No More Love For You #2


Hai! Selamat malam!

I’m back with a new fanfiction. Hehe.

Sebenarnya fanfiction lama sih, sekitar satu tahun yang lalu, tapi baru dilanjut sekarang. Awalnya ga ada niat buat lanjut, biarlah tetap jadi ONESHOT, tapi yah… akhirnya mutusin buat dilanjut aja.
 

Sebelumnya aku juga ada beberapa cerita CHAPTER, dan semuanya masih pada gantung, belum lagi dilanjutin, karena… aku bingung mau dilanjut kemana arah ceritanya. Tapi, aku coba-coba buat lanjut yang cerita ini. Semoga ga mengecewakan yaa. Dan semoga juga bakal cerah dan lancar buat kedepannya.

Oh yaa, bagi yang ingin baca part 1-nya dulu, bisa dibaca di sini yaa :)

Dan… happy reading everyone!! Semoga dapat menghibur ;)


Marc memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Punggung tangannya tampak bergetar saat ia membelokkan mobil dengan ugal-ugalan. Untung saja jalanan saat itu sudah sepi, jadi mengurangi risiko Marc menabrak kendaraan lain atau menyenggol orang yang tengah berjalan kaki.

Malam sudah larut dan Marc baru terdorong untuk pulang ke rumah. Sebelumnya ia entah pergi ke mana saja. Marc berhenti dan mengunjungi beberapa tempat di mana hatinya dapat merasa tenang.

Marc sempat berencana untuk tidak pulang jika saja ia tidak mendapat telepon dari Alex. Ia akan menginap di mana saja asal tidak pulang ke rumah dan mengingat segala macam kenangan itu kembali. Begitu banyak kenangan bersama gadis itu di kamar Marc. Beberapa kado ulang tahunnya, beberapa hadiah atas pencapaiannya, dan bahkan mungkin aroma tubuh gadis itupun masih tertinggal di dalam sana.

Sebenarnya Rachel tidak begitu sering mengunjungi kamar Marc. Rachel tidak terbiasa untuk masuk ke dalam kamar laki-laki meskipun kamar itu adalah kamar kekasihnya sendiri. Rachel dididik dengan baik sejak kecil. Ia baru lima kali mengunjungi kamar Marc sejak kebersamaan mereka tiga tahun lalu. Itupun dapat dihitung lamanya ia berada di dalam kamar Marc dan untuk apa saja Rachel memasuki kamar Marc. Tiga kali ketika Marc sakit, sekali ketika Marc meminta Rachel untuk mengambilkan sesuatu dari dalam lemarinya, dan satu kali yang terakhir karena Marc memintanya untuk masuk dan berbicara berdua. Selebih itu Rachel tidak berani memasuki kamar Marc dengan asal-asalan. Namun meskipun begitu, Marc tetap merasakan aroma tubuh Rachel masih menguap di dalam sana.

Marc memarkir mobil tepat di halaman rumahnya yang sedikit tampak gundul karena hanya ditanami oleh dua buah pot bunga dan rumput-rumput kecil. Satu pot bahkan sudah layu karena tidak ada diantara Marc maupun Alex yang menghiraukannya.

Marc segera turun dan berjalan cepat ke arah pintu, mendorongnya dengan kasar, lalu mendebamnya hingga menimbulkan suara keras yang terdengar seperti suara petir di rumah yang sunyi senyap itu.

Marc langsung mengempaskan bokong di atas sofa minimalis modern berwarna merah marun di ruang tamu, sama sekali tidak melirik Alex yang sudah terjingkat karena terkejut dan memasang ekspresi bingung di ruang makan. Ruang tamu dan ruang makan mereka begitu dekat. Hanya dipisahkan oleh dua undakan tangga miring dan sebuah guci keramik kecil di salah satu sudutnya. Marc terlalu tertekan untuk bersikap lembut.

“Apa-apaan kau ini, Marc?” tanya Alex setelah diam cukup lama, menenangkan diri dengan mengambil napas dan membiarkan aliran udara murni masuk ke dalam paru-parunya.

Marc tidak menyahut, ia hanya menatap Alex sejenak sebagai balasan. Marc kemudian membuka sepatu, membiarkannya tergeletak begitu saja di lantai, melepaskan ikat pinggang, lalu menarik kemeja hitam polosnya dan menyingkap lengannya hingga sebatas sikut.

Marc sadar Alex tengah memandanginya dengan sorot bingung bercampur kesal, namun ia tetap duduk di sana, diam membisu, sama sekali tidak mengatakan apa-apa.

