ONESHOT : Together, We Will

Hi!! Good morning/afternoon/evening everyone!! Sooo long time!! Sudah lama sekali aku ga pos apapun di blog. Sudah satu bulan lebih. Jujur, kemarin-kemarin itu aku memang malas sekali ._.

Aku udah lama ga baca, nulis, dan edit tulisanku yang lama, bener-bener males!

Tapi, Alhamdulillah suasana hati semakin membaik dan rasa malas pun terkurangi.

Aku mau pos sebuah cerita, seperti biasa. Oh ya, mau cerita sedikit asal mula dapat ide cerita ini. Ide cerita kali ini bisa dibilang terinspirasi dari kisah nyata, hehe. Tapi, ga semua bagian dari cerita ini nyata, cuma ide pokoknya saja yang bisa dikatakan nyata. Hihihi.

Mau bilang sekalian, mungkin covernya kurang cocok yaa sama isi ceritanya ._. Maaf, maaf yaa.

Sebenarnya cover itu untuk cerita yang udah aku tulis juga, tapi aku ga yakin bakal pos atau ga, soalnya rada-rada gimana ._. Jadinya aku alihkan cover itu menjadi cover cerita ini :D

Oke, sekian saja. Selamat membaca!! Semoga suka dengan cerita ini dan meninggalkan kesan positif. Tolong dikomentar apabila berkenan, hehe.

Terima kasih :) 



Waktu terus melaju. Jam terus bergerak. Menit demi menit kian terlewat. Bunyi “tak-tik, tak-tik” mengiringi laju detik di setiap perputarannya. Rachel tetap merenung. Bolak-balik dibuka-tutupnya kalender. Hatinya kalut, ia berdiri tepat di ambang kegusaran.

Rachel mencebikkan bibir bawah, berputar, lalu merebahkan tubuh di atas tempat tidur dengan seprai bermotif garis-garis vertikal cokelat pekat yang berada di belakang. Persendian Rachel lemas. Tulang-tulangnya bak ingin rontok seketika. Hatinya bagaikan diremas-remas. Ia menghela napas.

Demi apa saja, rasanya ingin sekali Rachel menghentikan pria itu. Mencegah kepergiannya dan mereka akan tetap bersama. Melarang pria itu dan menahannya di sini. Bersama pria itu dan selalu. Tapi, sekali lagi Rachel pikirkan, kekasih macam apa yang menghentikan pencapaian besar hidup kekasihnya sendiri? Kekasih macam apa yang memikirkan dirinya sendiri dan membuat kekasihnya terpojok? Gadis egois, mungkin itulah cap yang tepat disematkan pada Rachel jika ia kalap dan tidak mengikuti suara hatinya yang lain.

Hanya sebentar lagi. Tiga puluh hari terakhir. Tidak lebih dari satu bulan lagi mereka dapat bersama-sama. Marc akan segera pergi. Pria itu akan pergi ke luar negeri. Ia akan menetap di Amerika Serikat selama kurang lebih sebelas bulan. Marc akan meninggalkannya. Marc akan pergi meninggalkannya untuk sementara. Marc akan jauh darinya. Mereka tidak akan saling bertemu.

Rachel memijat keningnya pelan, berusaha meredakan rasa pusing yang berdenyut-denyut. Entah sudah berapa kali Rachel memikirkan hal yang sama, ia sendiri tidak tahu. Entahlah. Rachel coba untuk mengenyahkan pikiran-pikiran itu, namun tetap saja, sebesar apapun ia menolak, sekuat apapun ia menghindar, pikiran-pikiran itu malah lebih besar untuk mengianginya. Rachel terjebak oleh keadaan. Terjepit oleh situasi seperti ini bukanlah hal yang selalu diimpikannya bersama Marc. Tidak, Rachel tidak pernah mengharapkan ini.

Terpisah oleh jarak berpuluh-puluh mil. Bagaimanakah itu? Hubungan jarak jauh. Bagaimana itu akan berjalan? Perbedaan waktu yang sangat jauh. Apa mereka akan tetap bersatu? Komunikasi tidak langsung. Apa mereka dapat melewati semua ini? Tidak saling bertemu. Apa yang akan Marc lakukan di sana? Apa ia sanggup menahan diri dan tidak melirik gadis lain? Bagaimana mereka akan melewatinya? Bagaimana mereka akan mempertahankan hubungan ini? Apa Marc punya waktu untuk menghubunginya? Bagaimana? Dua sisi yang bertolak belakang mengepung Rachel. Ia terhimpit oleh situasi serba sulit. Ini tidak mudah. Baik baginya, Marc, maupun hubungan mereka.

