No More Love For You #3

Hey everybody! 

Long time no see. 


Sebulan juga ya gak post apa-apa di blog. Iya, soalnya kemarin-kemarin No More Love For You #3 belum dikoreksi. Baru beberapa hari lalu dibaca ulang dan akhirnya dipost hari ini. Semoga yang ke #3 ini lumayan oke yaa untuk dibaca. Dan semoga juga dapat menghibur yang membacanya. 


Udah, gitu aja dulu. Mudah-mudahan kedepannya bisa lebih aktif post dan cerita ini dapat berjalan dengan lancar. Selamat membaca, semua! Tolong tinggalkan komentar jika berkenan ya, karena setiap komentar selalu ditunggu :) 




Rachel sudah membereskan hampir semua atribut hubungannya bersama Marc. Lukisan tangan Marc telah ia singkirkan ke dalam sebuah kotak besar yang kemudian digeletakkan di bawah tempat tidur, dream catcher sudah ia cabut dan disimpan di kotak yang sama, termasuk dua bingkai foto mininya bersama Marc. Oh Tuhan, memindahtempatkan foto itu adalah hal terberat yang dilakukan Rachel pagi-pagi buta tadi. 

Rachel kembali banjir air mata saat dengan susah payah mendorong dirinya agar tidak luluh dan membatalkan rencananya sejak awal. Rachel harus. Ia harus menyingkirkan barang-barang itu, setidaknya mengurangi eksistensinya di kamarnya. Kini hanya hiasan ruangan dan kertas pelapis dinding yang tersisa. 


Rachel tidak mungkin mengganti kertas pelapis dinding rekomendasi Marc tanpa memberitahu bibinya terlebih dahulu, dan ia juga meninggalkan hiasan itu tetap di tempat semula karena memang posisi hiasan itu yang hampir jarang sekali terlihat, karena Rachel menyelipkan hiasan itu di samping lemari. Butuh mata yang jeli untuk menyadari keberadaannya, dan Rachel sudah bulat untuk tidak sering-sering melirik ke samping lemari. 

Pagi ini Rachel keluar rumah dengan suasana hati yang masih rentan. Sebelum pergi, Rachel juga tak lupa mengompres matanya sekali lagi. Jangan sampai bibinya menyadari perubahan matanya tersebut. Pasti ia akan diinterogasi dan semakin sulit keluar dari lautan pilu yang sama. 


Rachel mengambil beberapa perlengkapan rumah di supermarket yang dikunjunginya. Ia meraih sabun dan shampo di bagian sudut, lalu berbalik dan berputar untuk memasukkan pasta gigi dan hand body ke dalam keranjang. Rachel membelah sekat-sekat supermarket itu dengan luwes, ia tahu pasti apa yang akan dibelinya. 


Setelah melihat ke dalam keranjang dan mengaduk-aduk isinya, memastikan bahwa ia sudah memasukkan segala perlengkapan yang dibutuhkan, Rachel dengan gontai melangkah ke arah kasir dan menyelesaikan pembayaran. Ia melempar senyum kepada wanita berambut pendek nan nyentrik dengan seragam itu sebelum mendorong pintu dan berbelok ke kanan. 


Dan tiba-tiba... 


Bugh!


Rachel tak bergerak selama beberapa saat. Ia hanya menunduk ke pahanya dan mengusap-usap lututnya. 


“Hei! Beraninya kau menabrakku!” teriak suara berat yang sedikit parau tepat di atas kepala Rachel. Tubuhnya yang bongsor bergoyang-goyang kesana-kemari. 


Rachel tak menyahut, ia terus diam sembari mengepak debu dari lututnya sekali lagi. 


“Hei! Apa kau bisu, Bodoh? Hahahaha, kasihan sekali!” Laki-laki itu mendorong bahu Rachel sehingga ia semakin terpojok. Perut laki-laki itu yang berlapis-lapis penuh lemak semakin menjorok keluar seolah ingin meloncat keluar dari tubuhnya. 


Sekali lagi Rachel bersabar dan tidak membalas, namun ketika ia mencoba bangkit namun gagal karena laki-laki itu kembali mendorongnya, Rachel pun bereaksi dan mendongak tajam, “Pergilah! Jangan menggangguku!” 


“Apa kau bilang? Hahahaha, aku senang seperti ini. Dasar kau gadis bodoh! Ayo kita melakukan hal yang menyenangkan! Aku bosan! Hahaha.” Tawa keras itu semakin membuat Rachel bagaikan ingin meledak dan menimpuk laki-laki dihadapannya ini dengan plastik belanjaannya kalau saja ia tak mengingat bahwa laki-laki ini sedang mabuk. Memang akal sehat pria ini sedang tidak berfungsi, namun otak Rachel dapat bekerja dengan baik. 


