TWOSHOT : Hurt #2 - END

Hi!! Good evening from here!!

Hari ini aku akan nge-pos kelanjutan sekaligus akhir cerita TWOSHOT : Hurt. Jujur saja, aku kurang yakin dengan cerita ini. Alurnya terlalu cepat dan terkesan dipaksakan. Aku minta maaf sebesar-besarnya jika ada kesalahan dalam cerita ini dan jika akhir cerita ini bukanlah akhir yang diharapkan para pembaca yang terlebih dahulu membaca Hurt (Part 1). Anyway, aku selalu menunggu komentar apapun, baik maupun buruk. Happy reading, everyone ;) Semoga cerita ini dapat menghibur yaa :) 



"Setiap manusia tidak akan pernah luput dari kesalahan, namun bagian terpentingnya adalah: seberapa sanggup dirimu menyadari, memperbaiki, dan belajar dari kesalahan tersebut” – Author 


Serbet lembut bermotif bunga-bunga dengan warna merah menyala itu dilipat persegi oleh jemari panjang nan lentik itu. Kain itu menjadi sentuhan terakhir bagi beberapa jenis makanan yang tertata rapi di atas satu meja bertaplak linen. Rachel menyingkirkan sejumput rambut yang lepas dari ikatan dan terbang ke bagian dada. Tangan gadis itu bergerak naik, memutari leher dan merasakan lapisan keringat di sana. Oh, melelahkan juga, batinnya.

Rachel menunduk, mengamati satu per satu apa yang telah ia ciptakan. Seulas senyum kecil tampak di bibirnya yang mulai mengering. Titik-titik kelelahan di wajahnya pun menguap seketika. Rachel senang. Usahanya tidak sia-sia. Walaupun ia sedikit kelelahan dan berkeringat, namun ia telah mendapatkan hasil yang pantas. Sebenarnya memasak beberapa jenis makanan sederhana seperti ini tidaklah melelahkan bagi orang yang sudah biasa, namun karena Rachel jarang melakukan, maka ia harus merasakan sesuatu yang sedikit berbeda.

Kaki gadis itu berbelok ke samping, berjalan santai menuju ke arah kamar Raquelle. Ia akan segera memanggil adiknya itu dan mereka akan makan bersama. Sudah hampir satu bulan mereka tidak menghabiskan waktu berkualitas berdua. Hubungan mereka pun dalam beberapa hari terakhir ini bisa dibilang tidak terlalu erat dan mulai mengendur. Tentu saja karena sebuah insiden beberapa hari yang lalu.

Namun, saat sudah tiba tepat di depan pintu kamar Raquelle yang bermotifkan kupu-kupu, langkah kaki Rachel berhenti mendadak. Tangannya mengudara dan batal meraih kenop pintu. Sebuah percakapan terdengar samar-samar dari dalam sana. Mata Rachel menyipit, mulai merasakan gejolak penasaran. Sedang bicara dengan siapa Raquelle? Pelan-pelan Rachel mulai mencuri dengar.

“Dia memutuskan untuk datang sendiri. Apa yang akan kau lakukan?”

“Apa kau sudah membujuknya untuk tidak datang?”

“Itu tidak akan ada gunanya. Aku sangat mengenal kakakku. Dia adalah orang yang sulit untuk mengubah keputusan. “

“Baiklah. Tahan dia selama mungkin sampai aku datang besok. Aku akan berada di sana secepat yang aku bisa. Kau mengerti?”

“Apa yang akan kau lakukan? Kau akan mencegahnya?”

“Tidak. Aku tidak akan mencegahnya. Aku hanya perlu bicara beberapa hal dengannya. Kau tau apa yang harus kau lakukan?”

“Dengar, aku tidak ingin kau melakukan hal konyol. Beri tahu aku apa rencanamu dan aku bisa menghentikanmu jika itu adalah rencana yang seharusnya tidak kau jalankan.”

“Aku tau apa yang kulakukan. Sudah, jangan keras kepala. Tahan dia sampai aku datang, mengerti? Aku akan mengungkap beberapa hal padanya.”

“Mengungkap? Apa yang ingin kau ungkapkan?”