Ketika Rachel membentang selimut untuk menutupi tubuhnya hingga sebatas pinggang, saat itu juga terdengar suara ponsel berdering. Buru-buru Rachel memutar bola mata dan meraih benda pipih yang selalu ditempatkannya di atas meja kecil sebelah tempat tidur tersebut.

“Rachel?” ujar suara parau di ujung sana. Terdengar suara angin berdesir secara samar-samar di sana.

Rachel bangkit dan duduk bersandar di kepala tempat tidur. “Ya, Marc.”

“Bisa kau temui aku? Hmm … Aku sekarang ada di beranda rumahmu. Keluarlah sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan.”

Sontak Rachel terlonjak mengetahui Marc sudah ada di beranda rumahnya. Pria itu tidak pernah berkunjung sebelumnya. Marc juga tidak memberitahunya lebih dulu jika akan datang. Apa yang ingin Marc bicarakan? Nada suara Marc yang bulat dan tegas semakin membuat Rachel merasa waswas. Jelas sekali pria itu akan menyampaikan sesuatu yang penting. Buru-buru Rachel menyibak selimut dan bangkit berdiri.

“Aku datang. Tunggu sebentar,” akhir Rachel. Gadis itu memutus telepon (tanpa menunggu respons dari Marc), melempar ponsel ke samping, menarik kenop pintu, lalu segera melangkah lebar-lebar ke arah ruang depan.

Rachel tak berpikir panjang saat memutuskan akan menemui Marc. Ia tidak merapikan penampilannya terlebih dahulu. Bahkan Rachel juga tidak sekadar menyisir rambut dengan belahan jari. Gadis itu tampil alami. Sangat, sangat alami. Tanpa persiapan, seperti yang selalu dilakukannya sebelum bertemu dengan Marc.

Marc tengah berdiri memunggunginya dengan sebelah ibu jari dikaitkan ke dalam saku celana ketika Rachel membuka pintu dan menegurnya lembut, “Marc”. Pria itu tampak sangat maskulin dengan kepala sedikit terangkat dan punggung yang tegak.

Marc refleks berbalik dan menemukan sosok Rachel yang tengah berdiri beberapa meter tak jauh darinya dalam keadaan yang …sungguh, Marc harus mengatakan ini, gadis itu tampil sangat memesona!

Tidak begitu rapi dan sempurna memang, tapi inilah yang Marc sukai. Marc menyukai penampilan Rachel yang tidak terlalu dipersiapkan seperti ini. Biarlah gadis itu tampak natural dan memancar auranya sendiri. Marc lebih suka sosok Rachel yang seperti ini. Gadis itu sudah sangat cantik walau tanpa dipermak sekalipun. Malam ini Rachel menemuinya dengan berbalut gaun berwarna biru lembut sepanjang lutut, rambut tergerai yang sedikit berantakan, dan wajah alami tanpa make-up. Inilah Rachel yang sesungguhnya. Inilah gadis yang dicintainya. Beginilah gadis Marc yang selalu dibanggakannya.

Mata Marc dan Rachel saling terkunci dalam ketenangan malam. Sepasang bola mata Rachel memantulkan warna langit malam. Tidak ada yang membuka mulut. Mereka hanya berpandangan seperti itu dengan jantung yang masing-masing memompa dua kali lebih cepat. Sepasang manusia itu sama-sama menikmati saat-saat ini. Marc tenggelam dalam mata Rachel, dan Rachel pun tak kunjung melepaskannya.

Beberapa saat dalam keadaan saling memandang, akhirnya bibir Rachel melengkung tipis dan ia berdeham sekali. “Marc,” panggilnya lagi.

Sementara Marc seolah ditarik dari lamunannya, ia menunduk dan menatap lantai beranda yang dingin. “Ah, iya.”

Bibir Rachel semakin merekah, ia maju beberapa langkah dan berujar, “Kau tidak pernah berkunjung sebelumnya.”

Marc mengangkat mata hingga ke dagu Rachel. Air wajahnya berubah ragu-ragu. “Ya. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

“Apa itu?” Kening Rachel berkedut bingung hingga hampir menyatukan sepasang alisnya. Gadis itu meraih tangan Marc, memutarnya, menuntunnya berjalan selangkah, lalu duduk di atas lantai. “Apa kau mau duduk di sini atau di atas kursi?” tanya Rachel ragu-ragu.

“Aku lebih suka di atas lantai,” pilih Marc. Ia segera mendarat di atas lantai sembari menarik lengan Rachel agar mengikutinya.

Sementara Rachel tak bersuara lagi, ia hanya mengangguk samar dan segera duduk.

