STORY : Curahan Hati Seorang Penggemar #1

Alhamdulillah, akhirnya bisa nge-pos di blog lagi dan selesai juga masalah cerita ini (setelah dipendam selama berminggu-minggu._.). Ide cerita ini muncul dari pengalaman pribadi, mirip-mirip dengan yang author-nya alami. Awalnya sempat ragu buat nulis cerita CHAPTER, karena cerita CHAPTER yang aku buat selalu gantung di jalan, tapi akhirnya sok-sok berani lagi buat cerita CHAPTER, gatau bagaimana kedepannya, mudah-mudahan saja berjalan lancar, ide datang menghampiri, dan mood author-nya tetap terjaga, hehe. Oke, sekian saja, happy reading. Seperti biasa, aku selalu menerima komentar apapun yang datang. Terima kasih :) 



Gadis itu tak lagi duduk dengan sempurna. Bokongnya sudah merosot dan tidak lagi penuh menindas paha kursi yang empuk. Tulang ekor gadis itu sudah berada persis di ujung kursi, siap meluncur ke bawah jika sang pemilik tubuh bergerak sedikit saja. Punggung gadis itu lurus tegak bak patung yang berdiri kokoh di sebuah museum. Tengkuknya lembap, dilapisi oleh keringat deras yang belum lelah mengucur hingga membasahi helain rambut di daerah lehernya. Mata gadis itu membulat, tidak berkedip jika matanya belum terasa panas. Wajahnya kaku, tidak berekpresi apapun selain menampakkan segaris dua garis gurat tegang.

Tepat ketika seseorang bernuansa oranye yang menembus layar televisi menyentuh garis finish, dengan gaya yang selalu menjadi ciri khasnya–punggung yang menunduk, sebelah tangan mengepal bagai ingin melayangkan tinju, kepala yang dinaik-turunkan, berdiri di atas tumpuan motor sambil menggoyang-goyangkan punggung tangan, menyapa para penggemar, dan bahkan sampai menggenjot-genjotkan motor–suara gadis itu menggelegar, memecah keheningan dan menggetarkan dinding rumah, membuat siapapun yang berada seruangan dengan dirinya menekan telinga, memejam sekaligus mengerutkan mata, bahkan sampai meringis dan mengertakkan gigi, tak ingin rahang mereka runtuh akibat teriakan gadis itu.

“Marc Marquez!!!!” Gracie refleks berdiri, mengangkat kedua tangan hingga menampakkan lingkaran tipis keringat di bagian ketiaknya, menengadahkan kepala menghadap langit-langit, lalu meloncat-loncat girang bagai anak kecil yang berhasil mendapatkan permen, cokelat, atau apapun yang mereka inginkan.

“Tuhan!! Ampun, Grace!!” Seorang pria yang tengah duduk di sudut ruangan meraung, kepalanya bergetar dan kemerahan tampak jelas membalut permukaan kulit wajahnya. Kontras sekali jika dibandingkan dengan warna kulit wajah normalnya yang putih bersih.

“Demi apapun yang ada di dunia ini, kau benar-benar membuatku tuli, Grace!” Pria lain yang tengah bersantai di salah satu sisi ruangan ikut meronta, bergabung dengan pria sebelumnya dalam menyuarakkan aksi protes. 


“Grace, apa-apaan kau ini?” Wanita paruh baya yang masih tampak sangat fashionable itu pun ikut meluapkan perasaan terganggu, menjulurkan kepala dari balik majalah wanita yang tengah dibacanya.

“Grace, jangan berteriak begitu, Sayang,” lanjut seorang laki-laki berusia sekitar empat puluhan dari sudut lain ruangan, berseberangan dengan pria pertama yang memprotes. Laki-laki itu adalah satu-satunya dari manusia lain dalam ruangan itu yang merasa terganggu namun tidak menunjukkan ekspresi atau tindakan berlebihan. Hanya sekadar menguapkan nasihat ringan tanpa menoleh sedikit pun. Tampak tenang dan menyinarkan kewibawaan.

