ONESHOT : The Real

Hey! I am back! New FanFiction! Alhamdulillah.

Seneng bisa ngepost lagi di blog. :D

Ide cerita kali ini berawal dari jatuhnya Marc Marquez di Silverstone dan Aragon. Saat itu authornya shock dan kepikiran buat nulis cerita tentang jatuhnya Marc.

Seperti biasa, aku berharap cerita ini dapat menghibur dan menyenangkan. Komentar selalu ditunggu. ;)

Oh yaa, mau ngucapin juga untuk Dani Pedrosa. Tanggal 29 September kemarin Dani berulang tahun yang ke-30. Semoga selalu dapat yang terbaik, Dani! May joyful always come to your life. All the best, 26! Always here to support you ;)

Dan… happy reading!! :D


Sekali lagi Marc mengamati bayangan wajahnya sendiri yang terpantul di cermin oval yang tergantung di sudut kamar. Sudah beberapa menit ia tak mengalihkan pandangan, terus saja menatap bayangan yang sama dengan mata memerah. Sesekali matanya jatuh dan menyelami wajahnya yang penuh kerutan dan terbelah-belah karena terpantul di serpihan kaca.

Lengan Marc yang panjang, kuat, dan dipenuhi urat nadi hingga lekukan siku itu pun mengekar kuat pada permukaan meja. Buku-buku tangannya bahkan sampai memutih. Giginya gemeretak, seolah-olah ikut menyuarakan isi hati sang pemilik. Marc mengerang.

Siluet suram itu datang kembali dan menggelayuti pikiran Marc. Otaknya bagai tergerogoti oleh pikiran negatif. Jeleknya suasana hati Marc dan munculnya kilas balik kejadian itu semakin membuat hati Marc menjadi keruh. Telapak tangan Marc membulat, rahangnya mengeras, sementara tubuhnya mulai bergetar.

“Aku akan memenangkannya.” 

“Benar, aku akan melakukannya.” 

“Akan kupersembahkan kemenangan ini untukmu. Untuk hari jadi kita yang kedua tahun.” 

“Aku mencintaimu. Aku akan melakukan apapun untuk kita. Apapun.” 

“Setelah aku kembali dengan kemenangan, kita akan keluar makan malam. Aku berjanji. Ada sesuatu penting yang akan kukatakan di sana.” 

“Aku berjanji.” 

“Aku berjanji.” 

“Aku berjanji.” 

Mereka saling menautkan jari kelingking di bawah sinar bulan yang keperakan. Marc berjanji di bawah langit malam yang cerah. Bulan pada malam itu yang tinggi, berwarna krem, dan begitu benderang, menjadi saksi bisu betapa serius dan ambisinya Marc untuk menghadiahi Rachel dengan sebuah kemenangan.

Entahlah. Ia hanya tidak didukung oleh keberuntungan. Marc begitu percaya diri. Semua aspek di sekelilingnya sudah diatur sedemikian rupa. Suasana hatinya sangat sempurna dan ia yakin dapat membawa pulang trofi tertinggi itu. Ia akan datang pada Rachel dan mempersembahkan trofi itu untuknya. Rachel pasti akan senang dan bangga sekali.

Kini, dengan keadaannya yang seperti ini, setelah kejadian itu yang begitu menguras emosi, apalagi yang dapat dikatakannya pada Rachel? Kecewa, sedih, kesal, marah, dan malu berpadu menjadi satu membuncah di tenggorokan Marc, kemudian mengalir di pembuluh darahnya, dan semakin membuat mentalnya tertekan.

Sungguh, Marc tak pernah menyangka hal ini akan datang menimpanya. Ini benar-benar diluar ekspektasi. Lebih baik jika ia dapat menyelesaikan balapan itu namun tak berada di posisi puncak, ia masih punya cukup keberanian untuk berbicara pada Rachel, atau setidaknya ia masih dapat mengutip sisa-sisa keberaniannya untuk menemui Rachel. Namun, beda ceritanya apabila ia benar-benar gagal.

Marc tersungkur dalam balapan itu dan tidak membawa apa-apa. Jangankan membawa pulang trofi, menambah poin di klasemen saja ia gagal.

Ini bukan pertama kalinya Marc gagal. Ia sudah beberapa kali, dan bahkan mungkin sudah tak terhitung lagi nominalnya ia mencium aspal dan kerikil sirkuit sejak pertama kali berkarir di ajang olahraga balap motor raksasa itu.

