No More Love For You #1

Bingung mau buat ONESHOT atau TWOSHOT cerita kali ini. Kalau dibuat ONESHOT kesannya rada menggantung, kalo dibuat TWOSHOT ending-nya bingung mau happy atau sad. Ya sudah, akhirnya jadilah cerita ini dibuat ONESHOT saja. Mohon komentarnya bagi yang sudah membaca dan bersedia untuk repot sedikit. Segala macam komentar selalu ditunggu. Terima kasih ;) 



Wanita adalah makhluk yang lemah, tidak berdaya, tidak berkuasa, hanya bisa menangis, meratap, dan terluka. Benarkah itu? Setujukah kalian dengan rangkaian kata-kata itu? Berpihakkah kalian pada pertalian huruf-huruf itu? Apakah kalian memilih “benar” untuk kalimat itu? Wanita adalah kaum yang lemah, apa memang begitu adanya? Apakah itu sudah merupakan garis kodrat? Benarkah itu memang goresan nasib yang selalu diterima oleh wanita? Sungguh? Percayakah kalian? Baik, kembali pada pemikiran masing-masing. Semua orang berhak menganggap. Benar atau tidak, itu tergantung paham yang dianut oleh setiap orang. Tidak ada yang bisa memaksa.

Pria. Apa memang kaum adam adalah satu-satunya yang berkuasa? Yang berhak melakukan apapun yang mereka mau? Manusia yang bisa berlaku seenaknya lalu meminta maaf dan tanpa merasa gundukan rasa bersalah kembali mengulangi kesalahannya? Makhluk yang merasa paling hebat dan dengan leluasa mempermainkan perasaan wanita? Orang-orang yang menjadikan remuk hati wanita, memohon untuk kembali, lalu dengan tidak tahu dirinya mendaur ulang tingkah keegoisannya? Entahlah. Wanita dan pria. Memang tidak bisa ditelusur secara satu per satu. Sangat sukar, tidak terjamah secara keseluruhan.

Gadis itu masih setia dengan kegiatannya, menggerak-gerakkan tangannya di permukaan lapisan putih, menodai selapis bersih nan suci itu, menciptakan garis-garis yang mencuat, lalu lahirlah sebuah ukiran wajah seseorang yang belum selesai. Rachel mengangkat wajahnya, merelakan helaian rambut di tengkuknya berlari ria di bantai tiupan angin. Alis mata hitam pekat berisi iringan rambut-rambut halus yang rapi dan selalu menjadi kebanggaannya mendekat satu sama lain, membuat pembingkai alami sepasang mata itu saling bertaut, menciptakan kondisi alis mata baru yang berkerut. Bibir merah muda nan lembut dan alami itu melengkung tipis ke samping, maju sedikit hingga semakin menampakkan ujung dan permukaan bibir atasnya yang tajam.

Marc Marquez. Hanya dua kata yang merujuk nama itu yang berputar di kepala gadis itu sekarang. Nama seseorang yang selalu menjadi permata kilau di hatinya. Rangkaian huruf yang selalu setia bersemedi di relung jiwanya. Nama seorang pria dewasa (jika dilihat dari usianya) yang sudah menjadi teman dekat sekaligus kekasihnya sejak bertahun-tahun. Sebuah nama yang selalu menjadi favorit di lubuk dirinya terdalam. Dua kata yang sangat dicintainya hingga kini. Dan, lebih jauh lagi, juga merupakan nama dari seseorang yang sering menyiksa batinnya.

