No More Love For You #4

Hi, everyone! 

Alhamdulillah bisa post di blog lagi. Ga terlalu lama yaa sejak post yang terakhir. 


Semakin dengan berlanjutnya cerita ini, aku berharap juga di setiap chapternya lebih baik dan oke untuk dibaca. Semoga pembacanya tidak bosan, yaa. 


Oh ya, mungkin setelah No More Love For You #4 ini, ada satu cerita ONESHOT yang baru. Insya-Allah bisa dipost segera. Dan semoga juga kelanjutan cerita No More Love For You ini berjalan lancar, ya. 


Oke, sekian aja dulu. Semoga dapat menghibur. Happy reading!! :) 




Rachel tak ingin diterima bekerja karena menggunakan nama Alex, walaupun ia dapat dengan mudah menghubungi pria itu dan meminta tolong untuk memasukkannya bekerja. Sesungguhnya Alex bisa saja angkat bicara dan merekomendasikan Rachel, namun Rachel telah berulang kali memberitahu Alex bahwa ia tidak akan bekerja dibawah bayang-bayang dirinya yang telah lebih dulu bekerja di sana. 

Jadi, Rachel hanya berharap dengan surat lamarannya saja, tanpa mengandalkan bantuan dari berbagai pihak. Namun, meskipun begitu, tampaknya nasib baik tengah menghampirinya. Rachel diterima bekerja sebagai pelayan baru di coffee shop itu dengan usahanya sendiri. Tanpa ada campur tangan orang lain. 

Rachel juga telah memberitahu bibinya bahwa ia sudah mendapatkan pekerjaan, dan akan langsung bekerja hari ini. Bibi Darcy sempat menanyakan bagaimana ia semudah dan secepat itu mendapatkan pekerjaan, dan Rachel pun menceritakan alur ceritanya secara runtut. Dari bagaimana ia bertemu dengan Alex, mengetahui lowongan pekerjaan darinya, meneleponnya untuk sekadar menanyakan apakah lowongan itu masih berlaku, sampai mengirim surat lamaran dan akhirnya diterima bekerja di sana. Tak ada yang dilewatkan oleh Rachel. 

Ketika Rachel sedang bercerita, Bibi Darcy terlihat terharu, ia tak dapat menyembunyikan hal itu. Ia menatap Rachel dengan mata berbinar, raut wajahnya berubah sangat lembut dan seolah berbicara, “Oh Tuhan, Rachel. Bibi menyayangimu. Bibi sangat menyayangimu, Sayang”. Karena pada akhirnya Bibi Darcy menitikkan air mata saat mereka berpelukan, Rachel pun menjadi tak kuat menahan gejolak dalam dirinya, air matanya ikut tumpah dan ia menangis di dalam pelukan Bibi Darcy, bibinya satu-satunya. 

Dua perempuan itu saling meresapi kasih sayang satu sama lain. Hanya Rachel yang kini dimiliki oleh Bibi Darcy, dan hanya Bibi Darcy jualah satu-satunya kerabat yang Rachel miliki. Mereka menjalani hidup dengan saling menguatkan. Mereka hanya hidup berdua dan tidak memiliki siapapun lagi. Terlebih Rachel telah tinggal bersama bibinya semenjak masih bayi, dan karena itulah ia semakin menyayangi Bibi Darcy. Ia juga bahkan telah menganggap Bibi  Darcy sebagai ibu kandungnya sendiri. 

Setelah menyantap sarapan seperti biasa, Rachel buru-buru berpamitan dan bergegas pergi. Tak lupa ia mengecup kening bibinya dan meminta doa, karena ini adalah pengalaman pertamanya bekerja. 

Bibi Darcy juga mengatakan bahwa hari ini ia akan mulai mencari pekerjaan, jadi ia meminta Rachel untuk membawa kunci cadangan sebagai jaga-jaga apabila Rachel pulang lebih dulu. 