“Raquelle? Bicara dengan siapa kau?” desis Rachel. Ia tidak dapat menahan dentuman penasaran lebih lama. Sebuah tuntutan terpantul dari nada suaranya.

Raquelle tersentak hingga membuat sepasang bahunya terguncang. Buru-buru ia mengakhiri telepon dan membenahi diri.

“Hm, tidak. Aku … aku hanya bergumam sendiri. Masuklah,” sahut Raquelle, sedikit canggung. Gadis itu bingung akan melakukan apa selama beberapa saat, tiba-tiba merasa dalam posisi tertangkap basah. Apa Rachel mendengar semuanya? Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Rachel memutar bola mata dan mempertimbangkan sejenak, berusaha melupakan prasangka buruk yang sempat terbayang. Tidak, ia tidak boleh berpikir demikian. Toh, ia hanya mendengar samar-samar dan mungkin memang benar itu hanyalah gumaman Raquelle semata. Tidak seharusnya ia mencurigai yang bukan-bukan pada adiknya sendiri. Rachel menarik kenop pintu.

“Ada apa?” tanya Raquelle datar. Perut gadis itu mulai bergolak, seolah-olah semakin memojokkan si pemilik.

Rachel tak langsung menyahut. Ia menilai Raquelle dengan tenang, berusaha menemukan jejak apapun dalam mata gadis itu. Namun, sesaat kemudian, sebuah pemahaman terbaca di mata Rachel. Ia tidak bisa menemukan apapun.

“Tidak. Aku hanya ingin mengajakmu makan bersama. Kau belum makan, ‘kan?” Rachel mengerjapkan mata sembari mengumpulkan diri. Tidak ada gunanya memikirkan hal semacam percakapan yang tak masuk akal itu. Itu tidak lebih dari kekhawatiran berlebihan Rachel semata.

Raquelle tak berani menjawab sorot mata Rachel. Ia menunduk ke antara kedua kakinya sembari mengentakkan dagu. “Ya, mari kita makan,” ujar Raquelle akhirnya dengan suara yang terdengar seperti cicitan.

Rachel meraih tangan Raquelle dan mulai menuntunnya ke luar kamar. 


***

Hari yang baru telah dimulai. Sang sumber kehidupan telah keluar dari peraduannya beberapa jam yang lalu. Lembar nasib telah berbeda. Setiap manusia bak lahir kembali. Tak terkecuali seorang gadis yang tengah duduk sendiri di sudut kamar menghadap ke arah cermin. Rachel menatap dalam-dalam wajahnya sendiri, tidak bisa menutupi bahwa jejak-jejak kesedihan masih melekat di wajahnya. Walaupun ia sudah berusaha keras agar kuat dan benar-benar melupakan masa lalu, namun ia masih saja terbayang-bayang pria itu. Rasa itu memang berkurang, namun belum seutuhnya. Rachel meletakkan tangan di kening dan menunduk ke pangkuannya.

“Rachel?” panggil seorang gadis lain dari ambang pintu yang terbuka.

Rachel terkesiap tanpa suara. Ia refleks mengangkat wajah dan bertemu dengan mata Raquelle yang menatapnya serius. “Ya?”

Raquelle menarik aliran udara murni masuk ke dalam paru-parunya dan mulai berjalan, memangkas jarak. “Kau masih bisa berubah pikiran jika kau mau.”

“Tidak. Aku tidak akan membatalkannya. Aku yakin dengan keputusanku,” sanggah Rachel bulat. Matanya menyala dengan harga diri saat ia mengalihkan pandangan ke arah cermin.

“Tapi, tidak semua keputusan adalah benar walaupun kau sangat yakin, Rachel. Aku hanya ingin kau tetap di rumah dan bersamaku, bukannya malah berada di sana bersama orang yang telah mengkhianatimu.” Tangan Raquelle merayap perlahan dan hinggap di pundak Rachel, meremasnya kuat, berharap dengan jari-jari ini ia dapat membuka pikiran gadis itu.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku akan baik-baik saja. Aku berada di sana bukan karena dia, tapi karena aku menghargai undangannya.” Rachel mengintip dari balik bahunya yang menegang.

