Gulpiyuri : As Long As I’m With You (ONESHOT)

Hai! New FanFiction! Alhamdulillah. 

Mau cerita sedikit tentang proses nulis cerita ini. Ide dan alur ceritanya udah disusun, eh tiba-tiba pas nulis, malah alurnya lari dari yang udah dipikirkan. Sempat bingung, ini gimana kok bisa jadi kesini, tapi Alhamdulillah dipikirin ulang alurnya, dan jadilah begini endingnya. Semoga ga mengecewakan yaa. 


And, happy reading!! Seperti biasa, semoga cerita ini dapat menghibur dan jika berkenan tolong tinggalkan komentar yaa. Terima kasih ;)



Mereka masih berjalan dalam kebisuan di tengah padang rumput yang luas. Tangan Marc tak kunjung melepaskan tangan gadis itu, ia tetap menautkan jari-jari mereka. Sepoi angin menyapu wajah Marc dan Rachel, menimbulkan getaran  nikmat di tengkuk mereka masing-masing. Sesekali angin yang lebih kencang datang dan menerbangkan rambut Rachel yang tebal, semakin meningkatkan derajat kecantikan gadis itu. 

Ketika angin yang bertiup lebih kencang melesak di antara mereka, Marc sengaja memperlambat tempo langkahnya. Sesekali ia sampai berhenti dan menoleh ke arah Rachel. Marc sangat mengagumi Rachel. Sudah lama sekali ia tak melihat sosok Rachel seperti ini. Embusan angin seolah sayap yang semakin membuat gadis itu tampak memesona. Marc menyukai bagaimana rambut Rachel yang sengaja dibiarkan tergerai terbang begitu saja dengan bebas, dan tubuh Rachel yang sedikit membungkuk untuk menutupi dress ivory selutut miliknya yang tersibak tiupan angin. 


Beberapa kali Rachel memergoki Marc tengah memandanginya, dan hal itu selalu berhasil membuatnya tersenyum kekanakan. Meskipun mereka telah merajut hubungan ini selama kurang lebih dua tahun, Rachel tetap saja dilanda salah tingkah ketika menyadari Marc tengah memandanginya dengan tatapan berbinar. Gadis itu tidak ahli menyembunyikan perasaannya. 


Marc mengeratkan kembali tautan jemari mereka setelah sempat renggang karena langkahnya yang terhenti. Erat-erat Marc menggenggam telapak tangan Rachel, menyadari sepenuhnya bahwa gadis itu adalah miliknya dan ia bangga memiliki Rachel. Marc tanpa malu selalu menggandeng Rachel kapanpun dan di mana saja, terlebih saat mereka berada di kerumunan orang ramai, Marc malah semakin berani untuk menggandeng tangan Rachel. 


Bukannya ingin pamer dan mengumbar kemesraan, melainkan karena Marc bangga dan ingin menunjukkan pada siapapun yang mereka lewati bahwa ini adalah gadisnya. Rachel adalah miliknya dan tidak ada yang boleh menggantikan posisinya untuk berada dalam posisi seperti ini dengan Rachel. Gadis itu hanya miliknya dan akan selalu menjadi seperti ini. Egois? Ya, Marc akui itu adalah kebenaran. Tapi begitulah kenyataannya. Ia hanya tidak ingin kehilangan gadis yang dicintainya. 


Mereka tetap berjalan dalam desiran angin yang semakin terasa. Tidak ada satupun yang membuka mulut. Mereka hanya mengikuti langkah kaki satu sama lain dan menikmati kebersamaan yang telah lama hilang. Hingga akhirnya langkah Marc terhenti seiring dengan tibanya mereka di ujung padang rumput. 


Mata Marc memandang lurus ke kejauhan. Angin yang berdesir begitu kental terdengar dalam kesunyian. Rambut Marc yang sebelumnya disisir rapi kini telah amburadul tertiup angin. Rachel pun melakukan hal yang sama. Ia memandang kosong ke kejauhan dengan mata sedikit menyipit. Sekali lagi mereka tetap diam dan membiarkan kesunyian menangkupi mereka. 


Di tengah-tengah heningnya suasana tersebut, Marc akhirnya menjadi pihak pertama yang membuka pembicaraan. Ia memutuskan untuk berdeham setelah diam cukup lama. Sejenak matanya jatuh ke bawah dan menangkap kumpulan air asin yang terbentang di bawah sana, lalu kembali naik menatap wajah Rachel. 


“Apa kau mau turun ke bawah?” tanya Marc dari atas bahunya. Ekspresinya berubah lebih lembut. 


