk mata Rachel. Mengapa Marc tiba-tiba mengatakan ini? 


Rachel balik meletakkan tangannya di atas urat-urat tangan Marc. “Itu sudah menjadi kewajibanku untuk melakukan semua ini. Dan aku juga harus berterima kasih kepadamu karena telah menjadi suami yang bertanggung jawab serta ayah yang baik bagi Kenzel.” 


Marc tersenyum tipis. Ia menarik Rachel dan mendekap tubuh letih istrinya itu. Sementara Rachel tak kuasa menahan air matanya hingga meleleh turun merembesi kemeja Marc. 


“Apa kau menangis?” tanya Marc saat ia merasakan air membasahi kemejanya. 


Rachel mengangguk lemah. 


“Sudah, jangan menangis.” Marc mengusap-usap rambut Rachel, coba menenangkannya.


Rachel mengangguk lagi. 


“Rachel, jangan pernah bosan seperti ini, ya. Jangan pernah bosan hidup bersamaku dan anak kita. Jangan pernah tinggalkan kami,” pinta Marc berbisik. 


Rachel memeluk Marc lebih erat. “Tidak. Aku tidak akan pernah melakukan itu. Dan tetaplah seperti ini. Menyayangiku dan anak kita.” 


“Tentu, Sayang,” sahut Marc mantap. 


Mereka berpelukan selama beberapa saat, meresapi ketulusan masing-masing. Sebelah tangan Marc menjalar ke pundak Kenzel yang tengah terlelap, sementara tangan yang lain masih berada di punggung Rachel. 


Tak lama kemudian Marc melepas pelukannya. Ia menatap Rachel dengan sorot serius.
“Aku berencana untuk mengajakmu keluar besok malam. Sudah lama kita tidak keluar berdua.” 


“Bagaimana dengan Kenzel? Aku tidak akan meninggalkannya.” Rachel menarik ingus sembari melirik ke arah Kenzel. Tangannya menarik kembali selimut yang sudah tersingkap hingga ke bagian lutut anak itu. 


“Tidak usah khawatir. Alex bisa menjaganya untuk kita. Lagipula, Kenzel menyukai Alex, kan. Dan Alex pun sangat menyayangi Kenzel. Bagaimana? Hanya sebentar saja. Setelah itu kita langsung pulang.” 


Rachel menimbang-nimbang. Matanya berbolak-balik ke arah putri kecilnya dan Marc. Kemudian setelah mendapat tatapan dalam dari Marc sekali lagi, Rachel pun mengangguk setuju. “Aku mau, tapi jangan terlalu lama. Kenzel ingin kau menemaninya tidur besok malam.” 


Seulas senyum girang tersungging di bibir Marc. “Baiklah. Kita keluar besok malam, ya. Tidak terlalu lama.”  


Rachel ikut tersenyum. “Kita keluar besok malam,” ulangnya. 


Lalu, mereka mengecup kening Kenzel dan berjalan keluar menuju kamar mereka sendiri. 



***


Rachel tak ingat kapan persisnya terakhir kali ia keluar bersama Marc hanya berdua. Sudah lama sekali sejak mereka menghabiskan waktu bersama. Seingatnya, mereka keluar berdua sebelum Kenzel lahir, dan itu sekitar lima tahun yang lalu. 


Saat Marc mengajaknya untuk keluar berdua kemarin malam, sejujurnya Rachel sangat senang. Ia rindu keluar bersama Marc. Ia rindu waktu-waktu mereka. 


Rachel mematut dirinya sekali lagi di depan cermin. Sesekali ia berputar dan melihat bagian samping dan belakang dirinya. Ketika sudah merasa pas, Rachel pun tak dapat menahan diri untuk  tertawa kecil. 


Rachel bukan tipe wanita yang gemar memakai make-up. Ia hanya sesekali memolesnya di wajah ketika akan pergi ke acara tertentu. 


Malam ini pun Rachel tidak terlalu banyak berias. Ia hanya memoles perona pipi tipis di tulang pipinya, memulas lip gloss di bibirnya, serta sedikit maskara di bagian mata. 


