TWOSHOT : Pergilah ... Bersamanya #2 - END

Ga tau bagaimana menurut orang lain, menurut pandangan orang yang baca, bagus atau tidak cerita kali ini. Sebelumnya mau ngucapin terima kasih sebesar-besarnya bagi yang sudah baca dan komen. Itu sangat berarti bagiku. Oke, happy reading. Komen selalu ditunggu bagi yang sudah baca dan mau repot sedikit ;) Komen bisa langsung di blog, twitter (@ghaisa27_93) dan facebook (Ghaisa Safiraa) :) Terima kasih.


Keluarga atau orang lain yang dicintai? Siapa yang akan kalian pilih jika dihadapkan dengan dua pilihan yang sesukar itu? Keluarga? Sebagian besar dalam jiwa setiap orang mungkin akan memilih anggota keluarga, memilih orang-orang yang mempunyai jalinan darah serupa, memilih orang-orang terdekat dan tak akan pernah terlepas. Bagaimana dengan orang lain yang dicintai? Siapa kiranya yang lebih memilih pujaan hati dari pada keluarga? Siapa yang mungkin tega untuk menyingkirkan keluarga dan memilih hidup dengan orang tak sedarah, orang yang mungkin tidak sesetia keluarga, tidak setulus keluarga dalam menyokong jatuh bangunnya kehidupan? Sebagian kecil manusia yang berdiri di dunia ini merupakan orang seperti itu. Orang yang lebih memilih orang lain dari pada keluarganya sendiri .

Namun tidak semua orang berperangai demikian, lebih banyak penghuni dunia ini yang lebih mementingkan keluarga dari pada tambatan hati. Ya, walaupun kau harus membangun pondasi ektra kuat untuk bertahan. Berat? Sudah pasti. Memangnya siapa yang tidak merasa tertekan ketika dihadapkan dengan pilihan antara keluarga atau pujaan hati? Siapa yang merasa baik-baik saja dan memutuskan dengan lihainya untuk memilih keluarga? Atau dalam beberapa kasus, memilih orang lain yang dicintai?

Di satu sisi, keluarga adalah orang yang paling tulus, orang yang selalu berada di setiap sudut kehidupan untuk melindungi. Samping, depan, belakang. Setiap keluarga pasti akan berperan sebagai pahlawan bagi anggota keluarganya yang lain. Membela, menaungi, mendorong ke depan, dan mungkin sampai bertaruh nyawa hanya untuk anggota keluarga. Lalu, apa salahnya jika kita membayar darah, pengorbanan, tetes peluh, dan waktu mereka dengan merelakan tambatan hati? Tampaknya itu merupakan sesuatu yang pantas untuk dilakukan. Tapi, tidak semua orang memiliki jenis pemikiran serupa. Semua orang berhak memilih. Setiap manusia memiliki pilihannya sendiri. Makhluk hidup (terutama manusia) memiliki kebebasan masing-masing yang sudah dimiliki sejak ia pertama kali bernapas di planet setelah Venus ini.

Sang sumber kehidupan mendongak naik secara perlahan-lahan dari lubang surya, menabur sinar kekuningan dan gelombang kehangatan yang berangsur-angsur akan berubah menjadi pancaran kalor yang menyelimuti bumi. Paruh burung yang sedang memamerkan keahlian terbang seolah tak mau tak dianggap, berteriak gembira menyemai kedamaian. Udara malam yang dingin sudah bertransisi menjadi udara pagi yang sejuk. Tetap memantulkan curahan dingin, namun jenis kedinginan yang berbeda. Kesunyian malam tergantikan oleh keriuhan kicauan burung. Dominasi binatang malam kalah oleh sekumpulan burung pagi yang menari kesana-kemari. Gelapnya malam sudah terganti dengan terangnya surya pagi. Hari yang baru telah dimulai. Hidup sudah berganti. Setiap manusia lahir kembali. Lembar nasib telah berbeda.

Pria itu terbangun dengan ledakan semangat, pikirannya tanpa ragu langsung berlari menuju titik itu, antena imajinasinya timbul di puncak kepala dan membayangkan setiap detik yang akan terjadi hari ini. Senyum tanpa permisi singgah di wajahnya yang masih sayu. Tepat hari ini, sesuatu yang sering terjadi bertahun-tahun silam akan terulang. Segera mengorek kembali momen-momen menyenangkan masa lalu. Membuat kawah kebahagiaan masa kecil itu kembali menganga. Menciptakan getaran damai di hati, menambah daftar panjang kegembiraan hidupnya.

