TWOSHOT : No One Knows #2 - END

Aku rasa cerita ini adalah cerita yang paling aku suka sampai sekarang dari cerita-cerita yang pernah aku tulis sebelumnya. Tapi, aku ga tau bagaimana menurut orang lain yang baca. Oh ya, cerita kali ini juga berkaitan sekali dengan judulnya. Ok, happy reading. Komentar selalu ditunggu bagi yang sudah baca dan mau repot sedikit. Terima kasih ;) 


Segala yang terjadi di permukaan bumi ini adalah kehendak Tuhan. Tidak ada satu pun partikel di planet ketiga dalam tata surya ini luput dari sepengetahuan-Nya. Semua telah dirancang sedemikian rupa. Berawal dari dasar dan berakhir di ujung. Selalu akan baik pada akhirnya. Bahkan secuil debu pun yang terbang dari satu tempat ke tempat lain sudah ditentukan kapan waktunya. Apalagi nasib manusia. Apapun yang terjadi dalam setiap hidup manusia sudah disusun oleh sesuatu yang pasti, yang tidak dapat diubah, yang datang dari satu sumber, satu tempat, Tuhan, yang disebut dengan takdir. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, tidak ada yang lain. Semua kembali pada Tuhan. Tuhan yang telah mengaturnya.

Gracie memutar kunci pintu kamarnya ke kanan dan berjalan menuju meja rias yang sengaja diberdirikan di sudut. Gadis itu mematut dirinya di depan cermin, melihat wajahnya sendiri yang terpantul, lalu memerhatikan bagian yang beberapa hari lalu di-elektrokauter. Kelopak mata kanannya. Gracie memajukan tubuhnya, menutup sebelah matanya, menahan bulu matanya dengan beberapa jari, lalu melihat keadaan kelopak mata kanannya dengan mata yang lain. Sudah mulai terkelupas, pikir gadis itu dalam hati.

Langkah kaki Gracie berbalik, berjalan menuju jendela kamar, menyingkirkan selapis gorden bermotif bunga-bunga bermekaran berwarna pelangi dengan dominasi warna merah muda, lalu mendorong ke depan daun jendela hingga terbuka. Sejenak gadis itu menarik napas, membiarkan udara malam memenuhi paru-parunya, lalu mengeluarkan kembali udara yang sudah berubah menjadi ampas respirasi berupa karbon dioksida itu. Semilir angin malam menerbangkan beberapa helai rambut Gracie ke belakang, menciptakan kesan yang semakin menawan dari pancaran keanggunan dirinya.

Gracie merogoh saku celana, mengeluarkan benda tipis itu dari dalam sana, lalu mulai memainkan kelentikan jari telunjuknya. Tak lama, ponsel itu sudah berpindah tempat dan menempel di telinga gadis itu.

“Halo, Grace?” ujar suara di ujung sana dengan suara serak.

“Hai, Marc? Kau tidak apa?”

“Maksudmu?”

“Suaramu serak. Kau sakit?”

“Tidak. Hanya ... aku tidak sedang dalam kondisi sempurna saja. Ada apa?”

Gracie berbalik, mulai berjalan-jalan mengitari kamar, “Kau bisa temui aku besok sore? Di tempat pertama kita bertemu?”

Mendadak punggung pria itu berubah kaku. Entah kenapa, tapi tulang belakangnya seolah membeku di tempat. Sementara satu tangannya menarik selimut yang sudah tersingkap hingga sebatas lutut. Marc menelan ludah dan mengumpulkan napas sebelum membalas, “Hmm ... kau sudah siap bertemu denganku? Hm, maksudku, kau sudah merasa lebih baik?”

Gracie mengangguk. Sepasang alis matanya terangkat dan bersentuhan hingga menciptakan sebuah tautan penuh keyakinan. “Ya. Bagaimana? Kau bisa?”

Genderang seolah bertabuh di kepala pria itu. Jari-jari tangannya mulai menegang. “Baik. Besok sore di tempat pertama kita bertemu.”