6x tertangkap basah sedang berselingkuh, apalagi namanya itu kalau bukan penyiksaan batin dan hati? Bodoh? Memang. Rachel mungkin bodoh. Ia punya pilihan. Ia bisa memilih yang jauh lebih baik. Ia memiliki kebebasan. Ia berhak memutuskan. Ia bebas untuk mencari yang lebih baik. Namun, ia mengabaikan kebebasannya itu. Rachel memilih untuk bertahan. Pondasi dirinya masih kuat. Hatinya masih sanggup. Jiwanya masih cukup tegar meskipun sudah berulang kali menuai sayatan hati tak tahu diri. Rachel tetap tidak menyerah. Lebih dalam, gadis itu benar-benar memilih seorang Marc Marquez. Kekebalan telah terbangun di setiap sudut dirinya. Perlahan tapi pasti, hatinya telah bertransisi menjadi karang lautan. Kuat, namun masih memiliki sisi lembut wanita yang tidak tahu sampai kapan akan terus tersakiti dan menampung kerasnya percintaan. Lebih tepat, percintaan persinggahan hidupnya. Rachel telah berpengalaman.

Rachel tersentak seakan-akan ada yang mendorongnya, pikirannya berputar, menggali lebih dalam sesuatu yang tiba-tiba muncul di puncak kepalanya. Sesuatu yang tidak mempunyai fisik. Gadis itu berdeham, merogoh saku celana dan dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana dengan cara memutar benda tipis itu. Gaya yang selalu menjadi ciri khasnya dalam mengendalikan genggaman tangan dan ponsel. Lamban, Rachel menyentuh-nyentuh layar ponsel dan dengan percaya diri memilih aplikasi twitter untuk menguntit aktivitas dunia maya pria itu.

Sebenarnya sering menguntit, cemburu berlebihan, bersifat kekanak-kanakan, dan posesif bukanlah perangai gadis itu. Namun sekarang, entah kenapa hatinya sedikit tersentil untuk melakukan hal langka yang mungkin belum tentu akan dilakukannya dalam satu windu. Riang, Rachel memain-mainkan ponselnya, lebih jauh, mengecek beberapa akun twitter yang berhubungan dengan pria itu.

Cuaca sedang dalam kondisi cerah, tidak ada tanda-tanda akan terjadi hujan dan petir, langit seolah berkarib baik dengan gadis itu. Namun, mendadak Rachel merasakan petir menyusup dalam jantungnya. Kilat seolah berakar dalam sela-sela organ dalamnya. Banjir seolah menenggelamkan paru-parunya dan gulungan awan hitam menghantam lambungnya. Angin gelap seakan memusnahkan tulang iganya. Debu menghujani aliran darahnya. Badai telah menancapkan tajinya di dalam jiwa gadis itu. Sesuatu yang pilu itu kembali bangkit. Pengalaman buruk itu kembali menganga. Cobaan menyakitkan itu kembali terbangun. Lagi, Rachel tengah diuji.

Sepasang bola mata gadis itu teralihkan, meluncur ke bawah dan melirik kertas bergaris-garis ria di genggaman tangannya. Wajah tampan pria itu yang menimpa kesucian kertas tempat raut wajahnya tergambar. Refleks, ujung paling kanan mulut Rachel tertarik, menciptakan secuil senyum getir yang membayang. Jari-jemarinya bergetar, tegang dan saling bergoyang-goyang. Ragu, Rachel mengepalkan sebelah tangan, mengikutsertakan kertas wajah pria itu bergumul menjadi satu, membulat tak beraturan. Kaki Rachel terhentak, bangkit dan berjalan beberapa langkah secara perlahan menuju hamparan danau luas nan indah di hadapannya.

Tepat di tepi mulut danau itu, Rachel berhenti, memaksakan udara masuk dalam paru-paru dan menerawang lurus ke depan, menyingkirkan garis-garis imajiner tentang pria itu. Rachel berdeham, mengertakkan gigi hingga dagunya terasa sakit, lalu turun perlahan dan sukses berada dalam posisi berjongkok. Gadis itu menghela napas berat, berdiri dalam ambang batas kesabaran dirinya, menimbang. Dengan mata terpejam, Rachel melepaskan dorongan dirinya, menggadaikan akal sehat, dan membiarkan semuanya mengalir bak aliran air sungai yang tenang. Tangan Rachel terjulur, mengapungkan dengan hati-hati gumpalan kertas itu, membiarkannya berenang mengekor arah gelombang danau.

