TWOSHOT : Pergilah ... Bersamanya #1

Tidak terlalu yakin dengan cerita kali ini. Tampaknya tidak lebih bagus dari cerita sebelumnya. Oke, happy reading. Dikomen ya bagi yang sudah baca dan mau repot sedikit ;) 


Ada yang bilang bahwa kita akan sulit untuk melupakan masa kecil, atau bahkan kita tidak akan pernah bisa melupakannya. Ada yang bilang masa kecil itu menyenangkan, mengasyikkan, dan menggembirakan. Di mana kita tidak terjebak dalam masalah, tidak terperangkap dalam tekanan, tidak terjerat dalam luka hati. Suatu fase dalam hidup manusia yang hanya terjadi sekali dan tidak akan pernah terulang. Suatu fase yang mungkin menduduki posisi pertama dalam masa paling menyenangkan.

Teman masa kecil. Barangkali teman pertama dalam fase anak-anak adalah teman yang paling polos dan terbaik. Banyak yang bilang bahwa teman masa kecil adalah manusia terbaik, orang yang luar biasa setia, dan mungkin menduduki posisi kedua setelah orang tua dalam kategori orang paling berharga dalam hidup. Tapi, tidak semua orang berkata demikian. Ada juga yang menyebut bahwa teman masa kecil adalah sampah, seseorang yang tidak dapat dipercaya, manusia yang berkhianat. Semua kembali pada nasib dan pribadi masing-masing.

Namun, apa yang terjadi jika suatu persahabatan masa kecil itu mulai berjalan berbeda? Maksudnya, mulai menimbulkan perasaan-perasaan lain yang lebih? Menumbuhkan bibit-bibit kecil yang lama-lama akan mengakar dalam hati terdalam? Dan akan bertahan di sana untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan? Tentu itu bukanlah akhir yang diinginkan oleh sepasang sahabat yang menyulam persahabatan mereka di atas pondasi yang kuat. Itu di luar ekspektasi manusia.

Dipertemukan pertama kali oleh Tuhan dalam status tetangga terdekat pada usia empat tahun. Mulai berkenalan, berjabat tangan, saling mengucapkan serangkaian huruf yang berbunyi nama, melempar senyum, dan bermain. Awalnya memang tampak normal, biasa, dan cenderung monoton untuk anak-anak usia balita. Namun, siapa sangka itu adalah awal dari suatu persahabatan yang kokoh (setidaknya untuk beberapa waktu yang lalu)? Siapa yang tahu bahwa itu juga adalah awal dari perasaan lain yang sampai kini tetap bersarang dalam hati salah seorang sahabat itu? Atau mungkin tidak hanya seorang, tapi mereka sama-sama mempunyai perasaan itu? Siapa yang pernah berpikir bahwa itu adalah awal dari perpisahan mereka? Siapa yang tahu? Siapa yang sangka? Siapa yang pernah meramalkan?

Bertahun-tahun terpisah dan putus hubungan, siapa juga yang menyangka bahwa takdir akan mempertemukan mereka kembali? Sama-sama berpikir bahwa mereka sudah selesai, tidak akan pernah bertemu lagi, dan sempat mencoba untuk melupakan masa kecil dan persahabatan mereka. Tapi, rupanya garis nasib tidak berkata serupa. Nasib tidak setuju. Takdir memiliki jalan lain. Jalan yang tidak hanya bertentangan dengan pikiran mereka, tapi juga jalan yang jauh lebih baik. Jalan yang akhirnya mengorek kembali masa kecil itu untuk menguap. Jalan yang pada akhirnya menjadikan mata mereka kembali bersitemu. Jalan yang kembali membangunkan hasrat dalam hati yang lama telah terkubur.

Gadis itu berhenti pada satu titik, mengedarkan tatapannya ke sekeliling yang dipenuhi bunga-bunga mekar dengan dominasi tiga warna; putih, merah muda, dan ungu, mengisi penuh paru-paru, mencium aroma rumput basah, memejamkan mata seolah benar-benar menikmati indahnya tempat ciptaan manusia ini, lalu menghempaskan bokong dan tulang belakang secara bersamaan di atas sebuah kursi panjang sewarna es dengan ukiran penuh yang berliku. Tampak mengesankan jika dilihat dari luar, namun sedikit tidak nyaman saat dijadikan penyangga leher dan punggung. Terlalu keras dan berkelok.

