TWOSHOT : Strange Thing #1

Hi..

Finally, I post this new fanfiction. Alhamdulillah. But, ending-nya tetap belum aku tulis sama sekali, masih menimbang-nimbang akan gimana. As always, aku berharap cerita ini dapat menghibur orang yang membacanya. Segala jenis komen selalu aku tunggu jika ada yang bersedia memberikan komentar. Thank you and happy reading :)  




“Tarik benangnya, Rachel!”

“Aku tidak bisa, aku tidak mengerti.”

“Ayolah, apa yang kau lakukan?”

“Sungguh, aku tidak mengerti cara memainkannya. Cepat ke sini!”

“Kau sungguh tidak mengerti?”

“Aku sungguh tidak mengerti.”

“Begini cara memainkannya. Kau harus menarik benangnya seperti ini.”

“Aku tidak pernah bermain layangan, aku hanya sering melihat orang lain memainkannya.”

“Kalau begitu, aku akan mengajarimu. Pegang tanganku.”

“Hei, lihat layangannya! Layangan kita menari, Marc. Kau melakukannya, kau berhasil menerbangkannya dengan tinggi!”

“Bukan aku, tapi kita. Kita yang melakukannya. Sekarang pejamkan matamu dan bayangkan. Bayangkan jika kau menjadi layangan dan aku menjadi benangnya. Kita melayang, kau dan aku, bersama-sama, kita terbang tinggi, Rachel.” 

 
Plaaak!!

Sebuah telapak tangan mendarat dengan kasar di pundak pria itu. Marc kembali ke alam nyata, lamunannya buyar seketika.

“Demi Tuhan, Dani!! Kau ingin membunuhku?” Marc terpejam dan refleks memegangi dadanya, menahan jantungnya agar tetap berada dalam posisi semula dan tidak meloncat keluar. Ia mengatur napasnya.

“Aku tidak perlu repot-repot membunuhmu, Marc. Kau akan mati bahkan sebelum aku menyentuhmu,” sahut pria dengan nama akrab “Dani” itu enteng. Seulas senyum jail muncul dari sudut-sudut bibirnya.

Marc mengambil napas sekali lagi, sebelum menyembur Dani dengan bentakan, “Apa kau bilang?!”

“Yah, kau akan mati bahkan sebelum aku sempat membunuhmu.” Sepasang alis mata Dani yang tebal namun berantakan itu pun tertarik secara bersamaan ke atas. Rahangnya terus bergoyang-goyang, bergerak ke segala arah.

“Maksudmu?”

“Hah, payah.” Dani memuntahkan permen karet yang sudah bersarang di mulutnya sejak lima belas menit yang lalu ke dalam sebuah tempat sampah yang berdiri di ujung. Ia kembali berjalan ke arah Marc, menggali tatapan mata pria itu yang tajam namun tetap berkesan positif, lalu menepuk pundaknya sekali lagi. “Apa yang kau pikirkan tadi?”

 “Apa yang kupikirkan? Tidak ada.”

“Ingat sudah berapa lama aku menjadi teman baikmu?”

“Hah?” Mulut Marc terbuka selama beberapa detik saat otaknya mencerna dan menerka-nerka apa maksud pria di hadapannya ini. Sudah berapa lama mereka menjadi teman baik? Memangnya kenapa? “Sebenarnya kau ini ingin mengatakan apa?” ungkap Marc to-the-point. Sebelah alis mata pria itu terangkat lebih tinggi dari yang lain. Jakunnya menonjol kedepan saat ia menenggak ludah dengan susah payah.

“Hah, kau ini.” Dani mengacak-ngacak rambutnya, merasa gemas dengan sikap terlalu polos dan ketidakpekaan sahabatnya itu. Tunggu, apakah ia memang polos dan sama sekali tidak mengerti atau orang keras kepala itu hanya berpura-pura dan memamerkan modalnya untuk menjadi seorang aktor? Entahlah. Terkadang Marc memang begitu. Satu sifat buruk dari beberapa sifat negatif lain dalam diri Marc yang paling dibenci oleh Dani. Marc lihai berpura-pura. Jika ada orang asing yang berbicara dengan pria itu dan ia berbohong, mungkin orang malang itu tidak akan sadar jika ia telah masuk dalam jurang kebohongan yang diciptakan oleh seorang Marc Marquez. Namun, meskipun ia mempunyai bakat (yang dalam keadaan tertentu bisa saat menguntungkan) itu, Marc hampir tidak pernah memanfaatkannya untuk hal-hal yang merugikan orang lain, kecuali jika ia telah dirugikan terlebih dahulu. Begitupun Marc masih bisa mengendalikan dirinya. Ia tahu harus seberapa jauh membohongi seseorang. Ia tidak akan berpura-pura untuk sesuatu yang besar (walaupun ia pernah sekali mengambil keputusan besar dengan dasar kebohongan). Marc tahu benar karakter dirinya sendiri. Ia sangat mengenal kepribadiannya.