Marc melompat turun, dengan gagahnya langsung menuju kamar kecil tanpa bermalas-malasan lebih dulu di ranjang dan menikmati waktu tidur tambahan (suatu kebiasaan yang selalu dipertahankannya sampai sekarang dan merupakan salah satu kebiasaan buruknya). Pria itu mandi, menggosok gigi, meraih handuk dan mengeringkan tubuhnya, lalu keluar dengan selapis handuk yang terbalut. Dengan sigap dilangkahkan kakinya menuju lemari berukuran besar yang menjulang di sudut kamar, ditariknya  selapis kemeja hitam polos bersamaan dengan tandemnya–celana jins Levi’s berwarna sejenis yang selalu dikenakannya ke acara-acara khusus dan merupakan celana jins kesayangannya.

Percaya diri, Marc membentangkan tangan satu per satu dan menyelipkannya ke kemeja hitam itu, mengancing perlahan, lalu berganti mengenakan celana jins yang lebih dulu ditidurkan di ranjang dan merampas ikat pinggang yang tergantung di samping lemari. Merasa sudah pas dengan busananya, Marc berbalik, menuju cermin berukuran sedang yang tergantung di salah satu sisi kamar, lalu mematut dirinya sendiri. Disisirnya rambut model barunya dengan belahan jari (Marc baru memangkas rambutnya kemarin, yang sengaja dipersiapkan untuk hari ini), ditepuk-tepuk pipinya yang tirus untuk meningkatkan kadar kesegaran dirinya, lalu disingkap lengan kemejanya hingga sebatas sikut, membiarkan pantulan kemaskulinan menyeruak dari dalam dirinya.

Marc mengangkat kepala, memamerkan lekuk lehernya yang ramping, yakin bahwa ia sudah cukup tampan untuk bertemu dengan gadis itu hari ini. Ya, apalagi memangnya yang membuat ia tidak cukup tampan? Semua detail penampilannya sudah dipersiapkan sejak kemarin, mulai dari jenis busana hingga jenis sepatu yang akan dipamerkannya. Semuanya sudah dalam prosedur. Tangan pria itu terkembang ke udara, menyentuh kerah kemejanya dan berpose bak model kelas internasional. Wajahnya sengaja dibentuk khusus agar tampak menawan, bibirnya dimajukan sedikit untuk menampilkan kesan seksi yang gempar, lalu rahangnya sengaja ditegangkan agar menyiratkan kekokohan.

Sempurna, batin pria itu. Ia sudah siap. Sudah siap mengimbangi keanggunan gadis itu dan mengulang semuanya kembali hari ini. Setiap detik akan berjalan sesuai kendali dan tidak menyimpang dari daftar yang telah disusun. Segalanya telah diatur sedemikian rupa. Sangat, sangat sempurna.

Marc tersenyum, meraih ponselnya, lalu memperbaiki sedikit posisi ikat pinggangnya sebelum menarik kenop pintu. Tak lupa sebelum itu ia mengepak kemejanya yang luntur akibat warna putih dari debu yang singgah yang entah darimana datangnya. Memang dasar, debu nakal. Tidak selarasnya kaki yang berbelok dan mata yang masih berfokus pada busana membuat Marc hampir terpelanting dan merusak penampilannya hari ini. Ia hampir menabrak seorang lain yang sudah berdiri tepat di samping pintu kamarnya entah dari kapan. Pria lain itu menunduk, menyandarkan punggung di dinding, kedua telapak tangan yang disembunyikan di dalam saku, lalu sebelah kaki yang tertekuk dan menekan dinding. Memang tampak cool dan terkesan keras berpadu dengan raut wajahnya yang terlihat samar-samar.

“Oh demi Tuhan, kau hampir membuatku mati di tempat, Dani!” Marc mengelus dada, mengatur napas, lalu mencoba bersikap normal kembali. Jangan sampai hanya karena secuil peristiwa konyol dan tidak penting ini membuyarkan segalanya. Persetan jika sampai itu terjadi.

“Mau keluar?” tanya pria itu datar, masih tak bergerak.

Marc mengangguk, sebelum disusul dengan suara, “Ya.”

