Short Story


*Cerita ini terinspirasi dari film Rocky I dan Rocky II. Author-nya suka sama film itu, jadi kepikiran untuk buat cerita pendek bertemakan tinju. Sebelumnya juga sudah suka sama boxing sih, hehe *curhat* Ada kata-kata yang paling author-nya suka dari film itu, "Kau adalah yang terindah yang pernah datang ke kehidupanku yang gila", kesannya dalam gitu, haha. Ok, happy reading ;)*
 

Sudah Selesai  



Banyak pria yang kagum dan memuja kekuatan, maskulinitas, kecepatan dan material lain yang berbau kepriaan. Tak sedikit dari mereka yang bahkan memutuskan untuk mengorbankan tubuh mereka. Maksudnya, menyediakan tubuh untuk dipukuli hanya untuk mendapat gelar jantan dari pria lain dan bahkan wanita, juga semua orang. Mungkin tidak sedikit juga dari mereka yang bodoh itu mengorbankan diri mereka karena tuntutan ekonomi. Baik, yang demikian dapat dimaklumi, walau tidak terlalu. 

Namun, bertindak bodoh untuk menjadi seorang petinju dan memberikan tubuh juga wajah sebagai salah satu aset untuk menarik perhatian lawan jenis hanya untuk mendapat perhatian dan gelar kejantanan dan tidak pecundang dari banyak orang, apa hebatnya itu? Apa hebatnya disanjung-sanjung oleh banyak orang setelah dirimu hampir mati, wajahmu hampir tak berbentuk dan bengkak, tersungkur dan jatuh bangun di arena pertandingan (ring)? Tidak ada hebat-hebatnya. 

Terkadang hal ini bisa menjadi sangat membingungkan jika ditelaah lebih jauh. Apa sebenarnya yang ada di otak mereka saat memutuskan untuk bertanding dan menari-nari di atas arena? Apa mereka tidak lagi memikirkan bagaimana nasib mereka selanjutnya? Wajah hancur, organ dalam  terancam, luka dimana-dimana, mata bengkak, hidung patah. Apa otak mereka sudah tersumbat sehingga mereka tidak lagi memikirkan hidup istri dan anak-anak mereka (bagi yang sudah memiliki, tentunya)? 

Uang, uang, dan uang. Memang, jika kau bertanding dengan lawan yang berat dan menunjukkan sebuah pertandingan yang memukau, tidak ayal lagi jika uang, gelar kehormatan di bidang olahraga tersangkut, perhatian, dan tawaran iklan akan membanjiri hidupmu. Tapi, itu semua hanyalah sementara. Bagaimana jika kau kalah, cedera permanen, dan pensiun? Apa ada jaminan bahwa hidupmu akan sejahtera, damai, dan makmur kedepannya? Tidak ada. Mengapa mereka tidak mencari saja pekerjaan lain yang lebih berkualitas? Maksud lebih tepatnya disini, mengapa mereka tidak mencari saja cabang olahraga lain yang tidak terlalu berisiko? Tenis, misalnya. 

Berbagai macam jenis pikiran dan pertimbangan berat-ringan berkeliaran liar tak terkendali dalam otak gadis itu. Bagaimana bisa seorang kekasih melihat kekasihnya dipukuli dan tersungkur? Pelipis robek dan harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu. Hari? Bulan? Mungkin. Bahkan bisa sampai dioperasi. Terlebih lagi bagi seorang wanita, hal itu benar-benar adalah mimpi buruk. Sudah tidak terhitung lagi banyaknya Gracie berucap untuk menghentikan tindakan bodoh pria itu. Bahkan jika mulutnya itu bukan buatan dan anugerah dari Tuhan, pasti sudah robek sejak lama sekali. Ia seolah berbicara pada tembok. Tidak digubris dan tidak ada respons. Entah pria itu menghiraukannya pun atau tidak. 