Telunjuk lentik menjadi sentuhan terakhir bagi kertas yang tengah terangkut oleh damainya permukaan air itu, berkelana bersama kelembapan yang menyerang bagian dasarnya. Bermodalkan senyum pilu, Rachel mengikuti ke mana arah air menuntun kertas malang itu, bersusah payah untuk tetap di sini, dan membiarkan kata-kata itu menguap.

Pergilah, Marc. Merantaulah ke mana pun yang kau mau. Ikuti kata hatimu. Berjalanlah bersama hasrat jiwamu. Berkelanalah ke rongga yang jauh lebih baik. Singgahlah ke hati yang lebih kuat. Dan tinggallah selama-lamanya di ruang hati yang lebih tegar itu. Pergilah, pergilah bersama kertas yang mengapung itu ...
 

***

Tubuh mungil gadis itu baru saja mencium seprai ranjang saat ponselnya berdering. Senyatanya, Rachel sama sekali tak berniat meladeni siapapun yang menghubunginya malam-malam begini. Fisiknya lelah, rohaninya satu tingkat di atas lelah, dan keseluruhan jiwanya sepakat untuk tidak beranjak dan membiarkan deringan ponsel itu memuai. Namun, alih-alih menuruti kata hatinya, dengan malas Rachel memisahkan diri dari ranjang dan berjalan menuju meja rias. Enggan, Rachel merampas ponsel dari wilayah meja rias dan mengusap-ngusap ponsel itu dengan raut wajah sepele. Memangnya apa yang lebih penting sekarang kecuali menyayangi diri sendiri dengan menidurkannya setelah fenomena setan yang terjadi?

Tepat ketika Rachel menemukan nama “Marc Marquez Alenta” yang menembus layar ponselnya, derajat kemalasannya melonjak berkali-kali lipat. Sial! Apa lagi yang diinginkannya? Apa ia belum puas? Apa ia ingin menyempurnakan sikap persetannya malam ini? Apa ia ingin memamerkan kebanggaan atas sikap pecundangnya? Apa ia bermaksud untuk semakin membuat runyam situasi? Apa ia berniat untuk semakin memanaskan keadaan? Ah! Dasar!

Helaan napas menjadi pengiring gadis itu saat ia melengketkan ponsel ke telinganya, mengusap rambut sembari memejamkan mata.

“Halo?”

“Ada apa?”

“Hm.” Suara dibalik ponsel berangsur-angsur menghilang. Terdengar embusan sesuatu yang menjadi latar belakangnya. Mungkin embusan angin malam bercampur kepakan debu. Entahlah.

“Hmm?” Rachel mengulangi.

“Bisa temui aku di tempat biasa?”

Rachel tak merespons lebih jauh. Dengan percaya diri ia campakkan ponsel dengan asal-asalan hingga ujung benda malang itu mencium sudut ranjang. Terdengar bunyi “tuk” saat ponsel itu mendarat dengan cedera. Lecet? Terserah. Tidak penting. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk terlalu memberi perhatian pada benda berharga yang dibeli dengan harga pasar di atas rata-rata. Itu masalah belakang.

Langkah lamban menuntun gadis itu menghilang secara perlahan-lahan dari balik pintu kamar, berbelok ke kanan, menyusuri jalan sempit, lalu menarik kenop pintu utama dan berjalan menuju taman tempat di mana pria itu telah menunggu. Rachel tidak berjalan seperti biasa, kakinya diseret dan kedua tangannya dibiarkan terjuntai begitu saja dengan lemas. Beberapa saat kemudian, setelah sokongan kuat untuk tetap berjalan, kebesaran hati yang dipaksakan, akhirnya sampailah ia tepat di balik punggung pria itu. Rachel menelan ludah, merasa agak malas saat menyapa, “Marc.”