Rachel berhenti tak jauh dari coffee shop tempat kerja barunya. Ia sengaja datang lebih awal, agar dapat melihat-lihat terlebih dahulu. Kepalanya mendongak ke atas, lalu sesekali turun ke bawah, dan kembali lagi ke atas. 

Coffee shop ini lumayan besar, bertengger di sudut perempatan jalan, dengan desain berwarna agak gelap. Jendela-jendelanya dibuat lebar, dengan hiasan gantungan kopi buatan di beberapa sudutnya. Pintunya terbuat dari kaca, namun tetap terlihat kokoh. Secarik kertas yang sempat ia lihat tertempel di sana, sudah dicabut dan dibuang entah kemana. Plang nama coffee shop ini juga tampak begitu gagah dipasang di bagian agak atas. 

Rachel memandang lurus ke depan. Dalam hati ia menguatkan dirinya sendiri. Ini adalah hari pertamanya. Ayolah, Rachel. Kau pasti bisa, tekadnya bulat. Rachel kemudian menarik napas panjang, membenarkan posisi rambut dan pakaiannya agar tampak lebih rapi, lalu mulai berjalan masuk. 

Ternyata sudah ada satu orang karyawan yang datang, walau tempat ini baru resmi dibuka sekitar tiga puluh menit lagi. Ia tengah berdiri menghadap ke salah satu meja di bagian sudut dekat jendela. Di tangannya ada sehelai kain yang sudah tampak lusuh. Ia menoleh ke arah Rachel, melempar senyum, lalu kembali melakukan kegiatannya. Rachel pun membalas senyum wanita berambut pirang itu dengan sedikit canggung, lalu mengalihkan pandangan ke sekitar. 

Lantai coffee shop ini merupakan lantai parket berwarna cokelat kehitaman, berkesan hangat dan menciptakan keanggunan alami tersendiri. Rachel coba melihat lebih detail ke arah lantai, tidak begitu yakin, namun sepertinya lantai kayu ini berjenis solid wood. Lalu matanya beralih ke arah meja-meja yang tersebar. Meja-meja ini disusun begitu teratur dan sangat mengkilap. Di bagian sudut lain juga ada sebuah tangga yang menghubungkan ke lantai dua. Tangganya juga merupakan tangga kayu yang lebar dan melengkung. Rachel mendongak, melihat sekilas bagaimana keadaan di lantai dua. Walaupun tidak dapat melihat secara sempurna, tapi Rachel tahu bahwa meja di lantai atas berbeda dengan meja di lantai bawah. Meja-meja di sana merupakan meja kayu panjang dengan warna cokelat muda, sedangkan meja-meja di bawah sini merupakan meja kayu berbentuk persegi dengan sedikit ukiran di bagian kaki. 

Kembali ke lantai bawah, Rachel mengamati sebuah meja yang besar dan panjang terletak di bagian kanan. Meja itu sangat mencolok, sebab berbeda dari meja yang lain. Meja itu terbuat dari bongkahan bebatuan kecil-kecil yang sudah dipoles. Ada beberapa peralatan dan perlengkapan di atasnya. Sedangkan di depannya berderet kursi-kursi yang seolah mengelilingi. Di belakangnya terdapat sebuah rak tinggi di mana terpajang banyak minuman. 

Di kanan kiri bagian dalam coffee shop ini juga banyak ditempeli lukisan dan hiasan kuno. Tak ketinggalan penerangannya yang juga sangat bagus, tergantung di langit-langit dengan model yang indah. 

Secara keseluruhan, Rachel sangat menikmati dekorasi dan desain tempat ini. Berkesan klasik, walaupun di lantai atas dipasangi meja kayu pinus berwarna cokelat muda, bukannya kayu kehitaman, tapi tetap tak mengurangi kekhasan. Ditambah lagi dengan aksen di sana-sini yang semakin menguatkan gaya klasik coffee shop ini. 