“Bersama Rachel?”

“Dengan siapa lagi?” Marc mengedikkan bahu.

Sudut bibir pria itu yang awalnya tak tajam kini melengkung tak tulus, tersenyum sinis. “Oh.”

Marc menelan ludah, menganggap tingkah aneh sepupunya itu sebagai angin lalu, berpikir bahwa sifat labil dan kekanak-kanakan sedang menguasai dirinya dan kumat, lalu kembali berjalan menuju meja makan.

“Aku mencintainya.”

“Apa?”

“Kurasa kau tidak tuli dan bodoh, aku mencintainya.”

“Kau bilang apa? Mencintainya?” Wajah Marc yang segar mendadak berubah kaku, alis matanya yang tebal dan runcing bersatu, dahinya berkerut, melahirkan beberapa garis imajiner.

“Aku mencintai Rachel Guerrero, puas?” Dani berdiri tegak, menatap punggung Marc yang tegang. “Kau mengerti sekarang? Atau masih kurang jelas?”

Refleks, Marc berbalik. Bingung menyapu hatinya. Apa-apaan dia? Mencintai Rachel? Omong kosong apa yang tengah dimainkannya? Ini bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda. Tidak, ini tidak benar. Sandiwara ini tidak boleh diteruskan.

“Jangan bercanda. Aku sedang tidak ingin bermain. Aku buru-buru,” tegas Marc, masih dengan wajah kaku dan tubuh yang berdiri tegap. Sorot matanya penuh mencari tuntutan keseriusan.

“Menurutmu aku bercanda? Apa wajah ini menyiratkan permainan?” Dani melangkah, memangkas jarak di antara mereka, lalu mendekatkan wajahnya, membuat Marc memundurkan kepalanya, tak ingin hidung mancung mereka saling bersentuhan.

“Jika kau memang benar mencintainya, lantas mengapa selama ini kau diam saja? Mengapa kau tak pernah mengatakannya padaku?”

“Pentingkah jika aku mengungkapkannya padamu? Kau berada di luar negeri selama beberapa tahun, dan aku juga tidak menetap di kota ini. Kita sama-sama terpisah dengannya, lalu kembali lagi ke sini bersama-sama. Awalnya aku sempat melupakan gadis itu, tapi ketika kuketahui kau kembali menemuinya, perasaan ini kembali berkibar, kembali bangkit, kembali hidup, Marc. Aku tahu kau mencintainya sedari dulu, benar kan? Tapi kau tidak pernah tahu bahwa aku juga mencintainya. Kau pernah membayangkan betapa sakitnya aku saat kau berdua dengannya dan sangat dekat? Sebenarnya itu wajar mengingat kau adalah sahabat kecilnya sejak kalian masih berusia balita, tapi aku juga manusia, aku bukan malaikat. Aku sakit, Marc. Kau mengerti? Kau pernah berada di peranku? Kau pernah mengalami apa yang kualami? Kau tahu bagaimana rasanya jika rongga hatimu dipenuhi oleh luka-luka sayatan? Kau tahu, Marc? Kau mengerti bagaimana rasanya? Kau pernah merasakannya?” teriak Dani tepat di wajah Marc, mencurahkan seluruh isi hatinya. Sepasang alis matanya yang gelap berkilat, lembap menampung keringat. Sudut-sudut matanya tajam dan mematikan. Suaranya bergetar.

Marc menyipitkan mata, menatap tajam nan penuh arti. “Kau menyalahkanku untuk semua yang kau rasakan, begitu?”

“Kau masih tidak mengerti?”

“Memang. Katakan dengan jelas. Jangan bertele-tele. Maksudmu, itu semua adalah salahku kau menderita luka hati? Aku yang merencanakan semua ini? Aku yang menjerumuskanmu ke dalam luka yang masih basah? Aku adalah penjahatnya, itu yang ingin kau sampaikan?”

Dani memalingkan wajah, tiba-tiba ragu untuk mengungkapkan. Hatinya yang keras sedikit tersenggol. Apa benar ia harus mengatakan ini pada sepupunya sendiri? Apa Marc mau? Apa Marc ikhlas? Apa Marc mau merelakan?

“Lakukan sesuatu.”

“Sesuatu apa maksudmu? Tolong, jangan main-main.”