Raquelle memutar rahang Rachel dan mengangkat wajahnya tinggi-tinggi kembali menghadap cermin. “Rachel, dengar. Jika kau tetap bersikeras untuk pergi, aku mengerti, aku tidak akan menghentikanmu. Tapi, tolong tetaplah di sini untuk beberapa waktu lagi. Aku ingin melihat kakakku lebih lama dalam keadaan yang tak biasa, maksudku, kau sangat berbeda hari ini. Kau sangat cantik, Rachel. Aku tidak tahu kau bisa mewarisi kecantikan ibu hingga seperti ini. Aku … jujur saja terkadang aku merasa iri padamu,” ungkap Raquelle. Gadis itu menyentuh rambut Rachel lalu membelainya. Rambut yang sangat menawan.

Bulu mata Rachel bergetar selama beberapa detik. Sebuah ketulusan berkilat dalam setiap kata yang Raquelle lontarkan. Tenang, namun dapat menembus hati terdalam. Rachel terpana memandang pantulan sosok adiknya sendiri di cermin. Sebenarnya, Raquelle juga adalah gadis yang cantik. Mereka sangat mirip. Mereka sama-sama mewarisi mata gelap dengan semburat hazel ibu mereka. Hidung mereka pun bisa dikatakan sangat mirip. Terlebih bibir. Satu-satunya yang sangat berbeda dari kakak beradik itu adalah sepasang alis. Alis mata Rachel tebal dan rapi, sementara punya Raquelle tidak terlalu tebal. Namun, Raquelle mempunyai bulu mata yang panjang dan lentik, sementara Rachel tidak. Ada beberapa bagian tubuh mereka yang sangat mirip dan bertolak belakang.

“Dan aku tidak pernah berpikir kau bisa mewarisi begitu banyak sifat baik dan bijaksana ayah,” balas Rachel seraya mengulum senyum tipis. Gadis itu berbalik dan merengkuh kedua pipi Raquelle.

“Semua orang diciptakan oleh Tuhan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Aku memiliki yang tidak kau miliki, namun kau mempunyai beberapa hal baik yang tidak aku miliki. Semua sudah diatur oleh Tuhan sedemikian rupa. Tidak ada manusia yang sempurna. Jadi, jangan pernah merasa minder pada dirimu sendiri dan tetaplah menjadi yang terbaik, hm?” Rachel mengelus-ngelus pipi Raquelle dan menarik bibirnya membentuk senyuman. Sepasang gadis itu saling bertukar tatapan dan mengulas senyum alami, menyelami mata satu sama lain, kemudian saling mendekat dan mengalirkan kedamaian lewat sebuah pelukan tulus.

Mendadak kesunyian melingkupi mereka. Rachel dan Raquelle sama-sama hanyut dalam ketenangan. Hingga tak berapa lama kemudian sebuah ketukan pintu memecah keheningan (yang terdengar seperti petir di ruangan yang sangat sunyi ini) dan menarik kakak beradik itu dari alam yang mereka bangun sendiri.

“Ada yang datang, sebentar aku bukakan,” usul Raquelle seraya melepas tempelan tubuh mereka. Gadis itu melangkah menuju pintu masuk, menarik gagang pintu, dan seketika itu juga tiba-tiba mulut dan matanya terasa perih, entah kenapa.

“Dani?” kejut Raquelle. Tubuhnya tersentak mundur beberapa langkah ke belakang, bibirnya kaku mendadak, lalu ia segera mengerjapkan mata dan mendapatkan dirinya kembali. “Masuklah,” ajaknya sembari menggeser tubuh ke kanan dan memberi tempat bagi pria itu untuk masuk.

“Terima kasih,” balas Dani seraya menyebrangi Raquelle. “Di mana Rachel?” tanyanya, berbalik menghadap Raquelle.

“Di kamarnya.” Raquelle melempar pandangan ke arah kamar Rachel yang tak jauh dari kamarnya. Kamar mereka berdua hanya dipisahkan oleh sebuah guci keramik tempat penyimpanan payung dan sebuah kamar kecil.

Dani mengikuti mata Raquelle dan segera berjalan menuju kamar yang berhasil disimpulkannya sebagai kamar Rachel.