Hari ini Rachel mengenakan sebuah gaun lumayan panjang yang sederhana berwarna saffron. Bagian lengannya hingga sebatas sikut, dan bagian bawahnya melebihi lutut. Tidak banyak pernak-pernik. 


Rachel membenarkan lagi posisi pita di gaunnya, dan setelah itu ia tersenyum kembali dan berbalik. 


Ketika tubuhnya berputar, di saat itu pula ia menangkap sosok Marc tengah membuka pintu dan melihat ke arahnya. 


Selama sejenak Marc tidak bergerak dan menyelami bola matanya. 


“Kau tak berubah dari terakhir kali kita keluar berdua,” aku Marc sembari mengamati penampilan Rachel. 


“Apa kau bosan? Kau ingin aku melakukan perubahan?” tanya Rachel, sedikit waswas. 


Marc cepat-cepat melihat kembali ke mata Rachel dan menyahut, “Tidak. Tidak sama sekali. Aku justru suka kau yang seperti ini. Tidak berubah.” Marc memotong jarak diantara mereka dan menggamit lengan Rachel. 


“Di mana Kenzel?” tanya Rachel ketika mereka menuju pintu. 


“Bersama Alex di atas. Sedang asyik bermain. Tadi aku juga sudah mengatakan kalau kita akan keluar sebentar, dan ia setuju, hanya berpesan agar kita tidak pulang terlalu lama. Walaupun ia menyukai Alex, tapi ia lebih menyukaiku. Jadi ia lebih ingin aku yang menemaninya ketimbang Alex,” gurau Marc. Ia menatap Rachel dengan sorot jail. 


Rachel tergelak. “Haha. Jelas saja dia lebih menyukaimu, kau adalah ayahnya,” gurau Rachel balik. Ia menyenggol lengan Marc. 


Mereka tertawa bersama. Lalu, mereka kembali berjalan menyentuh pintu. Marc meminta Rachel agar menunggu sebentar di depan pagar, sementara ia akan ke bagasi terlebih dahulu. 


Rachel pun menurut dan berdiri di dekat pilar batu di depan pagar. Tak lama ia menunggu, Marc sudah muncul kembali di hadapannya. 


Kening Rachel berkedut ketika melihat apa yang Marc bawa. Bukannya mengeluarkan mobil, ia malah bertengger di atas sepeda. Sepeda? 


“Kenapa? Kau tak suka?” tanya Marc ketika melihat raut bingung di wajah Rachel. 


“Hmm, tidak, tidak. Hanya sedikit heran saja. Sepeda?” Alis mata Rachel terangkat naik.


“Sepeda,” Marc membeo. “Bukankah lebih menyenangkan menghabiskan waktu berdua bersama orang yang kau sayangi dengan menggunakan sepeda? Lebih terasa kedekatannya, kau tahu,” lanjutnya sambil mengerling. 


Rachel pun akhirnya mengerti maksud hati Marc lebih memilih sepeda daripada mobil. Ia hanya mengulum senyum dan duduk di kursi di belakang Marc. 


“Sudah?” tanya Marc, bersiap-siap menggenggam stang lebih kuat. 


“Sudah,” sahut Rachel sembari mengatur posisi duduknya. 


Setelah semua siap, Marc langsung mengayuh sepeda keluar dari pekarangan rumah mereka. 


Sungguh malam yang sangat menyenangkan bagi sepasang suami-istri itu. Marc mengayuh sepeda dengan kecepatan normal, hampir pelan, sementara Rachel meletakkan tangannya yang satu di pinggang Marc, dan tangan yang lain memegangi punggung Marc. Sesekali Rachel menempelkan kepala di punggung suaminya yang kokoh. 


Langit pada malam itu begitu cerah. Bintang-bintang berkelap-kelip tersebar di luasnya hamparan langit. Bulan tampak berwarna krem dan benderang, seolah menjadi saksi bisu kebahagiaan sepasang manusia itu. Sepoi angin menembus permukaan kulit, terasa lembut sekaligus dingin. Sorot lampu di kanan-kiri semakin menambah kesan romantis bagi pasangan itu. 