“Oke, aku tunggu. Sampai jumpa besok, Marc,” Gracie mengakhiri telpon pria itu dan langsung menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Sebuah cengiran (yang tampak kekanak-kanakan, atau bahkan konyol) tersungging bebas di sudut-sudut bibirnya.

***

Bukan menunggu yang diharapkan gadis itu. Tidak juga menganggur waktu yang menjadi hobi utamanya. Ia mengharapkan kehadiran pria itu. Mengharapkan kemunculan sosok dirinya yang rasanya sudah lama tak dijumpai. Awal Gracie melangkahkan kakinya ke luar pekarangan rumah, hanya ada satu dalam pikirannya. Satu tujuan, satu niat, satu keinginan, satu harapan. Duduk sendiri di sini sambil menggerutu bukanlah tujuannya. Sama sekali tidak pernah terbesit dalam pikirannya. Waktu terus bergerak. Detik terus melaju menjadi menit. Menit pun seolah tidak mau kalah menjelma menjadi jam. Satu, dua. Dua jam yang tidak berkualitas.

Menghubungi pria itu? Sudah bosan rasanya. Nomor ponselnya selalu tidak aktif. Kembali ke rumah? Berat rasanya. Gadis itu tidak datang kemari hanya untuk duduk selama dua jam tanpa melakukan apapun lalu pulang dengan gampangnya ke rumah. Percuma saja kalau begitu. Beberapa jam yang lalu cuaca terbilang cukup bagus. Langit seolah sedang berbaik hati mendukung kelangsungan pertemuan sepasang sejoli itu. Tapi, seiring berjalannya waktu yang terasa begitu lambat (setidaknya untuk saat ini) tanpa adanya tanda-tanda kehadiran pria itu, langit pun berubah pikiran. Gumpalan-gumpalan awan yang sebelumnya berwarna cerah, sekarang berubah drastis menjadi kelabu. Pancaran kilat mulai keluar dari sarangnya membelah gumpalan-gumpalan itu. Sementara tetes demi tetes air bening yang menggantung di awan mulai runtuh dan berjatuhan. Sedikit, sedikit lagi, mulai banyak, dan pada akhirnya benar-benar menjadi kumpulan air yang jatuh ke bumi dengan suara deras bersamaan yang siap memberi minum para tumbuhan dengan sama rata. Petir pun mulai menampakkan tajinya. Muncul satu demi satu secara bersamaan dan saling sahut-menyahut. Awan hitam menyelimuti langit. Bumi membuka mulutnya lebar-lebar untuk menampung air bersih yang jatuh secara cuma-cuma dari lawannya. Angin dingin seolah menggerogoti tulang. Hujan semakin menjadi-jadi.

Langkah lebar menuntun gadis itu untuk berlari menuju sebuah pohon besar yang berdiri kokoh di sudut taman. Sebuah pohon tinggi dengan daun hijau segar yang lebat dan menari dengan liuk memukau kesana-kemari. Sebuah pohon besar yang cukup ideal untuk dijadikan tempat berlindung dadakan seperti ini. Gracie menyeka wajahnya, mengusap rambutnya yang lembap dan mengepak baju kuning kunyitnya dengan punggung tangan, meratakan air hujan yang menembus kain bajunya.

Setengah jam kembali menambah daftar panjang waktu gadis itu menunggu. Sekarang bukan hanya menunggu pria itu, namun ia juga menunggu keredaan hujan. Menunggu air cuma-cuma dari langit berkurang dan ia akan segera pulang. Mungkin pria itu memang tidak akan datang. Sudah saatnya untuk merelakan ketidakhadirannya dan memikirkan diri sendiri. Namun, di bawah lindungan daun menyirip yang subur, tiba-tiba ponsel gadis itu bergetar. Jemari tangannya yang mulai memutih bergerak dengan hati-hati menyelami saku celana jins hitamnya.