Rachel bolak-balik mengedarkan tatapan ke sana-sini, berusaha mengenali seluk-beluk coffee shop ini lebih jauh. Dan ketika ia hendak maju selangkah, seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya. Rachel refleks menoleh. 

“Hei, kau si pelayan baru itu, ya?”

Dia bukan Alex, dan juga bukan seseorang yang dikenalinya, jadi, Rachel sedikit mengernyit, namun tetap menyahut seraya tersenyum, “Ya. Aku pelayan baru.” 

Wanita itu tersenyum kembali ke arahnya. “Aku juga pelayan di sini. Namaku Kashia. Dan kau? Siapa namamu?” Ia menyodorkan tangannya. 

“Oh, aku Rachel.” Rachel menjabat tangan itu. 

Kashia tanpa segan langsung melingkarkan lengannya di seputar bahu Rachel. Rachel sedikit terkejut menyadarinya, karena mereka bahkan belum lima menit bertukar nama, namun tampaknya Kashia tipe orang yang sangat mudah bergaul, ia memperlakukan Rachel layaknya teman baik seolah-olah mereka sudah dua tahun berteman. Ia tanpa ada rasa kaku berada di dekat Rachel dan langsung berani menyentuhnya. 

“Aku perhatikan dari tadi kau berdiri di ujung sana, melihat ke atas dan ke bawah tempat ini, lalu masuk dan melakukan hal yang sama, matamu berkelana ke sekeliling. Kenapa? Kau tidak menyukai tempat kerja barumu ini, ya?” Kashia memiliki rambut yang panjang, lurus, dan diikat ekor kuda hari ini. Ekor kudanya mengibas saat ia melirik ke arah Rachel dari sudut matanya secara mendadak. 

Rachel sama sekali tidak menyadari bahwa seseorang mengawasinya sedari tadi. Jadi ketika mendengar pertanyaan Kashia, ia sedikit kaget dan bergidik. 

“Emm, sebenarnya tadi aku hanya melihat-lihat saja. Kau tahu, mencoba mengenali tempat kerja barumu, menyesuaikan diri, dan semacamnya itu,” jawab Rachel hati-hati, mencoba tersenyum tipis. 

“Hmm, begitu.” Kashia mengangguk dua kali. “Dan, oh ya, bagaimana kesan pertamamu terhadap tempat ini? Apakah bagus?”

“Oh, tempat ini sangat bagus, terawat, dan sungguh rapi. Aku suka desainnya, apalagi dekorasinya,” sahut Rachel, mencoba lebih fleksibel. 

“Tentu saja! Tempat ini ‘kan selalu dipantau oleh Alex. Dia pria yang terorganisir, sedikit monoton dalam beberapa hal, tapi terkadang ia juga bisa bersikap lepas. Ia juga sangat kreatif, kau tahu. Jadi pantas saja jika tempat ini menjadi sangat rapi dan teratur.” Kashia menjelaskan dengan penuh semangat, sampai-sampai rambutnya bergoyang kesana-kemari. 

Kening Rachel berkerut ketika mendengar nama Alex. “Alex?” 

“Alex,” ulang Kashia. “Kau belum mengenalnya, ya?” 

Rachel tak bereaksi apapun, ia hanya memasang wajah yang terlihat seperti berpikir, sementara Kashia menoleh ke arahnya dan mendapati raut wajah Rachel yang sedikit bingung. 

“Nanti juga kau pasti mengenalnya. Percaya padaku, kau akan menyukainya. Dia pria yang baik.” Kashia mengerling, memukul ramah punggung Rachel, lalu menambahkan, “Aku harus bersiap-siap. Sebentar lagi tempat ini akan didatangi oleh banyak orang. Sebaiknya kau bersiap-siap juga. Sampai nanti. Dan... semoga hari pertamamu menyenangkan, Teman,” kemudian Kashia pun tersenyum lebar dan melambai. 