“Rachel, aku perlu bicara denganmu. Kumohon, ikutlah bersamaku,” kejut Dani pada Rachel di ambang pintu. Pria itu lebih memilih untuk memanggil Rachel dari luar dan bukannya langsung masuk ke dalam. Dani diajarkan nilai-nilai moral sejak kecil. Ia tidak dibiasakan untuk masuk ke kamar wanita selain keluarganya apabila tidak diizinkan dan jika bukan dalam keadaan darurat. Pria itu mengerti batasan pria dan wanita. Dani berkualitas.

Rachel terlonjak dari kursinya dan refleks menoleh ke arah sumber suara. Kening gadis itu berkerut bingung sehingga membuat alis matanya tampak turun. Buru-buru Rachel bangkit dari kursi yang didudukinya.

“Ada apa, Dani? Kau tampak terburu-buru.” Rachel menarik tangan Dani sedikit menjauh dari kamarnya. Sebelah tangannya yang lain ia gunakan untuk menarik kenop pintu dan menutupnya.

“Seperti yang kukatakan tadi, kita harus bicara. Ini penting, mengenai kau, aku, dan juga masa depanmu. Hanya sebentar saja, setelah itu kau bisa melanjutkan kegiatan ataupun pergi ke mana saja yang kau mau tanpa gangguan dariku lagi. Selama yang kau inginkan. Kumohon. ” Mata Dani yang beratapkan bulu mata tebal itu pun berkilat-kilat penuh harap. Rachel tak tahan melihat Dani menatapnya dengan mata seperti ini, maka, hatinya pun tergerak dan ia mengiyakan permohonan Dani dengan satu anggukan kepala. 


***

Rambut hitam Rachel yang berkilauan terbang tak beraturan mengikuti ke mana arah angin membawanya. Rachel menatap ke kejauhan dengan mata kosong, tanpa benar-benar melihat sesuatu. Dagunya tegang tak bergerak, begitu pula dengan bibirnya. Matanya tak ingin ia alihkan ke arah Dani, biarlah pria itu yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Toh, yang punya kepentingan mengajaknya kemari adalah Dani, mengapa harus ia yang menanyai pria itu lebih dulu? Jika Dani tetap diam dan tak kunjung mengutarakan maksud ajakannya, maka Rachel telah putuskan dalam hati bahwa ia akan segera pulang dan menghadiri pernikahan pria masa lalunya. Ia sudah menunda waktu terlalu lama. Masalah yang timbul dengan Dani adalah masalah belakang. Ia akan mengurusnya nanti.

“Rachel, aku …” Bibir Dani bergerak, berkerut dan bercelah. Tenggorokannya mendadak sesak, seolah tersumbat oleh batu besar. Keringat mulai mengalir di dada di balik kaus hitam-biru yang dikenakannya. Wajah Dani mulai memucat. Matanya memicing saat ia menelan ludah dengan susah payah.

Rachel mengangkat mata hingga ke dagu Dani. “Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan?”

Dani memejamkan mata kuat-kuat sembari mengumpulkan keberanian. Ia mendesahkan napas dalam-dalam sebelum berkata, “Ada satu hal yang tidak kau ketahui hingga sekarang. Dan itu adalah rahasia terbesar antara aku dan calon suamimu dulu.”

Rachel terperangah dan tersentak untuk mengamati sosok Dani dengan serius. “Rahasia apa itu?”

“Berjanjilah kau akan mendengarkan ceritaku hingga selesai. Aku tidak memintamu untuk memaafkanku setelah pengungkapan ini, walaupun aku sangat berharap kau akan sudi untuk melakukan itu. Aku mungkin adalah kesalahan terbesar dalam hidupmu. Jika waktu dapat diputar kembali, aku ingin memperbaiki kesalahanku dengan tidak gegabah dan ceroboh bertindak. Sekarang lihat, Rachel. Lihat akibat dari kebodohanku dulu. Aku yang bertanggung jawab atas kondisimu sekarang. Kau sangat menderita setelah kehilangannya dan lebih parah setelah kau tahu bahwa ia akan menikah. Aku tidak tahu pasti apa alasanmu ingin menghadiri pernikahannya, namun, satu-satunya yang kutahu adalah kau masih sangat mencintainya dan tidak pernah mencintaiku, walau hanya secuil. Aku telah melakukan kesalahan besar dengan …” Mendadak Dani tak sanggup melanjutkan. Jiwanya seolah bolong dan ia malu pada dirinya sendiri. Sepasang matanya jatuh ke pangkuan, menatap lekat-lekat celana jins hitam yang membalut pahanya. Percakapan hari itu terus mengalun di telinganya.