“Hahahaha! Aku senang sekali! Aku akan melakukan apapun! Ayo, Bodoh! Sampai nanti! Hahaha.” Laki-laki mabuk itupun tertawa serak sekali lagi sebelum melirik Rachel yang masih duduk tersungkur di jalanan dan kemudian melenggang seenaknya, berjalan tak menentu dan berbicara asal pada siapapun yang ditemuinya. 


“Huh! Dasar!” Rachel mendengus kesal hingga mengerutkan hidungnya sedikit. 


“Butuh bantuan?” 


Rachel tersentak saat ia melihat sebuah tangan yang panjang dan kekar tersodor ke arahnya. Matanya mendelik dan selama sesaat ia ragu akan menggunakan tangan itu sebagai tonggak berdiri atau tidak, namun beberapa detik kemudian Rachel tetap menimpakan telapak tangan pada tangan asing itu. 


Rachel masih belum melihat siapa si pemilik tangan saat orang itu terus memerhatikan gerak-gerik Rachel ketika membenarkan pakaian. 


Dan ketika mata mereka akhirnya bertemu satu sama lain, baik Rachel maupun orang itu bagai membeku seketika. Mereka sama-sama tercengang dan terus beradu tatapan. 


“Rachel?” panggil sosok itu ragu-ragu. Keningnya berkedut hingga membuat sepasang alis matanya yang tebal itu sedikit tertarik ke bawah. 


Bibir Rachel masih menegang ketika ia dengan pelan menyahut, “Alex?” 


“Oh, sudah lama sekali tidak bertemu.” Alex terkekeh konyol. 


“Hm, ya, sudah lama,” ulang Rachel. Bibirnya tertarik membentuk satu garis tipis. 


“Ayo, kita bicara di sana saja.” Alex menunjuk suatu bangunan di sudut perempatan jalan dan menuntun Rachel dengan menggandeng tangannya. 


Sesungguhnya Rachel tak ingin mengikuti Alex, ia sudah berjanji pada bibinya akan segera pulang ketika pekerjaannya selesai, namun Alex telah lebih dulu menggiringnya dan entah kenapa, ia tak dapat mengatakan sesuatu yang berupa penolakan. Jadi, Rachel tetap mengekor dan duduk di bangku yang dipersilakan Alex. 


“Jadi, bagaimana kabarmu?” tanya Alex riang. Ia mengisyaratkan wajah dan jari memanggil pelayan yang kebetulan lewat, namun dengan segera Rachel menyela, “Jika kau akan memesankan minuman untukku, sebaiknya tidak usah, Alex. Tidak usah repot-repot. Terima kasih, tapi aku tidak haus.” Rachel sadar Alex sedikit kecewa, tampak dari raut wajahnya yang berubah, maka, Rachel pun menyunggingkan senyuman lebar pada Alex dan menyahut pertanyaannya, “Aku baik. Kau bagaimana?” 


“Aku baik juga. Kau sungguh tidak ingin minum?” tanya Alex sekali lagi, terdengar lebih lembut. 


Rachel mengangguk. 


“Oke, baik, baik.” Alex ikut tersenyum kecil, lalu ia membetulkan posisi duduknya agar lebih nyaman, dan menambahkan, “Apa yang kau lakukan di sini? Maksudku, apa kau berbelanja?” 


“Ya, aku tadi berbelanja. Ini,” Rachel mengangkat plastik belanjaannya, “dan... terima kasih telah membantu. Bagaimana kau bisa ada di sini? Apa yang kau lakukan?” 


“Aku tadi berdiri di depan sini, lalu melihat sedikit kegaduhan, dan datang membantu.” Alex memutar bola mata, menyandarkan punggung, lalu menggaruk-garukkan buku tangannya di paha. 


“Sedikit terlambat, tapi. Haha. Tidak, tidak, aku hanya bercanda.” Rachel buru-buru mengklarifikasi bahwa ia hanya bergurau. Senyum konyol tanpa sadar mengembang di wajahnya yang tepat sekali berada di bawah cahaya matahari yang belum begitu terik, semakin membuatnya tampak berkilau. 


