TWOSHOT : Different #2 - END

Hi!! Good morning/afternoon/evening!!

Alhamdulillah ending cerita ini selesai juga. Aku harap ending kali ini ga terlalu dipaksakan yaa. Mudah-mudahan pada suka dan ga mengecewakan. Aku pribadi, suka dengan cerita ini. Tapi, kembali lagi pada setiap orang yang membacanya.

Oh ya, sebenarnya yang di cover itu adalah Emily Rudd. Wajahnya lembut dan ... matanya itu … aku suka sekali. Hehehe. Makanya aku putuskan untuk memasukkan wajahnya di cover sebagai Rachel Nicollina Guerrero.

Dan … selamat membaca semua!! Semoga dapat menghibur dan suka dengan cerita ini.

Seperti biasa, jika berkenan, jangan lupa tinggalkan komentar kalian. Aku selalu menunggu komentar apapun.

Sekali lagi, happy reading, everyone!! :) 



Gadis itu menyibakkan lagi tirai yang melorot turun. Sejenak matanya jatuh ke bawah lalu kepalanya kembali menengadah, menatap dalam-dalam taburan bintang-bintang kecil dan satu bulan dengan lingkaran yang hampir penuh. Sudah lima belas menit lamanya Rachel berdiri dalam posisi seperti ini. Kakinya belum kebas dan ia pun tak kunjung bebas dari ambang kegusaran. Pikiran Rachel sedari tadi berkelebat, berlarian tak menentu ke segala sisi yang tengah dipertimbangkan di dalam otaknya.

Rachel bimbang. Sudah enam hari sejak kehadirannya pertama kali ke rumah ini dalam kondisi yang tak sedap dipandang. Ia datang ke rumah ini dalam keadaan pingsan dan entah bagaimana penampilannya waktu itu. Rachel sendiri pun tidak pernah tahu hingga sekarang. Ia tidak pernah bertanya dan pria itu juga tidak pernah memberitahunya. Lagi pula, Rachel tak ingin ambil pusing untuk masalah itu. Memangnya kenapa?

Apa yang merasuki dirinya saat ini, Rachel sendiri tidak tahu. Tapi satu-satunya yang ia tahu sekarang adalah ia telah dihantam dentuman sesuatu yang berbeda. Entah kenapa. Rachel sadar dirinya sudah pulih walau tidak sempurna dan ia seharusnya pergi dari sini setelah mengucapkan terima kasih. Namun, sebagian dirinya yang lain berkhianat. Disisi lain ia juga tidak ingin meninggalkan rumah ini. Baik besok, lusa, maupun hari-hari berikutnya. Rachel tetap ingin tinggal di rumah ini dan memulai hidupnya yang baru. Bersama pria berbesar hati bernama “Marc” yang telah menolongnya dari kematian atas nama Tuhan. Bersama pria yang sulit sekali ia ucapkan namanya karena suatu alasan. Bersama pria yang selalu menaruh perhatian lebih padanya namun ia selalu saja menyangkal dan berpegang teguh pada pertahanan dirinya. Bersama pria yang baru dikenalnya dalam kurun waktu tidak sampai seminggu. Entahlah. Rachel hanya merasakan aliran kenyamanan di rumah ini bersama pria itu.

“Melihat bintang dari jendela seperti itu tidak akan menyenangkan. Kenapa tidak pergi keluar dan melihatnya langsung dari teras? Itu akan jauh lebih jelas dan mengasyikkan,” saran seseorang yang tiba-tiba saja datang. Ia tanpa canggung langsung berdiri di samping Rachel hingga hampir membuat bahu mereka saling bersentuhan. Suara pria itu riang dan sedikit serak. Ia berdeham sekali sambil menyodorkan segelas susu cokelat pada Rachel, tepat di depan dada gadis itu.

Untuk sejenak Rachel merasa was-was dan ragu-ragu. Kenapa juga pria ini harus datang dan semakin mengacaukan pikirannya yang memang sudah semrawut sejak dua hari yang lalu? Ah, tidak-tidak.

“Kenapa? Kau tidak ingin susu?” tanya Marc, sedikit bingung. Biasanya Rachel selalu menerima apapun yang ia berikan tanpa menunggu ataupun bertanya. Gadis itu selalu menurut dan tidak pernah menolak.