Sementara Rachel berada dalam posisi yang membuatnya bingung. Apa ia harus diam saja dan menahan rasa penasaran yang semakin mengiang-ngiang, atau membuka mulut dan membuat kepercayaan diri Dani semakin jatuh? Tuhan, apa yang harus dilakukannya? Pelan-pelan Rachel mendekatkan wajah ke telinga Dani.

Dani menarik napas tercekat bersamaan dengan sebelah tangan yang memerangkap kokoh celana jins-nya. Bola matanya berputar di balik kelopaknya yang sengaja ditutup.

“Aku … aku adalah saudara tiri mantan tunanganmu, dan aku yang memintanya untuk meninggalkanmu.”

Teng!

Rachel seolah dihantam gelombang besar, tergulung-gulung dan hancur menjadi butiran. Dadanya bak disumbat oleh sesuatu yang tebal, ia sulit bernapas. Wajahnya memanas, bagaikan didekatkan ke kobaran api menyala. Anggota geraknya menegang, kaku dan selama beberapa saat ia tidak bisa menggerakkannya. Tengkuk gadis itu mulai basah akibat lembapan keringat. Batinnya terguncang oleh kebenaran yang baru terungkap. Dunia Rachel seolah diputarbalikkan.

“Aku adalah hasil hubungan gelap ayah dan ibuku. Ayahku meninggalkan ibuku begitu saja dan melepas tanggung jawabnya begitu ia tahu bahwa aku ada di rahim di ibuku. Selama aku kecil hingga remaja aku selalu mengalami masa-masa sulit. Aku harus bekerja keras siang dan malam hanya untuk dapat makan di malam dan pagi hari. Waktu aku kecil, aku selalu bertanya tentang ayahku, apakah ia masih hidup dan di mana keberadaannya. Aku sangat ingin menemui ayahku.Tapi, aku selalu tidak pernah diberitahu. Ibuku selalu berkata bahwa aku akan tahu kebenarannya ketika aku dewasa kelak. Tepat tiga tahun lalu, saat aku menginjak usia keduapuluh satu tahun, untuk pertama kalinya aku dapat melihat wajah ayahku sendiri. Ternyata dia memiliki anak laki-laki lain selain diriku. Awalnya aku sempat berontak, namun sekali lagi kupikirkan tentang ibuku, aku hanya butuh ibuku dan aku tidak butuh ayah brengsek seperti dia. Waktu terus berjalan dan aku tetap tinggal bersama ibuku walaupun dia sudah mulai sering mengunjungi kami dan bertanggung jawab. Aku tidak pernah berhubungan baik dengan anak juga istrinya, di mana anak itu adalah mantan calon suamimu. Hingga dua tahun yang lalu kita berkenalan dan aku tahu bahwa dia adalah calon suamimu. Kau tahu? Aku sudah mencintaimu sejak pertama kali kita berjumpa, maka dari itu aku kalap dan memintanya untuk meninggalkanmu untukku. Malam itu, aku mengungkap semuanya, bahwa aku mengalami hidup yang sulit karena ulah ayah yang selalu dibangga-banggakannya. Awalnya kami sempat bertengkar, bahkan saling memukul, tapi, ketika kukatakan bahwa aku akan meninggalkan semua yang berhubungan dengan keluarga itu dan juga ayahku, dia mulai melunak. Saat itu, aku langsung memanfaatkannya untuk mengambil sumpah agar meninggalkan dirimu. Dia setuju. Aku berpikir aku dapat menggantikan tempatnya di hatimu. Namun, aku salah. Kau tetap mencintainya dan akan selalu begitu walaupun aku adalah orang yang selalu bersamamu. Aku sadar aku salah. Mungkin ini adalah akibat dari keegoisanku. Maafkan aku, Rachel. Aku sungguh-sungguh minta maaf.” Beban di dada Dani seolah terangkat begitu ia mengungkap semua kebenaran. Pelan-pelan matanya bergerak ke wajah Rachel.