Dani menelan ludah, berpaling memunggungi Marc, diam selama beberapa detik, menerawang jauh ke depan. Mendadak lidahnya kelu, lupa cara berbicara yang benar. Udara sekitar semakin menebarkan hawa panas. Punggungnya kaku. Kuda-kudanya sedikit tergoyahkan.

“Kau mau aku melakukan–”

“Pergi, dan biarkan dia bersamaku,” potong Dani sembari memejamkan mata.

Marc menggeleng, tak habis pikir. “Tidak. Aku tidak akan melakukannya.” Raut wajahnya tampak yakin dengan keputusannya yang tanpa pikir panjang dan blak-blakan.

“Begini, Marc,” Dani menghadapkan dadanya ke arah Marc, berjalan dua langkah, sebelum menambahkan, “Apa pernah aku meminta sesuatu darimu selama ini? Apa pernah aku merepotkanmu sepanjang kita menjadi saudara? Apa pernah aku melukaimu? Apa aku pernah meninggalkanmu? Apa ada sikapku yang menganggumu selama ini? Apa ada tutur kataku yang menggores hatimu? Apa pernah kita bertengkar hebat? Apa ada sesuatu yang salah denganku, Marc?”

“Tidak,” lirih Marc.

“Lalu? Tak bisakah kau melakukan yang ini untukku? Apa begitu berat bagimu untuk merelakannya? Apa kau lebih memilih wanita daripada saudaramu sendiri? Kau akan melakukan itu, Marc? Kau akan bersikeras mempertahankannya dan mengorbankan aku? Menurutmu kau pantas melakukan itu?”

“Dani, aku ... sungguh, itu ... aku ... ah!” Marc tergagap, mengangkat tangan, menjambak rambutnya sendiri yang sudah ditata sedemikian rupa, berbalik, lalu berteriak, “Aku tidak tahu apa aku bisa melakukannya atau tidak!”

Dani kembali mengupas jarak di antara mereka. “Kau bisa.”

“Kau sungguh menginginkannya?” Wajah Marc memerah, rata menangkup permukaan kulitnya.

“Aku sungguh mencintainya. Aku tidak akan meminta hal lain terhadapmu selain membiarkan dia bersamaku. Tidak akan begitu sulit, kami sudah saling mengenal dan kau cukup menghilang tanpa jejak. Maksudku, jangan pernah lagi muncul di hadapannya. Aku yang akan menggantikan posisimu sebagai sahabatnya dan merangkap sebagai kekasihnya, menyentuh hatinya perlahan-lahan. Mudah, kan?”

Marc menelan ludah, menggembungkan jakunnya, memejamkan mata seolah berpikir keras, mendaur ulang napas, sebelum berkata lemah, “Jaga dia baik-baik atau aku akan merebutnya kembali.”

“Bagus. Terima kasih. Sekarang, biarkan aku yang akan membawanya pergi hari ini. Lembar yang baru akan di mulai di antara kami.” Dani menghela napas, merasa lega, menepuk pundak Marc dengan punggung tangan, lalu berbalik dan menghilang di antara udara di balik pintu.

Sementara Marc, di sini, terperosot ke lantai. Usai sudah, semuanya berujung sia-sia. Tak berguna, pecah menghambur kepingan luka. Usahanya berakhir tragis, ironis. Busana yang sudah dipersiapkan matang-matang, model rambut baru yang sudah gagah untuk dipamerkan dan menghipnotis gadis itu, wajah segar dan semangat yang membludak, semuanya sudah selesai. Tidak bersisa selain menghempas dirinya sampai ke titik ini. Di titik paling dilema dalam hidup, di posisi paling sukar selama napasnya (setara dengan saat ia harus meninggalkan Rachel waktu kecil tanpa pamit), di suatu peran kehidupan yang paling tidak disenanginya. Ya, Marc benci berada di posisi ini. Ia benci harus memilih antara saudara dan gadis yang dicintainya sejak bertahun-tahun. Ini adalah keputusan tersulit yang pernah ia ambil sepanjang sejarah hidupnya hingga kini.

***

Siapa yang mengajak, siapa pula yang datang terlambat? Siapa yang datang kembali setelah bertahun-tahun menghilang, lalu dengan yakinnya mengajak mengulang masa lalu, namun kini entah di mana batang hidungnya? Siapa yang tidak kesal jika harus menunggu selama satu jam tanpa melakukan apapun? Siapa yang mempunyai hobi menunggu? Entahlah, mungkin ada serpihan manusia di dunia ini yang mempunyai hobi aneh dan membosankan tersebut, tapi tidak gadis itu. Ia tidak suka menunggu, ia benci harus terduduk tanpa melakukan apapun selain menggerutu dan menghitung detik, dan ia tidak senang jika diharuskan menunggu.