Jatuh-bangun adalah hal biasa. Marc masih muda dan masih banyak kesempatan yang terbentang untuknya. Ia bisa bangkit dan mencoba lagi. Lantas, mengapa ia begitu terpuruk dan berlebihan dalam menyikapi kekalahan ini? Dua puluh dua tahun dan Marc cukup dewasa untuk memilah-milah. Mengapa ia sangat berlebihan? Lagipula, ini bukanlah sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang juara dunia.

Sebenarnya, apabila boleh jujur, bukan kegagalan itu yang berhasil membuat Marc bagai jatuh ke jurang terbawah dan terjebak dalam semak belukar seperti ini. Tapi kegagalannya menepati janji pada gadis itulah yang berhasil menumbangkan seorang Marc Marquez hingga seperti ini.

Marc sama sekali tidak mempermasalahkan kegagalannya meraup kemenangan. Ia masih bisa coba berbesar hati walaupun ia tak menampik bahwa ia pasti akan down untuk beberapa waktu. Tapi gagalnya ia datang pada Rachel dengan trofi kemenangan, tidak bisanya ia menepati janji, betapa ia merasa bak pecundang dirinya yang telah memberi harapan palsu, itulah yang sesungguhnya lebih membunuhnya daripada kegagalan itu sendiri.

Marc serasa akan meledak apabila membayangkan kejadian memalukan itu. Darahnya berdesir hebat dan tubuhnya terhuyung. Lehernya kaku dan kepalanya tertunduk, tergantung rendah diantara kedua bahunya. Pelipis Marc berdenyut-denyut. Kilas balik itu kian menyerang.

Braaak!!

Marc menggebrak meja dengan tubuh mengejang. Jari-jarinya meraih jam tangan yang berada dalam jangkauannya kemudian melemparkannya hingga membentur dinding. Kaca jam tangan itu pecah berkeping-keping, seolah ingin memperjelas betapa semrautnya perasaan Marc saat ini.

***

“Dia tidak bicara padaku sejak kami kembali ke rumah ini.”

“Apa kau sudah coba menegurnya?”

Alex menarik napas panjang. Dadanya membusung saat ia mengubah posisi duduknya dan kembali terbenam di dalam sofa minimalis modern itu. “Mungkin sudah tak terhitung lagi. Aku bahkan sudah lelah dan mulai menyerah. Itulah alasanku mengajakmu bicara berdua.” Alex mengusap wajahnya, frustasi dan sedikit sebal mengingat sudah berapa kali ia mendapat imbas dari kemarahan kakaknya. Marc tidak piawai menyembunyikan perasaan dan memasang senyum palsu. Suasana hatinya pasti selalu tercermin dari tindakan dan raut wajahnya.

“Aku akan mencoba bicara padanya.” Rachel melirik ke arah kamar Marc yang bersebelahan dengan kamar Alex. Kamar mereka hanya dipisahkan oleh sebuah guci keramik tempat menaruh payung-payung. Bedanya kamar Marc sama sekali tidak dipasangi gorden, sementara kamar Alex ditutupi oleh tirai bercorak garis-garis vertikal.

“Kau memang harus bicara padanya. Aku tidak tahan dengan perubahan sikapnya. Aku tidak ingin lagi menerima semprotan dari kekasihmu itu,” sindir Alex. Lidahnya berdecak dan ekspresi sebal jelas sekali terpampang di wajahnya.

Rachel geli melihat wajah Alex yang cemberut. Bibirnya berkedut. Ia buru-buru menahan dorongan untuk terkikik dan menundukkan matanya, agar Alex tidak dapat melihat senyum tipis yang tersungging di bibirnya.

“Baik, baik.” Sekali lagi Rachel menatap pintu kamar Marc yang polos, membiarkan wajah Marc berkelebat dalam pikirannya, kemudian beranjak dan mulai berjalan.

Namun Alex dapat menangkap pergerakan Rachel. Ia refleks berdiri dan menarik tangan gadis itu, membuat ia sedikit terjingkat karena kaget. Rachel menoleh dan menatap Alex dengan sorot bingung.

“Ada ap ....”