Rachel terlonjak untuk mengamati sosok Marc yang telah menatapnya kebingungan. Ia mengangguk cepat dan mengambil gelas kaca itu dari tangan Marc. Buru-buru Rachel menempelkan bibir di permukaan gelas dan menyeruput isinya sedikit, menundukkan mata saat menelan, dan memberanikan diri untuk mengangkat mata hingga ke leher Marc. Sungguh, pria itu memiliki leher yang luar biasa! Terkesan kuat dan pasti akan lebih mengagumkan jika melihat urat-urat leher pria itu yang menonjol keluar saat ia berbicara ataupun berteriak. Sangat, sangat maskulin.

“Terima kasih,” ucap Rachel, sedikit kaku.

“Ayo.” Marc menarik lengan Rachel dan menuntunnya ke luar rumah dengan sebelah tangan. Sementara tangan yang lain masih memegangi gelas.

“Mau ke mana?” tanya Rachel tak bergerak. Sebelah alis matanya berkerut dan tampak turun.

“Melihat apa yang kau lihat dengan lebih jelas. Ayo,” ajak Marc lagi. Pria itu mencengkeram lengan Rachel lebih erat dan mengarahkannya ke pintu.

Secara logika Rachel menolak. Ia tidak ingin keluar dan walaupun tidak terlalu jelas, ia lebih memilih untuk melihat bintang dari balik jendela besar yang berada tak jauh dari pintu rumah. Namun, tetap saja, Rachel menuruti perkataan Marc dan ia mulai berjalan. Sulit sekali bagi Rachel untuk menolak ajakan pria itu. Bukan hanya karena ia akan merasa bersalah apabila menolak tawaran Marc–orang yang telah sukarela menolongnya–tapi juga karena Rachel sedang dalam kondisi yang kurang baik untuk mengendalikan diri. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Marc.

“Nah, begini ‘kan lebih baik. Kau bisa melihat dengan lebih jelas, ‘kan?” Marc meneguk sekali lagi susu cokelatnya hingga tuntas sebelum memberdirikan gelasnya di atas meja kecil yang ada di bagian ujung. Marc menurunkan satu bahu saat melakukannya, mencondongkan tubuh ke depan, sementara Rachel terus menahan diri untuk tidak mengamati sosok Marc dan menatap ke atas.

Marc menarik napas dan meregangkan dada, berdiri tepat di samping Rachel, kemudian melanjutkan, “Apa kau suka mengamati bintang dan bulan di malam hari?”

“Ya. Aku suka. Tapi sudah lama aku tidak melakukannya.” Mata Rachel yang berbinar beralih ke arah jalanan berbatu kecil-kecil yang ada di hadapannya. Halaman rumah Marc memang tidak terlalu luas dan terkesan mati. Tidak ada semacam bunga pun yang akan mengindahkan mata. Hanya berdiri sebuah pohon rindang berdaun menyirip lebar-lebar yang ada di bagian kanan dan bebatuan kecil-kecil yang tersemai rata di atas tanahnya.

“Aku juga senang melihat bintang dan bulan pada malam hari begini di teras. Aku melakukannya hampir setiap malam sebelum kehadiranmu dan sendirian.” Bibir Marc membentuk satu garis tipis dan raut wajahnya berubah lebih lembut. Matanya terus menatap bintang-bintang secara bergantian, seolah sedang bermain dengan kelap-kelip itu.

“Yah, memang menyenangkan menghabiskan malammu dengan hal sederhana seperti ini. Kau bisa mendapatkan ketenangan hanya dengan memandang dan memposisikan dirimu sebagai salah satu bintang di sana. Bintang-bintang itu ada banyak, namun hanya satu yang paling bersinar. Dan bulan itu … kau lihat?” Rachel mengulurkan tangan dan menunjuk ke atas, tak menyadari bahwa lengannya yang terjulur sangat tepat diarahkan ke depan wajah Marc. Ia melanjutkan, “Bulan itu indah. Cahayanya sangat menakjubkan dan seolah-olah menaungimu. Belum lagi bentuknya yang selalu berubah-ubah. Aku paling suka bentuk bulan seperti malam ini. Dengan begini, kau bisa membayangkan apapun yang kau inginkan untuk terjadi di dalam hidupmu. Kau bisa membangun duniamu sendiri. Kau … kau bisa menjadi apapun yang kau inginkan di dalam duniamu bersama bintang-bintang dan bulan itu. Mereka tidak pernah meninggalkanmu,” curah Rachel polos, sama sekali tidak menyadari bahwa sejak tangannya ada di hadapan Marc, pria itu terus saja memperhatikan wajahnya, bukan kemana jari Rachel menunjuk. Rachel memiliki daya tarik yang lebih besar dari sekadar bintang dan bulan malam ini untuk mengalihkan fokus Marc.