Menyadari pergerakan Kashia, Rachel buru-buru mengulurkan tangan untuk menahan Kashia tetap berada di tempat. “Boleh aku tahu lebih dulu? Maksudku, siapa Alex itu? Dia bekerja di sini, ‘kan? Apa ia manajer di sini?” tanya Rachel penuh selidik. 

“Bukan, bukan. Dia memang bekerja di sini, tapi bukan pekerja seperti kita....” Kashia menggantung ucapannya, mencari kata-kata yang pas. 

Rachel semakin penasaran dan terus memandang wajah Kashia. “Jadi, dia....” 

“Hm, bisa dikatakan dia adalah pemilik tempat ini. Yah, bisa dikatakan seperti itu. Tapi dia sering ikut bekerja membantu kami. Membuat sesuatu yang baru dan melukis beberapa lukisan untuk ditempelkan di sini adalah salah satunya. Beberapa kali aku juga bahkan pernah melihatnya ikut membersihkan meja dan menata kembali kursi-kursi. Dan... Oh ya, yang menempelkan iklan waktu itu juga adalah dia. Begitu rendah hati, bukan? Haha. Sudah kubilang kau akan menyukainya. Semoga hari ini dia datang berkunjung, jadi kau bisa mengenal dan melihatnya langsung.” Kashia terkekeh kecil, mengerling sekali lagi, sebelum benar-benar pergi untuk bersiap. 

Rachel melepas tangan Kashia dan membiarkannya pergi. Agar tidak terlihat begitu tegang, ia memaksa senyum kecil terulas di bibirnya sebagai balasan penjelasan Kashia. Dari raut wajahnya juga tersirat ucapan, “Oh, terima kasih”. 

Setelah Kashia menghilang ke sebuah ruangan di bagian belakang, Rachel berdiri di tengah-tengah coffee shop ini, merasa bingung sekaligus bertanya-tanya. 

Alex adalah pemilik tempat ini? Kenapa dia tidak mengatakannya sewaktu mereka bertemu waktu itu? Apa karena ingin merendah dan tidak ingin mengumbar? 

Dan... yang terpenting, jika Alex adalah pemilik tempat ini, ia sama sekali tidak membantunya, ‘kan? Dia benar-benar lepas tangan dan tidak sengaja menerimanya bekerja, ‘kan? Tidak, tidak, dia tidak boleh berada di sini karena Alex, karena nama besarnya sebagai si pemilik, karena bantuan orang lain. 

Walaupun sebelumnya Rachel sangat yakin bahwa ia berhasil berada di sini karena usahanya sendiri, namun keyakinan itupun pudar seketika ketika mengetahui kebenaran posisi Alex di coffee shop ini. Pemilik, adalah hal terakhir yang dapat Rachel pikirkan ketika mereka bertemu waktu itu. 

Dunia mendadak terasa kecil dan sempit bagi Rachel. Ia bak tengah terhimpit, sesak. Ia harus bicara pada Alex untuk memastikan hal ini secepatnya. 


***


Marc sudah siap dengan setelan kemeja hitam dan celana jins abu-abunya di depan cermin yang tertempel di dinding di samping jendela kamarnya. Tak lupa ia mencolek sedikit gel rambut dan mencampurkannya di kepala. Rambutnya kini tampak lebih hitam dan berbau khas. Marc lalu menyisirnya rapi sesuai model favoritnya. 

Segurat senyum kecil muncul di sudut-sudut bibir pria itu. Ia puas menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. 

Sudah, sudah sempurna, batin Marc. 

Marc kemudian menggulung lengan kemejanya hingga sebatas sikut, memperbaiki sedikit letak ikat pinggangnya, lalu meraih kunci mobil dan bergegas keluar kamar. 

Ketika Marc tengah menuruni anak tangga hendak menuju ke bawah, di saat itu pula ia melihat sosok Alex sedang berjalan dengan langkah lebar menuju pintu. Sepertinya ia dikejar waktu. 