“Ayah, Ibu, Dexter, Andy, Marc menang!! Marc-ku menang, Andy!! Marc menang!!!” Gracie berputar, tanpa pikir panjang langsung mengupas jarak antara dirinya dan kakak keduanya–Andy–lalu dengan segera memeluk serta menancapkan kecupan penuh kebahagiaan di salah satu sisi pipi pria itu, meninggalkan setitik dua titik air liur yang menempel di sana.

“Aku benci melihatmu kerasukan begini, Grace!! Ah! Menyingkirlah dariku!!!” gerutu Andy, menggosok-gosokkan lengan kaus biru mudanya ke sepanjang rahang dan pipi, memusnahkan kotoran yang sempat disematkan oleh gadis itu.

Gracie terlalu bahagia untuk menghiraukan kata-kata kasar pria itu, jadi ia langsung berlari kecil menghampiri kakak tertuanya, masih dengan raut wajah berseri-seri bak bintang yang bersinar terang di tengah gelapnya langit malam, mengulangi tingkah kekanakannya. “Kau lihat Dex, Marc menang! Marc menang!! Haha, aku bahagia sekali! Marc menang!!” Gracie memperlambat tempo bicaranya di ujung, mengikuti keratan lengannya di seputar dada pria itu.

“Ya, ya, terserahlah, apapun itu. Dia menang ataupun tidak, sama sekali tidak mempengaruhi hidupku. Sekarang bisa kau jauhkan lenganmu dariku?! Aku bahkan tidak bisa bernapas karena kekonyolanmu ini, Grace!! Enyahlah!” bentak Dex, mendorong mundur tubuh Gracie, berbalik, bermanuver ke kiri, sebelum akhirnya membanting pintu kamar keras-keras hingga menyentak seluruh penghuni rumah. Tidak peduli perihal ayah dan ibunya akan menegur atau bahkan memarahi dan mengajarkannya tentang kesopanan lebih jauh. Itu masalah besok. Masalah belakang. Tidak perlu terlalu diambil pusing. Sekarang adalah waktu untuk bersantai. Menikmati waktu sendiri di dalam kamar yang nyaman dan hangat, bukannya menjadi santapan keanehan gadis itu. Benar-benar menyebalkan!

“Dex!!” panggil Stella, bangkit setengah dari kursinya.

Tidak ada respons. Hanya desiran gorden yang meliuk ke kanan dan ke kiri secara bergantian akibat embusan angin malam. Senyap mengisi udara selama beberapa saat.

Gracie mendengus, mendorong bibir ke depan, menghentak lantai hingga kakinya terasa sedikit kram, kemudian berteriak di menit kedua, merobek kesenyapan yang sempat berkuasa, “Huh, kau memang tidak bisa melihat orang lain senang, Dex! Berlama-lamalah di dalam kamarmu itu!! Terpendamlah di dalam sana!! Pergilah!! Hah! Dasar!!” maki Grace.

“Bukan Dex yang tidak bisa melihat orang lain senang, justru kaulah yang bersikap demikian, Grace!” sambar Andy, sebelum sempat memberi waktu bagi Gracie untuk melangkah. Pria itu bangkit, mendorong kursi dengan lekukan di antara paha dan lutut, berputar, lalu mengulangi suara hentakan pintu kamar dengan keras.

Sementara Stella dan Richard hanya bisa melongo melihat tingkah berbeda versi anak-anak mereka. Jika mulut bukanlah anugerah dari Tuhan, mungkin alat untuk berbicara itu sudah terkoyak sejak lama sekali. Beginilah hampir setiap akhir di Minggu malam. Sesungguhnya, ini bukanlah suatu kesalahan penuh atau semacam keegoisan dari kedua pria tersebut (walaupun Dex mungkin terlalu berlebihan), namun akhir kegetiran ini disebabkan sendiri oleh anak paling konyol sekaligus paling bungsu dari keluarga tersebut. Ya, Gracie Adkins Hollinger Graham sering tidak bisa mengendalikan diri dan hilang kontrol tiap kali menyaksikan seorang Marc Marquez menembus layar televisi. Lebih tepatnya saat menyaksikan pria itu menyelebrasikan kemenangan. Gadis itu terlalu membiarkan perasaannya terkubur semakin dalam untuk seseorang yang bahkan sama sekali tidak pernah mengenalnya. Ironis, memang.