Tubuh Rachel menggelenyar mendengar semua itu. Ia tidak menyangka masalah hidupnya akan menjadi serumit ini. Dani sangat menderita sejak kecil, ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ayah, sementara saudara tirinya hidup dengan sangat bahagia. Ini tidak adil. Perlahan-lahan rasa sakit Rachel akibat pengkhianatan pria itu mulai teriris dan tergantikan oleh rasa sakit mengapa ia bisa begitu menyia-nyiakan kehadiran Dani. Rachel memang menyesalkan kenyataan itu, dan ia ingin marah bahkan mengamuk pada Dani, namun sekali lagi ia pikirkan tentang penderitaan pria itu. Masa lalu adalah masa lalu. Tetap tidak akan ada gunanya walau ia mengamuk dan memukul Dani hingga mati sekalipun. Pria itu tetap akan menikah hari ini dan waktu yang telah lewat tidak akan pernah bisa diputar kembali. Dani bukan satu-satunya manusia yang berbuat salah. Siapa saja bisa melakukan kesalahan. Dani memang egois dengan menghentikan hubungan mereka, namun pria itu bahkan lebih egois untuk setuju begitu saja. Pria macam apa yang mundur saat sebentar lagi akan menikah begitu dibungkam oleh beberapa kenyataan masa lalu dan dipastikan akan hidup sempurna selamanya dengan kasih sayang seorang ayah secara penuh? Benar-benar keterlaluan. Dengan begitu ia sama saja berlaku egois untuk kesenangannya sendiri. Bajingan.

Rachel baru saja ingin menyentuh punggung Dani saat ia menjauh dan melanjutkan, “Aku tahu ini pasti sangat berat untukmu. Aku yang bertanggung jawab. Aku sangat berharap kau dapat memaafkanku. Rachel … aku sungguh-sungguh minta maaf. Apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu lebih baik?” Raut wajah Dani terlihat sendu dan begitu berbelas kasihan.

Rachel menyusuri wajah Dani dengan tatapan berbinar. “Satu-satunya yang bisa kau lakukan sekarang adalah tetap tinggal disisiku sementara aku mencoba untuk mencintaimu. Apa kau bersedia melakukan itu untukku?” Bibir Rachel melengkung membentuk satu garis tipis. “Dan jangan lagi meminta maaf padaku. Aku bisa memaklumi keadaanmu dan bukan hanya kau yang harus meminta maaf disini. Aku juga bersalah karena tidak pernah melihat kehadiranmu secara utuh dan tidak selalu berbuat baik padamu. Aku minta maaf, Dani.”

Mereka saling bertukar tatapan penuh arti, coba menggali isi hati masing-masing. Rachel bukan hanya memiliki kecantikan luar, namun gadis itu juga memiliki kecantikan hati yang luar biasa. Bibir Dani mulai mengulas senyum kecil, sedikit lebih lebar, besar, hingga ia memberanikan diri untuk mendekat dan merengkuh pundak gadis itu.

“Mari lupakan masa lalu dan jalani hidup yang baru dengan saling mengasihi. Bagaimana?” tawar Dani sembari menyentuh rambut Rachel dengan tangan yang lain. “Aku tau kini kau sama sekali tidak mencintaiku, namun aku akan berusaha sebisa yang kumampu untuk mengubahmu mencintaiku.”

Rachel menyunggingkan senyum hangat ke arah Dani. Sebuah rasa takjub melesak ke dalam dirinya. Mungkin Dani adalah takdirnya. Pria itu begitu mencintai Rachel meskipun ia tahu gadis itu bahkan tak memiliki sedikitpun rasa yang sama. Dani rela menunggu. Ia adalah laki-laki yang jarang ditemukan. Tiba-tiba tangan Rachel bergerak kecil dan menyentuh pinggang pria itu. “Pernikahan pertamaku mungkin gagal, namun kupastikan pernikahan keduaku tidak akan bernasib sama dan akan terselenggara, bersama orang yang jauh lebih baik, mencintaiku, dan juga menghormatiku.”