Marc berhenti di anak tangga ketiga, penasaran mau kemana adiknya itu hingga terburu-buru seperti itu. Dia bahkan membetulkan posisi jam tangan sembari berjalan. 

Marc pun akhirnya memanggil, “Alex?” 

Alex otomatis melihat ke atas tangga. “Marc,” panggilnya balik. 

“Mau kemana kau?” Marc lanjut menuruni anakan tangga. Tak lama kemudian ia sudah sampai di bawah dan berdiri di hadapan Alex. 

“Tidak. Hanya ingin keluar sebentar. Kenapa memangnya?” sahut Alex sedikit tajam. Sebenarnya ia malas meladeni Marc. Kakaknya itu hanya semakin lama menahannya di sini. 

“Kau tampak terburu-buru. Aku hanya penasaran saja kau mau kemana.” Sebelah alis mata Marc terangkat lebih tinggi dari yang lain, balas tajam. 

“Aku akan mengunjungi suatu tempat. Dan kau sendiri, kau mau kemana? Tidak biasanya kau berpenampilan serapi dan tampak sesegar ini.” Mata Alex bergerak-gerak mengamati penampilan Marc dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hanya sepatu saja yang belum dikenakannya. 

“Aku akan ke rumah Rachel.”  

“Rachel?!” Mata Alex yang tengah memandangi celana Marc, naik seketika menatap langsung ke matanya. Alex mendelik. 

“Ya, ke rumah Rachel. Kenapa? Tidak boleh? Aku ingin bicara berdua dengannya. Akan kucairkan ketegangan diantara kami,” ujar Marc enteng. Ia lalu melenggang menuju rak sepatu di samping pintu. 

Alex ingin menyahut, namun lebih memilih bungkam dan tidak mengatakan apa yang sempat terlintas di pikirannya. 

“Semoga dia mau mendengarkanku. Doakan aku, ya! Aku akan mentraktirmu nanti jika kami dapat kembali bersama. Sudah dulu, aku pergi!” Marc sudah selesai mengikat tali sepatu kets hitam merahnya. Ia berdiri dan langsung berjalan, tak melihat Alex lagi, lalu tiba-tiba berbalik ketika mengingat sesuatu. 

“Oh ya, jangan pulang terlalu lama, nanti aku tidak bisa masuk jika kau belum pulang. Dan, semoga urusanmu berakhir baik, Dik!” Marc lalu membuka pintu dan menghilang di baliknya. 

Sementara Alex, di sini, lupa bahwa ia tadi sedang terburu-buru. Ia diam di tempat, merasa kesal sekaligus gusar. Jika Marc khawatir tidak bisa masuk, lantas kenapa tidak dia bawa saja kunci cadangan? Kenapa mesti menyuruhnya pulang lebih cepat sebelum dia tiba di rumah? Huh, menjengkelkan. 

Namun di sisi lain, Alex juga tidak tahu apakah ia berada di posisi yang benar atau tidak karena tidak memberitahu Marc bahwa usahanya untuk berbicara dengan Rachel hari ini akan berujung sia-sia. 


***


Marc mematikan mesin mobil sedikit lebih jauh dari pekarangan rumah Rachel karena ia dapat melihat seseorang bertubuh agak gempal sedang memutar kunci rumah dan bersiap akan pergi. Marc cepat-cepat melepas safety belt dan turun dari mobil. Ia berlari kecil menghampiri wanita itu. 

“Bibi Darcy?” katanya ketika wanita itu tepat berbalik ke arahnya. 

Bibi Darcy spontan terlonjak. “Ya ampun! Kau mengagetkanku saja!” Ia memegangi dadanya. 

“Oh, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengejutkanmu, Bi.” Marc terlihat bersalah.  

Bibi Darcy menarik napas dan mengumpulkan diri sejenak. “Tidak apa. Ada apa kau datang kemari?” 