Rachel benar-benar menikmati setiap detiknya bersama Marc. Dan Marc pun tidak melewatkan sedikit pun kebahagiaannya bersama Rachel tanpa tersenyum. 


Mereka kemudian berhenti di sebuah taman di pinggiran kota. Taman itu tidak begitu besar, tidak juga sangat mewah seperti beberapa taman lainnya. Namun Marc sengaja memilih taman itu karena memang lokasi taman itu yang lumayan tenang dan jauh dari sorak-sorai keramaian kota. 


Marc mengambil tempat duduk di tengah-tengah taman. Mereka duduk bersampingan sambil mendongak memandangi langit. 


Marc kemudian mengeluarkan dua bungkus kecil cokelat dari dalam sakunya. Ia menyodorkan yang satu pada Rachel. 


Rachel menerima cokelat itu dan langsung membuka bungkusnya. Terdengar bunyi garing saat ia menggigit cokelat batangan itu. 


“Kau tahu, aku sangat menyukai saat-saat seperti ini. Berdua bersamamu. Di pinggiran kota. Tenang dan aman,” mulai Marc membuka pembicaraan. 


Rachel menelan sekali lagi sebelum menjawab, “Aku merindukan saat seperti ini. Sudah lama tidak berdua bersamamu di luar. Terima kasih telah mengajakku keluar malam ini.” Rachel yang tengah menyandarkan kepalanya di bahu Marc, melirik wajah Marc dari bawah pipinya. 


Marc balik menatap wajah Rachel yang terlihat samar-samar. Seulas senyum mengembang di bibirnya. 


“Aku beruntung bisa bertemu dengan gadis sepertimu. Harus kuakui, kau sangatlah tegar, Rachel. Kau wanita yang tangguh. Aku adalah pria yang sangat beruntung.” 


Rachel meletakkan tangan di tempurung lutut Marc. “Dan kau juga harus tahu bahwa aku, akan melakukan apa pun, selama hal itu baik, untuk kau dan anak kita. Meskipun aku harus mempertaruhkan hidupku sendiri dan mengorbankan masa-masa nyamanku. Meskipun aku harus lelah dan tidak melakukan apa yang dulu rutin kulakukan. Aku akan dengan senang hati melakukannya. Karena itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kebahagiaan yang aku dapatkan ketika bersamamu dan Kenzel. Marc, aku sudah merasa cukup memiliki Tuhan dan keluarga kecil kita.” 


Marc serasa ingin menangis mendengarnya. Rachel berbicara dengan sangat tulus dan lugas. Tidak ada nada keraguan di dalam ucapannya. 


“Rachel...,” panggil Marc seraya menyelami bola matanya dalam-dalam. Tangannya menangkup pipi Rachel. 


“Berjanjilah kita akan selalu seperti ini. Ingatkan aku ketika aku salah. Tatap mataku dan pegang tanganku ketika aku marah. Lengkapi aku dengan cintamu. Bersabarlah menghadapi sikapku yang kadang menyebalkan. Bertahanlah bersamaku di segala situasi. Hiduplah setiap hari bersamaku. Jangan pernah tinggalkan aku. Aku mencintaimu.” Lalu Marc mengecup kening Rachel sembari memejamkan mata. 


Rachel ikut memejam ketika Marc mengecup keningnya. Bola matanya bergerak-gerak di balik kelopaknya yang tertutup. 


“Dan selalu jadilah seperti ini. Menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab, menyayangi, mengayomi, setia, serta selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk kami. Jadilah nakhoda yang baik dan bertanggung jawab atas kapal dan penumpangnya. Selalulah bersamaku. Di setiap harinya.”  


“Tentu, tentu, Rachel. Aku akan berusaha melakukan yang terbaik untuk kalian.” 


Marc meraih pundak Rachel dan memeluknya di bawah sinar bulan dan bintang-bintang yang bercahaya.




END

Comments