ONESHOT : Don’t Leave Me, I’m Here

Setelah beberapa waktu ga nulis FF tentang Dani, akhirnya sekarang aku pos lagi fanfiction Dani Pedrosa, hehe. Tokoh wanitanya seperti biasa, Yvette Amescua, yang merupakan pacar dari Dani di dunia nyata. Menurutku, cerita ini rada nyesek, tapi ga tau lho ya bagaimana menurut pembaca. Itu hanya sekadar menurut author-nya saja. Oke, semoga cerita ini dapat menghibur yaa. Happy reading ;)


Dani berjalan terseok-seok ke arah dapur yang sengaja di bangun tak jauh dari meja makan. Pria itu mengambil sebuah gelas kaca yang tersangkut di dekat kulkas dan meraih sendok yang berada tepat di samping rak piring berukuran besar. Tangan Dani sedikit bergetar saat ia menuangkan air panas dari mulut termos bermotif bunga-bunga mekar warna-warni dengan dominasi warna merah muda dan putih.

Kepala Dani mendangak, menyembulkan sedikit urat-urat lehernya, lalu meraih toples gula dengan sedikit berjinjit dan tangan mengekar kuat. Uff! Ukuran tubuh yang tidak terlalu tinggi memang selalu menjadi kendala bagi pria itu untuk menjangkau sesuatu yang terlalu atas. Ia harus mengerahkan tenaga lebih di tumpuan kaki agar dapat bertahan dan tidak terjungkal tiap kali berurusan dengan sesuatu yang memang berada jauh lebih puncak dari jangkauan tangannya. Tuhan menciptakan setiap manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Dani menuangkan sesendok gula dengan terkaan kasar, lalu mengulangi hal yang sama dengan kali ini ia memutuskan untuk tidak menyendok penuh. Terlalu manis mungkin jika ia menuangkan dua sendok gula. Tangan yang cekatan menjadi bukti bahwa Dani sudah sering melakukan kegiatan ini. Ia sudah terbiasa membuatkan segelas teh untuk gadis itu sejak beberapa tahun terakhir. Ya, intinya, Dani berbeda dengan laki-laki lain yang mungkin hanya sesekali atau bahkan mungkin sama sekali tidak pernah membuat minuman paling sederhana ini.

Berputar-putar. Dani mengamati air yang sedang memusing karena tangannya sendiri. Dentingan halus antara sendok perak dan gelas kaca menjadi suara tunggal di tengah-tengah lingkaran kesunyian ini. Mata Dani tak bergerak, bola matanya jatuh ke bawah dengan tegas, mengikuti air yang berkeliling di dalam gelas. Entah karena terlalu fokus atau suatu dorongan lain, jiwa Dani seolah tertarik ke dimensi berbeda. Otaknya bagaikan berlari ke belakang, hinggap di titik lampau. Dani tak mencegah, ia memasrahkan diri ikut dalam bundaran air yang tengah teraduk itu.

Semua bermula dari tabrakan kecil di bawah pohon lebat di suatu tempat. Pertemuan mereka bukanlah suatu perjumpaan yang diharapkan banyak orang. Awal tatapan mata mereka bisa dikatakan tatapan mata tak senang. Tatapan yang mengilatkan kemarahan dan kejengkelan. Sungguh, siapa yang tidak kesal jika harus tersandung oleh kaki yang entah siapa pemiliknya ketika tengah berlari dan terburu-buru untuk mengejar sesuatu? Dan kau harus merelakan wajahmu mencium rumput yang masih basah dengan bercampur sedikit tanah lembek? Oh, Tuhan!

“Ya ampun, apa-apaan kau ini?”

“Aku?”

“Menurutmu aku sedang berbicara dengan siapa?”

“Kau menyalahkanku?”

“Kau ini bodoh atau apa, ya jelas saja aku tengah menyalahkanmu! Memangnya aku terlihat sedang apa?”

“Apa salahku?”

“Salahmu? Oh, kau benar-benar menyebalkan!”

“Hmm?”

“Salahmu adalah kakimu itu! Salahmu adalah duduk di sana dengan kaki yang lurus dan menyebabkanku harus tersandung dan terlambat! Dasar kau, menyebalkan!! Kau menyebalkan!!”

“Hei, hei, tunggu dulu, memangnya itu adalah salahku, hm? Aku sudah duduk di sana selama berjam-jam sebelum kau datang dan tiba-tiba menubruk kakiku! Kau pikir hanya kau yang dirugikan di sini? Kakiku terasa sakit sekarang! Apa kau mau membayar kerugian yang kualami dengan merelakan uangmu untuk biaya pengobatan kakiku, hah?”

“Oh, Tuhan! Laki-laki macam apa kau ini? Aku jauh lebih dirugikan di sini! Aku terlambat dan sekarang aku tidak tahu harus berbuat apa!”

“Lalu? Itu adalah urusanku? Sekarang bagaimana dengan kakiku?”

“Itu juga bukan urusanku!”

“Hei!!”


Dani terlalu lemah untuk tak membiarkan seulas senyum kecil tersungging di bibirnya. Saat itu memang menggelikan. Lucu dan menggemaskan. Siapa sangka begitulah awal pertemuan mereka? Siapa yang menyangka bahwa pertemuan singkat dengan kemarahan itu membawa dirinya hingga ke titik ini? Siapa yang pernah berpikir bahwa ia ada di sini sekarang, berdiri dan menunggui gadis itu?

Hubungan mereka diawali dengan keberanian yang dipaksakan oleh Dani. Pria itu menyingkirkan gengsinya dan mendorong dirinya lebih jauh. Dan, seperti inilah jadinya.

“Aku ingin bicara denganmu.”

“Ingin bicara apa?”

“Sudah, ikut aku saja.”

“Kau ingin mengatakan apa?”

“Hm, aku ... aku ... yah, aku ... ingin ... hmm, aku ...”

“Kau aneh. Memangnya kau ingin bicara apa? Katakan saja.”

“Aku ... begini, hm ... apa aku terlalu terburu-buru? Sungguh, katakan apa aku terlalu cepat?”

“Kau ini bicara apa? Aku tidak mengerti.”

“Aku ... aku tahu ini mungkin terlalu dini bagimu. Tapi, aku ... tapi aku ingin segera memulainya. Aku ingin memilikimu. Ah, tidak, maksudku ... begini ... aku ... bagaimana cara mengatakannya? Hm, Yvette Amescua, aku tahu ini mungkin ... kita bahkan belum genap satu bulan saling mengenal, pertemuan kita juga tidak bisa dikatakan bagus dan merupakan awal yang baik. Tapi, sungguh ... aku, Dani Pedrosa, mencintaimu. Aku ingin memilikimu. Aku ingin hubungan kita lebih jauh. Aku milikmu dan kau milikku. Kita saling memiliki dan menjalani hidup bersama-sama. Yvette, aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku tidak bisa menahannya lebih lama, aku ... aku sesak di sini tiap kali aku terus memendamnya. Aku sakit tiap kali melihatmu bersama laki-laki lain. Dadaku berdenyut tiap kali kita berjauhan. Rasanya seperti ada yang salah dan berbeda denganku. Yvette, sungguh, mungkin aku terlalu berlebihan dan kau geli atau bahkan jijik dengan perkataanku, tapi, beginilah adanya, aku mencintaimu. Aku menginginkanmu. Kau mau memulainya denganku?”

“Dani, aku ...”

“Kenapa kau tidak jawab? Oh, baiklah, aku tahu. Maafkan aku, seharusnya aku tidak mengatakan ini. Aku minta maaf atas kebodohanku. Maaf telah menganggu waktumu.”

“Hei, bukan begitu maksudku. Aku belum selesai bicara. Aku ... kita akan memulainya sekarang.”

“Kau bilang apa? Barusan kau mengatakan apa? Kau mau?”

“Tolonglah, apa aku harus mengatakannya lagi? Jangan permalukan aku.”

“Kau merasa malu? Oh, Yvette.”

“Jangan mulai, tolong. Atau aku akan berubah pikiran.”

“Sungguh? Silahkan saja, silahkan saja kau berubah pikiran. Aku tidak apa, karena aku tidak yakin kau  akan benar-benar melakukannya.”

“Dani!!! Lepaskan aku!! Jangan menggodaku!! Dani, kumohon, turunkan aku!”


Dani menggigit bibir atasnya kuat-kuat, tangannya berhenti mengaduk. Dicicipinya sedikit rasa teh buatannya. Tidak terlalu manis, lafalnya. Gadis itu memang tidak menyukai segala sesuatu yang terlampau manis. Ia lebih menyukai rasa yang biasa dan tidak terlalu tajam. Bahkan, dalam urusan teh, ia lebih suka sedikit hambar daripada terlalu manis. Dani sudah hafal seluk-beluk gadis itu. Ia sudah mengenal Yvette cukup dalam untuk mengetahui bahwa gadis itu bukanlah penyuka rasa yang terlalu kentara.