Untuk pertama kalinya dalam hari ini, Dani tertawa ringan. Aliran kelegaan menyusup ke dalam dirinya. Dani tak pernah menyangka akan mendapat respons sedewasa ini dari Rachel. Satu-satunya respons yang selalu dibayangkannya adalah Rachel akan menampar, memukul, atau bahkan membunuhnya saat itu juga. “Karena aku tidak akan melakukan kesalahan apapun lagi terhadap dirimu.”

Dani menarik tubuh Rachel mendekat sementara tangan gadis itu semakin melingkari pinggangnya. Rachel memang belum bisa mencintai Dani, namun ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membalas rasa cinta dan hormat yang pria itu berikan pada dirinya. Kehidupan percintaannya yang baru telah dimulai. Rachel yakin ia tidak akan gagal untuk kali kedua. Ia bisa melakukan apapun dan menghadapi apa saja selama Dani ada disampingnya. Masa lalu biarlah masa lalu. Rachel percaya hatinya tidak akan mengecewakan Dani. Ia yakin bisa mencintai Dani secara utuh dan tulus suatu hari nanti. Mereka akan menjadi pasangan yang tak akan terpisah. Takdir memiliki jalannya sendiri.



END

Comments

  1. Walaupun alur radak kecepetan, diksi dan ceritanya jelas kok. Namanya juga two shoot, nggak harus detil banget, yg penting jelas. Ditunggu karya kamu selanjutnya Ghaisa :) kata2 pas endingnya aku suka

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih udah baca dan komentar ya, Kak.. Aku nulis cerita ini juga rada diburu, mikir udah kelamaan ini cerita ga dilanjut. Thank you once again Kakak :D

      Delete
  2. mmb sblmny hehehe.jujur ni TS keren banget seruu, ending nya itu dapet banget 😱 coba kli" km buat ff pasti bgs deh biar puas baca ny hehehe thank for tag before

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you for reading yaa :) Gatau kenapa tiap kali aku buat cerita selain TWOSHOT dan ONESHOT aku rada kebingungan. Ceritanya macet di tengah jalan dan aku gatau mau bawa kemana lagi ._. Belum sanggup kayaknya, hehe.. Tapi, makasih masukannya yaa ;)

      Delete
  3. setiap kali nganggur ak baca blog km! yg kali ini emg agak buru-buru ya hehe kaya cepet gtu selesai nya ahaha but I really enjoy it! nice one! :D

    http://immekristiani.blogspot.com/
    From Bali, Indonesia - with love, Imme ❤

    ReplyDelete
  4. dani jadi orang ketiga -_- tapi tak apalah dani yang jadi nikah sama rachel *-*/\ eh tapi tetep aja kurang ajar kali dia -_- eh btw cover blog mu mentel yaa cut :p ada bunga+kupu2nya :v bunganya icut kupu-kupunya ojan ._. eh tapi betol loh cocok ._. secarakan icut tetap bertahan di sini seperti sang bunga yang menunggu kedatangan kupu-kupu yang telah pergi jauh meninggalkannya. sang bunga bingung harus tetap bertahan dengan sang kupu-kupu hingga ia mati layu atau mencari kupu-kupu yang lainnya. kini semua di tangan sang bunga akan memilih yang mana xDDD aku kok ngakak yaa nulis ini -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih udah baca yaa Nov :D biar happy ending Rachel jadi sama Dani, hihihi.. hahahaha, aku bacanya juga ngakak Nov, wkwk.. tapi keren juga tuh yaa umpamanya, hahah.. ecek-eceknya aku bunganya gituu, wkwk.. tapi ceritanya aku mau move on nihh ._.

      Delete
    2. sama-sama cut xD yeyeye!! akhirnya dani dapet bini juga >w< hahaha makasih yaa cut. sip cari kupu2 lain cut yg lebih ganteng+jangan serampangan :p hahaha

      Delete

Post a Comment