Tangan Gracie terangkat dan memegangi kepalanya, meremas dan menjambak beberapa helai rambut coklat kehitamannya, berharap dengan berlaku demikian dapat membuat emosinya sedikit teredam. Sudah hampir satu jam ia hanya berguling-guling di ranjang tanpa melakukan hal yang lebih berguna. Untuk sekarang, memangnya apalagi yang lebih berguna daripada memikirkan nasib kekasihmu yang dalam empat hari kedepan akan mengorbankan dirinya sendiri? Raut wajah Gracie tak lagi menampakkan sisi femininnya, melainkan raut wajah campuran antara kesal, marah, cemas, dan satu jenis perasaan lain yang tidak diketahui namanya. Mungkin sebuah perasaan lain yang timbul ketika kau memiliki kesal dan marah sekaligus. Bagaimana rasanya? 

Saat Gracie berniat untuk membalikkan tubuhnya dan menghadap dinding, benda itu bersuara. Sontak sorot mata gadis itu bertambah tajam dan panas. Dalam hati ia mengumpat siapa orang yang berani menghubunginya malam-malam begini dan saat dalam suasana hati yang sangat jelek seperti ini pula? Malas, gadis itu beranjak dan meraih ponselnya yang terletak diatas meja kecil disudut kamar. Tangan kanannya menarik helaian rambut yang menutupi wajahnya selagi jari telunjuknya bermain. 

“Ada apa?” ujar Gracie langsung to-the-point saat salah satu sisi ponsel itu sudah menempel di telinga kanannya. 

Pria diseberang sana sedikit terkejut dan terenyak. Ada apa dengan gadis ini? “Kau marah? Kesal?” 

“Katakan apa maumu, Milo!” bentak Gracie, sedikit kasar dalam kategori wanita yang mengucapkannya. 

Pria dengan nama akrab “Milo” itu mendesah napasnya. “Temui aku di beranda rumahmu. Kita perlu bicara.” 

Belum sempat Gracie membuka mulutnya lagi dan bercerocos, sambungan telpon sudah langsung dimatikan oleh pria itu. Tanpa sebuah kata manis sebagai akhirnya. 

Gracie melempar ponselnya keatas ranjang begitu saja. Tidak peduli apakah ponsel itu mendarat dengan sukses diatas ranjang atau malah berbelok dan salah arah hingga tersungkur ke lantai yang dingin. Apa pedulinya sekarang ini? Dengan langkah cepat gadis itu berjalan dan membuka pintu coklat berukir modern rumahnya. Berdiri diambang pintu untuk beberapa saat, saling bertatapan, sebelum akhirnya pria itu menarik tangan Gracie dan menggiringnya untuk duduk di lantai sudut. 

“Grace..” panggil pria itu lembut. “Tatap aku,” Milo menjulurkan setengah tangannya, menyentuh dagu gadis itu, menariknya sedikit dan membelokkan wajahnya. 

“Apa?” sahut Gracie ketus, masih dengan raut wajah manyun dan berantakan. 

“Kau kenapa? Sesuatu yang buruk?” 

“Menurutmu apa?” 

“Kau sungguh tidak ingin aku melakukannya?” 

“Melakukan apa?” Gracie pura-pura bodoh dan tak mengerti, namun dalam hati ia sungguh berharap pria itu mengerti dan merespons kepolosannya. 

“Bertanding.” 

“Oh, ternyata kau masih punya kepekaaan  juga,” sindir Gracie, bersyukur bahwa pria itu mengerti alasan sikap buruknya. 

“Tidak bisakah kau mendukungku?” nada suara Milo tiba-tiba merendah, mungkin bertujuan untuk menyentuh sisi lembut terdalam Gracie dan melunakkannya. 

“Mendukung bahwa kau akan dipukuli dan hampir mati, atau bahkan mati di ring sialan itu? Begitu maksudmu? Itu yang kau inginkan dariku, hah?” cibir Gracie dengan menggebu-gebu, membuat napasnya menjadi tak teratur. 

Milo meraih wajah Gracie dan menariknya lebih dekat. Kedua telapak tangannya memegangi masing-masing sisi wajah gadis itu. “Dengar, Gracie. Aku tidak pernah memintamu untuk berhenti menjadi seorang wanita, juga tidak pernah memintamu untuk berubah sedikit pun. Aku suka dirimu yang asli, aku suka karaktermu, dan aku suka semua tentang dirimu. Aku tidak pernah berharap lebih darimu. Tidak bisakah kau melakukan hal yang sama? Tidak memintaku untuk berhenti menjadi seorang pria?” desis Milo dengan sorot mata serius. 