Mereka duduk bersampingan di bawah sinar bulan yang keperakan. Marc menatap lurus ke depan, menyelami dalam-dalam halaman rumah Rachel yang dikelilingi bunga-bunga bermacam warna dan jenis. Rachel adalah seorang pecinta bunga. Gadis itu sangat telaten dalam mengurusi masalah penghias pekarangan rumah tersebut.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Rachel setelah diam cukup lama. Ia sedikit memutar tubuh agar dapat menatap wajah Marc dengan lebih jelas. Raut penasaran tampak jelas di wajah Rachel.

Marc berbalik dan menatap Rachel dari atas bahunya. Ada sesuatu di mata Marc. Sepasang bola mata cokelat hazel itu memancar berkilauan.

“Hmm … begini,” Marc menarik napas panjang, membuat dadanya sedikit membusung, mengerjapkan mata, mengusap pelipis, kemudian melanjutkan, “kau tahu sebentar lagi aku akan pergi ke Amerika. Kita akan saling berjauhan dan mungkin aku pun tak dapat menghubungimu setiap hari. Aku tidak dapat mengawasimu dan begitu pula kau. Mungkin kita akan jarang berkomunikasi. Aku tidak tahu apa yang kau lakukan setiap harinya, dan dengan siapa kau bertemu setiap hari. Mungkin hubungan ini akan menjadi lebih sulit. Dan jika kau menyadarinya, dari awal hubungan kita, sehari setelah aku memintamu menjadi kekasih, rintangan demi rintangan sudah terbentang di depan mata. Dan aku rasa inilah salah satu rintangan terbesar dalam hubungan ini. Aku bertanya-tanya, apakah kita dapat melewati semua ini? Apa kita dapat mempertahankan hubungan ini? Apa kau akan bertahan bersamaku?”

Marc sengaja memberi jeda pada ucapannya. Ia menelan ludah hingga membuat jakunnya terlihat bolak-balik, meluruskan kaki, lalu meletakkan tangan di atas paha.

“Aku hanya ingin keyakinan dan kepercayaanmu padaku. Tidak ada cara lain untuk bertahan selain itu. Aku hanya ingin kau bersabar dan menungguku. Apa kau mau?” lanjut Marc. Lagi-lagi dadanya sedikit membusung saat aliran udara murni masuk ke dalam paru-parunya. Marc menghela napas. Ada nada letih di sela-sela ucapannya. Marc sendiri tidak tahu akan bagaimana keberlangsungan hubungannya dengan Rachel di masa depan. Marc hanya takut dan gusar.

Marc mencintai Rachel. Sangat. Bahkan Marc mencintai Rachel melebihi dirinya sendiri. Rachel adalah satu-satunya gadis yang berhasil mengisi kekosongan di dalam diri Marc. Rachel telah menjadi bagian dari hidupnya. Gadis itu adalah satu-satunya gadis yang membangun kedamaian di dalam hati Marc, membuatnya tenang, lebih terkendali, sekaligus mengubah sosok Marc menjadi pribadi yang lebih sabar dan lepas.

Marc yang dulu adalah Marc yang berhati keras, tertutup, temperamental, bahkan sedikit angkuh. Namun sedikit-sedikit, sejak Rachel pertama kali hadir di dalam hidupnya, perlahan-lahan Marc menjadi pribadi yang lebih lembut dan terbuka. Ia menjadi lebih lepas dan mudah bergaul. Hatinya yang dulu beku, kini telah dicairkan oleh Rachel seiring mereka bersama. Emosinya yang mudah melonjak, kini sudah lebih bisa dikendalikan dan ditahan sedikit-sedikit. Pancaran keangkuhan yang menguar dari dalam dirinya, kini Marc sudah bisa menjadi lebih rendah hati dan bersyukur.

Hanya Rachel. Hanya Rachel yang telah mengubah kepribadian Marc menjadi seseorang yang lebih baik. Hanya gadis itu yang berhasil memutarbalikkan arah dalam jiwa Marc ke arah yang lebih benar. Hanya Rachel yang mendapat kendali untuk mengatur segala sesuatunya dalam diri Marc. Hanya, dan akan selalu Rachel. Berlebihan memang, mengingat andil seorang wanita bisa sangat berpengaruh di dalam dirimu. Marc dan Rachel baru satu tahun bersama. Sangat berlebihan jika dikatakan gadis itu sudah mengubah hampir segala sisi dalam hidup Marc. Tapi, itulah yang terjadi. Begitulah kenyataannya. Rachel telah menata hidup Marc menjadi lebih baik. Rachel membawa dampak besar bagi kehidupan Marc.

Keheningan malam mengelilingi mereka dan waktu seolah berhenti. Rachel diam. Bisu seperti angin yang tak bosannya bertiup, tapi tidak pernah dapat berkata apa-apa. Rachel hanya diam.