Dalam hati Alex diam-diam menyesali bagaimana kakaknya telah dengan bodoh mencampakkan dan mengkhianati gadis secantik dan setulus Rachel. Jika waktu dapat diputar kembali, mungkin ia akan bersaing dengan Marc untuk mendapatkan hati gadis itu sebelum Rachel jatuh cinta pada Marc dan sangat mencintainya seperti sekarang ini. 


“Haha, aku mengerti. Memang sedikit terlambat, tapi cukup awal sebelum kau didorong atau dipukul oleh pria mabuk itu... Atau bahkan gila?” seloroh Alex balik. Ia mengangkat kedua bahunya. 


Rachel refleks tertawa mendengar candaan Alex. Mereka saling tertawa renyah selama beberapa saat. Lalu, Rachel kemudian berdeham dan bertanya, “Kau hanya berdiri di depan sini?” 


Alex menyapukan telapak tangan di permukaan meja. “Sebenarnya tidak juga. Aku baru selesai menempel iklan. Biasa, mencari pelayan baru.” 


“Kau bekerja di coffee shop ini?” Rachel terkejut dan memutar leher untuk menemukan secarik kertas berbentuk persegi panjang telah tertempel pada pintu masuk kaca. 


“Bisa dibilang begitu.” 


Rachel dapat menangkap nada merendah pada suara Alex. Ia mengamati penampilan pria itu secara kilat dari atas sampai bawah, lalu kembali ke mata Alex. 


Rachel baru akan bertanya “Apa posisimu di coffee shop ini” saat Alex dengan girang bertanya, “Apa yang kau lakukan sekarang? Apa bibimu baik-baik saja?” 


Alex berdandan terlalu kasual untuk menduduki posisi manajer, namun terlalu santai jika ia hanyalah seorang pelayan atau kasir. Mustahil bagi seorang manajer untuk menempelkan iklan di coffee shop yang dikelolanya, pasti ia akan menyuruh bawahannya untuk melakukan hal itu, dan tidak mungkin juga bagi seorang pelayan atau kasir tidak bekerja di waktu sekarang ini. 


Jadi, Rachel masih bertanya-tanya ketika menjawab, “Bibiku baik. Selama seminggu aku tinggal sendiri di rumah. Bibiku baru kembali hari ini. Dan kau, bagaimana kabar kedua orangtuamu?”  


“Mereka juga baik. Namun sudah lama kami tidak mengunjungi mereka. Mereka pun tidak mengatakan akan berkunjung dalam waktu dekat. Yah, jadi hanya aku dan Mm...,” tiba-tiba Alex menggantung ucapannya, “yah, hanya seperti ini saja,” ucap Alex asal. Ia tidak dapat menemukan kalimat lain yang lebih baik. 


Rachel terus mengamati wajah Alex ketika berbicara dan sudah pasti ia tahu nama siapa yang akan Alex ucapkan tadi. Maka, Rachel hanya tersenyum simpul dan mencoba membalas, “Aku senang mendengar mereka baik-baik saja. Aku harap kalian akan segera bertemu.”  


Bibir Alex sudah terbuka hendak menyambung ketika pada detik yang sama ponsel Rachel berdering. 


“Tunggu sebentar,” ucap Rachel. Ia kemudian mengeluarkan ponsel dan mengecek siapa yang mengiriminya pesan. Ternyata bibinya. 


Setelah membalas dan menutup kembali, Rachel mengangkat mata ke arah Alex dan dengan sedikit menyesal berkata, “Maaf, Alex. Tampaknya aku harus segera pulang.”  


“Oh, tentu, tentu saja. Tidak apa-apa.” Alex mengangguk beberapa kali tanda mengerti, lalu ketika Rachel sudah berdiri dan bergegas akan pergi, ia pun beranjak dan bertanya, “Apa nomor ponselmu masih yang lama? Jika tidak, boleh aku tahu yang baru? Mungkin aku akan menghubungi sesekali.”  


“Tentu. Ini.” 


Mereka saling bertukar nomor telepon, dan setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, Rachel pun berbalik dan berjalan pulang ke rumah. 


“Senang bertemu denganmu, Rachel!” teriak Alex ketika tubuh Rachel semakin mengecil dan tertelan oleh kerumunan orang ramai.



***


Rachel tahu bibinya telah tiba di rumah karena ia dapat melihat pintu yang tidak tertutup sempurna dari kejauhan. Rachel mempercepat langkah dan buru-buru menaiki anak tangga menuju pintu. Ia menaiki dua undakan tangga sekaligus dan melewati dua yang terakhir. Rachel mendorong pintu dengan lembut hingga berdecit halus lalu melongokkan kepala ke dalam. 