Maka, sembari memejamkan mata, Gracie kembali menggali perasaan riang dari dalam dirinya yang sempat hilang samar-samar, mulai duduk, mengabaikan sikap “kasar” kedua kakaknya tersebut, menganggap semua ketegangan tadi tidak lebih dari sekadar angin lalu, dan lagi mendorong diri sendiri masuk dalam gelombang euforia kemenangan seseorang tak terjangkau itu. Dari sini, dari rumahnya yang bahkan tak diketahui oleh pria itu, dari kursi ini, dari suatu tempat yang tidak terlihat baginya, dengan senyum yang bertengger.

***

Gadis itu bahkan belum sempat menimpakan kakinya di atas lantai bermotif heksagonal berwarna cokelat terang yang sudah terbentang mulus di hadapannya, saat suara-suara berbeda menghujaninya dari banyak penjuru. Suara dengan ciri khas masing-masing dan dibungkus dalam nada menuntut, terdengar bersemangat.

“Hai, Grace! Kau menonton televisi semalam?” tanya seorang pria berbadan gempal dari  salah satu sisi ruangan, menempelkan punggungnya yang berlemak di dinding polos yang sewarna madu.

“Bagaimana hasilnya? Kau melihatnya?”

“Tidak perlu ditanya lagi, aku berani bertaruh seluruh uang sakuku bahwa Gracie pasti melihatnya!” sambut seorang laki-laki berbadan atletis sembari berjalan ke arah gadis itu.

“Siapa pemenangnya Grace? Dia lagi?”

“Apa ada kejutan dari seri semalam?”

 “Masuklah, katakan pada kami bahwa si semut sialan itu tak lagi berdiri di podium tengah semalam!” desak si kurus dari sudut ruangan. Tampak begitu kecil dan terisolasi. Matanya yang cekung semakin terlihat samar-samar, namun masih menyiratkan sinar keingintahuan yang luar biasa.

“Bagaimana? Apa ada perbedaan?

“Hai, Grace, masuklah,” ujar seorang gadis dari salah satu sisi ruangan di bawah bingkai jendela, tampak tenang dan santai. Ia adalah orang pertama dari lumayan banyaknya manusia di ruangan ini yang menyambutnya secara umum. Maksudnya, sama sekali tidak mengungkit masalah hobi gadis itu dan miskin unsur keingintahuan dari nada suaranya.

Tanpa menunggu lebih lama dan semakin mengoleksi berbagai macam pertanyaan yang pada dasarnya bertujuan serupa, Gracie langsung menindas lantai kelas dan berteriak, “Marc Marquez adalah pemenangnya!!” Sepasang lengan gadis itu terkembang ke udara, menarik seragam sekolahnya yang telah dipersiapkan rapi-rapi dan menciptakan beberapa kerutan di bagian tertentu seragam tersebut.

“Haaaaa.”

“Dia lagi, dia lagi!”

“Tidak adakah orang lain yang bisa menggeser posisinya?”

“Sungguh?”

“Benarkah, Grace?”

“Bagaimana dengan posisi runner-up?”

“Siapa yang menempati podium ketiga?”

“Apa ada kecelakaan parah semalam?”

“Dia lagi? Hah!”

“Dasar, semut!”

Setiap orang meluapkan respons masing-masing. Sebagian dari mereka yang sebelumnya terlihat antusias, kini berubah sepele. Garis aku-bosan-seperti-itu-terus bergabung dengan syaraf-syaraf wajah mereka, membentuk raut wajah baru yang malas. Memang, tidak satu pun dari penghuni kelas ini merupakan sesama Gracie (dalam definisi sama-sama penggemar Marc Marquez). Kebanyakan dari mereka merupakan penggemar setia sepak bola dan hanya satu dua kali menyaksikan live race di televisi. Mereka juga sama sekali tidak memiliki pembalap andalan selain hanya senang menikmati jalannya balapan sesekali dan berseru-seru ria saat terjadi kecelakaan hebat yang menyebabkan korbannya harus menghantam dinding pembatas sirkuit dan terpaksa ditandu.

“Memangnya kenapa jika Marc memenangi seri semalam? Apa ada yang salah?” ketus Gracie, terlalu dalam menanggapi respons negatif.