“Ingat sudah berapa kali aku bertahan dan tetap mendukungmu? Kita sudah kenal dan berhubungan sejak lama sekali, ingat? Selama itu juga aku selalu mendukungmu dan menguatkan diriku. Meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kau tahu kenapa aku sangat bersikeras agar kau tidak bertanding lagi dan berhenti?” Gracie memejamkan kedua matanya dan menelan ludah sebelum melanjutkan, “Itu karena aku takut, Milo. Aku tidak sanggup jika kau benar-benar mendapat cedera permanen. Cacat seumur hidup, kau bisa membayangkannya? Sekarang lihat, bahkan bekas luka dari pertandingan yang lalu saja belum hilang benar dari pelipismu, bagaimana bisa kau akan melakukannya lagi?” Gracie membalikkan wajah pria itu, menunjukkan padanya dengan jelas akibat dari tindakan bodohnya beberapa waktu yang lalu. 

“Tidak akan seburuk itu. Tenanglah, semua akan baik-baik saja,” Milo kembali meluruskan wajah menghadap gadis itu, menatap dalam sepasang bola mata indahnya. 

“Ok, terserah. Sekarang coba tebak ini. Angka berapa yang kau lihat?” sebelah tangan Gracie menutup mata kiri pria itu, sementara tangan yang lain memperagakan angka tiga, tepat didepan mata kanannya. 

“Dua? Satu? Empat? Tiga, mungkin?” 

“Lihat, kau bahkan tidak tahu angka berapa itu. Mata kananmu sudah kabur, Milo. Dan kau tahu itu karena apa? Karena pertandingan yang kau bangga-banggakan itu! Jika melihat angka saja kau tidak bisa, lantas bagaimana kau akan melihat serangan-serangan dari musuhmu, hah?” Gracie berbalik ke arah depan, menghadapkan tubuhnya ke arah jalanan bertanah. 

“Aku bisa melihat jelas dengan mata yang satunya,” ujar Milo pasrah. Hatinya teriris melihat kenyataan yang baru saja ditunjukkan Gracie padanya dengan cukup jelas dan blak-blakan. 

“Kau bisa buta, Milo. Dokter bilang kau bisa buta jika sampai mata kananmu itu kembali menerima pukulan keras,” suara Gracie mulai tercekat. Sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya ia menghalau maksud pria itu. Milo memang seperti batu, keras kepala. 

“Bahkan jika aku menuruti keinginanmu pun, aku tetap tidak bisa. Sudah sebentar lagi dan aku tidak mau dianggap sebagai seorang pecundang.” 

Gracie menggerutu. Gelombang kegeraman mengalir tak beraturan dalam darahnya, memicu emosinya untuk semakin memanas. “Baik, terserah. Aku tidak peduli lagi. Lakukan, lakukan apa yang kau mau. Lakukan saja, bunuh dirimu sekalian di atas ring itu!! Lakukan, Milo!” Gracie bangkit berdiri dan langsung melangkah masuk ke dalam rumahnya, membanting pintu sesukanya, dan membiarkan pria itu masih tetap tinggal disana. 

“Maafkan aku, Grace. Kuharap kau akan datang,” teriak Milo sembari bangkit berdiri. “Aku akan senang untuk itu.” 

***

Entah semangat dari mana yang menyergap batin pria itu. Hampir tidak ada orang yang mendukung pertandingannya kali ini. Gadis itu, saudara tunggal perempuannya, dan bahkan orang tuanya pun kurang mendukung. Yang benar saja, bagaimana bisa ada orang tua yang mengizinkan anaknya untuk mempertaruhkan hidupnya di atas arena yang super kejam itu? Ya, apabila boleh dikatakan seperti itu. Hanya segelintir orang dari sedikitnya motivasi yang dipunya dan bisa dijadikan sebagai sebuah dorongan oleh pria itu yang mendukung dan menyokongnya. 