Rachel menghela napas untuk keseribu kalinya dalam satu jam terakhir, mengelus dan memijit dahinya, berharap gumpalan emosi yang menyesaki otak dan hatinya akan tersingkir. Kaki gadis itu menghentak lantai, tertekuk, bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir. Aneh? Terserah, memangnya itu penting sekarang? Telapak tangan Rachel berangsur-angsur mengepal, mengkristalkan emosinya dalam satu bentuk, bersiap untuk meledakkannya dalam waktu dekat. Ya, ia akan menyembur laki-laki itu dengan sejurus omelannya ketika ia sampai ke tempat ini. Sebodoh prihal pria itu adalah teman masa kecilnya dan mereka akan cek-cok di hari yang digadang-gadang akan berlangsung menyenangkan ini. Laki-laki itu harus membayarnya. Marc perlu diberi pelajaran tentang kedisiplinan. Ia harus lebih menghargai waktu.

Namun tiba-tiba, di tengah-tengah kobaran api emosi yang melilit gadis itu, terdengar secercah suara pria yang mengudara. Suara itu terdengar berat, berani, dan terkesan kuat.

“Rachel?” panggil sosok itu, berdiri kaku tak bergerak.

Rachel memejamkan mata, merasa terpanggil. Itu pasti Marc, batinnya yakin. Buru-buru Rachel berbalik dan menyiram wajah sosok itu dengan serentetan kata-kata curahan hatinya, “Kau terlambat satu jam, Marc. Kau tahu aku telah menunggu–”

Seketika sepasang bola mata Rachel membesar, urat-urat dahinya yang tegang seolah hendak putus detik itu juga. Bibirnya mengering, ludah seakan tak mau mengalir di tenggorokannya, macet dan tidak bergerak. Punggungnya bak dilempar ke kutub es dan terpatah menjadi dua. Desiran darahnya tak berjalan. Jantungnya seolah bolong dan disumpal oleh kebingungan yang membatu.

“Kau? Dani?” tanya Rachel dengan rasa penasaran yang mengelilingi.

“Ya, ini aku. Dani Pedrosa. Teman masa kecilmu,” sahut pria itu, yakin dan tegas, merasa menguasai suasana.

“Bagaimana kau bisa ada di sini? Di mana Marc? Kau bersamanya?”

“Itulah maksud kedatanganku kemari.”

“Maksudmu?”

“Ya, Marc memutuskan untuk pergi selama-lamanya. Dia tidak akan pernah kembali.”

Jiwa Rachel seolah mengamuk, terseret ke dimensi berbeda. “Apa-apaan kau ini?”

“Hubungi ponselnya. Aku bersumpah dia tidak akan menjawab, karena dia memang sudah pergi.”

Sigap, Rachel merogoh saku celana dan menghubungi ponsel pria itu, membuktikan bahwa yang dikatakan Dani adalah omong kosong. Marc tidak mungkin pergi lagi. Marc tidak akan melakukannya. Marc masih di sini dan mungkin hanya terjebak macet atau semacamnya. Namun, nihil. Dani benar. Senyatanya, Marc memang tidak bisa dihubungi walaupun Rachel sudah berkali-kali mencoba dan berharap penuh. Pria itu pergi lagi. Pria itu kembali meninggalkannya di sini tanpa sepatah kata. Pria itu mengulangi kesalahan yang sama. Lagi, Marc mendorongnya ke dalam jurang kebingungan dan mengikatnya dalam lingkaran keputusasaan.

“Sial! Marc, kau di mana? Permainan bodoh apa ini? Apa yang kau lakukan, Marc?! Mengapa kau melakukannya lagi? Mengapa, Marc? Mengapa?! Aku bersumpah aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kau memang pergi dan menambah panjang masa-masa beratku tanpamu!! Marc!!” teriak Rachel, kalap, seakan-akan Marc dapat mendengar keluhan hatinya. Mata gadis itu memanas, seolah terbakar amarah. Bulir air bening yang suci muncul dan menindas pipinya. Tubuh Rachel limbung, lemah.

