TWOSHOT : Hurt #1

Good afternoon from here!

I hope you guys have an incredible weekend.

And this is the new story. Happy reading ;)

Hope you all like it. Tolong dikomentar jika berkenan :) 



“Ketika luka yang belum sembuh kembali menganga, hanya hati yang melebihi karang yang bisa bertahan” – Author


Kertas tipis berlekuk indah nan memesona dengan warna dasar merah muda lembut itu meluncur bebas dan tertelungkup di lantai. Rachel meneguk ludah dengan susah payah, seolah batu besar menyumbat tenggorokannya. Tangannya bergetar hebat, lebih hebat daripada saat terakhir ia mengalami kegugupan luar biasa hingga tubuhnya kebanjiran keringat dingin. Rahang dan bibirnya setuju untuk menegang. Matanya memanas, begitu pula dengan seluruh tubuhnya, seolah-olah dentuman batin ini telah memanaskan udara dan menghantam tubuhnya. Rachel terhuyung.

“Kau tidak apa?” tanya seorang gadis dari arah belakang, memecah kebisuan.

Rachel tak bereaksi. Tangannya meraba-raba dan akhirnya menyentuh sudut meja.

“Rachel?” panggil gadis itu lagi, tiba-tiba merasakan serangan rasa bersalah.

“Ya? Tadi kau mengatakan apa?” Rachel tersentak, kembali ke alam nyata setelah beberapa saat ia bagaikan kehilangan akal sehat. Sungguh, jika diminta memilih antara hidup dan mati, mungkin Rachel akan dengan bulat menetapkan pilihannya pada pilihan kedua. Apa lagi yang harus dipertahankannya sekarang? Apa lagi yang bisa dilakukannya?

“Seharusnya aku tidak memberitahumu soal ini. Harusnya aku langsung merobek atau membakar benda haram ini begitu aku mengetahui apa isinya.” Gadis itu berjalan sedikit, berjongkok, kemudian memungut kertas tak bersalah itu sebelum Rachel menggagalkan usahanya.

“Biarkan kertas itu. Jangan pernah kau membuang ataupun membakarnya,” perintah Rachel tegas, hingga gigi-giginya saling bergesek tanpa disengaja.

“Untuk apa lagi kertas ini ada? Kau mau menyimpannya?”

“Aku bilang tinggalkan kertas itu di tempatnya, Raquelle!” bentak Rachel, mulai merasakan darahnya mengalir bagaikan aliran sungai, merayap di sepanjang lengannya, menyebarkan gumpalan panas di mana-mana.

“Katakan padaku kenapa aku harus melakukannya!” bantah gadis dengan nama akrab “Raquelle” itu tegas. Tidak, ia tidak akan melakukannya. Ia sudah berbuat kesalahan dengan memberikan kertas itu dan ia tidak akan berbuat kesalahan apapun lagi.

“Karena itu perintahku. Bawa kertas itu padaku.”

“Dengarkan aku, Rachel. Dia tidak hidup di kertas ini. Kertas ini tak berguna apa-apa selain membuatmu menderita dan mengingat kembali hal yang seharusnya sudah kau kubur dalam-dalam dan tidak akan pernah kau bongkar sampai akhir napasmu di dunia ini. Kertas ini hanya membawa kesialan, Rachel! Ini tidak lebih dari sekadar kertas pembawa masalah!” sembur Raquelle, ikut terbawa emosi. Dada gadis itu membusung bolak-balik saat ia mengatur napas yang tak beraturan.

“Kau berani berteriak padaku?” Rachel mengintip dari balik bahunya yang mengokoh. Ini bukanlah Rachel yang biasa. Ini bukan Rachel Nicollina Guerrero yang seharusnya. Ini bukanlah kakak Raquelle yang normal. Namun, bagaimana pun juga, seperti inilah ia sekarang. Diserang hantaman emosi dan melampiaskan kekesalan yang seharusnya tidak pernah ada pada adik tunggalnya.

“Lalu apa hal terbaik yang bisa kulakukan sekarang? Apa? Beritahu aku, Rachel! Katakan! Kau mau aku berdiam diri dan membiarkanmu kembali menggila seperti dulu? Tidak, tidak akan! Aku tidak cukup bodoh untuk menuruti kata-katamu di kondisi seperti ini. Tidak akan pernah! Kau dengar aku? Kau dengar, hah?! Kau gila?! ” pekik Raquelle semakin berapi-api. Matanya menyala terang bagai kobaran penuh. Sangat terang hingga hampir menyamai sinar lilin di ruangan gelap.

“Diam!! Aku tau apa yang harus kulakukan! Bawa saja kertas itu padaku–tidak, aku akan mengambilnya sendiri jika kau tetap keras kepala. Aku tidak butuh kau untuk mengambilkannya.” Rachel berbalik, mengunci tatapannya pada bola mata Raquelle yang benderang  sejenak, sebelum akhirnya melangkah dan memungut kertas “haram” itu dari lantai yang keras.

Raquelle memejamkan mata dengan kasar, masih mencoba untuk tetap di dalam kendali. Ia tidak boleh kehilangan kontrol sekarang. Tidak, setidaknya jangan sekarang. Gadis itu mengembuskan napas keras, memutar tubuh menghadap Rachel, lalu berkata dengan kelembutan yang dipaksakan, “Aku tau perasaan itu masih ada. Aku sadar kau terluka hebat dan sangat menderita. Aku tau kau masih sangat mencintainya. Itu tidak sebentar. Kalian sudah berhubungan selama hampir sepuluh tahun dan dan itu bukanlah waktu yang singkat untuk bisa tahu segala sesuatu tentang dirinya. Kau pasti masih ingat setiap hal yang pernah terjadi di dalam hubungan kalian. Tapi, jangan pernah juga kau lupakan apa yang telah ia perbuat padamu satu tahun yang lalu. Semua orang berbahagia, demi Tuhan aku sangat bahagia saat kau bilang kau mau mengakhiri masa lajangmu dengannya. Kau sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan detail. Aku sudah melakukan apapun yang aku bisa untuk hari pernikahanmu. Ayah, Ibu, mereka pasti berpikir bahwa mereka akan memberikan putri sulung mereka untuk orang yang tepat. Tapi, lihat. Lihat apa yang ia lakukan padamu, Rachel! Lihat bagaimana dia melemparkanmu hingga ke titik terbawah dalam hidup! Buka matamu dan lihat! Kembalilah pada dirimu yang sehat dan lihat apa yang telah terjadi! Apa yang telah ia lakukan padamu, cintamu, kepercayaanmu, mimpimu, dan bahkan pada keluarga kita!” teriak Raquelle. Api amarah semakin tersulut di dalam diri gadis itu.

“Semua masih tersimpan rapi di dalam memoriku dan kau tidak perlu mengingatkannya. Aku tidak amnesia dan aku sangat ingat setiap detik di hari itu. Jadi, diam dan jangan semakin membuatku terpuruk dengan mengingatkannya. Aku mohon padamu.” Cuping hidung Rachel kembang-kempis dan bibirnya kaku. Tenggorokannya sudah terasa sangat sesak menahan air mata. Sungguh, apa air mata untuk pria sialan itu akan kembali mengalir hari ini?

Raquelle terperangah mendengar Rachel melontarkan kalimat, “aku mohon padamu”. Rachel bukanlah orang yang mudah untuk mengatakannya. Ia sangat jarang memohon kepada orang lain. Sebenarnya ia adalah orang yang kuat. Ia tidak akan meminta apalagi memohon pada orang lain jika ia tidak benar-benar membutuhkan pertolongan. Rachel terbiasa mandiri sejak kecil. Ia tumbuh menjadi gadis yang suka melakukan segala sesuatunya sendiri. Ia tidak biasa dimanja.

“Aku bangga sekaligus sangat senang memiliki kakak sepertimu, lantas bagaimana bisa aku durhaka padamu dengan membuatmu terpuruk? Aku sungguh tidak bermaksud berteriak apalagi menyinggung egomu, aku hanya ingin kau benar-benar melupakannya, Rachel. Ayolah, aku tahu kau pernah hampir menyentuh titik itu sebelum aku melakukan kesalahan besar dengan memberimu undangan pernikahan ini. Bangkitlah dengan aku di belakangmu. Hapus dia dari hatimu dan anggap semua yang pernah terjadi bersamanya adalah mimpi buruk. Tidak nyata dan tidak benar-benar ada. Aku percaya kau bisa,” bisik Raquelle lembut, cukup lembut hingga Rachel dapat merasakan ketulusan di dalamnya. Gadis itu meremas lengan Rachel yang masih menegang.

“Aku … aku hanya merasa … sangat, sangat frustasi dan dicampakkan. Kau tahu bagaimana rasanya diputuskan ketika kau sebentar lagi akan menikah? Kau pernah membayangkan bagaimana rasanya? Dia telah menghina aku dan cintaku, Raquelle. Dia menghancurkan semua mimpi dan harapanku. Dia … dia membunuh kepercayaan yang kuberikan padanya. Dia, juga … dia juga memporakporandakan janji-janjinya,” curah Rachel melunak. Suaranya terdengar sangat halus hingga hampir menyerupai bisikan. Bahu gadis itu merosot.