Tanpa menunggu perintah dari otak terlebih dahulu, Marc berpaling, menangkap sosok Rachel tengah berdiri tepat di balik lindungan punggungnya, kemudian menyahut, “Rachel.”

“Ada apa?”

“Duduklah dulu.”

Gadis itu berputar, dengan malas melangkah, duduk, sebelum merasakan pundaknya ditimpa oleh telapak tangan kekar kepunyaan pria itu. Entah kenapa kali ini Rachel merasa berbeda, menyadari dentingan halus yang canggung, dan memutuskan bahwa ia tidak pantas berada di posisi seperti ini meskipun dengan kekasihnya sendiri. Jadi, gadis itu melepaskan cengkeraman jari-jari tangan Marc dan membiarkan kata-kata spontan dari mulutnya meluap, “Ada yang ingin kau sampaikan?”

“Hm, tidak, hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja.”

“Oh.”

“Malam ini cerah, menyenangkan, dengan keadaan udara yang tidak terlalu menggigit, bukan begitu? Kurasa malam ini adalah malam yang cocok untuk berdua denganmu.”

“Hm, ya.”

“Kau lihat bintang-bintang di sana? Begitu menawan dengan sinar putih yang berada di pusatnya. Mereka bersatu dan bersaing untuk menunjukkan senyum termanis mereka. Dan bulan itu,” Marc mengganti haluan juluran tangannya sebelum menyelesaikan, “sangat indah berpadu dengan pantulan sinar kekuningan dari tepi sisinya.”

Rachel ikut mendongak, membuktikan perkataan Marc, berkonsentrasi penuh pada benda-benda penghias langit itu sebelum tiba-tiba merasakan senggolan batin yang menyesakkan. Garis khayal peristiwa pukul 17.27 itu kembali terjalin di pikiran gadis itu, mengoyak konsentrasi dirinya yang tengah menengadah langit gelap. Perhatiannya buyar, konsentrasinya amburadul, otaknya kembali menayangkan memori menyakitkan itu. Pasrah, Rachel tidak mencegah hati dan otaknya saling berkolaborasi, menimbang-nimbang antara perasaan dan logika. Sekarang, kali ini, untuk kasus ini, bagi fenomena yang sudah sering terjadi ini, apa yang harus dipilihnya? Logika atau perasaan? Bertahan atau berhenti? Sakit atau perasaan hambar? Tetap bodoh atau mencoba lebih memikirkan diri sendiri? Ego pria itu atau perasaan dirinya? Dia atau dirinya? Pria atau wanita? Akhir atau awal yang baru? Lepas atau tetap terikat? Bebas atau terkurung? Sekarang atau tidak sama sekali?

Cukup! Sudah terlalu banyak pertimbangan berat-ringan yang berputar dalam arah berbeda di otaknya. Rachel tidak ingin memaksakan diri lebih lanjut. Ia ingin mengistirahatkan hati, fisik, otak dan jiwanya. Ia ingin merasakan kebebasan yang sudah lama sekali tidak pernah mampir di hidupnya sejak ia pertama kali memutuskan untuk menerima cinta pria itu dan terus disakiti. Kali ini, selesai. Tamat. Tidak akan ada lagi rasa sakit. Tidak akan ada lagi pertahanan. Tidak akan ada lagi kebodohan. Bagaimanapun, Rachel adalah seorang wanita. Sekuat apapun hatinya, setegar apapun jiwanya, ia tetaplah wanita. Ia masih memiliki sisi lembut yang peka dan mudah sekali tersentuh. Tidak, ia tidak akan diam untuk ketujuh kalinya. Sudah selesai. Ini tidak benar. Hubungan ini tak lagi sehat. Kesakitan ini harus segera diakhiri.