Sementara Marc mulai bergerak dan menangkupkan telapak tangan Rachel dengan telapak tangan miliknya. Ia menautkan jari-jari mereka.

“Apa kau mau? Apa kau akan melakukannya? Untuk kita? Untukku? Untuk hubungan ini? Kau akan tetap bersamaku, ‘kan? Kau akan bertahan, ‘kan? Katakan. Katakan, Rachel. Katakan padaku kau akan bertahan dan menungguku.” Mata Marc berbinar-binar penuh harap. Ada setitik rasa bersalah di sana.

Marc tidak ingin semua ini berakhir. Ia tidak bersama Rachel hanya untuk berpisah karena masalah seperti ini. Tidak, tidak pernah. Marc menginginkan Rachel. Ia tidak ingin hubungan yang telah dirajutnya selama satu tahun terakhir, harus berujung pahit seperti ini. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Mereka harus bertahan. Marc tidak akan melepaskan Rachel. Tidak akan pernah.

“Apa kau sendiri yakin, Marc?” Alih-alih menjawab pertanyaan Marc, Rachel malah melontarkan pertanyaan yang menohok jantung Marc. Marc seolah ditusuk dari dalam. Kini giliran ia yang terdiam. Mengapa Rachel bertanya demikian? Apa gadis itu meragukan Marc? Apa Rachel meragukan cinta Marc?

Marc mengangguk sekilas, meneguk ludah, meremas lembut tangan Rachel, kemudian menjawab, “Ya. Aku yakin. Sangat yakin bahkan.” Ada penekanan dalam setiap kata yang Marc ucapkan.

Rachel mencoba masuk ke dalam mata Marc, berusaha menemukan kesungguhan di dalam sana. Ekspresinya berubah lebih lembut.

“Kuharap kau juga sama sepertiku,” sambung Marc.

Berbagai macam perasaan kini bercampur-campur di dalam hati Rachel. Ia meletakkan sebelah tangannya yang lain di atas punggung tangan Marc.

“Aku yakin, Marc. Aku juga sangat yakin. Sama sepertimu. Kita akan mempertahankannya. Kita akan melewati ini. Kita akan tetap bersama. Karena kita …” Rachel sengaja menggantung kalimatnya. Ia menarik napas panjang sejenak sebelum melanjutkan, “telah bersatu, dan akan tetap bersatu di sini.” Rachel menunjuk dadanya, lalu terulur ke dada Marc. “Tak peduli jarak dan waktu, kita akan tetap bersama. Benar, ‘kan?”

Senang, lega, bahagia, hangat, sekaligus sedikit perasaan bersalah bergabung menjadi satu menghiasi manik mata Marc. Ia menyelami bola mata Rachel dalam-dalam sebelum mengambil tangan Rachel yang masih menempel di dadanya.

“Benar. Selalu.” Bibir Marc melengkung tipis, ia tersenyum riang. Akhirnya, mereka akan melewatinya. Rachel akan menunggu kepulangannya. Mereka akan tetap bersama. Hubungan ini akan dipertahankan. Marc akan tetap memiliki Rachel. Gadis itu tetap, dan akan selalu menjadi gadis Marc.

“Karena kau, dan aku … kita akan melewati apapun yang menguji hubungan ini bersama-sama.” Tangan Marc terulur untuk menyentuh rambut Rachel yang terbang ke bagian wajah. Ia menyelisipkan sejumput rambut Rachel ke belakang telinga.

“Rachel Nicollina Guerrero. Aku mencintaimu. The one and only,” bisik Marc di telinga Rachel. Ia memejamkan mata keras-keras.

Air mata haru menggenang di kedua pelupuk mata Rachel. Dalam hati ia sangat bersyukur memiliki Marc. Marc adalah laki-laki yang jarang ditemukan. Marc telah mengisi diri Rachel dan begitu pula ia. Rachel telah menjadi satu-satunya orang yang berhasil menembus kedinginan hati Marc. Perlahan-lahan setetes air mata meluncur dari mata Rachel.

“Marc Marquez Alenta.” Rachel beringsut dan menangis bahagia dalam dada Marc.
 

END

Comments

  1. Cerita nya seruu bgt,cmn syng bgt terlalu dikit. Ayo dong buat ff biar cerita ny mkn seruu, pdhal cerita mu bgs" loh ap lg kata" ny kkeren loh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you for reading yaa ;) ada rencana mau buat ff yang chapter, udah kususun juga alurnya sedikit-sedikit, tapi belum ditulis, hehe.. Insya-Allah segera :D

      Delete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment