TWOSHOT : Strange Thing #2 - END

Hi. Akhirnya cerita ini selesai juga. Sebelumnya aku minta maaf jika ending-nya tidak sesuai harapan pembaca yang lebih dulu membaca part 1. Aku harap cerita ini dapat menghibur dan menyenangkan bagi pembacanya. Aku selalu menunggu komentar apapun. Tolong tinggalkan komentar jika kalian berkenan dan mau repot sedikit. Terima kasih. Happy reading :) 


"Persahabatan itu bukan hanya saling percaya, namun seberapa sanggup dirimu memegang kepercayaan tersebut." –Author–


Marc benar-benar tidak menyangka takdir akan membawanya hingga ke titik ini. Logikanya seolah musnah dan tidak dapat mencerna bagaimana ini bisa terjadi. Batin Marc bagaikan lingkaran kosong yang tak bermakna. Keseluruhan dirinya risau, bingung, dan tak sanggup menjangkau bagaimana kerja takdir sehingga ia bisa terlempar ke titik ini. Bagaimana waktu berjalan sangat cepat sampai-sampai ia tidak ingat kapan terakhir kalinya memikirkan hal yang sama untuk keseribu kalinya. Bagaimana ia bisa sampai berdiri di sini, di tengah-tengah kedua sisi yang bertolak belakang, sendiri dengan kebimbangan yang melemahkan. Bagaimana beginilah ia sekarang, apa adanya, diselimuti keserampangan yang tak bertoleransi, membuang dan menyia-nyiakan kesempatan berharga itu.

Entahlah, tapi Marc memang begini. Mungkin ini adalah watak asli dirinya. Ia begitu ragu hampir di segala sisi kehidupan. Marc tidak berani. Ia sangat penakut. Ia tidak mempunyai ketegasan layaknya para lelaki pada umumnya. Ia lengah. Bahkan untuk masa depannya sendiri pun ia harus menyia-nyiakan waktu hanya untuk berpikir yang seharusnya tak ia lakukan selama itu. Marc memang memiliki banyak kelebihan, namun tidak dengan keberanian.

Hari ini tepat seminggu ia mengulur-ngulur waktu dan tak melakukan apapun. Marc mengabaikan saran Dani dan terus berdiam. Ia lebih memilih untuk membiarkan semuanya macet dan tak ada kemajuan. Intinya, ini adalah bukti kelengahan dirinya.

Apa salah jika orang lain mencuri kesempatan yang telah disia-siakan oleh Marc Marquez di saat ia sudah begitu dekat dan mudah untuk mendapatkannya? Siapa yang bersalah? Siapa yang harus disalahkan? Siapa? 

 
Marc mengangkat bokong dan berputar-putar sembari menekankan ruas jari ke gigi, tiba-tiba merasa putus asa. Jakun pria itu bolak-balik ke atas dan ke bawah saat ia menenggak ludah dengan menggebu-gebu. Dilingkupi frustasi, Marc menggali-gali saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Dengan cepat ia mengusap-ngusap layar benda tipis itu lalu menyamaratakan posisinya dengan telinga.

“Dani?” ujar Marc sedikit mendesak.

“Ada apa, Marc? Kau tidak tahu ini sudah jam berapa, hah? Kau gila? Kau selalu menganggu istirah–“

“Seminggu sudah berlalu dan aku telah menyia-nyiakannya. Bagaimana menurutmu jika aku bertindak besok?” timpal Marc menghentikan cerocosan suara parau di ujung sana.

Marc bisa mendengar helaan napas secara samar-samar sebelum ponselnya kembali berkata, “ Bertindak apa? Kau mau melakukan tindakan bunuh diri besok? Oh.”

Marc mencoba bersabar meskipun ia merasakan darah mulai melambung hingga ke puncak kepalanya. “Bodoh! Cepat bangun dari sana dan dengarkan aku, Dani!”

“Kau yang harus mendengarkan aku, Marc! Tutup telponnya dan pergilah ke alam mimpi!” perintah Dani tak mau kalah.

“Sialan! Aku serius, Dani. Jangan paksa aku bersikap kasar. Tolonglah, ini sangat mendesak.” Marc sadar bahwa satu jambakan lagi tak akan memperparah kondisi rambutnya yang memang sudah hampir menyerupai sarang lebah.

“Baik, baik, terserah. Apa?” Kekesalan yang menyerang Dani terpantul dari nada suaranya yang meninggi. Ia buru-buru menyingkirkan selimut dan mencoba duduk.

“Ya atau tidak jika aku mengungkapkannya besok?”

“Mengungkap apa? Sebuah kejahatan kelas kakap yang telah kau selidiki akhir-akhir ini?”

“Mengungkap perasaan dua tahunku ini, Bodoh! Kau benar-benar …” Marc meringis menahan jengkel.

Sebenarnya Marc bukanlah tipe pria yang terbiasa berkata kasar, namun dalam keadaan tegang dan mencekam seperti ini (setidaknya baginya) ia bahkan bisa melontarkan kata-kata menyayat hati yang lebih parah. Marc memang pria yang memelihara perkataannya dengan baik, namun tidak kali ini.

“Maksudmu kau ingin berbicara dengan Rachel besok?” Suara Dani perlahan-lahan menghilang. Ia menggigit bagian dalam pipinya. 

“Benar.”

“Jangan … hm, maksudku …begini, sebaiknya kita bertemu besok. Temui aku di tempat biasa jam 10. Tepat dan jangan terlambat. Jangan katakan apa-apa padanya. Kumohon. Hm, aku mengantuk. Selamat malam, Marc. Jangan lupa datang dan kita akan bicara.” Entahlah, tapi Dani terdengar seperti orang ketakutan. Ada kengerian dalam nada suaranya. Ia cepat-cepat menuntaskan percakapan mereka malam itu.

“Dani? Dani? Dani, kenapa? Hei, ada apa? Dani? Dani?” Marc meninju kursi kayu yang ia duduki sebelumnya saat mengetahui Dani telah memutuskan telpon mereka.

***

Peluh menjadi bukti bahwa pria itu telah setengah mati berkeliling di sini. Marc berhenti di bawah sebuah pohon berdaun menyirip yang lebat. Ia mengusap buliran air asin (apabila dicicipi oleh lidah) yang bergelantung di keningnya. Mata Marc berkeliaran liar ke seluruh sisi seolah tengah mencari mangsa yang tepat.

Dani, sungguh, kau ada di mana? lafal Marc membatin.

Marc memang akan menemui Dani tepat jam 10 di tempat biasa persis seperti yang dikatakan pria itu semalam. Namun entah kenapa, Marc merasa ada sesuatu yang aneh dengan sahabatnya itu dan ia memutuskan untuk mencari Dani di kampus terlebih dahulu. Siapa tahu Dani ada di kampus dan ia tidak perlu repot-repot menemui pria itu lagi. Dan jikalau pun tidak ada, Marc akan berusaha  menerima bahwa ia telah membuang tenaga untuk sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Namun, namanya saja sudah penasaran, Marc tidak sabar untuk bertemu dengan sahabatnya itu.

Kampus memang menjadi tempat di mana Dani sering menghabiskan waktu selain rumah. Bahkan, pria itu pernah sampai mengatakan bahwa kampus adalah rumah kedua baginya. Dani lebih memilih untuk setia berada di kampus walaupun tidak melakukan apa-apa dan hanya berdiam diri daripada menerima ajakan Marc untuk menemaninya memilihkan buku pada suatu hari.

Jika kebanyakan orang akan pulang ke rumah secepat yang ia bisa ketika semua urusan di kampus selesai, Dani akan menunda kepulangannya selambat yang ia bisa.

Marc menggesekkan gigi sembari memutar kepala ke belakang. Matanya yang sudah menyala kini menyipit tak percaya, menyiratkan sesuatu yang berbeda. Apa benar itu mereka? Sungguh, itu adalah Dani Pedrosa sahabatku? Apa yang ia lakukan di sana? Bagaimana bisa? Marc bertanya-tanya.

***

“Hei, aku Marc Marquez. Siapa namamu?”

“Hm, aku Dani. Dani Pedrosa.”

“Bagaimana aku bisa memanggilmu? Dani? Pedro?”

“Panggil aku Dani.”

“Hm, begitu. Dan kau bisa memanggilku Marc.”

“Ah, ya, Marc. Marc Marquez.”


Bagaimana semua berawal antara dirinya dan Dani terngiang-ngiang di otak Marc. Ia menggelengkan kepala, tak habis pikir bagaimana Dani bisa merubuhkan segalanya.

“Maaf aku terlambat 10 menit. Kau sudah lama menunggu?” sapa Dani yang tiba-tiba datang dari balik punggung Marc hingga membuat pria itu tersentak dan bahunya terguncang.

Marc melirik Dani dengan sorot mata tajam selama beberapa detik sebelum memutuskan untuk mengalihkan wajah, tiba-tiba merasa muak dengan sahabatnya itu.

“Jadi, begini?”

“Apa?” Dani menyambungkan kedua alisnya, heran dengan tingkah Marc yang tak biasa dan raut masam yang jarang sekali terpampang di wajahnya.

“Rupanya begini caramu. Bodoh sekali aku.”

“Apa yang kau bicarakan? Cara apa?” Dani yang semakin kebingungan mencondongkan tubuh ke depan, berusaha untuk lebih dekat.

“Berhenti berpura-pura, Dani. Kau lebih menyedihkan dari aku dan lebih buruk dari seorang pembunuh sekalipun!” bentak Marc mulai habis sabar.

“Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba seperti ini?” Dani yang bagaikan tersambar petir buru-buru memundurkan punggung dan keluar dari jangkauan Marc, tak ingin pria itu kalap dan melakukan sesuatu yang buruk terhadap dirinya.

“Kau, orang yang sangat aku percaya, sahabat tunggalku sejak kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah menengah, telah meruntuhkan semuanya dan mendorong diriku ke jurang.” Mata Marc yang berkilat berbagai macam perasaan itu pun meluncur ke pangkuannya. “Kau tidak sadar atau sedang berpura-pura? Aku sudah muak, Dani.”

“Marc … Apa …”

“Kau berkhianat, kan?”

Teng!

Dani seolah terjun ke laut lepas. Dunia bagaikan ditelungkupkan. Oksigen serasa punah mendadak. Rahangnya mengeras, hingga selama beberapa detik ia tidak bisa menggerakkannya. Cara dan nada suara Marc yang lembut seolah menembus jantung Dani dan membuatnya bolong. Tiba-tiba Dani menyadari bahwa ia lebih suka cara Marc memukul atau bahkan membunuhnya langsung daripada mengikis dirinya perlahan-lahan dengan nada suara lembut namun menghantu.

“Kau menyarankanku untuk mengungkapkan padanya, namun lihat apa yang terjadi di sini. Kau menikamku dari belakang, Dani. Kau menghancurkan segalanya. Apa kau sadar dengan ini berarti kau juga telah meruntuhkan persahabatan kita? Apa kau tahu apa yang telah kau lakukan, hah? Apa kau tahu, Dani? Apa kau gila?!” Nada suara Marc meninggi walaupun ia masih bisa mengontrol. Marc belum lepas kendali. “Aku melihatmu bermesra bersama dirinya di kampus. Itu cukup menjadi bukti bahwa kau dan aku selesai. Kita bukanlah sahabat lagi.”

“Marc, tunggu. Marc …” Tangan Dani terulur untuk memaksa Marc diam di tempatnya.

“Apa lagi, Dani? Pergilah bersamanya. Kau berbahagialah. Bersenang-senanglah.” Marc menarik lengannya dan menghempas tangan Dani begitu saja. Bibir pria itu berkerut dan bergetar.

“Aku sudah menunggu cukup lama untuk ini. Aku bersabar menunggumu untuk mengungkapkan padanya dan aku bersedia mengalah. Aku sudah menyarankan padamu dan aku berteriak dalam hati setelah melakukannya. Aku bertanya pada diriku sendiri apa aku melakukan hal yang benar. Aku bahkan menunggu lebih lama sampai kau benar-benar tidak melakukannya setelah saran dariku. Aku … apa aku bersalah, Marc? Apa aku berkhianat padamu? Katakan, apa aku seharusnya menunggu lebih lama dan tidak melakukan apapun untuk hidupku sendiri? Katakan padaku, Marc. Katakan.” Mata Dani berbinar-binar.

“Ya, kau bersalah karena kau tidak pernah memberitahukannya padaku, Dani! Apa kau tidak sadar itu?!” Marc tercekat karena menahan napas di tenggorokan. Ia menatap ke kejauhan dengan mata kosong.

“Itu karena aku tahu bahwa kau juga mengaguminya dan aku akan mengalah demi dirimu. Aku rela jika kau yang memilikinya dan aku hanya menatapi kalian. Tapi, saat itu tidak pernah datang dan aku mulai gerah karena kau terlalu takut, Marc. Kau tidak tegas dan terus saja berpikir hal yang seharusnya sudah kau lakukan sejak lama. Kau menyia-nyiakannya. Kau membuang kesempatan beruntunmu, Marc. Tapi, aku mencintainya dan … dan, dan …”

“Dan kau mendahuluiku, hm? Dan kau rela mengorbankan aku demi seorang gadis? Dan kau telah bermesra bersama dirinya di belakangku, begitu? Dan kau sudah bersenang-senang? Dan kau telah membuktikan bahwa aku memang penakut? Iya? Itu yang ingin kau katakan, Dani?!” sambar Marc mulai kalap. Telapak tangannya perlahan-lahan membulat. Sisi bengis melingkupi Marc.

“Dan aku melakukan usaha untuk orang yang kucintai. Bukan aku yang mengorbankanmu, Marc. Tapi, kaulah yang tanpa sadar telah melakukannya. Apa kau pernah terpikir bahwa kau telah mengorbankan orang yang kau kasihi? Apa kau sadar bahwa kau telah menyia-nyiakannya dengan terus saja berdiam? Apa kau tahu bahwa kau telah … telah, telah bertindak bodoh dan melakukan kesalahan besar?! Apa kau tahu itu, Marc?” cecar Dani tak mau kalah. Ia merasa dirinya tidak melakukan apapun yang merugikan Marc. Ia percaya bahwa ia tidak berkhianat. Dani yakin ia berada di posisi yang benar.

“Apa tujuanmu mengajakku kemari?” tanya Marc mengalihkan pembicaraan.

“Aku ingin memberitahu tentang kami. Baru empat hari semua ini dimulai. Aku … aku ingin menyampaikannya padamu dan awalnya aku berniat untuk meminta maaf. Namun, sekarang, aku tidak tahu apa aku akan melakukannya atau tidak. Kini semua kuserahkan padamu, Marc. Kami sudah bersama dan aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Aku tidak akan melakukan kesalahan apapun lagi dalam hal ini. Aku … jika kau tetap ingin memutuskan persahabatan ini … jika kau tetap marah dan akan membenciku selamanya, jika kau tetap bersikap begini, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Semua adalah hakmu. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih telah menjadi sahabatku dan untuk semua yang telah kau lakukan padaku. Aku, Dani Pedrosa, tetap akan menganggapmu sebagai sahabat sampai detik terakhir waktuku di dunia ini. Kau adalah temanku, Marc … Marc Marquez Alenta.” Dani meremas bahu Marc dan langsung berjalan di samping pria itu, meninggalkan dirinya yang masih tak bergerak di tempat.