Taman ini. Tempat yang biasa dijadikan sebagai “kandang bermain”-nya dulu bersama seorang lain. Bersama seseorang yang tidak diketahui entah di mana rimbanya sekarang. Bersama seorang manusia yang pernah menemani hari-hari masa kecilnya dulu. Bersama seseorang yang sangat setia (setidaknya waktu dulu) untuk pergi ke mana pun dan melakukan apa pun untuknya. Bersama seorang manusia ciptaan Tuhan yang selalu saja berhasil menggantungkan senyum di wajahnya. Bersama seseorang yang juga pada akhirnya membunuh kesetiaannya itu sendiri dengan kasar dan kejam bagai seorang pembunuh berdarah dingin kelas kakap. Sedikit ironis memang.

Rachel melirik ke arah samping, menangkap sebuah pohon magnolia yang berdiri tegap dan mengakar pada tanah kualitas baik. Sebuah pohon yang masih sangat familier di kepalanya. Pohon yang dulu selalu menjadi atap baginya dan seorang lain itu untuk bermain. Sejenak pikiran gadis itu melayang, lari kembali pada masa-masa itu. Suatu masa yang sangat, sangat menyenangkan baginya sebelum akhirnya berubah drastis. Masa yang awalnya terasa manis, namun berakhir pahit di ujung. Masa di mana hatinya untuk pertama kali merasakan suatu perasaan jenis lain yang berbeda yang sekarang masih tetap mengapung di dalam sana.

“Ayo, Rachel! Kejar aku jika kau bisa!!”

“Awas kau, ya! Akan kudapatkan kau dan tak akan kulepas lagi!”

“Hei, aku lelah. Berhentilah berlari!”

“Kau lemah, begitu saja sudah lelah, ayo kejar lagi!”

“Hei berhenti! Kumohon!”

“Tidak mau! Ayo kejar aku!”

“Hei, kau tidak apa?”

“Ini semua karena kau! Kau tetap saja berlari dan tak mendengarkanku, sekarang coba lihat apa yang terjadi!”

“Maafkan aku, Rach.”

“Tidak mau!”

“Sini, biar ku-obati lukamu itu!”

“Tidak usah, lepaskan! Aku bisa mengobatinya sendiri! Aku mau pulang!”

“Rachel!! Tunggu! Aku minta maaf!!”


Bibir gadis itu tertarik ke samping, membuat lengkungan tipis yang membayang seulas senyum kecil. Masa-masa itu terlalu indah untuk dikenang. Sangat lucu dan menggemaskan. Rachel kembali melempar pandangannya ke arah berbeda, kini tertuju pada sebuah air mancur ukuran sedang yang dikelilingi oleh selingkar kolam ikan. Dulu banyak ikan-ikan kecil yang menjadi penghuni kolam itu, namun sekarang entah masih bertahan atau tidak. Mungkin sekarang sudah digantikan oleh ikan jenis lain yang masih berukuran serupa.

Gadis itu menghela napas, mengusap rambutnya dan mengerjapkan mata beberapa kali, membongkar kembali momen-momen menyenangkan lainnya.

“Jangan masukkan tanganmu ke kolam itu! Jangan ganggu ikan-ikanku!”

“Memangnya kenapa jika aku menganggunya? Ikan-ikan itu bukan milikmu, tahu!” Pemilik suara itu meruncingkan bibirnya.

“Tidak! Ikan-ikan itu milikku! Singkirkan tanganmu!” Kening Rachel kecil berkerut dan tangannya yang mungil dengan kasar mencengkeram tangan sosok itu lalu menghempaskannya membelah udara.

“Hei, apa-apaan kau ini, Rach?! Tanganku sakit, tahu!”

“Lalu? Itu adalah salahmu! Sudah kuperingatkan jangan ganggu ikan-ikanku! Aku sayang mereka ...” Jari telunjuk Rachel keluar, menukik ke dalam kolam dan memutar-mutar airnya, membuat ikan-ikan kolam kesayangannya saling beradu kecepatan renang dan mengibaskan ekornya. Mungkin ikan-ikan malang itu pusing dengan keadaan permukaan air yang bergelombang akibat ulah “sayang” Rachel kecil.