“Bibi?” panggilnya. Rachel kemudian masuk dan meletakkan plastik yang digenggamnya sedari tadi ke atas meja tamu, mengempaskan bokong di sofa, memutar leher dan meregangkan dada, lalu berdiri lagi dan mencari bibinya. 


Rachel mencari bibinya ke kamar, ke kamar mandi, ke ruang tengah, namun tetap tak dapat menemukan wanita itu. 


Biasanya Bibi Darcy selalu beristirahat di kamar sehabis kembali dari mana saja, dan fakta bahwa ia tak ada di sana sedikit membuat Rachel bingung. 


Jadi, Rachel mencoba mencari ke tempat terakhir di mana ia yakin bibinya pasti berada di sana, dan menemukan bahwa memang benar bibinya tengah berada di dapur. Wanita dengan rambut sebahu itu tengah berdiri menghadap ke meja di samping rak piring, tampak lelah meski Rachel hanya dapat melihat punggungnya saja. Rachel telah tinggal sejak masih bayi bersama bibinya, jadi ia tahu persis kebiasaan dan perubahan bibinya tersebut. 


Rachel tetap mengawasi bagaimana bibinya mengaduk dua cangkir teh yang masih hangat, menaruhnya di atas baki, sebelum berbalik dan sedikit terjingkat karena terkejut mendapati ia telah berada di ambang pintu dapur. 


“Rachel? Kau mengejutkanku.” Bibi Darcy tampak tegang selama beberapa saat, namun akhirnya ia bergerak dan meminta Rachel berjalan lebih dulu. “Ayo, kita ke ruang tamu.” 


Mereka pun duduk di ruang tamu, menikmati teh buatan Bibi Darcy sambil berbincang-bincang tentang bagaimana hari-hari Rachel ketika ditinggal sendiri di rumah, dan apa saja yang telah dilakukan Bibi Darcy selama pergi. 


Rachel tak ingin menceritakan hal buruk yang telah dialaminya selama sendiri, namun ia tak dapat berbohong dan menutupi ketika Bibi Darcy dengan berseri-seri menanyakan bagaimana hubungannya dengan Marc. 


Rachel ingin memodifikasi sedikit alur ceritanya, namun tetap saja ia tak bisa dan takluk ketika bibinya memandangnya dengan sorot penuh kebahagiaan. Jadi, Rachel dengan berat hati dan sejuta perasaan bersalah memenuhi tenggorokannya, menyahut dengan hati-hati, “Kami sudah selesai, Bibi. Aku mengakhiri hubungan kami. Aku tak bisa lagi. Jujur saja aku pun tak sanggup dan belum mengikhlaskan semuanya walau aku yang memutuskan. Tapi…Bibi, aku hanya....” 


Rachel mungkin akan pingsan apabila ia melanjutkan penjelasannya. Bibi Darcy menatap Rachel dengan mata berbinar dan tak berkomentar apa-apa. Ia hanya meraih pundak Rachel dan memeluknya, membelai rambut dan punggung gadis itu. 


“Tidak apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa. Mungkin sudah saatnya kau melepas dia. Bibi percaya padamu. Kau pasti sudah memikirkannya sebelum mengambil keputusan ini.” Bibi Darcy berbicara dengan sangat lembut hingga Rachel pun otomatis merasa tenang dan aman. Ia mengecup pelipis Rachel saat bertanya, “Tapi, apa yang membuatmu melakukan hal ini?” 


“Kesalahan yang sama,” jawab Rachel to-the-point


Bibi Darcy hanya mengangguk dua kali, ia sudah mengerti kesalahan apa yang lagi-lagi diperbuat oleh Marc. Ah, pria itu tidak pernah berubah, gumam Bibi Darcy dalam hati. Seberkas kekesalan mulai bangkit di dalam dirinya. 


Untuk sejenak Rachel tetap meresapi kasih sayang bibinya, sementara Bibi Darcy sibuk menimbang-nimbang. Ada satu hal yang akan dikatakannya pada Rachel, dan itulah alasan mengapa ia mengirimkan pesan tadi. Namun, setelah melirik ke arah Rachel yang begitu lemah, mendadak keinginan itupun luntur seketika. Apa benar ia akan menambah kesedihan Rachel dengan topik penting yang akan disampaikannya ini? Gadis itu terlalu rapuh saat ini. 


“Oh ya, Bibi.” Rachel tiba-tiba melepaskan diri dari Bibi Darcy dan mengucek-ngucek kedua matanya. “Apa yang akan Bibi sampaikan? Maafkan aku, aku seharusnya tidak seperti ini.” 