Rachel membalas tatapan Marc. Ia mengangguk pelan. “Boleh.” 


Bibir Marc melengkung tipis dan langsung disambut oleh senyuman penuh dari Rachel. Marc kemudian berbalik dan menuntun Rachel untuk menuruni jalan setapak yang hanya bisa dilewati oleh satu orang. Marc meminta Rachel untuk berjalan lebih dulu dan ia akan mengekorinya (tentu saja tanpa melepaskan tangan Rachel), namun Rachel menolak dan menyuruh Marc untuk berjalan di depan. Marc membantah. Tentu saja ia tidak akan mengiyakan permintaan Rachel kali ini. Mereka sempat berdebat kecil sebelum akhirnya Marc mengeluarkan jurus andalannya dan mengandaskan ketidaksetujuan Rachel. Bibir Rachel sempat merengut, namun ia tetap berjalan di depan Marc. 


Marc memegangi tangan Rachel dari belakang, sementara gadis itu terus menurun dengan hati-hati. Rachel sedikit meremas tangan Marc tanpa sengaja, membuat Marc lebih kuat memeganginya hingga menonjolkan urat-urat tangannya. Mereka terus berjalan pelan seperti itu hingga akhirnya Rachel berhasil menginjak pasir lembut terlebih dahulu. 


Untuk pertama kalinya, tautan tangan mereka lepas setelah Rachel menarik mundur tangannya. Ia mengepak dress selututnya yang ternoda oleh bercak tanah yang pekat. Marc baru akan membantu saat Rachel mendongak dan menatap langsung ke matanya. 


“Tidak apa-apa,” ujar Rachel. 


Marc mengangguk sekilas, membungkuk, mencondongkan satu bahu ke depan, lalu melepaskan sepatu bertali terurai miliknya. “Lepaskan juga sepatumu. Pasir di sini lembut, tidak terlalu banyak kerang, kita tidak akan terluka,” saran Marc sambil menurunkan satu bahu yang lain. Ia menggotong sepatunya dengan dua jari dan meletakkannya di bagian tengah atas. 


Rachel menyukai bagaimana kata “kita” terlontar dari mulut Marc. Kata itu meluncur begitu saja dengan lugas dan penuh percaya diri. Rachel menurut dan membuka flat shoes yang dikenakannya. Matanya mengikuti gerakan Marc saat membuka sepatu, berjalan ke tengah, dan membungkuk untuk meletakkan sepatu dengan kilatan kagum. Ia menyandingkan flat shoes-nya tepat di samping sepatu Marc. 


Marc kemudian berjalan maju, merasakan halusnya pasir putih, menikmati suara deburan ombak, lalu berhenti di bagian agak ujung, di samping batu-batu karang. Ia mengambil napas, mengamati ombak-ombak kecil, mengaitkan sebelah ibu jari di saku celana, dan menyadari Rachel telah berada di belakangnya. 


“Lama sekali sejak terakhir kali aku berada di sini,” ucap Marc. 


Rachel menyilangkan sebelah lengan di atas pinggang, diam sejenak sebelum merespons, “Ya. Begitu juga aku. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi kembali ke sini.” 


Kepala Marc refleks tersentak untuk mengamati sosok Rachel. “Benarkah?” 


“Benar. Aku tidak pernah ke sini lagi sejak terakhir kali kita mengunjungi tempat ini bersama-sama.” Rachel melangkah, kepalanya tertunduk untuk menyapu pasir putih yang mengelilingi kakinya. Terkadang ia menimbun sebelah kakinya dengan kaki yang lain, lalu dengan konyol membongkar kembali dan melakukan hal yang sama terhadap kaki yang lain. 


Marc sudah mengetahui alasan Rachel tidak pernah lagi kembali ke tempat ini tanpa bertanya. Ia sudah sangat memahami Rachel. Perlahan tapi pasti ia mulai menguasai seluk-beluk kepribadian dan isi hati gadis itu. Marc berbalik menghadap bibir pantai. 


“Terlahir dan tumbuh besar di Llanes, beberapa kali mengunjungi Gulpiyuri, apa kau tahu beberapa fakta tentang pantai ini?” tanya Marc membelokkan pembicaraan. 


“Pantai unik yang tersembunyi di antara bebatuan dan berada di tengah-tengah padang rumput. Pantai yang dangkal. Pasir putih, air asin, dan deburan ombak seperti pantai pada umumnya. Hanya saja ombak yang muncul selalu kecil. Air yang sangat jernih. Embusan angin dan suhu dingin.” Rachel mengangkat matanya hingga ke mata Marc. Ia melirik Marc dengan tatapan menggoda sambil terus memainkan pasir. 