Maka, dengan kebimbangan yang luar biasa, Rachel menghela napas, membiarkan semuanya mengalir begitu saja, lalu dengan samar-samar berkata, “Marc, aku ingin mengatakan sesuatu.”

“Apa? Katakan saja.”

“Kita selesai.” 




To Be Continued.. 



Dan.. mungkin beginilah kira-kira foto Marc yang dilihat oleh Rachel ._. 






Comments

  1. icut buat sequelnya kenapa? ngegantung kali ini beib -___- penasaran tingkat akut gue nya apa jawaban marquez waktu tau rachel putusin dia. intinya gue minta di buatin part selanjutnya! oke beib, gue tunggu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi, tapi endingnya gimana nih beb? Belum kepikiran ide buat selanjutnya._. Happy kah? Atau sad kah?

      Delete
    2. slr yaa cut baru balas :( huuaaa ;;
      ehhmm aku ada ide sih tapi nyeleneh/? gitu -__- wks
      abis diputusin rachel, marquez kira dia tetep bisa jalanin hidup dia kayak bisa tapi eh tapi karakter marquez malah makin bertambah buruk (jadi playboy+suka alkohol) -__- /peace beib/
      nah suatu hri orang ni ketemu /ceritanya rachel ngilang sesaat-,,-/ tapi si rachel udah punya gebetan baru ._. /mamvus lu marquez/ -_-
      terakhirnya si marquez baru sadar dia nyesel udah lepasin si rachel gitu aja :> dia berusaha dapetin si rachel lagi bagaimanapun caranya .__. terakhirnya terserah dirimu beib mau buat si rachel pilih marquez atau tetep sama gebetan baru dia '-'
      eh tapi gebetan barunya buat pedrosa aja yaa beib ;)) hahaha

      Delete
    3. Beb, aku ngebayanginnya keren!! Rachel yang biasa jadi korban diselingkuhin(-.-) sekarang yang megang kendali, hihihi. Marquez atau Pedrosa-kah? Wkwk, beb mau buat ahhh :D Oh ya, aku udah bikin yang cerita tentang penggemar-penggemar itu, dan aku belum tau mau buat apa lagi di part keduanya._. (seperti biasa, ide datang dan pergi begitu saja.-.) Beb tolongin lagiiiii :(

      Delete
    4. megang kendali/? :O /pikiran gue kok ke ****/ -__-v /peace/
      ahh sama siapapun boleh ;)) okeoke secepatnya yaa aku mau baca *-*/\ hihihi. SUMPAH?? :O mana aku mau bacalah :') ih serius kebelet nih mau baca :') ahh~ part kedua? -__- oh icut nggk mau dia bagi ceritanya dulu cepet di post okeh kebelet baca nih adek bang/? :v . iya kayak si marquez datang ke indonesia dan pergi begitu saja tinggalin icut :3 /haseekk/ okeoke entar ku bantuin dengan ide-ide yg nyeleneh lagi wkwkwk

      Delete
    5. Noooovvv, aku udah edit lhooo, tinggal diendapin sebentar lagi (satu atau dua hari) dan siap di pos, hahahahaha. Kalo aneh maklumin ya beb._. wihihihihi.. Besok malam Insya-Allah aku buat yang No More Love For You itu, wkwkwkwk.. sebelum aku pos, hati-hati ya beb kalo menemukan keanehan dan kejanggalan dalam ceritanya, wkwkwk._.

      Delete
    6. okesip aku tunggu (y) tenang aku sukak yang aneh-aneh :v hahaha. Secepatnya di ketik dan di pos yaaa ;)) wew makin curiga aku ni sama lanjutan ceritanya hasseekkk :3

      Delete
    7. Hahaha, yang aneh-aneh ya Nov, wkwkwkwk :D Curigaaaaaaa, aseeeekkk ;;)

      Delete
    8. ada bagian 'itu' pun gapapa cut :D hahaha /peace/
      digoyanggg banggg :v /tarikmarquez/

      Delete

Post a Comment