“Kau ini ...” Sosok itu menggeleng-gelengkan kepala.


Waktu itu keadaan masih sangat mudah, tidak berbatu dan tampak tak ada masalah. Semua berjalan mulus dan dalam kendali. Seulas senyum kecil lainnya kembali menggelayut di wajah Rachel selama beberapa detik, sampai akhirnya masa-masa yang berat itu datang dan menyerempet jalannya masa-masa indah yang terbangun di pikiran gadis itu. Terhapuslah senyumnya, tergantikan oleh ekspresi datar nan canggung yang hambar.

Beberapa tahun yang silam, tepat hari Minggu paling pagi saat Rachel keluar dari pekarangan rumah dan berbelok tajam ke kanan. Langkah kakinya yang sempit menuntun gadis kecil itu untuk tetap maju dan mengetuk pintu beberapa kali. Memanggil-manggil nama sosok itu, mendongak ke dalam rumah melewati jendela, berputar dan mengetuk pintu belakang, menggedor-gedor pintu, berteriak memanggil namanya, dan mendorong pintu dengan punggungnya yang masih lemah. Namun sayang, memang sesuatu telah terjadi. Rachel kecil tetap tidak mendapatkan jawaban apapun. Akhirnya, pulanglah ia kembali dengan wajah tertekuk dan kaki yang diseret, merasa lesu dan tidak bersemangat. Dan sejak saat yang membingungkan itulah mereka tidak pernah berjumpa lagi. Sosok itu tidak pernah kembali.

“Masa kecil yang mempunyai dua sisi. Sisi yang berlawanan,” ucap Rachel tidak sengaja. Bola matanya masih tetap terarah ke depan, kosong dan tidak berkedip selama beberapa waktu. Bibir merah mudanya tidak sedikit pun melengkung, datar.

“Memang berlawanan. Namun tetap didominasi oleh sisi yang menyenangkan.”

Telinga gadis itu menangkap suara, namun kepalanya tidak berbalik, masih bertahan dalam posisi semula. Sepasang alis matanya yang tebal namun berantakan bersatu, membangun tautan jenis baru yang penasaran. Tak lama kemudian Rachel memutar kepala, melihat memangnya siapa yang lancang menyantel ucapannya.

Dan seketika itu juga, dunia Rachel seolah terguling, runtuh dan berputar hebat, berhenti pada satu titik. Mata mereka saling bertatapan, menyelami satu sama lain. Punggung Rachel berubah kaku. Wajahnya memanas dan syaraf-syarafnya seolah membeku, tidak berfungsi. Buru-buru Rachel menarik mundur matanya, melempar pandangan ke arah lain, lalu menelan ludah dengan susah payah.

“Kupikir masa kecilmu bahagia. Aku membuat kesalahan?” Sosok itu tersenyum, berbelok dan tanpa permisi langsung mendaratkan tubuhnya ke atas kursi yang sama dengan gadis itu hingga tanpa menyisakan jarak. Bahu mereka saling bersentuhan, yang otomatis membuat Rachel semakin merasakan gejala demam mendadak. Kepalanya pusing dan suhu tubuhnya meningkat. Ia tetap tidak membuka celah di bibir.

“Rachel Nicollina Guerrero,” panggil sosok itu keras-keras, menghadapkan wajahnya ke wajah Rachel.

Selama beberapa detik Rachel terdiam, menyusun matang-matang kata pembuka yang tepat untuk dilontarkannya, sementara sosok itu terus menatap matanya dalam-dalam. “Marc Marquez Alenta,” ujar gadis itu tak mau kalah keras.

Pria itu tersenyum, mengangkat dagu, lalu berkata, “Teman masa kecilku. Masih tetap sama rupanya.”