“Berhati-hatilah. Darah lebih kental daripada air. Walaupun kalian sudah lama bersama, namun kau tidak pernah tahu bagaimana “macan lapar” itu ketika mengamuk. Aku sudah bersama Marc sejak kecil, jadi aku tahu persis bagaimana kepribadiannya. Jaga dirimu,” peringat Alex. Ia meremas tangan Rachel, membuat gadis itu sedikit risih, namun tak berani berkata apa-apa.

Rachel diam sejenak. Sedikit pun hatinya tak gentar mendengar penjelasan Alex. Apapun risikonya, ia sudah mempertaruhkan segalanya. Marc adalah pria yang sangat dicintainya. Baik-buruk pria itu adalah sesuatu yang harus ia terima. Ia sudah memutuskan untuk bersama Marc, bersama segala sifat baik dan kejelekan pria itu. Tidak terkecuali emosi dan mungkin perlakuan kasar Marc ketika diliputi amarah.

“Aku akan menjaga diri. Aku akan was ….”

Praaang!!

Belum selesai Rachel bicara, bunyi hempasan sudah lebih dahulu memotong. Rachel dan Alex sama-sama refleks menoleh ke arah asal suara. Jantung mereka bak melompat hingga ke tenggorokan.

“Marc.” Dalam sekejap Rachel diserang kepanikan yang luar biasa. Bunyi apa itu? Marc? Apa yang terjadi padanya?

Sekali lagi Rachel kembali dicegat oleh Alex ketika hendak melangkah. “Tolong bantu kembalikan kakakku. Bicaralah pelan-pelan dengannya. Semoga berhasil, dan berhati-hatilah.”

Tanpa senyum ataupun tanggapan lagi, Rachel langsung berjalan meninggalkan Alex. Dalam hati ia serasa ingin menonjok atau mematahkan lengan pria itu. Sudah tahu ia dilanda kepanikan karena suara keras dari kamar Marc yang mengerikan, ia masih sempat-sempatnya mencegat tangannya. Walaupun maksud Alex baik, tapi ini tidak tepat. Rachel terlalu panik untuk mendengar warning dari Alex.

***

Marc tengah bersandar di balik pintu saat ia menyadari adanya ketukan keempat dari seseorang di balik sana. Untuk beberapa detik Marc tetap tak bergerak, sebelum akhirnya ia dengan malas memutuskan untuk membuka pintu pada ketukan ketujuh.

Marc menarik kenop pintu dengan menggebu-gebu, sama sekali tidak menyadari siapa pemilik ketukan tersebut, lalu dengan api amarah yang bergolak-golak menyembur, “Apalagi, Alex?!”

Seketika Marc terlihat seperti orang yang menelan lidahnya sendiri. Punggungnya kaku dan ia berdiri mematung dihadapan Rachel. Tidak jauh jarak yang memisahkan mereka, cukup bagi Rachel untuk melihat raut wajah Marc yang semraut dan sesuatu seperti lingkaran hitam di bawah matanya. Apa Marc tidak tidur?

“Marc,” panggil Rachel, maju selangkah.

Bibir Marc mengatup erat dan merengut. Ia menunduk dan menahan dorongan untuk mempersilakan Rachel masuk. Alih-alih, Marc malah berujar, “Keluar, Rachel.”

Rachel merasa tertohok mendapat pengusiran dari Marc. Sepanjang mereka bersama, baru kali ini Marc menolaknya.

“Marc….”

“Keluar,” usir Marc lagi.

“Marc,” panggil Rachel lebih lembut. Dengan sedikit gemetar ia menyentuh lengan Marc, mendorongnya, membiarkan mereka berdua masuk ke dalam kamar Marc, kemudian dengan ragu-ragu, Rachel tetap menutup pintu dan memutar kuncinya.

“Sebenarnya ada apa, Marc?”

Marc mencoba mati-matian untuk mengendurkan pertahanan dirinya, namun ego dan sesuatu lain dalam diri Marc terus bangkit perlahan-lahan, berkobar hingga akhirnya Marc pun tidak sanggup mengontrolnya dan membentak, “Keluar, Rachel.”

Rachel mendadak ingin pingsan seketika. Nada suara Marc begitu tinggi, keras, dan kasar, ia tidak pernah mendapat ini sebelumnya.

“Kenapa, Marc? Sebenarnya ada apa?” Tanpa pikir panjang Rachel langsung memeluk Marc.