“Aku lihat. Bulan dan bintang itu memang sangat, sangat menakjubkan.” Mata Marc yang bersemburat hazel itu menyala-nyala dengan perasaan kagum. Fokusnya tetap ditujukan pada Rachel.

Ketika Rachel mengalihkan matanya yang berkilat senang untuk bertemu dengan mata Marc yang riang, ia baru menyadari bahwa ia telah bertindak terlalu jauh. Ia bahkan menyerempetkan tangannya ke wajah Marc. Oh, Tuhan! Rachel cepat-cepat menyingkirkan tangannya dari wajah Marc.

“Maaf, maaf. Aku tidak bermaksud untuk berlaku tidak sopan,” ujar Rachel gelagapan. Sejenak ia buta harus berbuat apa. Buru-buru Rachel membenahi diri. Sungguh, ini memalukan!

Marc berusaha untuk tetap masuk ke dalam mata Rachel saat gadis itu mencoba mengumpulkan diri. Marc tidak bodoh untuk bisa mengerti bahwa Rachel tengah dilanda salah tingkah. Wajah gadis itu memucat dan matanya menatap ke mana-mana, berusaha kembali mendapatkan diri dan bersikap seolah-olah ia tidak pernah melontarkan apapun.

“Memangnya apa yang telah kau lakukan sehingga membuatmu tampak tidak sopan?” Sudut mulut Marc tertarik ke atas dan ia mulai tertawa jail.

Rachel menelan ludah dengan susah payah, seolah ada gumpalan berpori yang menyumbat tenggorokannya. Matanya mengerjap beberapa kali dan suaranya keluar dalam bisikan saat berkata, “Aku bicara terlalu jauh. Aku bahkan mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya kukatakan tanpa kau bertanya,” aku Rachel, semakin menguatkan kepribadiannya yang polos. Dalam hati Rachel merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia selepas itu? Oh!

Rachel kemudian berbalik, meletakkan gelasnya di meja yang sama dengan tempat Marc meletakkan gelasnya terlebih dahulu, lalu kembali berdiri di samping pria itu.

Marc memutar bola mata sembari mengacak-acak rambut. Suatu kebiasaan pria itu yang paling menggemaskan. Marc tidak terlalu peduli dengan tatanan rambut. Jika laki-laki lain akan merasa percaya diri apabila rambut mereka disisir rapi kebelakang dan tidak berantakan, Marc malah sebaliknya. Pria itu akan lebih mudah menghadapi dunia dengan penampilan (khususnya rambut) yang tidak terlalu sempurna. Biarlah semua tampak apa adanya. Akan lebih natural, menurut Marc. Dan itulah bukti lain yang sekaligus menegaskan keserampangan dirinya.

Pelan-pelan Marc coba menetralkan situasi dan membuka topik pembicaraan baru. “Oh ya …” mulai Marc. Ia mencebikkan bibir bawah saat mempertimbangkan. “Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu. Tapi, aku sedikit ragu untuk menanyakannya.” Tulang punggung Marc menegak sehingga membuat dagunya sejajar dengan lantai.

“Apa itu?” sahut Rachel, berhati-hati. Sebelah alis matanya terangkat lebih tinggi dari yang lain.