Teman masa kecil. Tiga kata yang terngiang di kepala Rachel, melanjutkan kembali ingatannya akan masa lampau, membayangkan wajah sosok di hadapannya saat masih berusia balita. Wajah yang dulu culun, kini sudah berubah drastis, terlihat jauh lebih tampan, tapi masih memiliki sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sesuatu yang masih dapat Rachel ingat dengan baik. Kulitnya yang dulu gelap, menjadi lebih putih sekarang. Tidak terlalu putih, namun tergolong berkulit putih dalam kategori pria. Tinggi badannya tak ingin ketinggalan, sangat berubah. Yang dulunya mungkin tinggi badan mereka sama, kini Marc jauh lebih tinggi dibanding Rachel (yang merupakan sesuatu yang normal-pria lebih tinggi daripada wanita). Suaranya pun tak mau kalah, terdengar lebih berat. Model rambutnya? Tampaknya pria itu sudah lebih mengerti masalah penampilan. Tatanan rambutnya sengaja ditata khusus untuk menghasilkan sosok dirinya yang menawan, terlihat maskulin dan terkesan cool. Namun, di antara sekian banyak komponen tubuhnya yang baru, perubahan yang paling menonjol adalah giginya. Deretan giginya sekarang jauh lebih rapi dibandingkan gigi-giginya yang dulu. Waktu kecil, Marc tidak memiliki gigi yang utuh. Ada beberapa giginya yang berlubang dan terpaksa harus dicabut, yang mengakibatkan ia tidak memiliki gigi di bagian kanan dan kiri depan. Dan sekarang, sosok Marc sudah bertransisi. Jika diumpamaan, sosok dirinya dulu dan sekarang bagaikan langit dan bumi. Memang masih tampan, tapi derajat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat di usia dewasa.

“Kupikir kau juga masih tetap sama.”

“Aku memang masih sama dengan yang dulu, tidak ada yang berubah.” Pria itu meregangkan dadanya, membentangkan tangannya di sepanjang punggung kursi, mencoba lebih rileks, tampak seolah-olah sedang mengaitkan tangannya di bahu gadis itu.

“Sudah lama sekali tak bertemu. Kau tidak pernah kembali.” Rachel menatap lebih tinggi, menyesuaikan matanya dengan mata pria itu yang memang lebih tinggi dari posisi kepalanya.

Marc menghela napas, mengusap pelipis, mencebikkan bibir bawahnya, lalu membalas, “Hm, ya. Waktu itu aku pergi tanpa pamit padamu. Aku sadar aku telah membuat kesalahan,” Marc mengatur ulang posisi duduknya, “Aku minta maaf. Awalnya aku ingin datang ke rumahmu dan sekadar mengucapkan selamat tinggal, namun orang tuaku melarang. Mereka bilang bahwa mereka sudah berpamitan dengan orang tuamu, dan aku tidak perlu melakukannya lagi. Pikiran yang masih dangkal membuatku menurut, jadi aku langsung ikut tanpa memberi perlawanan. Aku berada di luar negeri selama beberapa tahun, sampai dua minggu yang lalu aku memutuskan untuk kembali, ke sini, ke kota ini, ke tempat ini.” Bibir atas Marc yang tajam tertarik, menciptakan sebuah lengkungan tipis yang kontras dengan bibir bawahnya.

Sementara Rachel menyelami bola mata pria itu, berusaha mencari kejujuran di dalamnya. Tiga, empat, lima. Lima detik keheningan yang memangkas obrolan mereka. Memasuki detik keenam, Rachel akhirnya mengangguk, berhasil menemukan unsur kejujuran dari mata dan nada suara pria itu. Suatu sifat terbaik dari diri Marc yang jarang ditemui dalam diri laki-laki lain. Marc hampir tidak pernah berbohong. Berdusta dengan orang lain saja ia hampir tidak pernah, apalagi membohongi sahabat kecilnya. Tidak, itu bukanlah Marc yang sebenarnya. Ia tidak pernah begitu. 


“Aku mengerti, tidak perlu meminta maaf,” ujar Rachel, merelakan saat di mana ia harus pulang dengan tangan hampa dan perasaan membingungkan.

“Baiklah.” Marc mendekatkan wajahnya dan membelai rambut hitam yang sengaja dibiarkan tergerai oleh gadis itu, menyadari bahwa dari dulu sampai sekarang ia masih bertahan dengan jenis sampo yang sama. Marc menyukai aroma sampo itu. Aroma yang sangat lembut dan menenangkan, katanya dulu tiap kali menciumi rambut Rachel, yang sampai sekarang masih tetap terawat, lebat, dan berwarna hitam pekat.