“Sesungguhnya itu bukan suatu masalah, hanya ... yah, hanya saja ... hmm, kami bosan. Tidak bisakah ia memberi kesempatan pada orang lain?” sahut si jangkung berambut pirang, ringan, sambil mempreteli kuku jari tengahnya. 


“Bukankah kalian selalu senang dengan pembalap yang banyak meraih kemenangan? Lalu? Di mana titik salahnya?” dengus Gracie sekali lagi, menikung dan langsung mendarat di atas sebuah kursi paling ujung.

“Sudah kukatakan itu bukan suatu masalah dan tidak merupakan kesalahan, hanya saja kami bosan, Gracie, kau mengerti kan? Kami bosan selalu mendengar berita tentang kemenangannya darimu.” Si jangkung itu bangkit dari kursinya, melangkah ke arah Gracie, berhenti di samping gadis itu, menekankan tangannya di meja, menunduk, lalu memaparkan senyum sinis tepat di wajah Gracie.

Sementara Gracie menarik mundur kepalanya, geli dengan tingkah aneh pria itu. Lalu dengan hidung yang sengaja dibengkokkan, gadis itu berjengit, buru-buru menyelesaikan, “Ya, ya, terserahlah apa katamu. Katakan saja sesukamu dan lakukan apa yang kau mau! Kalian memang hanya orang-orang yang iri dengan Marc Marquez! Sekarang pergilah, pirang-jangkung!!” bentak Gracie, mendorong lengan pria itu.
 

“Sudahlah, Grace,” redam wanita berambut panjang sewarna arang di samping gadis itu, menangkupkan telapak tangannya di atas punggung tangan Gracie yang menegang.

“Dia menyebalkan, Lily!!” luap Gracie, mengentakkan dagu. 


“Sudahlah, biarkan saja. Dia hanya penggemar asal-asalan. Anggap saja tidak penting.” Gadis dengan tubuh mungil dan bahu kecil yang dipanggil “Lily” oleh Gracie itu berdiri mendadak, tangannya merayap sedikit lebih puncak hingga menyentuh lengan atas Gracie, kemudian menawarkan dengan ceria, “Sekarang mau ikut aku?”

“Ke mana?”

“Mau ikut atau tidak?”

“Katakan ke mana.”

“Aku hanya menawarkanmu mau ikut atau tidak.”

“Katakan dulu kau mau mengajakku ke mana,” desak Gracie, menunggu.

“Ke suatu tempat,” sahut Lily kelabu, melepaskan cengkeraman tangannya, bergeser, lalu berjalan menjauhi gadis itu yang masih belum membulatkan jawaban. “Aku berani menjamin dengan apapun bahwa kau pasti suka dengan tempat ini!” teriak Lily di ambang pintu, menjulurkan kepala sedikit sebelum kembali berpura-pura meninggalkan gadis itu.

Sepasang alis mata tebal rapi milik Gracie yang sering dituduh oleh orang lain sebagai hasil kerikan itu terangkat, melahirkan sebuah tautan samar yang berkesan ragu-ragu. Lalu tanpa membiarkan waktu lebih lama lagi menahannya di sini, gadis itu bangkit, berjalan dengan langkah lebar, mengejar ketinggalannya, sembari berteriak, “Tunggu, Lily!! Aku ikut!!”

To Be Continued.. 


*Dan beginilah part 1-nya. Bagaimana? Membosankankah? Tidak menarikkah? Oke, aku gatau bagaimana menurut pembaca, tapi aku berharap ini adalah awal yang bisa dikatakan bagus untuk memulai part kedua. Thank you once again ;)*

Comments

  1. hoy ghaisa -_- kok separoh gini? :') ya allah penasaran gue :'(
    eh cut tau nggak gue ngebayangin si gracie itu dirimu lohh :p yang selalu berisik kalau ada marquez dan adek cinaa haaaa XDD
    lanjutin yaa beib secepatnya :p /maksa banget guenya kok -_-/
    ah~ pokoknya lanjutin ok ;))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha, selanjutnya gimana Nov? Aku bingung mau buat gimana lagi._. Wkwkwkwk, ecek-eceknya aku memposisikan diriku seperti Gracie gitu Nov, curhat gitu aku melalui cerita ini, hahahahahah.. :D

      Delete

Post a Comment