Tapi mungkin sinar motivasi sedang menghampirinya, hingga Milo bisa mendapat semangat lebih untuk tetap melangkah dan berlatih. Atau justru semangat itu timbul dari sedikitnya dukungan yang datang? Seperti dorongan kuat dari dalam jiwanya untuk membuktikan pada mereka bahwa ia masih mampu bersaing, memenangi pertandingan, dan semuanya tidaklah seburuk seperti apa yang ada dalam bayangan dan imajinasi mereka? Entahlah, mungkin pun juga begitu. 

Dentingan bel berbunyi, mengoyak dengan kasar banyaknya suara-suara lain yang bergema di tempat itu. Beratus atau mungkin beribu pasang mata kini tertuju pada satu fokus. Dua orang pria yang sedang berjalan pelan sambil dilindungi oleh banyak orang dari berbagai sisinya. Dua orang pria yang sudah sama-sama berada dalam balutan jubah besar dengan kedua tangan yang mengepal dan meninju arah depan, seolah-olah sedang berlatih untuk yang terakhir kalinya sebelum menaiki ring dan mempertaruhkan semuanya.

Milo memulai ronde awal dengan tidak terlalu buruk. Ia banyak melakukan pukulan keras dan menghindar dari serangan tajam lawannya. Walaupun tidak semua pukulannya mengenai sasaran, namun bisa dikatakan ronde pertama ini adalah milik pria itu. Kadar percaya diri Milo meningkat pesat, kini ia mulai mendekat dan melancarkan banyak serangan bertubi-tubi di ronde kedua. Pancaran keangkuhan tiba-tiba menyeruak dalam dirinya, cukup yakin dapat mengalahkan orang berkulit hitam dan bertato itu dalam kategori knock out. Namun, sesuatu diluar ekspektasi terjadi di ronde keempat. Mungkin ini adalah efek dari kesombongan dan kelengahan dirinya. Sesuatu yang selalu terjadi pada pria itu tiap kali ia tidak bisa mengontrol kadar percaya dirinya. Milo tersungkur dan mendapat sebuah pukulan upper cut keras tepat di mata kanannya. Oh Tuhan, itu adalah matanya yang kabur dan terancam buta permanen jika mendapat pukulan keras kembali! 

“Bangun, Milo!” 

“Bangkit, Nak!” 

“Ayo, bangkit!” 

Teriakan-teriakan keras dari sebelah kubu Milo terdengar sangat antusias dan memberikan dorongan penuh. Milo menatap sekilas wajah orang-orang itu dan mencoba berdiri. Namun sayang, lagi-lagi ia harus mencium lantai arena dan tergeletak ketika mencoba kembali untuk melancarkan pukulan hook kanan di ronde yang sama. Keringat dan darah mengalir deras dari sekujur tubuhnya, menciptakan sebuah pancaran putih dan sedikit kilat dari pantulan keringatnya dan sorot lampu. Milo meringis. Staminanya sudah hampir terkuras habis dan sekarang ia malah kesulitan melihat. Dengan sisa-sisa tenaga, pria itu kembali mencoba melakukan hal yang sama dengan mengesot dan meraih sisi pengaman ring untuk berdiri. Tidak, ia tidak ingin dikalahkan dengan cara seperti ini. Knock out? Apa-apaan itu? Harus dipindahkan kemana malu dan sisi jantan prianya? 

“Hancurkan dia, Juara!” 

“Serang rusuknya, Milo!” 

“Cepat selesaikan pertandingan ini dan pulang, Juara!” 

“Keluarkan seluruh kemampuanmu dan lumpuhkan dia!” 

“Butakan matanya dan kubur!!” 

***

Jari kelingking pria itu bergerak. Jari-jari lainnya pun ikut menyusul dan urat lengan bawahnya sedikit mencuat keluar. Pelan-pelan Milo membuka matanya. Dan tepat saat ia sudah berhasil melakukannya, semua terasa berbeda. Seperti ada yang kurang dan mengganjal. Milo mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali, berharap ia hanya kelilipan. Namun semuanya tetap sama. Tidak ada yang berbeda dari sebelumnya. Kepala pria itu berbelok sedikit, mencoba mencari apakah ada orang lain selain dirinya di tempat itu dan bisa dimintai penjelasan akan pandangan aneh matanya ini. 