“Begini, Marc. Sudah berapa lama kau menyimpan perasaan itu? Sejak kapan kau mulai menyukainya?”

“Menyukai siapa? Gadis itu?”

“Apa aku tampak menanyakan sejak kapan kau mulai menyukaiku?”

Marc mendengus kesal, tiba-tiba merasa bodoh karena ulahnya sendiri. Memangnya siapa lagi yang ditanyakan oleh Dani selain gadis itu? Apakah ia mempunyai orang lain selain gadis itu dalam hatinya yang memungkinkan Dani untuk menanyakannya?  Marc memang pintar, tapi terkadang ia juga bisa bersikap bodoh di saat-saat tertentu. “Aku … hmm, mungkin sekitar dua tahun. Ya, kurang lebih dua tahun.” Marc mengedikkan bahu sembari memutar bola mata. Ia mengentakkan dagu. 

“Kau akan mati jika memendamkannya lebih lama lagi,” ungkap Dani yakin, seolah-olah ia adalah seorang peramal dan tahu persis apa yang akan terjadi di masa depan. Tubuh pria itu berputar, mendarat dengan mulus di atas sebuah kursi panjang tak bermotif dengan bahan dasar kayu yang sengaja ditempatkan di bawah pohon lebat tak jauh dari posisinya sekarang.

“Kau sungguh berpikir begitu?”

“Tentu saja. Memangnya kau tidak berpikiran serupa? Akuilah, Marc. Dadamu sakit kan tiap kali kau selalu memandanginya dari kejauhan? Kau berharap bisa lebih dekat dan menjadi kekasihnya, kan? Kau bermimpi untuk menjalani hari-harimu dengan dia di sampingmu, kan? Ayolah, Marc, berani sedikit. Lihat dirimu, kau tampak seperti tikus yang selalu lari terbirit-birit tiap kali tertangkap basah tengah memandanginya. Kau menyedihkan, kau tahu?” Dani menimpa paha kaki kirinya dengan kaki yang lain. Ia merogoh-rogoh saku celana seolah tengah mencoba menemukan sesuatu.

Meskipun sesungguhnya Marc merasa emosinya tersulut hingga ke ubun-ubun pasal disamakan dengan seekor tikus, hati kecilnya tak menampik apa yang dikatakan Dani adalah suatu kebenaran. Ia memang selalu tidak berani mengungkapkan perasaannya. Hatinya menciut tiap kali ia akan melangkah untuk menemui gadis itu dan menentukan nasib percintaannya sendiri. Jantungnya seolah melompat hingga ke tenggorokan saat ia akan mendekati gadis itu. Dirinya seolah ingin meledak ketika sebentar lagi akan membuat keputusan untuk masa depan percintaannya. Ia sungguh tidak memiliki keberanian. Ya, ia memang menyedihkan. Dani benar.Tapi, jika keadaannya dibalik, apa Dani cukup berani untuk menemui gadis yang sudah dikaguminya sejak dua tahun terakhir dan mengungkap semuanya saat ia sama sekali tidak pernah bicara dengan gadis tersebut? Bahkan, mungkin gadis itu pun tidak mengetahui namanya. Sudah pasti gadis itu mengetahui dirinya mengingat ia sudah beribu kali tertangkap basah tengah mencuri pandang, namun apa gadis itu pernah tahu tentang dirinya selain wajahnya yang selalu tampak gugup dan seperti orang bodoh itu saat ketahuan tengah memancangkan tatapan? Ah, cinta memang rumit. Apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi gejolak perasaan ini? Sungguh, cinta adalah hal teraneh yang pernah diciptakan.

Marc menghela napas sembari mengusap pelipis. “Jadi, menurutmu aku harus bagaimana? Apa hal terbaik yang bisa kulakukan sekarang?”

“Ungkapkan padanya.”

“Kau bicara seolah-olah itu adalah hal mudah. Apa kau tidak berpikir bagaimana rasanya jika berada di posisiku? Ini sulit, Dani. Cinta begitu rumit. Kau tidak mengerti,” curah Marc. Pria itu berbalik dan menghempaskan bokong di atas kursi yang sama seperti yang Dani duduki.

“Dan kau berbicara seolah-olah hanya kau yang pernah jatuh cinta dan aku tidak.”

“Ini berbeda. Kasus percintaanmu jauh lebih mudah,” sinis Marc.