“Omong-omong, apa yang kau lakukan sekarang? Kau tinggal sendiri di sini? Bagaimana kabar orang tuamu?”

“Terkadang aku menulis atau melukis, lebih sering melukis. Aku tinggal bersama sepupuku, Dani, ingat?”

Rachel mengangkat sebelah alis, mengangguk-anggukkan kepala bak anak kecil yang penurut, lalu kembali mengoceh, “Ya, aku ingat. Dani yang dulu selalu mengunjungimu tiap akhir pekan, bukan? Dani yang selalu bergabung dengan kita tiap kali ia berkunjung, kan? Dani yang terkadang menyebalkan, namun di sisi lain ia juga adalah orang yang setia. Dani yang berwajah super imut dan selalu membawa botol air minum bermotif kartun kesayangannya ke mana-mana dengan digantungkan di lehernya, kan? Kartun apa yang paling disenanginya? Aku lupa,” Rachel mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu, “Dani yang dulu suka mengusiliku sampai-sampai aku meraung dan membentaknya, dan kau selalu datang tepat waktu dan memarahinya, padahal ia adalah sepupumu sendiri. Kau ingat? Dia tidak pernah jera dan berhenti, selalu saja mengulanginya walaupun kau sudah memukulnya berkali-kali.” Rachel memutar matanya, melirik wajah Marc sekilas sebelum membuka mulutnya lebar-lebar, tergelak dengan kepala yang menerawang langit biru.

“Haha, ya, ya, kau benar. Dia memang keras kepala.”

“Bagaimana keadaannya sekarang? Aku penasaran dengan perawakannya, sikapnya, kebiasaannya, semuanya.”

Marc memajukan bibirnya, menatap dalam sebuah pohon, mengikuti seekor burung merpati putih yang mengibarkan sayap untuk terbang ke pohon lainnya. “Dia baik. Sekarang ia sudah jauh berbeda.”

Rachel mengangguk dua kali, mengucapkan “Oh, begitu” dalam diam.

“Oh ya, ada rencana besok lusa?”

“Besok lusa?”

“Ya, besok lusa. Jalan-jalan? Mengulang masa kecil? Mau?” tawar Marc lebih jelas.

Rachel terdiam, membayangkan jalan-jalan masa kecilnya dulu bersama Marc. “Boleh,” putus Rachel. 

“Oke, besok lusa.”

Siapa yang sadar bahwa di tengah-tengah suasana yang menenangkan di antara sepasang sahabat kecil itu, di luar riak kegembiraan yang menaungi keduanya, tersembunyilah sesosok manusia lain yang berlindung di balik pohon besar di sudut taman? Sosok manusia yang entah dari mana datangnya. Sosok yang tampak begitu keras, dingin dan tanpa ampun (setidaknya jika dilihat dari luar). Sosok yang telah mengamati Marc dan Rachel sejak awal pertemuan mereka kembali. Sosok itu menggeram, garis amarah tampak jelas bermain di wajahnya. Sepasang telapak tangannya yang kekar dan putih bak susu murni saling mengepal, menyembulkan urat-urat yang bergetar. Dalam hati ia berteriak, “Bajingan kau!!”


To Be Continued.. 

Comments

  1. icut, ceritanya tentang cinta segita ya? pasti marc dan dani rebutin rachel yaa? ._. seruseru xDD
    wakaka pasti yang dibalik pohon itu si dani :v kesian-kesian -_- /pukpuk bang dani/
    ditunggu yaa sambungannya ;))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwk, iyaa Nov. Ceritanya si Marc mencintai dalam diam gitu, hahaha. Tau aja deh Nov itu si Dani. Hehehe, thank you lhoo udah baca :D

      Delete
    2. haseekk cinta dalam diam :v jan kelamaan mendemnya nyesek entar :') /eh?
      iyaa sama-sama cut XD nonov tunggu yang kedua ;))

      Delete
    3. Insya-Allah besok malam (malam Minggu) aku pos, Nov. Besok ceritanya selesai. Hahaha :D

      Delete
    4. Wkwkwk aku tunggu cut malam ini :> hihih

      Delete
    5. udah baca buk, entar pas baca komen aku ucap bismillah dulu ya biar ga mual-mualm -__- /apa ini-,/

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Post a Comment