Marc mengaitkan sebelah ibu jari di saku celana dan memandang lurus ke depan, mendorong dirinya lebih jauh untuk bertanya sesuatu yang memang sudah lama ingin diketahuinya, sejak pertama kali ia membawa Rachel masuk ke dalam rumah ini. Marc berdeham sekali kemudian berkata, “Kau memanggil nama Marc di hari pertamamu di sini. Saat itu kita bahkan belum saling bertukar nama. Jujur saja, aku merasa sangat terkejut dan ingin segera menanyakannya. Namun, waktu itu kau masih demam dan aku tidak ingin mempersulit keadaan. Jadi, aku memutuskan untuk diam sampai kau sembuh di hari ketigamu dan kita berkenalan. Aku tahu namamu adalah Rachel Nicollina Guerrero dan aku pun telah memberitahumu namaku: Marc Marquez Alenta. Beberapa kali aku memanggil namamu tapi kau tidak pernah berlaku sama. Aku memergokimu beberapa kali ingin menyebut namaku namun kau tidak yakin dan membatalkannya. Jadi, yang ingin kutanyakan adalah, ada apa dengan nama Marc dan kenapa kau begitu sulit menyebut nama itu? Apa Marc adalah nama seseorang di masa lalumu? Atau Marc adalah orang yang telah menyebabkanmu terluka dan berujung pingsan di jalanan?” Tidak ada nada menuntut dalam suara Marc. Ia berbicara dengan tenang dan berusaha untuk tidak menekan Rachel. Yah, walaupun hatinya berdebar-debar menanti kebenaran.

Sementara Rachel merasa dijepit oleh posisi serba sulit. Mendadak pelipisnya terasa berdenyut-denyut. Suara Marc yang tenang seolah bambu tajam yang menguliti keberaniannya secara perlahan-lahan. Kenapa juga ia harus bertanya seperti itu? kesal Rachel pada Marc tanpa mampu mengutarakannya.

“Dan, satu lagi …” lanjut Marc. “Boleh aku tahu sekilas mengenai keluargamu dan apakah kau punya sanak saudara atau siapapun di kota ini? Atau … apakah … maaf, atau apakah semua anggota keluargamu sudah meninggal dunia dan kau sebatang kara?” Jantung Marc semakin berdebar-debar, hingga ia dapat merasakan organ pemompa darah itu seolah melompat hingga ke tenggorokan. Dalam hati Marc berharap ia tidak menyinggung sisi wanita Rachel, apalagi mengusik kenangan buruk yang telah dikubur dalam-dalam oleh gadis itu. Marc hanya ingin sekadar tahu tanpa bermaksud apapun.

Rachel merasa Marc terlalu banyak menembakinya dengan berbagai macam pertanyaan yang tentu saja sangat pribadi. Belum bulat tekadnya untuk menjawab yang satu, Marc sudah menghujaninya lagi dengan pertanyaan-pertanyaan sejenis. Tidak bisakah ia menunggu? Rachel merasa kekesalan mulai bangkit di dalam dirinya. Ia belum menunjukkan tanda-tanda akan menjawab. Bibir Rachel tetap terkatup rapat, namun dalam hati ia menyusun matang-matang kalimat jawaban yang akan memuaskan Marc.

Rachel menarik napas panjang, membuat dadanya sedikit membusung, menggigit bagian dalam bibirnya, lalu menjawab, “Karena aku punya sesuatu bersama seseorang bernama Marc dan aku butuh waktu untuk bisa memanggilmu dengan nama itu. Aku tahu aku kekanakan karena kau adalah Marc yang berbeda dan seharusnya aku bisa memilah. Tapi, bagaimanapun juga, sulit sekali bagiku untuk sering menyebut nama Marc. Aku harap seiring berjalannya waktu aku dapat kembali mengucap nama itu dengan mudah dan sukarela. Dan … yah, memang benar apa yang kau katakan. Kedua orang tua dan saudara kandungku telah meninggal dunia kurang lebih dua minggu yang lalu. Aku tidak bersedia untuk menceritakan padamu lebih jauh mengenai hal itu. Aku tidak punya sanak saudara baik di kota ini maupun di kota lain ataupun di luar negeri. Aku sendiri, hidup sebatang kara. Aku tidak punya siapa pun. Aku hanya menjalani hidupku dan mengikuti takdir. Ada lagi yang ingin kau tanyakan? Apa sudah cukup?” jelas Rachel panjang lebar. Suaranya yang lantang cukup menegaskan pada Marc bahwa ia adalah wanita yang tegar. Bahkan Rachel tak meneteskan air mata saat menyenggol keluarganya. Ia sungguh-sungguh telah tertempah oleh fakta yang sulit. Rachel telah belajar selama beberapa hari terakhir.