Cukup sudah. Rachel luruh. Air mata untuk pria berengsek itu akhirnya kembali tumpah hari ini. Ia kembali menggoreskan luka di atas luka yang belum benar-benar sembuh. Apa panggilan yang paling tepat untuk disematkan padanya? Pria kurang ajar dan tak tahu diri yang tega memutuskan hubungan yang telah ia rajut selama bertahun-tahun sekaligus pernikahan yang sebentar lagi akan terselenggara, berani mengirimkan undangan pernikahan untuk gadis yang telah ia hancurkan seluruh impiannya? Bajingan, berengsek, tak tahu malu, pengkhianat, bahkan kata-kata paling buruk pun tak sanggup menggambarkan betapa rusak dirinya.

“Aku wanita dan meskipun aku tidak mengalami persis apa yang pernah kau rasakan, aku tahu bagaimana rasanya. Aku juga pernah putus cinta dan kuakui itu adalah hal paling buruk dalam hidupku. Namun, sampai kapan kau akan terus menunggunya? Beritahu aku sampai kapan kau akan bertahan seperti ini? Katakan apa kau akan terus begini hingga akhir hayatmu? Biar kuberitahu satu hal. Kau terlahir cantik dan begitu pintar. Kau dianugerahi banyak kelebihan yang luar biasa yang menjadikanmu hampir sempurna. Tapi, beginikah akhir dari semua kelebihan yang kau miliki itu? Inikah ujung tombak kekuatanmu sebagai wanita? Apa seperti ini sosok asli kakakku yang selalu aku banggakan? Inikah kau yang sebenarnya?” ungkap Raquelle menenangkan. Tangannya merayap hingga menyentuh punggung Rachel, lalu mengelus-ngelusnya lembut, berharap ketulusan yang ia salurkan melalui telapak tangannya dapat menembus tubuh Rachel dan membuatnya mendingin.

Rachel memutar bola mata dan mengentakkan dagu. Ia diam sejenak, mencerna baik-baik tiap kata yang Raquelle ucapkan. Adiknya itu benar. Untuk apa ia menangis di sini, hancur dan hanyut dalam kesedihan yang seharusnya tidak pernah ia rasakan lagi. Ia terlahir dari keluarga yang berpendidikan. Ia bermartabat. Lalu mengapa ia harus bersikap kekanak-kanakan dengan terus menyesali kepergiannya? Pria itu tidak akan pernah kembali dan ini sudah menjadi takdirnya. Mereka tetap tidak ditakdirkan untuk bersama meskipun telah melewati kebersamaan untuk waktu yang sangat lama. Bukankah perpisahan seperti ini lebih baik daripada perceraian setelah menikah? Berhenti sekarang jauh lebih baik daripada memutuskan ikatan setelah memasuki gerbang pernikahan yang sakral. Ya, ia beruntung karena Tuhan telah memberinya takdir untuk berpisah sebelum sempat menikah. Rachel seharusnya bersyukur.

Rachel menoleh ke kanan dan memberanikan diri untuk mengangkat mata hingga ke mata adiknya. Sebuah ketenangan berkilat dari balik bulu matanya yang tampak lembap. Mulut gadis itu terbuka, memberi kesempatan bagi bibir bawahnya untuk bergetar lemah. Ia menyelami bola mata Raquelle dengan tatapan berbinar.

“Kau benar. Tidak seharusnya aku hanyut dalam situasi. Tidak seharusnya aku berhasil diperdayai oleh keadaan. Aku harus lebih kuat dari rasa sakit yang sangat kuat. Aku harus tegar karena aku mempunyai orang-orang yang selalu menyokongku. Aku harus bangkit karena aku masih memiliki keluarga yang hebat dan terutama karena aku masih memilikimu. Aku tidak akan kalah oleh keadaan. Ini adalah air mata terakhir yang tumpah untuk pria itu. Kau tidak akan pernah lagi melihat air mata di mataku karena dirinya. Orang yang telah menghina aku dan cintaku, membuang dan menyia-nyiakan kepercayaanku, tidak punya hak untuk kembali lagi ke dalam kehidupanku. Dia … dia tidak lebih dari sekadar masa lalu yang salah dan kecerobohanku karena telah menerimanya. Dia adalah kesalahan. Bajingan tak tahu malu.” Rachel menyapu sisa-sisa air matanya yang masih berbekas di pipi. Terpantul sebuah keberanian dalam nada suaranya. Cara ia mengucapkannya yang penuh kelantangan melambangkan bahwa ia telah terlahir kembali dalam keadaan yang jauh lebih baik dan siap untuk menerima apapun yang telah, sedang, dan akan terjadi selanjutnya.