Dani tidak berbohong. Ia benar-benar mencintai Yvette. Omongannya bisa dipegang. Perasaannya masih sama dan sikapnya tidak berubah walaupun mereka sudah bersama dan gadis itu telah menjadi miliknya. Bahkan, Dani sesekali membuat kejutan dan menyempatkan diri untuk membuat coret-coretan kertas sebagai pengungkap perasaan pada gadis itu.

Sungguh, Yvette sangat beruntung memiliki Dani. Pria itu benar-benar menginginkannya dan begitu mencintainya sampai-sampai bersedia menungguinya hingga sadarkan diri. Dani juga masih bertahan di tengah-tengah kelemahan gadis itu sekarang. Dani tetap tidak meninggalkannya. Dani selalu berharap waktu dapat diputar kembali. Ingin sekali rasanya ia kembali pada masa lima tahun silam. Waktu di mana dirinya dan gadis itu masih sama-sama menjalani hari-hari yang mudah. Masa di mana semuanya masih berjalan mulus dan begitu lancar. Demi Tuhan, ia ingin tetap seperti itu selamanya. Berdua bersama gadis itu dan membawanya ke gerbang pernikahan yang sakral. Sungguh, andaikan semua itu bisa terjadi. Andai lembaran hidup tidak pernah berbatu. Andai nasib tidak pernah berkelok. Berandai-andai. Dani hanya bisa membiarkan pikirannya melayang-layang indah. Mengacu pada suatu keadaan yang tidak akan pernah bisa didapatkannya.

“Kau bisa. Kita akan melewatinya bersama-sama.”

“Dani, sungguh, ini sakit sekali. Aku tidak sanggup. Sakit, Dani.”

“Bertahanlah, kumohon. Bertahanlah, Sayang. Kau pasti bisa.”

“Dani, jika aku tidak sanggup lagi ...”

“Kau sanggup. Jangan pernah katakan itu. Kau pasti sanggup. Aku di sini. Aku akan selalu ada di sini.”

“Dani, tolong mengertilah. Jika aku tidak sanggup lagi, aku hanya ingin satu hal darimu.”

“Sungguh, jangan buat aku kesal. Aku bilang kau sanggup dan semuanya akan baik-baik saja. Kita akan melewatinya bersama-sama. Kesakitanmu akan segera hilang dan kita akan kembali ke hari-hari yang menyenangkan. Bertahanlah, kumohon.”

“Dani, aku tidak kuat lagi, ini sangat sakit, Dani. Ini sangat menyakitkan.”

“Yvette, kuatlah, Sayang.”

“Berjanjilah padaku kau akan menjadi laki-laki yang baik meskipun tanpa aku. Berjanjilah kau akan mendapatkan gadis lain yang jauh lebih baik dari aku. Berjanjilah untuk selalu hidup bahagia, Dani. Berjanjilah.”

“Aku hanya akan berjanji aku akan mencintaimu selamanya. Aku memilihmu untuk menjadi ibu dari anak-anakku, bukan wanita lain. Aku hanya mau kau, Yvette Amescua. Kita akan selalu bersama.”

“Dani ...” 

 
Dan begitulah saat-saat berat mereka. Itu adalah cobaan pertama dalam hubungan mereka yang masih bertahan hingga kini. Seperti itulah hubungan Dani dan Yvette sekarang. Setidaknya, walaupun masa-masa yang sulit itu masih hidup, Dani bisa merasa sedikit lega lantaran gadis itu masih bersamanya. Yvette adalah wanita yang kuat. Ia tidak sebegitu mudahnya dikalahkan oleh penyakit. Dani ada bersamanya. Ia memiliki fisik pria itu dan lebih penting lagi, ia memiliki cintanya. Ia memiliki hatinya. Itulah kekuatan dan motivasi terbesarnya untuk tetap bernapas di muka bumi ini. Dani adalah hidupnya.

“Dani?”

Secercah suara muncul dan mengoyak kesenyapan. Dani terlonjak dan refleks mengucek-ngucek matanya dengan lengan baju. Tidak, ia tidak akan menampakkan kesedihan di depan gadis itu. Sudah cukup banyak kesusahan yang harus dipikul gadis itu, dan ia tidak akan menambahkannya lagi.

“Yvette? Kenapa kau ada di sini? Kau seharusnya ada di kamar. Kau ti–“

“Aku bosan tidur terus, Dani. Badanku pegal semua karena terlalu banyak berbaring. Aku rasa aku perlu udara segar. Kamar itu terlalu sumpak dan bahkan sudah berbau apak,” sela Yvette sambil berjalan ke arah Dani dan membungkam mulutnya dengan jari telunjuk. Bibir Yvette yang kering dan pucat melengkung ke samping, melahirkan seulas senyum manis yang selalu berhasil membuat Dani terdiam dan mengalah.