Mulut Marc menganga lebar dan ia terguncang oleh kebenaran yang baru terungkap mengenai Rachel. Tidak, tidak pernah. Pengakuan ini sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Marc. Ini jauh dari apa yang diperkirakannya. Marc terdiam dan terperangah seperti orang bodoh selama beberapa detik, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja Rachel ucapkan. Kekaguman sekaligus penasaran memenuhi tenggorokan Marc, ia sulit berkata-kata. Bukan hanya menggelenyar karena nada suara dan kelancaran Rachel, namun Marc juga merasa rendah karena Rachel saja yang seorang wanita bisa kuat dengan apa yang telah digariskan untuknya. Kenapa ia harus terpuruk selama beberapa kali dalam hidup dan ingin menyerah? Marc malu pada dirinya sendiri jika mengingat saat-saat itu.

Marc masih belum kembali dari alam pikirannya secara utuh saat Rachel menambahkan, “Aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu. Terima kasih telah menolongku dan sukarela merawatku hingga sembuh, memberiku makan dan membelikan beberapa pasang pakaian untukku, menaruh perhatian dan menghiburku, serta hal-hal lain yang telah kau lakukan. Aku … aku mungkin telah tinggal terlalu lama dan merepotkanmu. Maafkan aku. Maaf atas segala kesalahan yang telah aku lakukan baik sadar maupun tidak. Lukaku sudah mengering dan aku sudah merasa cukup sehat untuk bepergian. Aku … aku berencana untuk pergi dari sini besok. Sekali lagi terima kasih dan aku tidak akan melupakan kebaikanmu sampai napas terakhir kuembuskan di dunia ini. Kau … kau adalah pria terbaik dan termurah hati selain ayahku yang pernah kujumpai. Aku tidak bisa membalas jasamu sekarang, aku bahkan tidak bisa memberikanmu sebuah kenang-kenangan, namun aku harap dalam pertemuan kita selanjutnya, jika kita memiliki takdir yang sama, aku bisa memberimu sesuatu untuk kau kenang, yang tidak akan pernah kau lupakan. Kau adalah yang terbaik.” Rachel bertarung pada dirinya sendiri. Tidak, ia tidak boleh egois untuk bertahan di rumah ini dan terus merepotkan Marc. Pria itu memiliki kehidupan sendiri dan begitu jua ia. Sampai kapan Marc akan terus menampungnya di rumah ini? Rachel harus memikirkan keadaan Marc. Ia harus tahu diri. Maka atas beberapa pertimbangan yang tidak mudah itu, Rachel mengenyahkan sebagian dirinya yang berkhianat dan berperang pada batinnya sendiri.

Satu-satunya hal yang bisa Marc lakukan saat ini adalah meneguk ludah. Belum sempat ia merespons atas kebenaran Rachel, gadis itu sudah hampir membuatnya kehilangan napas. Marc seolah diputar-putar, ia tidak mengerti. Baru beberapa menit yang lalu ia merasakan kegembiraan yang sesungguhnya bersama seseorang, sekarang ia sudah harus melepas satu orang lagi dari hidupnya. Begitu cepat keadaan berbalik. Kini giliran Marc yang terhimpit situasi.

Marc Marquez. Sebenarnya ia adalah pria yang kesepian. Ia hidup sendiri sejak lima tahun yang lalu dan tidak pernah dekat dengan siapapun. Jiwanya kosong. Ia sendiri. Baru setelah sekian tahun ia membawa masuk seseorang ke dalam rumah. Sudah sejak awal Marc merasakan sesuatu yang berbeda pada Rachel. Ia seolah-olah sudah mengenal dekat gadis ini walau pada kenyataannya mereka sama sekali tidak pernah bertemu. Marc hanya tidak ingin membiarkan seseorang yang telah masuk ke kehidupannya untuk pergi. Apa ia salah? Apa ia terlalu egois untuk sekadar berharap bahwa Rachel dapat mengisi kehidupannya yang melompong meski hanya secuil? Apakah dosa?

“Kenapa? Kenapa ingin pergi? Apa kau tidak senang berada di sini? Apa aku berbuat salah? Atau apa karena pertanyaanku barusan yang menyinggung harga dirimu? Atau … kenapa?” Marc menunduk untuk menatap kakinya yang telanjang. Persendiannya lemas. Sesuatu menusuk hatinya yang kesepian.