Sudut bibir Marc tertarik secuil kesamping. “Benar. Tapi bukan itu yang aku maksudkan. Apa kau tahu asal mula pantai ini? Dari mana datangnya air asin?”


“Kurasa tidak.” 


Marc maju selangkah. “Air asin ini diketahui berasal dari Teluk Biscay, Laut Cantabrian. Proses masuknya air hingga terbentuknya pantai ini terjadi selama beratus tahun. Dengan panjang 40 meter dan lebar 15 meter pantai ini termasuk pantai yang kecil. Dan kau lihat itu?” Marc menjulurkan tangannya ke depan. “Gua di bawah tebing itu adalah jalan bagi masuknya air laut ke tengah-tengah ceruk di padang rumput ini.” 


“Aku tahu bahwa gua itu merupakan jalan masuk bagi air laut, tapi aku baru mengetahui air asin ini berasal dari Teluk Biscay, Laut Cantabrian,” komentar Rachel. Nada suaranya berubah lebih serius, sementara matanya mulai menyala antusias. 


“Yaah, sebenarnya aku juga baru tahu belum lama ini. Tebing-tebing tinggi yang mengelilingi pantai, dengan rerumputan hijau yang tumbuh di atas tebing, bukankah itu sangat menakjubkan?” Mata Marc tersebar ke seluruh penjuru. Sesekali kepalanya terdangak untuk melihat tebing-tebing kokoh, lalu jatuh kembali ke arah air asin yang begitu jernih. Tampak menggoda. 


Rachel diam dan mencerna baik-baik penjelasan Marc. “Sangat menakjubkan.” Rachel manggut-manggut. Matanya berkelana ke segala arah, lalu berhenti saat ia menangkap adanya ombak ringan yang menyapu bibir pantai. “Aku mau menyentuh air itu. Sudah lama sekali.” Mendadak wajah Rachel berubah lebih ceria, dan senyum konyolnya menguap seketika. Buru-buru ia melangkah cepat. 


Salah satu sudut bibir Marc tertarik lebih dalam dari yang lain. Tangannya yang kuat dengan sigap terulur untuk memaksa Rachel diam di tempatnya. Selama beberapa detik Marc tetap berdiri dengan tangan yang mencegat Rachel. 


Sementara kening Rachel berkerut bingung hingga membuat alis matanya hampir menyatu. “Marc?” tanyanya. 


Marc masih tak bergeming, dan Rachel semakin bertanya-tanya. Jantung Rachel seolah tertohok saat Marc berbalik dengan perlahan dan menatap langsung ke matanya yang berkilat. Marc mencengkeram tangan Rachel dan mulai berjalan, membuat Rachel terpaksa mundur teratur. 


“Marc?” tanya Rachel lagi. Diam-diam ia mengamati lengan Marc yang panjang, kuat, dan berwarna cerah, dengan urat nadi yang tampak pada bagian dalamnya hingga ke lekukan siku. Rachel sangat menyukai lengan Marc. 


Kini senyuman sudah terhapus dari wajah Marc. Ia menyelami kedua bola mata Rachel seraya terus melangkah, berhenti di tengah-tengah pasir pantai, membuat Rachel hampir terjungkal karena Marc berhenti secara tiba-tiba, namun Marc dengan segera menurunkan tangannya dan menangkap pinggang Rachel, lalu membiarkan keheningan kembali menaungi mereka. 


Marc mendekatkan wajahnya ke wajah Rachel, sementara tangannya menarik pinggang gadis itu semakin mendekat, hingga hampir menyatukan tubuh mereka. Rachel bahkan dapat merasakan napas Marc berembus di wajahnya. Sejenak mata mereka saling terkunci dalam kebisuan. Hanya desiran angin dan deburan ombak yang saling berbisik. Hidung mereka saling menabrak. 


“Aku mencintaimu,” ucap Marc tiba-tiba. 


Untuk sejenak Rachel terkesiap tanpa suara mendengar perkataan Marc. Marc memang sering mengungkapkan perasaannya, namun rasanya kali ini berbeda. Tidak seperti Marc biasanya. 


“Aku juga mencintaimu,” balas Rachel setelah terenyak cukup lama. 


Marc menyangkutkan sebelah tangan di bahu Rachel sementara tangan yang lain ia gunakan untuk menggali-gali saku. Tak berapa lama kemudian ia mengeluarkan sebuah kotak mini polos berbentuk persegi. Marc membuka kotak mungil itu, lalu menghadapkannya ke arah Rachel. 