Berbagai macam perasaan membuncah di dalam diri Marc. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Dani adalah sahabatnya sejak lama, namun luka hati akibat pengkhianatan tak sebegitu mudah dihapus. Sungguh, dilema lebih besar telah datang dan melanda seorang Marc Marquez.

“Dani?” panggil Marc yang terdengar hampir seperti bisikan.

Dani yang mendengar samar-samar namanya dipanggil tak refleks berbalik. Ia mematung selama beberapa detik sementara tubuhnya menggelenyar.

“Berbaliklah,” pinta Marc.

Dani tidak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari Marc. Tidak, tidak pernah selama Marc untuk pertama kali hadir di dalam hidupnya. Takdir bekerja. Tuhan telah merencanakan hal lain yang tak terduga.

“Kumohon, jangan pergi. Kau sahabatku dan begitu pula aku. Kita akan selamanya seperti ini. Persahabatan kita takkan pernah putus sampai ujung hayatku. Maafkan sikapku sebelumnya. Aku tidak sepatutnya berkata seperti itu. Kau … tetaplah di sini dan menjadi sahabat juga pengingatku. Kita saling mengingatkan dan aku berjanji akan mengubah sifatku. Aku … aku, ingin …” Kata-kata Marc terpotong seketika. Mendadak ia ragu mengucapkan. “Aku, ingin … kau melakukan apapun yang seharusnya kulakukan untuknya. Berjanjilah untuk mempertahankan dan memberinya yang terbaik. Berjanjilah untuk berbahagia bersamanya. Bersenang-senanglah, Dani,” ucap Marc, berusaha keras untuk berbesar hati.

“Aku berjanji. Aku akan melakukan apapun hingga kau mendapatkan gadis yang paling tepat untukmu. Apapun yang kubisa dan kapanpun, Marc. Kita sahabat, selamanya sampai napas terakhir kita,” balas Dani tulus, turut mencurahkan isi hatinya.

Marc tak dapat mencegah seringai bahagia terulas di bibirnya. Ia senang. Walaupun ia gagal mendapatkan gadis pujaan yang telah ia kagumi sejak dua tahun lebih, namun ia berhasil mempertahankan sebuah hubungan yang jauh lebih erat dan kuat daripada sekadar hubungan yang belum tentu akan berakhir permanen. Marc telah mengikhlaskan semuanya. Ia mempercayakan gadis itu di tangan orang yang tepat. Ia percaya seutuhnya pada Dani. Dan ia yakin Dani bisa memegang kepercayaan besar yang ia berikan padanya.

Garis haru berkilat di mata Dani saat ia mempererat pelukan mereka.

Terima kasih, Marc. Terima kasih telah menjadi sahabatku untuk sekarang hingga selamanya. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih telah membuat semua berjalan jauh lebih baik dari yang pernah kubayangkan. Kita selamanya, Marc. Aku, Dani Pedrosa dan Marc Marquez Alenta. Dani bergumam seraya menepuk-nepuk punggung Marc ramah.


END

Comments

  1. "Persahabatan itu bukan hanya saling percaya, namun seberapa sanggup dirimu memegang kepercayaan tersebut" - bener bangett! :) nice post!

    From Bali, Indonesia - with love, Imme ❤
    http://immekristiani.blogspot.com/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you for visit my blog ;). I'll visit your blog too..

      Delete
  2. Ghaisa, aku nggak nyangka endingnya bakalan kek begini. Keren dan bikin terharu :') jngan lupa tag aku kalau ada cerita baru ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
    2. Thank you for reading and comment yaa kak ;) hehe.. oke, oke kak.. tag aku juga ya kak kalo ada cerita baru :)

      Delete
  3. wahh so sweet bg marc sama dani ~('v')~ sungguh cinta persahabatan itu emang sangat baik dari pada cinta yang lain pengen deh punya sahabat kayak merekaa :D ku kira akhir nya marc bakal jadian ternyata tidakk :D ceritaa nyaa bgss good job ;)

    ReplyDelete

Post a Comment