“Marc,” panggil Alex. Ia ingin bangun dan menghampiri Marc, namun tatapan Marc yang garang dengan cepat menghalau niatnya.

“Semua selesai. Dia pergi. Dia mengandaskan harapanku.” Gigi Marc saling beradu ketika ia mengatakannya. Raut wajahnya tampak begitu tegang dan marah sekali.

“Siapa? Rachel?” tanya Alex memastikan.

“Memangnya aku punya berapa orang gadis?”

“Seingatku kau punya lima di luar sana, tapi entahlah akhir-akhir ini. Aku tidak terlalu memerhatikan dan mencari tahu tentang kehidupan pribadimu lagi. Aku tidak mau mengingatnya.” Alex memutar bola mata, raut wajahnya berubah sepele dan uratnya mengendur dalam sekejap. Ia berjalan ke ujung meja makan yang berseberangan darinya.

Marc semakin berang mendengar perkataan Alex. Harga dirinya tersinggung. Ia merasa tidak seperti yang Alex tuduhkan. Sepanjang hidupnya, Marc hanya menjalin hubungan serius dengan satu orang gadis. Satu, dan akan selalu satu. Ia merasa bukanlah pria sembarangan dan pengecut yang suka mempermainkan hati wanita seperti yang terkesan dalam perkataan Alex.

“Aku hanya punya satu, Sialan! Aku hanya punya Rachel!” geram Marc.

“Hanya Rachel? Lalu bagaimana dengan dua saat kau berada di luar kota? Satu orang di luar negeri, satu orang di... hmm,” sendat Alex. Matanya mengerjap seraya kepalanya yang memiring. “Di... aku lupa. Dan satu orang lagi sepertinya seorang model di luar negeri. Bagaimana kau menjelaskannya? Aku bahkan tidak ingat semua gadis di sekelilingmu, Marc.” Alex menghela napas, menggeleng dua kali, memasang raut heran dan tak habis pikir, lalu menggigit biskuit cokelat yang diambilnya dari meja makan.

Untuk sejenak, Marc tenggelam dalam alam pikirannya sendiri. Alex ada benarnya, setidaknya, begitulah yang selalu tampak. Tidak hanya Alex, tapi Rachel dan mungkin semua orang pasti memiliki asumsi yang sama. Marc tidak bisa menyalahkan mereka, tidak bisa juga terlalu berkeras membela diri, karena pada dasarnya, dia jugalah yang menumbuhkan kesan buruk terhadap dirinya sendiri di mata khalayak. Marc tak berani menampik “kebenaran” itu.

“Sudahlah. Aku tidak peduli. Sekarang satu-satunya yang menjadi fokus utamaku adalah, bagaimana kami dapat kembali bersama.” Marc menekan ucapannya pada lima kata terakhir. Ia mengaduk-aduk rambutnya hingga tampak seperti kumpulan benang kusut, membuka dua kancing teratas kemejanya, lalu duduk bersandar dengan tangan terentang pada punggung sofa dan kaki kanan yang terlipat menekan kaki kirinya.

“Aku tidak setuju. Lebih baik kau lepaskan dia dan cari gadis lain. Tapi sebelum itu, cobalah perbaiki sifatmu dulu. Jangan sampai ada lagi Rachel kedua. Aku rasa dia sudah cukup menderita bersamamu,” saran Alex. Tangannya merogoh-rogoh toples biskuit di pelukannya. Alex bukan tipe pria yang perhitungan kapan dan apa yang dimakannya. Selama ia lapar dan ada cemilan, ia tak peduli mau itu tengah malam, pagi, atau kapan pun, Alex tetap akan melahapnya.

Menderita bersamamu. Sebegitu jahatnya kah ia pada Rachel? Benarkah Rachel sangat sengsara bersamanya? Apakah ia sudah sangat kelewatan? Benarkah yang Alex katakan? Tapi kenapa Rachel sama sekali tidak pernah mengeluh? Apa gadis itu selalu memasang topeng baik-baik saja? Apa... apa sebegitu besarnya cinta Rachel padanya hingga semua kesedihan dan keinginan gadis itu selalu disimpannya sendiri?

Marc mendadak merasa kecil dan salah, lebih kecil dari hal paling kecil dan tidak penting yang ada di dunia ini, sementara penyesalan dan rasa bersalah membuncah di dalam jantungnya, menyelisip di sela-sela organ dalamnya.

“Tidak. Aku akan tetap berusaha. Aku berani bersumpah dia tidak akan menderita untuk kali kedua.” Marc seolah tercekik oleh penyesalan. Tenggorokannya berdenyut-denyut, sementara telapak tangannya mulai terkepal. Ia merasa bodoh karena telah melakukan permainan itu di masa lalu.