Dunia Bibi Darcy bak runtuh dalam sekejap. Meskipun ia telah bulat untuk menunda pembicaraan ini, namun malah Rachel sendiri yang menanyakannya. Apa yang harus dikatakannya? 


“Hm, Rachel,” mulai Bibi Darcy gelisah. 


“Ada apa, Bibi?” 


“Sebelumnya bibi harus minta maaf kepadamu. Ini murni kesalahan bibi. Seharusnya bibi tidak melakukan kesalahan itu dan kehilangan... kehilangan pekerjaan ini. Rachel, bibi berjanji akan mencari pekerjaan yang lebih baik untuk kita. Tapi, sebelum itu...,” sendat Bibi Darcy, ia menghela napas, “apa kau mau mencari pekerjaan sampingan? Sungguh, Rachel, bibi sama sekali tidak memaksamu. Jika kau tidak mau juga tidak apa-apa, karena ini memang kewajiban bibi... untuk beberapa waktu saja jika kau berhasil mendapatkan pekerjaan lebih dulu. Setelah bibi juga mendapatkan pekerjaan, kau bisa keluar, namun jika bibi duluan yang mendapatkan pekerjaan, maka kau tidak perlu bekerja lagi.” 


Berbagai macam perasaan membuncah di dalam diri Rachel. Sedih, bersalah, hingga penyesalan. Semua datang bertubi-tubi. 


“Aku akan mencari pekerjaan, Bibi. Tidak usah khawatir, aku akan membantu Bibi. Aku tidak apa-apa, aku malah senang bisa membantu.” Rachel sedikit memaksa senyum. Bukan karena ia kesal karena harus repot-repot bekerja, namun lebih karena ia merasa bersalah pada bibinya sendiri karena bibinya selama ini telah melakukan apa saja untuknya, sementara ia sama sekali tidak menghasilkan uang jika tidak diminta.


Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba siluet itu melintas di benak Rachel. Ia teringat sesuatu. Tadi ia bertemu Alex, dan Alex bilang kalau coffee shop tempatnya bekerja memerlukan pelayan baru. Kenapa ia tak mencoba itu saja? Itu adalah kesempatan kerja terdekat yang dapat diraihnya. Maka, Rachel pun dengan semangat berdiri dan mengeluarkan ponsel. “Bibi, sebentar, aku harus menelepon,” katanya lalu berlalu ke arah teras. 


Rachel mencari-cari nomor telepon Alex dan dengan menggebu-gebu langsung menempelkan benda pipih itu di telinga. 


“Alex?” 


“Ya, Rachel?” 


“Hm, begini....” Rachel berputar-putar di teras sambil mencebikkan bibir bawah. “Apa aku masih bisa mengisi posisi pelayan di coffee shop tempat kau bekerja?” 


Di ujung sana Alex hampir kehilangan napas, ia hampir menelan lidahnya sendiri. Rachel menawarkan diri untuk bekerja? Ada apa dengan gadis itu? 


Alex diam dan hanya terdengar suara desiran dari dalam ponsel, maka Rachel pun mengulangi, “Alex? Apa kau sudah mendapatkan orang untuk bekerja? Apa aku masih bisa bekerja di sana?” 


“Oh, tentu. Tentu saja, Rachel.” 


“Oke, terima kasih banyak, Alex. Aku akan segera mengirim surat lamaran.” 


Mereka berbicara selama beberapa menit lagi sebelum Rachel dan Alex sama-sama sepakat untuk mengakhiri sambungan telepon itu.




To Be Continued...

Comments

  1. Eh, aku bisa komentar di blog jg akhirnya :D bacanya nggak sebaper part kemarin. Ya, mungkin efek dari tidak kenongolannya/? Marc :D lope lope karakter Alex mah pokoknya. Dan banyak kosa kata yg aku suka dari cerita ini. Bahasa itu, ringan, to the point, tapi jleb. Eh, cuma ada yg kurang. Nggk dijelasin bibi Darcy-nya kerja apa. Nggak mau bilang cepet dinext, cukup keep writing, biar bisa tetep lanjut :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Insya-Allah part berikutnya Marc ada muncul ke permukaan kak (?), hihihihi... :D makasih udah baca yaa kak. Lagi proses ngoreksi yang ke #4-nya nih. Semoga bisa cepet dipost yaa :D hehe..

      Delete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwk.. Kasian Marc kalo Rachel deket dengan Alex ._. Hahaha.. makasih udah baca yaa nov :D

      Delete

Post a Comment