ONESHOT : Please Don’t Go, Stay Here

Aku pribadi, suka dengan cerita kali ini. Tapi, gatau bagaimana menurut orang lain. Cerita kali ini juga rada berbelit (menurut author-nya--hehe). Seperti biasa, jika sudah membaca dan bersedia repot sedikit, tolong dikomen yaa, karena komentar apapun selalu ditunggu. Oh ya, aku berencana untuk melanjutkan cerita "No More Love For You" yang pada awalnya aku buat ONESHOT. Tapi, belum tau mau diarahkan kemana lagi ceritanya._. Buat temanku (Novia), makasih lho Beb sudah baca dan komen serta minta cerita NMLFY dilanjutkan, hahaha. Oke, sekian saja. Terima kasih ;) 


Laki-laki itu mendorong tubuh pintu dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain ia gunakan sebagai nampan buatan bagi ketel kecil berwarna aprikot bermotif kulit jeruk yang terkelupas. Hati-hati, ia menjulurkan batok kepala dan me-reposition tubuhnya, bergeser sedikit lebih dalam dan melangkah lebih jauh ke arah sebuah meja kecil di bagian sudut yang tampak terisolasi dengan taplak sulaman tangan berwarna saffron. Pria itu membungkuk, dengan urat sedikit bergetar ia mendudukkan ketel mini itu, menghadapkan moncongnya yang runcing ke arah selatan.

Marc berpaling, menangkap sosok seseorang yang tengah tertidur di bawah lembutnya lingkupan selimut sebatas pinggul, berputar, lalu membiarkan seulas senyum kecil lahir dan bergelantung di sudut kanan bibirnya. Tampak tulus, namun tak juga miskin unsur kesinisan dari bayangan senyum itu sendiri. Bibir atas pria itu yang tajam, semakin mempertegas kesan sinis dari setiap ulasan senyumnya. Derap kaki yang lamban dan sedikit mengendap-endap menjadi penuntun bagi pria itu untuk mendekat, berhenti di salah satu ujung tempat tidur, menekuk lutut, lalu merendahkan diri dan sukses berada dalam posisi berjongkok.

Suara hati yang tak kunjung optimis, kemauan yang kian mendorong lebih, dan gelombang keragu-raguan yang mencuat dari dalam dirinya, memaksa punggung tangan Marc terangkat dan mendarat di kening gadis itu, menyentuh permukaan kulitnya yang lembap. Sudah tidak terlalu panas, pikirnya. Marc memutar tumpuan kakinya, mengelanakan matanya ke banyak arah berbeda, menangkap segala sesuatunya yang tersebar di dalam ruangan ini. Kertas pelapis dinding berwarna violet bermotif bunga, sepasang potret dengan bingkai berbentuk oval menggantung di dekat lemari, meja rias dengan cermin cukup besar yang sengaja diberdirikan di sudut, buku-buku lumayan tebal dengan berbagai macam ukuran yang berbaris bertingkat di dekat jendela (beberapa ada yang terbuka dengan kertas pembatas yang menandai halamannya), sebuah lukisan berukuran sedang yang dirapatkan ke dinding, hingga ... benda terakhir yang ditangkap oleh matanya, dan satu-satunya yang berhasil membuat pandangannya terpaku, menatap dalam, dan ia membiarkan garis imajinasi mengukir sesuatu di dalam pikirannya. Menggoreskan sesuatu yang kembali mengorek kenangan itu, menghidupkan kembali kejadian-kejadian yang telah lama mati, mengibarkan lagi sayap-sayap yang pernah patah.

Selembar foto dirinya dan gadis itu yang dibungkus dalam bingkai berbentuk persegi, dijulangkan secara samar-samar diantara barisan buku-buku. Mata yang tak lihai dan sudut mata yang tak tajam tidak cukup menjadi modal utama untuk menyadari eksistensi foto terpencil itu. Marc menyejajarkan matanya, menusuk masuk dalam pusatnya, mengoyak pertahanan dirinya dan menerobos masuk dalam kawah kenangan yang masih menganga. 

Cukup lama pria itu hanya mematung, membiarkan dirinya terseret dalam masa lalu, menghempaskan diri sendiri dalam bantalan memori itu, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali dari ambang batas kesadaran dan berhadapan dengan fakta. Marc menghela napas, susah payah untuk tetap di sini, bertahan, menggelengkan kepala, mengusap pelipis, menelan ludah, kemudian bangkit dan berbelok. Sungguh bukanlah kemauan dan niat yang telah direncanakan sebelumnya, Marc menggadaikan akal sehat, mengabaikan logika untuk sementara, dan merayap naik ke kaki tempat tidur, memposisikan tubuhnya di samping gadis itu, merebahkan punggungnya, sembari mendesah pelan.

Dilipatnya tangan ke belakang, menjadikan otot-ototnya sebagai bantalan keras, lalu memutar mata dan mendapati bulir-bulir keringat telah menjadi bagian dari kening gadis itu. Marc melengkungkan tubuh, menghadapkan dadanya ke arah gadis itu, menyapukan bulir-bulir keringatnya dengan punggung tangan hingga merata dan tampak berkilat, lalu memberanikan diri untuk semakin mendekat. Tangan kiri ia jadikan sebagai penyangga kepala, sementara tangan yang lain digerakkan mendekati wajah gadis itu, membelai rambut hitam panjangnya yang sudah digerai, menyentuh kulit lehernya yang lembap dan berlekuk. Lalu dengan segenap usaha untuk bertahan, kenekatan yang telah sampai di puncak, dorongan diri yang mengkhianati logika, Marc mendaratkan sebuah kecupan tepat di kening gadis itu. Matanya terpejam, tulus mengalirkan perasaan, berharap gadis itu tak akan terbangun dan mendapati mereka tengah dalam jarak yang sangat dekat.

Bibir Marc terangkat, berangsur-angsur menjauhi gadis itu. Lalu bersamaan dengan secuil senyum yang lahir dari sudut-sudut mulutnya, Marc bergumam, pelan mengungkap semuanya, berani membongkar perasaannya, jantan berembus di telinga gadis itu, “Aku mencintaimu. Sangat, sangat mencintaimu.”

***

Cetakan sepasang telapak kaki mencuat dari dalam saat gadis itu menekankan kakinya di atas tanah basah secara bergantian. Semilir angin yang mengisi udara datang dan meniup gadis itu, menyingkirkan helaian rambut di bagian tengkuk dan menyemai getaran nikmat. Rachel terpejam, menikmati suara pasukan ombak yang muncul hingga menubruk sebagian kakinya, menyisakan sapuan pasir putih yang menempel dan buih-buih putih yang suci. Udara yang segar menyelinap ke hidung gadis itu, membuatnya menggembungkan paru-paru, lalu membuka mulut secara perlahan. Tenang, aman, damai.

Bersamaan dengan senyum yang bertengger di sudut-sudut bibirnya, gelombang damai yang melilit hatinya, kristal takjub yang mengusik batinnya, Rachel merasakan sesuatu menjalari pinggangnya. Terasa lembut, namun juga berkesan keras. Sesuatu lain yang kokoh juga menindas pundaknya, menaburkan desahan napas yang hangat, menusuk kulit lehernya dengan sesuatu yang ... yang sebenarnya terasa lembut, namun entah kenapa juga terasa berbeda di sisi lain. Jenis kelembutan yang sangat, sangat berbeda.

“Hai,” sapa secercah suara.

Tanpa melibatkan perintah otak, Rachel mengangkat tangan, menekuk sikut, lalu menimpa sesuatu itu yang telah lebih dulu melingkar di pinggangnya. “Hai,” sahutnya serak.

“Aku merindukanmu,” ungkapnya, mempererat keratannya.

Bibir Rachel semakin tertarik, lebar melengkung ke samping. “Aku juga,” balasnya, memalingkan kepala, menyentuh rambut sosok itu dengan batang hidung, menyadari bahwa rambut itu sudah tak lagi dibubuhi oleh jenis shampo yang sama.

“Kau pergi lama sekali,” manjanya.

“Aku tahu.” Sepasang kelopak mata gadis itu kembali terpejam, sekali lagi menikmati deburan ombak yang menyapu betisnya.

“Lalu?”

“Lalu?” ulang Rachel.

“Jangan pernah pergi lagi,” jelasnya tegas, menarik aroma gadis itu masuk dalam hidungnya.

“Tak akan.”

Pria itu melepas pelukannya, memutar tubuh mungil Rachel yang ramping, menghadapkan wajah gadis itu ke wajahnya, menangkupkan telapak tangannya yang kuat, kemudian membiarkan suaranya menguap dalam bisikan, “Berjanjilah.”

Tanpa ragu Rachel mengalungkan kedua tangan di seputar leher pria itu, menemukan ujung tangannya sendiri, sedikit mendangakkan kepala, menyesuaikan matanya untuk lebih menusuk, lalu bersamaan dengan tangan pria itu yang juga berubah haluan, menyentuh pinggulnya, Rachel mencairkan kristal besar yang menyumbat jantungnya, membiarkan semuanya terungkap, berani. “Aku berjanji,” ucapnya samar-samar, dengan ujung bibir yang bahkan hampir tak terlihat tengah mengutarakan sesuatu.

Pria itu menjalin senyum, menarik tubuh Rachel lebih dekat, menyelisipkan jari-jari tangannya di sepanjang rambut gadis itu, sebelum menggerakkan kepalanya dan menyatukan kulit kening mereka yang tipis. “Tetaplah bersamaku apapun yang terjadi. Bertahanlah di sisiku saat hari-hari yang suram dan mengerikan datang. Tegarlah saat kau harus terjun bersamaku ke dalam jurang kehidupan yang paling bawah. Setialah saat aku tak memiliki rumah yang besar, tak kuasa membelikanmu barang-barang mewah, tak berdaya menjadikanmu seorang ratu. Berjanjilah untuk selalu menemaniku di setiap napas yang kuhelat. Yakinlah bahwa kau akan selalu bersamaku di setiap waktu yang bergulir. Berjanjilah, berjanjilah padaku.” Suara pria itu berangsur-angsur menghilang, bergabung dengan kepakan debu dan embusan angin. Rachel tak lagi merasakan sesuatu menempel di permukaan kulit keningnya. Hilang, lenyap. Pinggangnya tak lagi ditahan oleh sesuatu yang keras. Tangannya seolah melingkari udara, menggantung asal. Rachel menunduk, menyadari bahwa semuanya telah berakhir. Berujung getir. Sosok dan suara itu tak nyata. Ia sama sekali tidak pernah ada. Sosok itu musnah, tidak ada di mana-mana. Dirinya seolah dihempas ke sebuah permukaan kasar yang berbatu. Sakit, sangat sakit. Sosok itu telah membaur.

***

Rachel tersentak, dengan perlahan dan samar-samar menyadari kolaborasi antara panas dan sakit yang menggigit dagingnya. Bola matanya berputar di balik kelopaknya yang tertutup, menolak untuk membuka. Pikirannya mengambang, terhuyung-huyung di batas alam mimpi dan kenyataan. Rasa sakit itu semakin merajalela, leluasa membakar setiap syarafnya. Jantung gadis itu memburu, berdetak tak beraturan. Napasnya tertahan di tenggorokan, tak keruan.

Dengan linglung dan malas,  serta dengan mengandalkan segenap usaha yang menyakitkan, Rachel mencoba untuk membuka matanya, mengangkat kepala, menelan, sekaligus bertanya-tanya ada di mana ia sekarang. Apakah ini mimpi? Atau semua ini nyata? Apakah ia masih berada di dunia atau sudah terbang ke alam yang berseberangan? Kepala gadis itu terhempas lagi ke atas bantal saat ia mendorong dirinya terlalu jauh.

Rachel kembali memejamkan mata, mengutip sisa-sisa tenaganya dan mengumpulkannya dalam satu bentuk, bersiap untuk melepaskannya dalam satu gerakan. Suara ringisan menjadi pengiring gadis itu saat ia mencoba lagi untuk mengangkat kepala, menegakkan punggung, dan berada dalam posisi setengah berbaring. Rachel mengentakkan dagu, menggigit bagian dalam pipinya, menetralisir rasa sakit yang kian menusuk lebih. Gadis itu bersimbah keringat.

Bola mata Rachel berputar, berpindah dan mengelana ke sekeliling. Ruangan. Ya, ini adalah sebuah ruangan. Sepasang alis matanya yang tebal berantakan terangkat bersamaan, menarik kelopak matanya untuk lebih membuka. Bunga tersebar di mana-mana, warna violet rata membalut segala sisi. Kamar? Apakah ini adalah kamarku? tanyanya tak terucap.

Garis samar-samar akan suatu peristiwa tiba-tiba melintas secara kilat di kepala gadis itu, menyusup masuk dalam pikirannya, meninggalkan sebuah jejak tak jelas. Rachel seolah teringat akan sesuatu, sadar bahwa ia telah berada di tempat atau bahkan alam lain sebelum ini. Lagi, kelopak matanya menutup. Keningnya berkerut asal, otaknya bekerja keras mencari lembaran memori itu dan menayangkannya. Tidak. Sakit. Ini sakit. Sungguh sakit. Cukup. Sudah. Berhenti. Tuhan!