“Tidak. Kau sama sekali tidak melakukan kesalahan. Sudah kubilang kau adalah pria dengan kemurahan hati yang luar biasa yang pernah kutemui. Aku … hanya, tidak ingin merepotkanmu lebih ja …”

“Apa aku pernah mengeluh bahwa kau merepotkan? Apa aku pernah berkata dingin dan malas padamu? Apa aku pernah mengadu tentang sikapmu yang selalu saja merepotkan? Katakan padaku, apakah aku pernah melakukan salah satu dari hal itu? Apa aku pernah mengeluh? Apa aku pernah?” potong Marc. Marc hanya kalah dan tidak bisa mengontrol diri. Ia hanya tidak ingin kehilangan seseorang lagi. Oh Tuhan, apakah salah? Rahang Marc mulai mengeras, begitu pula dengan lehernya. Urat leher Marc sedikit menonjol dan jakunnya bergerak-gerak. Sementara matanya terus diarahkan lurus ke depan.

Rachel terlonjak mendengar nada suara Marc yang meninggi. Ia bagaikan dikikis dari dalam. Mengapa Marc berteriak? Mengapa pria itu menjadi marah? Sesuatu mengatakan pada Rachel bahwa ia telah mengusik kedamaian hati Marc. Maka, Rachel mencoba lebih longgar dengan menghirup udara, meletakkan sebelah tangannya memutari leher, kemudian mengambil langkah dan berkata, “Untuk sekarang, besok, hingga selamanya pun aku yakin dan percaya bahwa kau tidak akan pernah mengeluh dan berbicara kasar kepada orang lain. Kau tahu? Aku hanya tidak ingin memberhentikan kehidupanmu untuk menampungku di rumah ini. Aku masih punya malu dan aku tidak ingin berlaku baik pada diriku sendiri. Lanjutkan hidupmu, dan aku pun akan melakukan hal yang sama. Kita berjalan di jalan masing-masing.”

“Bagaimana jika kita memiliki jalan yang sama? Hm, maksudku … ke mana kau akan pergi? Kau mengatakan padaku bahwa kau tidak memiliki siapapun dan jujur saja, aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sini untuk pergi ke tempat yang tidak lebih baik. Aku akan menghentikanmu jika tempat yang ingin kau tuju adalah jalanan, jika kau pergi dari sini dan menjadi luntang-lantung di luar sana, atau apabila kau pergi dari sini dan tinggal di tempat umum. Tidak, aku tidak akan melepasmu untuk merasakan pedihnya kehidupan luar. Kau tidak akan pergi ke mana pun,” tegas Marc. Sebuah garis putih tampak di lingkaran bibirnya.

Rachel diam. Ia tidak pernah melihat Marc begitu kaku sebelumnya, atau sangat tegas seperti ini. “Jangan khawatirkan aku. Aku cukup kuat untuk bisa melanjutkan hidup. Aku bisa tinggal di manapun dan melakukan apa saja,” elak Rachel, tidak menghiraukan kepedulian Marc.

“Kalau begitu, katakan padaku di mana kau akan tidur di malam pertamamu saat kau meninggalkan rumah ini! Apa kau pikir akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan? Dengarkan aku baik-baik. Kau percaya diri seperti ini karena kau hanya berbicara dan bukannya merasakan. Kau tidak tahu betapa merananya tinggal sendiri di dunia yang keras ini,” pekik Marc.

“Lalu apakah kau pernah merasakan betapa kasarnya dunia luar?” tantang Rachel balik. Begitu sulit menggoyahkan hati gadis itu. Rachel memang polos, tapi jangan pernah berpikir akan mudah untuk mengandaskan keteguhannya saat berdebat pada saat-saat tertentu. Hatinya yang lembut tidak akan berguna.