“Tolong datang ke rumah sakit sekarang. Nama rumah sakit dan ruangannya akan kukirim dalam pesan selanjutnya. Tolong, sekarang. Sesuatu telah terjadi. Darurat. –Marc–“

Gracie membaca rangkaian pesan itu beberapa kali, memastikan matanya tidak terganggu karena percikan air hujan. Telapak tangan gadis itu semakin memutih, punggung tangannya seolah mengeras dan tidak bisa beralih. Sementara  desahan napasnya semakin memburu. Jantungnya bak dihujam oleh belati, tertembus dan terkoyak begitu saja. Organ utama itu seolah tidak lagi dapat menjalankan fungsinya. Darah seakan tidak terpompa ke seluruh tubuh gadis itu. Udara semakin menipis.

***

Pintu terbuka. Gracie langsung menerobos masuk tanpa permisi. Sebenarnya berlaku tidak sopan bukanlah sifat gadis itu. Namun dalam keadaan seperti ini, memangnya ada yang lebih penting dari sekadar mengucapkan permisi dan masuk dengan pelan? Tampaknya tidak ada. Pemandangan pertama yang ditangkap oleh mata gadis itu adalah sesosok manusia dengan selimut yang menutupi bagian kepala hingga ujung kaki sedang terbaring kaku di atas ranjang. Sosok manusia yang belum diketahui siapa sampai akhirnya Gracie menarik selimut rumah sakit hingga menampakkan wajah sosok itu. Wajah yang sangat familier. Gracie mengenalnya.

Raungan, tangisan, jeritan, hingga erangan bergema menjadi satu menyesaki ruangan itu. Gracie terperosot ke lantai. Kakinya tidak dapat menahan bobot tubuhnya. Pertahanannya luruh. Air matanya terjun dan membanjiri wajah gadis itu dalam sekejap. Beberapa orang lain dalam ruangan itu ikut hanyut dalam suasana. Satu dari mereka mendekati Gracie dan menarik tubuh mungil itu untuk berdiri. Satu yang lainnya datang dan mengusap-ngusap pundak gadis itu. Semuanya berduka. Semuanya kehilangan. Semuanya merasa berat. Tangis mereka pecah bersamaan.

“Mengapa ini bisa terjadi?” Gracie menyandarkan kepalanya di dada sosok itu.

“Kematian mendadak,” jawab wanita paruh baya tersebut sambil mengusap punggung Gracie.

“Kematian mendadak?” ulang Gracie seraya menatap mata wanita itu dengan tatapan menuntut.

“Varises esofagus,” wanita itu memejamkan matanya kuat-kuat, “varises itu pecah sehingga terjadi perdarahan ke dalam gastrointestinal,” wanita itu memalingkan wajahnya, merasa lemah.

Tangis Gracie semakin menjadi. Gadis itu mengguncang-guncang bahu sosok itu dengan raungan yang meledak. Tidak, ia belum siap. Ia tidak siap untuk ditinggal selamanya oleh Marc. Pria itu terlalu cepat meninggalkannya.

“Sudahlah, Grace,” wanita itu menarik mundur lengan Gracie, memeluknya erat.

Beberapa menit dalam posisi yang sama dan melampiaskan semuanya, Gracie menjauhkan tubuhnya dari dekapan hangat wanita itu, berjalan kembali mendekati Marc dan mengeluarkan sebuah kalung dari saku celana belakangnya. Gadis itu melingkarkan kalung itu di sekeliling leher Marc dan berbisik, “Aku menyiapkan kalung ini untukmu. Aku sengaja menyimpannya untuk kuberikan sore ini sebagai balasan atas kalung yang kau berikan padaku. Aku berjanji Marc, aku berjanji dengan segenap cintaku padamu, aku akan menjaga kalung pemberianmu ini. Apapun yang terjadi. Aku tidak akan melepasnya dan aku akan mempertahankannya. Aku akan melakukannya untukmu. Aku mencintaimu Marc.” Gracie mendaratkan sebuah kecupan terakhir di kening pria itu. Gadis itu memejamkan matanya. “Aku mencintaimu, Marc Marquez Alenta.”