Tapi… jika ia tidak melakukannya…

Alex baru akan kembali menyanggah saat suara keras lagi-lagi merobek kebisuan. Marc meninju permukaan meja tamu yang dilapisi oleh kaca bevel, berputar, sebelum untuk kedua kalinya dalam hari ini, mendebam pintu dengan kasar.

“Marc!!” panggil Alex.

Marc menahan dorongan untuk menyahut, ia ingin segera melempar tubuh di atas tempat tidur dan mengistirahatkan fisik juga pikirannya, namun, tetap saja, Marc juga merasa harus menyahut panggilan itu. Jadi, ia berdiri di tengah kamar, menghadap ke pintu, lalu dengan malas berteriak, “Apa?”

Alex sangat mengenal Marc, ia tahu persis apa yang akan diterimanya jika berani menyinggung masalah pribadi pria itu lagi saat ia sudah berteriak dengan cara seperti itu dan melarikan diri ke kamar. Maka, Alex urung memperpanjang topik perbincangannya dengan Marc tengah malam ini, dan malah bertanya, “Aku hanya ingin menawarkan. Kau begitu kotor dan berantakan, akan lebih baik jika kau mandi. Apa kau mau aku siapkan air hangat? Kau bisa memakan biskuitku selagi aku memanaskan air.”

Marc hanya menggerutu dan melompat ke tempat tidur. “Lakukan saja apa yang kau inginkan!” 


***

Kamar yang penuh dengan pria itu. Kamar yang terkesan adalah kamar pria itu juga. Dia seolah ada di sini. Dia bak hidup di ruangan ini. Pria itu tinggal di dalam sini.

Tatapan mata Rachel berkelana ke setiap inci kamarnya. Kertas pelapis dinding bermotif bunga-bunga kecil dan rumit-rumit berwarna azure, merupakan rekomendasi pria itu untuk mengambil warna biru karena adalah warna kesukaannya, sebuah lukisan kecil tertempel di bagian sudut atas, merupakan lukisan tangan pria itu sendiri, tidak begitu bagus, namun Rachel tetap meminta dan memajangnya, serta sebuah hiasan ruangan berbentuk hati dengan potongan-potongan kain flanel membentuk huruf “MMA – RNG” di bagian tengahnya di samping lemari. Marc mengaku membuat sendiri hiasan itu, khusus sebagai kado untuk hari jadi mereka yang kedua tahun. Ia memanfaatkan kain linen untuk membungkus bentuk hatinya, dua kardus tebal dan gabus yang disatukan sebagai fondasinya, serta tali kur dan benang rajut nilon warna hitam sebagai penggantungnya. Rachel masih ingat dengan jelas raut wajah Marc yang riang dan kata-kata pembuka Marc saat memberikannya.

Rachel duduk di salah satu sudut tempat tidur, meraih sebuah bantal kecil yang, lagi-lagi merupakan salah satu hadiah dari Marc saat ulang tahunnya, lalu membawanya ke dada dan memeluknya.

Rachel menenggelamkan wajah di bantal itu, meresapi aroma rambut pria itu yang masih tertinggal. Marc pernah tertidur di bantal ini, saat suatu waktu ketika ia berkunjung ke rumah Rachel dan terjebak hujan deras. Marc tidak meminta, namun Rachel sendiri yang menawarkan agar Marc menginap di rumahnya malam itu. Rachel tidak tega membiarkan Marc menerobos derasnya hujan.

Sejak bantal itu menjadi sanggahan kepala Marc saat tertidur di ruang tamu, Rachel sama sekali tidak pernah mencuci sarungnya, bahkan terpikir saja tidak pernah. Ia juga tidak pernah menggunakannya karena takut aroma rambut Marc dan rambutnya saling bercampur. Rachel hanya selalu memeluknya ketika ia menjalani hari-hari yang indah bersama Marc, saat ia merindukan dan teringat akan pria itu, dan satu waktu lain ketika ia merasa tersakiti oleh orang yang sama.

Begitu banyak kenangan bersama Marc. Tiga tahun dan itu bukanlah waktu yang sebentar. Rachel pilu mengingat segala macam kenangan itu. Hampir seluruhnya masih terekam baik di dalam pikirannya. Paru-paru Rachel seolah ditusuk-tusuk oleh sebilah bambu tajam, ia merasa sesak.