“Katakan jika kau perlu bantuan. Aku akan datang tiap kali kau memanggilku. Aku senang kau telah mendapatkan dirimu lagi. Aku akan segera kembali sesaat setelah aku membakar kertas ini,” ujar Raquelle lega. Akhirnya, Rachel kakaknya telah menguasai dirinya kembali. Beginilah Rachel Nicollina Guerrero yang seharusnya. Kuat dan tak terkalahkan oleh keadaan.

Belum sempat Raquelle menegakkan punggung dan mengambil alih kertas itu dari tangan Rachel, gadis itu telah memotong terlebih dahulu, “Jangan bakar. Biarkan tetap ada karena aku akan datang.”

“Apa?” refleks Raquelle, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Aku akan menghadiri pernikahannya,” ulang Rachel, kuat dan keras. Gadis itu berjalan selangkah lebih maju.

Raquelle menggeleng tak habis pikir. Bagaimana bisa ia memenuhi undangan pernikahan pria itu? Apa yang baru saja ia katakan? Tidak, ia tidak akan datang.

“Kau sungguh akan datang?”

“Aku akan datang.”

Raquelle tak merespons. Ia membisu beberapa saat, masih dilingkupi keterkejutan. Namun, beberapa detik kemudian, ia mengerjapkan mata dan segera mengumpulkan diri. “Kalau begitu, aku akan datang bersamamu.”

“Aku akan datang sendiri. Jangan datang bersamaku,” tukas Rachel.

“Kau tahu apa yang kau katakan? Kau akan datang sendiri?” tanya Raquelle sekali lagi. Tidak pernah terbesit dalam benak gadis itu untuk membuat Rachel kesal dengan pertanyaannya yang bolak-balik. Ia hanya ingin memastikan bahwa Rachel sadar dengan apa yang diucapkannya.

“Aku akan datang memenuhi undangannya dan sendiri. Aku akan datang sendiri,” putus Rachel bulat. Gadis itu menatap lurus ke depan dengan mata kosong. Kepalanya tegap dan dagunya sejajar dengan lantai.

“Bagaimana dengan Dani? Apa kau akan memberitahunya bahwa kau akan datang?” tanya Raquelle ragu-ragu. Sepasang  alis matanya menyatu dan membentuk satu iringan tak sempurna.

“Tidak. Ia tidak tahu dan tidak akan pernah tahu. Raquelle, tolong jangan memberitahunya.” Rachel berbalik dan memangkas jarak yang ada. Ia meremas kuat bahu Raquelle hingga membuat gadis dengan tinggi badan sedikit lebih rendah dari dirinya itu tersentak kecil ke belakang.

Raquelle tak langsung mengiyakan. Ia menghirup udara terlebih dahulu sampai merasa cukup kuat untuk berbicara di bawah tekanan yang Rachel berikan pada dirinya. “Baiklah. Aku akan melakukan apa yang kau minta,” sahut Raquelle akhirnya, setuju.

Rachel melepaskan cengkeramannya dan membiarkan tangannya terjuntai begitu saja membelah udara. Sebuah lengkungan tipis terukir di bibirnya yang mulai mengering. “Bagus. Terima kasih. Aku bangga padamu.” Rachel menarik punggung Raquelle mendekat ke tubuhnya, membiarkan aliran kedamaian menjalar ke dalam tubuh satu sama lain.

Aku memang berkata kalau aku akan melakukan apa yang kau minta. Tapi, aku tidak berjanji untuk tidak melakukannya. Maafkan aku, Rachel, tapi Dani akan segera mengetahuinya. Raquelle menggumam dalam hati sembari mempererat pelukan mereka.



To Be Continued..

Comments

  1. Aku terbawa emosi baca ini Ghaisa... Sumpah keren sih. Lelaki itu apa Dani? Duh penasaran sih.. Tft Ghaisa :) oh ya, jujur banget Ghaisa. Tlisanmu itu mood boosterku di saat ide mampet gini. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you so much for reading and comment yaa, Kak, hehe :) Aku seneng kalo cerita yang aku buat bisa jadi moodbooster Kakak, makasih yoo, Kak :)

      Delete
  2. Nice story! :D seneng bgt bacanya! xx

    http://immekristiani.blogspot.com/
    From Bali, Indonesia - with love, Imme ❤

    ReplyDelete
  3. kampret -_- awak emosi bacanya ku bacok lah kau ges -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, makasih udah baca yaa Nov :D jangan bacok Nov, lempar aja aku, tapi lemparnya ke Spanyol yaaaa, muehehehe ;;)

      Delete
    2. nggak urus eeee -_-

      Delete

Post a Comment