“Sudahlah,” bisik Dani, menampung tubuh Rachel dan mengalirkan kehangatan ke tubuh gadis itu.

“Dani, mengapa ia melakukannya?” sesak Rachel, menuntut pembenaran.

Karena aku yang menyuruhnya, jawab Dani dalam hati. Senyum kemenangan menempel di sudut-sudut bibirnya. Dan karena aku juga mencintaimu, Rachel Guerrero, batinnya bangga.

Cocokkah jika kata “pecundang” disematkan dalam nama pria itu? Pria yang kini hanya bisa bersembunyi di balik tembok dengan kepiluan yang menghujam? Pria tak berdaya yang hanya bisa menangis dalam hati dan menyaksikan fenomena haru di hadapannya? Pria yang hanya bisa membenci dirinya sendiri dan menggeram tanpa melakukan apapun yang lebih berguna? Pria yang pada akhirnya hanya bisa bersandar dan mengucapkan kata-kata itu untuk dirinya sendiri, untuk di dengar oleh telinganya sendiri, pasrah.

Selama kini aku mencintaimu dalam diam. Aku tidak pernah mengatakannya bukan karena aku takut, melainkan karena aku khawatir. Aku mengkhawatirkan nasib persahabatan kita. Aku tidak ingin jalinan kedekatan ini harus hancur begitu saja karena cinta. Aku tidak ingin kedekatan kita harus terbelah dan mengakibatkan kau menjauh. Kini, ketika aku dihadapkan dengan kenyataan di mana aku harus memilih antara kau dan saudaraku, aku bimbang. Aku perlu banyak pertimbangan untuk memutuskan. Dan, setelah aku merasa mendapatkan pilihan yang tepat, aku dengan pilu memilih pilihan kedua. Aku memilih saudaraku. Aku memilih anggota keluargaku. Sekali lagi, bukan karena kau tidak penting, tapi inilah hidup. Ada saat-saat di mana kau dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, dan kau diharuskan untuk memilih salah satu. Aku memilih untuk tetap menjaga perasaan ini, membiarkannya tetap tertanam dalam hatiku dan kau tidak akan pernah mengetahuinya. Maafkan, tapi inilah pilihanku. Pergilah bersamanya ... Aku akan tetap mencintaimu dari sini, dari kejauhan, dari suatu tempat yang kau tidak akan pernah bisa menjangkaunya. Karena aku mencintaimu dari setiap sudut hatiku.


END


Bagaimana menurut yang baca mengenai cerita kali ini? Harapanku cerita ini nge-feel dan mengukir ekspresi positif di wajah pembaca. Aku selalu menampung komen apapun, komen positif maupun negatif. Aku juga selalu menunggu komen-komen yang akan datang ;) Terima kasih sekali lagi :)

Comments

  1. icuutt!!! kenapa marc ngerelain rachel buat dani? :'D wweeh broo air mata menetes bacanya /lebeh/ --_-- dani tega woy gituin marc. Tapi ceritanya seru kok cut xD aku nggak nyangka aja marc bener2 ngerelain rachel buat dani padahal ya kan dia juga cinta :3 /prokkprook/
    ada sambungan buat ceritanya mark nggak ni cut :> pan kesian si abang kagak ada pasangan :v hihihi
    eh btw maap komennya kepanjangan maklum lagi gabuk baca ff marquez -__-v /peace/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi, karena Dani keluarga dia, jadi dia lebih milih Dani dari pada si Rachel, Nov. Wkwkwk (baik bener ya si Marc) :D Belum kepikiran buat kelanjutan Marquez nih, Nov. Kalo buat lanjutannya, pasti ada cewek baru kan, hehehe. :D Thank you yaaa udah baca dear ;)

      Delete
    2. aww so sweet banget si marc :'))
      wahaha iya cut xDD pasangin aja aku sama si marquez cut ;)) /nah loh?/ ._.v /peace/
      iyaa sama-sama sayang {}

      Delete
    3. Hehehe, nanti aku gimana Nov? ._. eh Nov, aku kepikiran buat fanfic tentang dirimu lhoo. Kisah cintamu :D

      Delete
    4. Kisah cnta yg mana cut?? -___-

      Delete
    5. Hahaha, pura-pura gatau lagi Nov, wkwkwk :D

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Post a Comment