“Dua tahun dan kurasa itu sudah cukup. Aku pergi selama beberapa bulan darimu dan telah kembali. Apa kau ingat saat terakhir kali kita berada di sini? Aku memintamu untuk menunggu dan kau melakukannya. Kau berhasil melakukannya dan tidak berubah sama sekali. Rachel, aku berjanji pada diriku sendiri untuk hanya memasangkan cincin ini di jari satu orang wanita. Aku sudah mengunjungi banyak tempat dan tidak menemukan apapun. Tidak ada yang seperti dirimu. Selama aku pergi, aku hanya ingin segera pulang dan kembali. Aku memang tidak bisa mengatur segalanya, membuat semua menjadi indah dan menjamin kehidupanmu bersamaku akan menjadi sangat bahagia, tapi aku berani bersumpah atas nama bulan, aku akan mencoba semampuku untuk selalu membuatmu bahagia. Aku bersumpah. Kau bisa memegang sumpahku.” Marc berhenti sejenak. Ia membiarkan aliran udara murni mengisi paru-parunya terlebih dahulu. Marc kemudian berlutut. 


“Aku tahu ini mungkin terdengar begitu berlebihan, tapi inilah aku. Beginilah kenyataannya. Rachel, aku harap kau akan menjadi satu-satunya, baik untuk sekarang, besok, hingga selamanya, sampai napas terakhirku berembus di dunia ini. Apa kau mau? Apa kau bersedia menjadi istri dan ibu dari anak-anakku, serta menjadi alasanku untuk terus bertahan hidup?” Mata Marc memancar penuh harapan. Tangannya meraih sebelah tangan Rachel lalu meremasnya penuh sayang. 


Sungguh, Rachel tak menyangka saatnya akan tiba secepat ini. Lidahnya kelu dan ia tak mampu berkata-kata. Rachel tercenung. 


Pantai Gulpiyuri, tempat indah dan tempat terakhirnya melihat Marc sebelum mereka dipisahkan oleh jarak selama beberapa bulan, tempat pertama yang mereka kunjungi setelah Rachel menjadi gadis Marc, salah satu tempat favorit mereka, dan sekarang menjadi tempat di mana Marc melamarnya setelah kembali. Tempat yang sama. Rachel masih ingat dengan jelas bagaimana Marc berjanji akan melakukan ini setelah kepulangannya saat itu. Dan inilah saatnya. Jika diingat-ingat kembali, Rachel tak menyangka akan secepat ini Marc menepati janjinya untuk meresmikan hubungan mereka. 


Rachel masih diam saat Marc menggoyang-goyangkan lengannya. “Rachel …,” panggil Marc. 


Mata Rachel mengerjap dan ia keluar dari alam pikirannya. “Hm, ya?” 


“Aku harap kau bersedia.” 


Bibir Rachel mengeras dan terkatup rapat selama beberapa saat. Hatinya setuju. Desiran angin dan deburan ombak berpadu menjadi satu mengisi suasana. Rachel kemudian mengangguk tipis, berdeham, menyelami kedua bola mata Marc yang gelap, lalu dengan yakin menjawab, “Ya. Aku bersedia, Marc. Aku mau. Sepanjang kau bersamaku. Aku tidak butuh apa-apa lagi selama aku memiliki Tuhan dan kau.” 


Marc refleks menyunggingkan senyuman hangat ke arah Rachel. Ekspresinya sangat lembut dan menenangkan. Marc segera memasangkan cincin itu di seputar jari manis Rachel. 


“Karena aku hanya ingin kau, satu-satunya gadis yang menjadi teman hidupku.” Mata Marc tidak pernah meninggalkan wajah Rachel. Ia terus memandang Rachel dengan perasaan riang. Marc bangkit dan kemudian mereka duduk di atas pasir dengan posisi kaki yang diluruskan. 


“Dan aku hanya ingin kau, untuk sepanjang hidupku.” Bibir Rachel merekah membentuk senyuman manis. Ia memejamkan mata seiring air yang menyapu pergelangan kakinya. 


Marc tak menyahut lagi, ia sudah sangat bahagia. Bibirnya hanya menyungging senyum ke arah Rachel, sementara matanya terus menyusuri wajah gadis itu. Mereka akan segera menikah. Rachel akan resmi menjadi miliknya. Ia tidak akan melepaskan gadis itu. Mereka akan selalu bersama. Marc merangkul erat tubuh Rachel saat air pantai menyapu pergelangan kaki mereka sekali lagi.




END

Comments