Rachel menggeleng refleks, matanya membelalak lebar, tiba-tiba sadar akan sesuatu. Sebuah dorongan besar mencuat dari dalam dirinya, memaksanya untuk bangkit dan mencari pembenaran. Di mana dia? Ada di mana sosok itu sekarang? Bukannya dia ada di sini dan menemaninya sebelum jatuh dan tertidur dalam pelukannya? Sungguh, di mana dia? Di manakah sosok itu berada? Di mana?

Rachel mencengkeram selimut lalu melemparkannya asal-asalan, mengabaikan masalah kerapian untuk sementara, lalu meloncat turun dari tempat tidur dan menarik kenop pintu. Dibolak-balikkannya kepala ke kanan dan ke kiri, ditebarkannya tatapan mata ke sekeliling, di belokkannya kaki ke kanan, menelusuri sebagian isi rumah. Tidak ada. Sosok itu tidak ada di dapur dan dua kamar lain. Segera ditikungkannya lagi kaki ke arah berbeda, menyusuri bagian yang berseberangan. Nihil. Ia tidak ada di ruang tamu, ruang makan, dan bahkan teras. Dia tidak ada di mana-mana. Ia sudah menghilang.

Mata Rachel memanas, mulai digenangi oleh air suci. Kakinya bergetar, kembali berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Tidak, ini tidak mungkin. Dia tidak mungkin pergi lagi. Tidak mungkin. Ini mimpi. Sungguh, ini tidak nyata. Tuhan! Ini benar-benar mimpi buruk. Sosok itu pasti masih di sini.

Rachel terduduk dan menekankan ruas jarinya ke gigi, merasa putus asa. Ia ingat dengan betul bahwa pria itu ada di sini sebelum dirinya terlelap dan bahkan pria itu sempat membelai rambutnya dan menyenandungkan sesuatu untuk membuatnya lekas tertidur. Lalu, di mana ia sekarang? Di mana batang hidungnya?

Miris rasanya berpisah lagi dengan seseorang yang dicintai setelah sekian lama terpisah dan bertemu kembali dengan tidak sengaja dalam sebuah acara yang berujung insiden yang bahkan waktu pertemuan itu tidak sampai sehari.

Sebulir air bening luruh dan menindas pipi gadis itu. Rachel terpejam, mencairkan gumpalan besar yang menyumbat dadanya. Bibirnya bergetar saat melafalkan, “Marc, kumohon jangan pergi lagi. Tetaplah di sini dan tinggallah bersamaku. Aku mencintaimu, Marc Marquez Alenta.”


END


*Dan begitulah akhir ceritanya. Ada yang ingin ditanyakan mungkin? Bagus atau tidak, aku tidak tahu apa yang ada di hati pembaca, hehe. Tapi aku berharap cerita ini dapat menghibur dan mengukir ekspresi positif di wajah pembaca ;)*   

Comments

  1. err icut aku kok agak bingung yaa sama ceritanya -__-a
    itu si marquez hantu, vampire atau apa ._. /peace/
    kenapa marquez nggak mau ketemu sama si rachel tapi dia bilang cinta ?
    kan kasian rachelnya nungguin marquez tanpa kepastian :(
    marquez jahat tukang php :|
    okesip mangap ya beib gue nyepam :p hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, rada berbelit kan, Nov? :D Hihi.. Yang orang ini berdua itu seolah-olah mimpinya Rachel gitu Nov aku bikin, wkwk. Terus yang dia menghilang itu masih dalam mimpi. Hahaha, ribet bener dah ah-.- Salahkan Marquez yang tukang PHP!! Serbuu, wkwkwk :D Ada sesuatu yang melarang Marquez lama-lama sama Rachel Nov. Ecek-eceknya mereka ga bisa bersatu gitu, hahaha ._.

      Delete
    2. wkwkwk nah udah tau marquez tukang php masih aja nih si kakcut sukak sama marquez :> hhahaha
      apa yang melarangnya? dirimu? -_-"
      ohiye ini kan fiksi jadi gapapa yee rada dongeng gitu :3 -__-v

      Delete
    3. Hahahaha, kak cut.. kak cut.. wkwkwk.. iyaa Nov, dirikuuu, nanti kalo Marquez sama si Rachel, aku-nya gimanaaaa? *mulai stress, abaikan* hihihihi, bener sekalii tuhh Nov, wkwk :D

      Delete
    4. dirimu sama adek cina :v hahahaaa
      ciyeeee ciyeeee :p :p

      Delete
    5. Wihihihi, boleh juga Nov, wkwkwk :D *eh

      Delete

Post a Comment