Sungguh, Marc sangat ingin membalas pelukan Rachel, mendekap tubuh gadis itu erat-erat dan tak akan pernah melepaskannya, namun suara-suara itu terus saja terngiang-ngiang di telinganya, seperti sirene nyaring yang membuat telinganya ngilu.

“Lepaskan dia, Marc.” 

“Dasar pecundang. Kau memberi harapan palsu pada Rachel bahwa kau akan memenangkan itu.” 

“Kau telah mengecewakannya. Kau tidak pantas untuk pelukan itu.” 

“Lepaskan dia. Dia pasti sangat kecewa. Lepaskan dia.” 

“Lepas dan pergilah. Aku belum siap bertemu denganmu.” Marc melepaskan tangan Rachel dari lehernya dan refleks mendorong tubuh gadis itu ke belakang. Rachel hampir saja terjungkal kalau ia tak ditangkap oleh tempat tidur Marc. Rachel membal dan tergolek.

Entah apa jadinya ia jika tidak jatuh tepat di atas tempat tidur dan malah terjerembap di lantai.

Mungkin inilah yang dikatakan Alex tadi. Mungkin inilah yang ia takutkan dan alasan kenapa ia begitu memperingatkan Rachel.

Rachel tersengal dan duduk sejenak, sementara Marc terus mengawasinya. Jujur, Marc tidak ingin melakukan ini. Ia kehilangan kontrol dan telah menyakiti Rachel. Suara itu begitu kuat. Mendadak Marc merasa jantungnya seolah diremas oleh penyesalan.

“Marc, kumohon. Ada apa sebenarnya? Ceritalah padaku. Tumpahkan semuanya. Kumohon, Marc. Jangan begini. Berbagilah padaku. Ada apa?” Rachel meneguk ludah dengan susah payah. Nada suaranya merendah. Ia berdiri dengan kaki bergetar.

Sesuatu yang kontras saling bertubrukan di dalam diri Marc. Ego dan rasa malunya, namun perasaan bersalah, cinta, dan rasa sayangnya pada Rachel. Marc berusaha keras menguasai dirinya sendiri. Perlahan-lahan ia membiarkan aliran udara murni mengisi paru-parunya dan menyegarkan pikirannya. Marc mencoba untuk lebih terkontrol. Ia diam.

“Maafkan aku.” Hanya itu yang berhasil Marc keluarkan. Matanya jatuh, menyembunyikan beragam perasaan yang tergambar di wajahnya. “Kau pasti sangat kecewa.”

Kecewa. Apa maksud Marc dengan kecewa? Kenapa ia tiba-tiba membicarakan kecewa? Apa Marc menyangka Rachel kecewa? Kecewa karena apa? Kening Rachel berkerut, pikirannya berkeliaran, coba mengingat-ingat segala kemungkinan mengapa Marc bisa sampai mengatakan bahwa ia kecewa.

Rachel hanyut dalam lamunan hingga akhirnya ia menangkap satu kemungkinan terbesar. Apa karena janji itu? Apa karena kecelakaan itu? Apa karena Marc jatuh dan gagal?

“Apa karena janji itu?” terka Rachel takut-takut. Ia menatap Marc dengan mata sayu.

Marc terenyak. “Benar. Karena aku gagal. Tidak ada trofi, tidak ada kemenangan, tidak ada kado terindah untuk hari jadi yang kedua tahun, tidak ada yang bisa dipersembahkan. Tidak ada, Rachel.” Suara Marc bagaikan tenggelam oleh desiran angin, begitu pelan. Marc menatap ubin berbentuk heksagonal saat menambahkan, “Karena aku tidak menepati janjiku padamu. Karena aku gagal menepati janjiku padamu, Rachel.”

Rachel pilu mendengar perkataan Marc. Belati tajam seolah mengupas dan membelah-belah organ dalamnya. Sakit. Jadi ini yang membuat Marc terpuruk? Jadi hanya karena hal kecil ini Marc begitu marah dan tidak menyambutnya dengan baik? Oh Tuhan, pria itu terlalu hanyut dalam pikiran-pikiran negatifnya sendiri.

Rachel melangkah, sebelah tangannya terangkat mencengkeram kaus Macbeth hitam milik Marc di bagian pinggang, lalu sebelah tangan yang lain menyentuh pipi Marc.