***

Satu bulan kemudian ... 

 
Dengan langkah gontai Gracie melangkahkan kakinya menuju pintu masuk utama. Gadis itu menarik kenop pintu namun tidak menemukan siapa pun dibaliknya. Untuk beberapa waktu Gracie masih berdiri di ambang pintu dan mengamati sekitar. Tidak ada apapun, gemingnya. Gracie menggerakkan kakinya selangkah lebih maju, dan tepat saja, kakinya menendang sesuatu. Gadis itu merunduk, berjongkok perlahan, lalu menarik kotak berukuran lumayan besar itu ke atas. Ditutupnya pintu rumah dan dibawanya kotak itu ke kamar.

Gracie merobek kertas pembungkus kotak dengan asal-asalan. Fokusnya sekarang ini adalah isi dari kotak itu. Sebodoh dengan masalah kertas pembungkus. Mata gadis itu terpaku selama beberapa detik. Yang ditemukannya adalah sebuah lukisan dan kertas selembar. Gracie memasukkan tangannya menyusuri kotak, lalu mulai membuka lipatan kertas dan membaca isinya.

Gracie... Maaf sebelumnya karena aku tidak langsung memberikan ini padamu. Aku pasti tidak akan kuat untuk memberikannya langsung. Setiap kali melihatmu, rasanya aku seperti melihat sosok anakku sendiri. Marc terlalu lekat tertinggal dalam dirimu. Ia sangat mencintaimu. Ia bahkan rela melakukan hal-hal yang hampir tidak masuk akal hanya untuk bersamamu dan membuktikan cintanya. Selama hidupnya, Marc sempat melukis beberapa lukisan tentang kalian. Aku memilihkan satu yang paling sering Marc pandangi tiap kali ia kembali setelah bertemu denganmu. Lukisan ini mungkin adalah lukisan yang paling berkesan baginya. Kupikir lukisan ini akan diberikannya padamu sebelum takdir berkata lain. Mungkin dengan kuberikannya lukisan ini, Marc akan senang dan tersenyum dari tempatnya. Jadi, kuharap kau akan menjaga dan memajangnya. Kami akan pindah ke luar kota, di sini terlalu banyak kenangan bersama Marc. Aku tidak akan sanggup untuk bertahan lebih lama lagi di kota ini. Sekali lagi, jaga baik-baik lukisan ini. Dan terima kasih karena pernah hadir di kehidupan Marc sebelum ia meninggal. –Ibu Marc–

Air mata melembapi wajah gadis itu. Haru mendasari hatinya. Sedih, sudah pasti. Perlahan Gracie mengangkat lukisan itu dan memandanginya. Sebuah lukisan yang sangat indah dan kreatif. Di mana terlukis di dalamnya seorang wanita dengan rambut panjang terurai sedang memeluk seorang anak perempuan berusia sekitar enam bulanan dan seorang pria sedang memangku balita laki-laki dengan cengiran riang di wajahnya. Balita itu berpose dengan gaya konyol khas kekanak-kanakan, tampak bahagia sekali. Keempat dari mereka sama-sama menunjukkan wajah yang berseri-seri bahagia. Sebuah keluarga yang begitu tenang dan mendamaikan.

Gracie menidurkan lukisan itu di atas ranjang, jari telunjuk dan jempolnya sama-sama mengelus mata kalung pemberian Marc untuknya. Sebuah diamond yang berkilauan indah tertimpa cahaya. Seulas senyum tipis membayang di sudut-sudut bibir gadis itu,  pikirannya kembali melayang pada saat Marc memberikan kalung itu padanya. Gracie mengulangi kata-kata itu di dalam kepala, berkali-kali.

Hanya ragaku saja yang tidak bersamamu, namun hatiku ... akan selalu ada bersamamu.

Senyum damai bertengger di wajah gadis itu sekali lagi. 


END

Comments