“Ya! Aku pernah merasakannya. Dengan jelas sekali. Sudah lima tahun aku hidup sendiri di rumah ini tanpa mencoba dekat dengan orang lain. Aku hanya berbaur sekadarnya dalam masyarakat dan kau tahu apa alasanku tidak mencoba mengubah jalan hidupku dan mencari seseorang? Itu karena aku takut … aku tidak siap untuk kehilangan seseorang lagi, Rachel. Apa kau bisa mengerti? Karena aku benci kehilangan. Aku telah kehilangan banyak orang termasuk kedua orang tuaku dan aku tidak ingin kehilangan lagi. Aku tidak ingin orang yang telah masuk ke dalam kehidupanku pergi lagi dariku. Aku …aku hanya ingin memiliki tempat berbagi tanpa merasa was-was orang itu akan pergi meninggalkanku. Memang aku tidak bisa menghalangi takdir jika Tuhan ingin mengambil orang-orang terdekatku, tapi apa aku tidak bisa untuk sekadar berusaha? Apa aku tidak bisa mempertahankan satu orang saja? Apa aku tidak punya hak akan seseorang? Hanya satu orang saja, Rachel. Aku hanya ingin kau … satu-satunya orang yang kuizinkan masuk ke dalam kehidupanku, untuk tinggal di sini dan menemaniku. Hanya itu. Hanya itu, Rachel. Jadi … jadi … kumohon jangan pergi,” pinta Marc. Tenggorokan Marc mulai tercekat menahan napas, membuat sepasang alis matanya menyatu. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Marc tanpa mampu ia kendalikan. Kata-kata itu bergema di udara malam yang tenang.

Mendengar itu, indra Rachel berputar. Mereka sama. Ia dan Marc serupa. Mereka sama-sama hidup sendiri. Tidak ada seorang pun yang dapat menjadi tempat bersandar bagi mereka. Mereka sama-sama hati yang kesepian. Sedikit demi sedikit sesuatu yang murni mengisi kekosongan Rachel. Perlahan-lahan ia coba melonggarkan pertahanan dirinya. Marc punya satu kelemahan, dan begitu pula ia. Kenapa mereka tidak coba untuk saling membangun satu sama lain? Mereka dapat saling menyembuhkan, menguatkan, dan berbagi. Apa yang salah dengan itu? Kenapa juga ia harus begitu bebal dan mengorbankan hati mereka? Perihal ia akan merepotkan Marc, itu bisa dicari solusinya. Ia bisa bekerja untuk Marc, membantu Marc membereskan rumah, memasak untuknya, mencuci pakaiannya, atau apapun yang Marc inginkan. Ia juga bisa mencari pekerjaan di luar dan berbagi rumah dengan Marc. Toh, Marc adalah pria yang baik. Ia bukan jenis pria yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Rachel yakin itu. Jika Marc adalah pria berkarakter kotor seperti itu, maka Rachel sangat sadar dirinya tidak akan berdiri bersih di sini. Lagi pula, Marc menginginkannya. Pria itu menginginkannya dan memohon padanya. Lalu, apalagi masalahnya? 

Maka, setelah menimbang-nimbang dan memenangi peperangan batin, Rachel akhirnya menjadi lebih lepas dan mengangguk. “Iya.” Hanya satu kata itu yang mampu ia ucapkan. Rachel menunduk.

Sementara Marc spontan menoleh ke arah Rachel, mengangkat dagu gadis itu hingga membuatnya sedikit tersentak, menatap langsung ke dalam mata Rachel, menyelami sepasang manik mata berkilau itu dengan mata yang sudah mulai memerah miliknya. Tidak ada satupun diantara mereka yang membuka mulut. Mereka hanya diam dan berpandangan seperti itu di bawah sinar bulan yang keperakan. Kesunyian melingkupi sepasang manusia itu.

“Apa kau akan tinggal?” tanya Marc memastikan.

Kelopak mata Rachel bergerak-gerak, membuat bulu matanya tampak lebih menonjol. Gadis itu mengangguk kaku. “Kita sama. Kenapa tidak coba saling melengkapi?”

Marc tak merespons beberapa saat. Ia melepas jarinya dari dagu Rachel namun tidak matanya. Marc terus menatap dalam-dalam mata Rachel yang memantulkan warna langit malam tersebut. Hingga beberapa detik kemudian, bibir Marc mulai berkerut dan membentuk satu garis tipis. “Karena yang kita inginkan hanyalah seseorang untuk berbagi. Selebihnya, biar Tuhan yang mengatur.” Tangan Marc bergerak dan hinggap di pundak Rachel. Jari-jari panjang nan kuat pria itu mencengkeram bahu Rachel yang mungil. Marc terlalu bahagia untuk sadar bahwa ia telah membuat Rachel sedikit tertekan.