“Dengarkan aku baik-baik, Marc. Dengarkan aku baik-baik. Kau, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu, aku berani bersumpah akan menerimanya dengan besar hati. Aku memilihmu. Aku telah memutuskan untuk bersamamu. Aku, baik untuk sekarang hingga selamanya, akan selalu memilihmu, tidak peduli berapa kali kau mengalami hari-hari yang buruk dan betapa sengsaranya aku bersamamu. Aku akan selalu ada bersamamu. Aku akan selalu ada di sini. Marc, percayalah, aku tidak hanya mencintai kelebihan dalam dirimu, namun beserta segala kelemahanmu. Kau tidak pernah mengecewakanku. Kegagalan itu tidak berarti bahkan secuil debu pun untuk menggoyahkan hatiku. Karena apapun, di manapun, dan kapanpun, aku akan selalu ada di sampingmu.” Rachel mengelus-ngelus pipi Marc, dan tangan Marc pun naik menyentuh pergelangan tangan Rachel.

“Aku sungguh baik-baik saja jika kau tidak membawa trofi itu ke hadapanku. Aku sungguh tak masalah. Lagipula, bukan kau yang sengaja tidak menepati janji itu, ‘kan? Inilah yang dinamakan takdir, Marc. Sesuatu yang tidak bisa kau ubah. Sekeras apapun kau mencoba, sekuat apapun usahamu, tapi jika Tuhan tidak mengizinkan, itu tidak akan pernah terjadi. Tidak akan pernah terjadi, Sayang. Jadi, kumohon jangan seperti ini. Kau tidak perlu membuktikan apapun untuk membuatku bangga, kau sudah berhasil melakukannya sejak kau mengungkapkan perasaanmu padaku. Semua yang kau lakukan, semua yang ada dalam dirimu, itu sudah sangat membuatku senang, selama kau melakukan hal yang benar. Aku sudah sangat bangga, Marc. Sangat, Sayang.” Buliran air bening membayangi mata Rachel, menghalangi pandangannya untuk melihat wajah Marc.

Mereka saling menyelami mata satu sama lain dengan tatapan berbinar. Hening.

“Kau adalah yang terbaik, Marc. Kau adalah yang terbaik.” Sebulir air bening tumpah dari pelupuk mata Rachel.

“Aku menyayangimu, Rachel.”

“Aku akan selalu ada di sini.” Rachel tersenyum saat menunjuk dada Marc, sedikit menekannya, lalu berjengit karena Marc tiba-tiba meringis.

“Ada apa?” Rachel menatap dada Marc dengan sorot bingung.

Marc memegangi dadanya, namun tetap mengulas senyum. Raut wajahnya yang telah berubah cerah dan ceria tidak dapat tertutupi meski ia sedang kesakitan.

“Dadaku sakit. Sedikit memar,” aku Marc.

Rachel mendelik ke arah dada Marc. “Kenapa? Apa karena jatuh kemarin?”

“Benar.”

“Aku akan segera kembali. Tunggu sebentar.” Rachel bergegas ingin pergi, mencari obat, namun terhenti karena ia merasakan tangannya ditarik dari belakang.

“Jangan pergi. Aku tidak apa-apa.” Marc menarik Rachel mendekat, mengenggam telapak tangan gadis itu, lalu membawanya hingga ke tulang iga.

“Aku akan baik-baik saja. Tidak apa-apa. Aku hanya ingin kau di sini. Itulah yang sebenarnya adalah obat termanjur.” Marc terkekeh pelan. Dari manik matanya jelas sekali terpancar tatapan menggoda.

Rachel tak dapat mencegah seringai konyol muncul di sudut-sudut bibirnya. Ia meninju pelan pinggang Marc. “Kau ada-ada saja.”

“Maafkan aku, ya. Maaf telah menyakitimu. Aku benar-benar tidak sengaja. Ini tidak akan terulang.” Marc memeluk Rachel erat-erat, tak menghiraukan dadanya yang terasa nyeri.

Rachel pun tak menyadari jika ia membuat dada Marc sakit. Ia terlalu bahagia dalam pelukan Marc. “Jangan pernah begini lagi.”

“Tentu. Tidak akan. Selamat hari jadi yang kedua tahun, Rachel. Aku menyayangimu, Sayang.” Marc mengecup puncak kepala Rachel.


END


Comments

  1. Wahh sekian lama gk baca ff mu skli baca lngsung senyam-senyum cerita ny buat gregeth loh sosweet ny gk nahan best couple deh mereka

    ReplyDelete

Post a Comment