“Hanya ada dua kemungkinan dalam percintaan. Jika tidak berjalan mudah, maka akan terasa sulit. Manusia yang menentukan. Kita sebagai orang yang mencintai dan dicintailah yang akan memilih untuk memudahkan atau bahkan menyulitkannya. Jika kau mengatakan kisah percintaanku mudah, itu karena aku yang memudahkannya. Dan jika kau merasa kehidupan percintaanmu sulit, itu karena kau sendiri yang membuatnya terasa sulit. Mengapa tidak kau ringankan saja semua ini? Kau yang memegang kendali, Marc. Kau yang membuat semua ini menjadi rumit. Lantas, mengapa yang kau salahkan adalah kisah percintaanmu? Mengapa tidak kau salahkan saja dirimu sendiri? Kau adalah seorang pembuat keputusan dalam kasus ini. Pilih menjadi mudah atau sebaliknya. Tentukan bagaimana ini akan berjalan. Mudah atau sulit, semua ada di tanganmu.” Dani berhasil menemukan satu permen karet lagi di dalam sakunya. Dengan cekatan ia mengupas pembungkus permen dan langsung beranjak.

“Kau mau ke mana?” Kepala Marc refleks mendongak. Tangannya langsung menyambar lengan bawah Dani guna menghentikan langkah pria itu.

“Membuang bungkus permen karet,” sahut Dani ringan. Matanya tak sedikit pun meladeni tatapan Marc yang ditembakkan padanya.

Marc menyilangkan jari-jemari sementara kepalanya meluncur ke bawah di antara jarak kedua pahanya, tampak seperti tengah menenggelamkan wajah. “Kapan waktu terbaik untuk bertindak?” tanya Marc saat menyadari kursi yang didudukinya tertekan.

“Besok. Paling lambat besok lusa,” tukas Dani tanpa basa-basi sembari memutar kepala ke kiri dan kanan bawah hingga hampir menyentuhkan telinga dan bahu. Terdengar bunyi kecil saat pria itu memainkan kepalanya.

“Kau gila?!” Bukan maksud Marc untuk berbicara dengan nada tinggi pada sahabatnya itu, namun suaranya menguap begitu saja tanpa bisa dikontrol. Mata Marc membulat seketika.

“Terkadang cinta memang bisa membuat orang menjadi gila.” Dani mencebikkan bibir bawahnya, matanya masih belum membalas tatapan Marc dan tetap lurus ke depan.

“Bagaimana jika hasilnya diluar ekspektasi? Bagaimana jika hal buruk terjadi? Apa menurutmu ia akan menganggapku sebagai orang aneh dan menjatuhkan harga diriku bulat-bulat?” Ada sesuatu yang menyala di mata Marc. Ia berkelap-kelip bak kunang-kunang di malam hari.

“Aku tidak menyarankanmu untuk memintanya menjadi kekasih. Aku hanya mengatakan bahwa kau harus mengungkapkan padanya. Namun, bagaimanapun juga, itulah yang dinamakan risiko, Kawan. Bersiaplah untuk hasil terbaik dan terburuk sekaligus. Aku hanya bisa memberi saran. Sekali lagi semua kembali padamu,” ujar Dani mengakhiri pembicaraan mereka. Ia memukul ramah punggung Marc dua kali sebagai salam perpisahan sebelum akhirnya menyelami sepasang bola mata pria itu dalam-dalam selama beberapa detik. Seulas senyum tipis terulum dari kedua sudut bibirnya.

Sementara Marc, di sini, masih tak bergeming dan memperhitungkan baik-baik perkataan Dani tentang bagaimana ia harus membuat semua menjadi lebih mudah. Besok? Secepat itukah? Benarkah ia harus mengakhiri pemendaman perasaan selama dua tahun ini? Sungguh? Apakah ia harus mengambil keputusan sebesar itu dalam waktu duapuluh empat jam dari sekarang? Apa ia masih bisa dikatakan mempunyai akal sehat jika meminta seorang gadis untuk menjadi kekasihnya di mana mereka sama sekali tidak pernah bicara sepatah kata pun? Apa gadis itu akan percaya dan mengiyakan perasaannya? Ah, entahlah.

Marc mengobrak-abrik rambutnya sendiri di tengah-tengah lilitan frustasi yang kian berkuasa. 



To Be Continued..

Comments

  1. Ghaisa..., sumpah demi apa, nih keren banget, dan aku suka karakter Dani di sini. Aku selalu suka gaya penulisanmu Ghaisa ;) cepet dilanjut ya, oh ya, BTW tag I twitter yak, biar aku tau gitu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you so much for reading and comment, kakak :D hehe, oke, oke, nanti part 2 aku tag di twitter :)

      Delete

Post a Comment