“Kau ingin duduk di teras dan sedikit bersantai?” Dani mengangkat tangan, mengenggam pergelangan gadis itu, menurunkan jari telunjuknya.

“Hmm.” Yvette mengangguk, menangkupkan telapak tangannya di permukaan dada Dani yang kokoh, merasakan betapa kerasnya permukaan dada pria itu.

“Kita bersantai.” Dani menancapkan sebuah kecupan di pipi kiri Yvette, menarik pinggul gadis itu lebih dekat, lalu memutarnya dan mulai melangkah, meninggalkan segelas teh yang sudah siap sedia untuk disesap.

***

“Dani ...” panggil gadis itu manja. Sebelah tangannya di tempatkan di atas paha pria itu.

“Hmm?” sahut Dani sambil memiringkan kepala. Cukup dekat hingga ia dapat merasakan aroma Yvette menyusup dalam hidungnya.

“Kau tidak bosan?”

“Bosan?”

“Ya, bosan. Tidakkkah kau merasa bosan?” Yvette menggaruk-garukkan buku tangannya di paha, bertanya-tanya apakah ia melontarkan pertanyaan yang tepat dan siap untuk menerima jawaban paling menyakitkan.

“Apa yang membuatku bosan?” Tangan Dani menjalar, mengelus permukaan tangan Yvette yang lembut bagaikan susu murni.

“Diriku. Hubungan kita. Penyakit ini. Semuanya.”

Genderang seolah bertabuh di kepala pria itu. Jantungnya bagaikan disayat-sayat oleh sebilah bambu tajam. Hatinya nyeri bak dipukul-pukul oleh sebuah benda keras. Matanya mulai memanas, seolah terbakar oleh kata-kata gadis itu. Dirinya. Penyakit ini. Semuanya.

“Tidak, sama sekali tidak. Aku tidak akan pernah bosan. Kau dan aku, kita, aku tidak akan pernah mundur.” Dani menggigit bibir bawahnya keras-keras, menahan gejolak pilu yang semakin menusuk.

“Bahkan jika kau memutuskan untuk mundur sekalipun, aku tidak akan mencegahnya. Sungguh, pergilah jika kau mau, Dani. Kau sudah terlalu banyak berkorban dan membuang waktumu bersamaku. Aku pikir mulai sekarang kau sudah bisa mencari penggantiku,” ungkap Yvette. Gadis itu memejamkan matanya kuat-kuat sementara tangannya menelan telapak tangan Dani bulat-bulat, menggenggamnya erat.

“Jangan mulai. Aku akan marah padamu jika kau mengatakannya sekali lagi. Kau harus tahu, Yvette, aku sudah bertahan sejauh ini, aku sudah sampai di titik ini, itu artinya aku sungguh-sungguh. Jika aku hanya sekadar bermain, aku tidak akan berada di sini bersamamu. Jadi, kumohon berhentilah bicara demikian. Apa kau masih tidak percaya padaku? Apa kau benar-benar ingin mengusirku?” Rahang Dani menegang, bergetar dan suaranya melemah. Penglihatannya buram, terhalang oleh buliran air mata. Pria itu mendangakkan kepala.

“Aku mencintaimu.”

Dua kata yang sering terdengar dan merupakan kata andalan sepasang kekasih. Biasa diucapkan oleh siapapun untuk meyakinkan pasangannya. Tapi, dua kata itu benar-benar berbeda saat dilontarkan oleh Yvette. Yvette tidak mengucapkannya asal-asalan. Ia mengucapkannya dengan penuh kasih. Ia menggunakan hati saat mengucapkannya dan Dani tahu benar ada kesungguhan di dalamnya.

“Aku juga mencintaimu. Aku sangat, sangat mencintaimu. Kumohon, tetaplah di sini bersamaku.” Dani meraih pundak gadis itu dan meremasnya. Sebulir air bening luruh dan menyapu wajahnya, menitik pada kepala Yvette yang sudah tak lagi penuh ditumbuhi rambut.

Tuhan, aku bersedia untuk menggantikan posisinya. Aku siap jika harus merasakan sakitnya. Pindahkan saja penyakit itu padaku, Tuhan. Aku tidak sanggup kehilangannya. Tuhan, jika kami memang tidak ditakdirkan untuk bersatu di dunia ini, tolong bahagiakanlah kami di alam lain. Aku mencintainya, Tuhan. Aku benar-benar mencintainya. Dia adalah hidupku. Tolong kuatkanlah dia. Tolong tegarkanlah aku, Tuhan. Dani menengadahkan wajah, berdoa dalam hati. Air mata menjadi saksi kesungguhan pria itu



 END  

Comments