Tak lama kemudian terdengar isakan kecil dari dalam bantal itu. Rachel menangis sesegukkan, merasakan serangan kebimbangan yang luar biasa. Ia belum siap kehilangan Marc dan segalanya bersama pria itu, namun di sisi lain hatinya juga sudah lelah dan ingin terbebas dari segala bentuk rasa sakit. Marc sudah terlalu sering melukainya, setidaknya begitulah yang ia rasakan ketika Marc enam kali tertangkap basah tengah bermain api bersama wanita lain.

“Marc...,” kenang Rachel putus asa.

Rachel kemudian mengangkat wajahnya yang lembap setelah ia merasa kekurangan oksigen di dalam sana. Ia mengalihkan pandangan ke kanan, menemukan dua bingkai foto mini tengah bersandar pada tumpukan buku-buku di atas nakas. Satu bingkai sedikit terselip hingga hampir terbenam. Rachel lalu menyeka air matanya dengan punggung tangan, merasa tergelitik untuk mengambil salah satu bingkai foto tersebut.

Sepasang manusia tengah berpose girang dengan kepala yang bersentuhan. Pria dalam foto itu tersenyum lebar dengan tangan kiri membentuk angka dua dan tangan kanan yang merangkul sang gadis. Sementara wajah gadis itu menampakkan ekspresi lepas dengan bibir yang dimajukan dan tangan kiri yang mengacak-acak rambut si pria. Dua manusia yang bahagia sekali.

Sekali lagi air mata Rachel menitik dan terjun ke bingkai foto itu, memburamkan wajah sang pria. Ia ingin meraih bingkai yang satu lagi, namun sesuatu dalam dirinya berbisik agar ia tidak melakukannya dan meletakkan bingkai foto yang digenggamnya kembali ke tempat semula. Maka, Rachel yang sudah lemah pun tak menolak dan mengikuti bisikan itu. Dalam lubuk hatinya terdalam Rachel juga bersyukur menuruti bisikan itu, karena apabila ia menolaknya, ia pasti akan kehilangan lebih banyak air mata karena foto yang berada di balik kaca bingkai kedua juga merupakan fotonya bersama Marc.

Namun, walaupun Rachel berhasil tidak kehilangan air mata pada bingkai kedua, nyatanya
ia tetap kembali menangis karena menangkap adanya sebuah dream catcher bergantung miring pada kepala tempat tidurnya.

Rachel kembali larut dalam kenangan saat mengingat kapan dan di mana ia menerima dream catcher itu dari pria yang selama ini adalah satu-satunya, dan mungkin akan selalu menjadi satu-satunya di hati Rachel.

Rachel masih belum keluar dari lamunannya ketika suara dering ponsel tiba-tiba mengagetkannya. Rachel sontak terlonjak dan mengusap kelopak matanya yang terasa sakit, duduk sebentar sembari menarik napas panjang, baru kemudian mengambil benda pipih itu dari sudut nakas dan mengusap layarnya sekali.

“Ya, Bibi?”

“Kau belum tidur?”

“Belum. Kenapa Bibi menelepon tengah malam begini?” Rachel membetulkan posisi duduknya.

“Tidak apa-apa. Hanya mau mengecek keadaanmu jika belum tidur.” 

Rachel berdeham sekali. “Aku baik-baik saja. Kapan Bibi pulang?”

“Besok pagi.”

Rachel bangkit, berjalan ke arah cermin, lalu menangkap pantulan wajahnya sendiri yang sangat sendu dan berantakan. Matanya bahkan sudah sedikit bengkak. “Hm, begitu. Hati-hati, Bi. Besok aku tidak akan pergi ke mana pun.”

“Pergilah jika kau memang ada urusan. Tidak usah menunggu Bibi. Taruh saja kunci di tempat biasa karena Bibi lupa membawa kunci cadangan. Jaga dirimu jika bepergian dan jika bisa, apabila kau keluar besok, tolong usahakan pulang lebih awal karena ada sesuatu yang ingin Bibi sampaikan.” 

“Hm, tidak. Aku tidak ada urusan besok. Tapi mungkin aku akan keluar membeli beberapa perlengkapan yang sudah habis jika Bibi tidak keberatan aku tidak ada di rumah ketika Bibi sampai. Aku akan pulang begitu aku selesai.” Rachel mengusap-usap kelopak matanya, ingin segera mengompresnya agar besok bibinya tidak menyadari perubahan matanya tersebut. “Emm… Boleh aku tahu topik yang akan Bibi sampaikan?”

Lama tidak terdengar respons dari ujung sana. Rachel menunggu sambil berjalan-jalan di kamar. “Bibi?”

“Bersiaplah, Rachel. Bersiap-siaplah. Maafkan bibi, tapi ini mungkin akan mengubah hidup kita.”




To Be Continued...

Comments