“Hmm, sebenarnya aku ingin bertemu Rachel. Tapi tampaknya dia tidak ada, ya? Apa Bibi mau pergi? Apa dia sedang keluar?” Marc bertanya dengan sangat sopan, walaupun sedikit menggebu-gebu.  Matanya mencoba mencuri-curi pandang ke pintu di belakang Bibi Darcy. 

Bibi Darcy mengerjap-ngerjapkan mata. “Duduklah dulu.” 

Marc pun duduk di kursi yang bersampingan dengan Bibi Darcy. Mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja bertaplak polkadot dengan vas bunga dandelion di atasnya. 

“Hm, Rachel tidak ada di rumah sekarang,” ujar Bibi Darcy. 

“Dia kemana, Bi? Apa dia berbelanja? Apa dia ada urusan lain?” 

Sesungguhnya Bibi Darcy enggan memberitahu Marc di mana keberadaan Rachel sekarang. Mereka sudah berpisah dan untuk apa lagi Marc mencarinya? Toh, Marc juga selalu menyakitinya, kan? Tapi, meskipun pikiran Bibi Darcy urung untuk memberitahukan Marc, hati kecilnya terus mendorong agar ia mengutarakan tempat di mana Rachel berada sekarang. 

Jadi, Bibi Darcy menghela napas sebelum menjawab, “Dia sudah bekerja sekarang.” 

“Bekerja?” Marc sedikit tidak dapat mengendalikan volume suaranya. Sepasang alis matanya yang tebal dan tajam terangkat bersamaan ke atas. 

Bibi Darcy mengangguk. “Ya. Dia ada di tempat kerjanya sekarang.” 

Marc menyadari bahwa ia sempat bernada tinggi tadi, maka, ia mencoba lebih tenang dan terkontrol saat bertanya, “Sejak kapan? Boleh aku tahu di mana dia bekerja?” 

Di The Kafka Coffee,” ungkap Bibi Darcy. Ia masih setengah hati memberitahu Marc. 

Mata Marc membelalak seketika mendengar nama itu. 

The Kafka Coffee??!!” pekik Marc tanpa sadar. Tubuhnya melesat maju hingga membuat kursi yang didudukinya sedikit terangkat. 


To Be Continued…

Comments

  1. Baca bagian2 pertama, aku tercengang dengan penggambaranmu dg tempatnya. Walaupun agak bertanya2 knp kamu agak melupakan si gadis pirang itu. But, nggk mengganggu sih :D kok aku ngebayangin betapa kerennya si Alex saat ngebenerin jam tangan sambil jalan, keren beut, Marc mah kalah. Menyingkirlah Marc *dipecatjdfans* :v Bibi Darcy masih berbaik hati ngasih tau Marc, pasti nanti ada kegemparan di cafe-nya Alex tuh. Perang saudara nanti tuh. Oh ya, maaf ya sebelumnya, bukannya aku sok pinter, Ghaisa, tp aku merasa kurang ada penekanan ketika Bibi Darcy nyuruh Marc duduk dan memberitahukan tntng Rachel. Biar lebih menjiwai aja sih. Tp tenang, ini nggak buruk, justru keren loh, dan jd penasaran, Marc mau ngelakuin apa kalau si Rachel kerja di tempatnya Alex. :D keep writing ya, Dek. Maaf kalau aku komennya sok pinter dan cerewet. :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihihi... awalnya mau buat si gadis pirang itu cuma sekedar karyawan biasa aja kak, ga terlalu ngaruh dianya, hehe.. Aku agak bingung mau buat gimana next-nya kak. Respons Marc-nya ini yang bingung mau dibuat gimana ._. Wah, kita kok sama yaa kak. Aku juga ngerasa di bagian Bibi Darcy dan Marc itu kurang penekanan, tapi aku putusin buat ga diapa-apain lagi, tetap begitu ._. Alhamdulillah kalo ga terlalu menganggu kak :D ga apa kok kak, malah itu masukan bagus dan membangun buat kedepannya :D makasih udah baca yaa, Kaaak :D

      Delete

Post a Comment