Kegembiraan menghiasi suara Rachel saat berkata, “Aku akan memulai hidup baru bersama nama yang lama. Mm … Marc …” sebut Rachel. Bibir gadis itu merekah membentuk senyuman manis.
 

“Apa kau tahu betapa senang aku sekarang? Kini, aku punya seseorang untuk berteman, berbagi, dan bicara. Kau bisa bersandar padaku, luapkan saja apa yang kau rasakan, tumpahkan semua keluh kesahmu, bicaralah padaku, dan berbagilah apa yang kau senangi dan tidak kau senangi padaku. Ya?” tawar Marc. Selapis kelegaan menyelubungi Marc. Selimut kebersamaan mengepungi mereka. Akhirnya, Marc berhasil menghentikan gadis itu.

“Dan kau juga bisa bergantung padaku,” balas Rachel. Ada perasaan khusus yang membuncah di dalam dirinya.

Marc sedikit ragu-ragu, ia berjalan selangkah lebih maju, tersenyum, lalu menarik tubuh Rachel masuk dalam dekapannya. “Aku bersyukur Tuhan telah mengirimmu untuk mengisi kekosonganku.”

Sementara Rachel tidak menolak untuk tenggelam dalam dada Marc. Dalam hati ia pun bersyukur bisa jatuh di rumah ini. Ia bersyukur bahwa orang yang telah menolongnya adalah pria sebaik dan semurah hati Marc. Perlahan-lahan air mata mulai menggenang di kedua pelupuk mata Rachel.

Mungkin ini cara Tuhan untuk menggantikan kesedihanku dengan air mata bahagia. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, Marc. Aku akan mengisi diri Marc dan ia akan menjadi sandaran bagiku. Kami akan saling berbagi. Karena setiap pertemuan pastilah memiliki arti. Rachel bergeming dalam hangatnya dekapan Marc. 




END


*Bagaimana? Aku berharap akhir cerita ini dapat mengukir senyum di wajah pembaca dan membuat kalian terhibur. Mohon dikoreksi jika ada kesalahan dan jika berkenan tolong dikomentar yaa. Anyway, have a nice day, everyone!! :)*

Comments

  1. anu eh icut -_- aku masih penasaran 'marc' itu siape ._. duh nggak suka sama endingnya -_- maunya Marqeuz merana aja gitu sendirian jadi bujang lapuk :v hahaha. Rachelnya dipasangin sama Dani aja :v /ditampar/
    Eh icut bercanda, ffnya bagus kok (y) keren lagi xD tapi yaa gitu aku lebih suka Marquez merana :v hahaa. Agak geli pas baca bagian "Aku bersyukur Tuhan telah mengirimmu untuk mengisi kekosonganku.” disini bang Marquez sok romantis ._. wkwkwk . udah ah nyepam jadinya kan aku -__-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha, kasian tauk Marquez kalo jadi bujang lapuk -_- udah lima tahun sendirian, masak nambah lagi -_- eh, tapi ga apa juga sih, biar aku aja yang nemenin *digebukin fans Marquez yang lain* wkwkwk.. abang Marquez sekali-sekali meluk cewek Nov, ditambah baru kali ini dia dapat cewek setelah kesendiriannya yang panjang ._. jadinya dia romantis gitu, wkwkwk... makasih udah baca yoo Nov, hihihihi ;;)

      Delete
    2. yooaa sama-sama cut :D
      yaallah lama juga ya si marquez jadi bujang lapuk -_- /tepuk tangan/ /dihajar/
      Itu mah maunya elu cut -_____-" /ikut gebukin/
      ohiyee biasanya dia kan meluk motor mulu yaakk :3

      Delete
  2. Cerita nya bagus 😁 klo jodoh tuh emng gak kemana ya emng si rachel di takdirin sm marc kli ya :v akhir nya itu sosweet lo, pling aku suka yg bagian rachel yg jawab pertanyaan marc itu :v kata" memuaskan :D maaf br baca :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you for reading yaa ^^ hihi.. ga apa kok.. hehe :D

      Delete

Post a Comment