“Milo..” panggil suara lembut seorang wanita, tepat ditelinga kiri pria itu. 

Milo semakin menggerakkan kepalanya. “Gracie..” sahutnya serak, “Kau disini? Kau datang?” 

“Ya. Aku disini, Milo,” Gracie menahan kuat dorongan air matanya untuk meluncur. 

“Aku senang kau disini. Terima kasih sudah datang,” ujung mulut pria itu meruncing dan akhirnya membentuk sebuah senyuman kecil. “Aku menang.” 

Gigi-gigi Gracie gemeretak. Hatinya yang tadi terenyuh kini berubah mengesal, dipenuhi oleh percikan-percikan kedongkolan. Disaat-saat seperti ini pria itu masih bisa membicarakan soal kemenangan? Oh, yang benar saja! Apa ia tidak merasakan sesuatu yang berbeda pada dirinya hingga ia masih mampu bicara soal kemenangan? Apa kemenangan itu masih berarti setelah semua ini terjadi? 

“Aku tidak ingin kau membicarakan tentang kemenangan. Aku tidak peduli dan aku tidak suka. Mengerti?” 

“Hei, hei. Ada apa, Grace? Salah?” Milo mencoba menatap mata Gracie lebih lekat, namun tetap tidak bisa persis seperti tatapan yang biasanya ia berikan di saat-saat serius. “Mataku aneh. Kau tahu kenapa?” 

Sial! Dia baru menyadari dan menanyakannya sekarang?

Gracie terenyak. Gadis itu diam selama beberapa detik sambil tertunduk, sebelum akhirnya berkata, “Kau buta. Maksudku, mata kananmu. Tidak bisa melihat.” 

Milo menelan ludah dengan susah payah. Besi runcing seolah menancap kuat menembus jantungnya. Buta? Bagaimana bisa? 

“Ingat pukulan keras yang kau dapatkan tepat di mata kananmu saat bertanding? Pukulan itu adalah penyebabnya. Kau menang, tapi apa artinya itu? Kau tahu, sejujurnya aku benci berada disini dan menemanimu. Sudah berapa kali kukatakan untuk meninggalkan dunia kejam itu dan membatalkan pertandingannya, hm?” 

“Maaf,” ucap Milo lemah. Hanya itu satu-satunya kata yang dapat keluar dari ujung bibirnya. Itu pun setelah ia berusaha keras untuk mengucapkannya. Bibir bawah pria itu bergetar dan pandangan mata kirinya kosong. Kembali ia meluruskan wajahnya menatap langit-langit. 

“Semua sudah selesai, Milo..” air mata kembali meluncur dengan mudahnya dari sepasang mata gadis itu, bak hujan deras yang turun saat badai musim dingin tiba. 

“Kau benar. Semua sudah selesai. Sudah habis. Tidak ada lagi karir, tidak lagi pertandingan, tidak pukulan dan tinju, juga tidak ada lagi cedera dan kerusakan permanen,” kata-kata dan nada bicara Milo terdengar sangat menyentuh dan penuh kepasrahan, membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasa terenyuh dan menaruh empati, “Itu yang dari dulu kau mau, kan Grace?” 

Gracie mendongakkan kepalanya, ikut menatap langit-langit. Matanya bertambah sembab dan merah. Oh Tuhan, mengapa rasanya berat sekali? Mengapa seolah hidupku sudah tamat? Mengapa semua harus berakhir seperti ini? Mengapa rasanya tidak ada lagi hari? Mengapa? Mengapa, Tuhan? Mengapa? Gracie bertanya-tanya dalam hati kecilnya, berusaha sekuat tenaga untuk tetap kuat dan tegar. Setidaknya didepan pria itu. 

“Milo..” panggil Gracie penuh empati. 

END 

Comments