TWOSHOT : No One Knows #1

*Ide cerita yang pertama ini terinspirasi dari "syringoma". Ok, seperti biasa, jika ada yang baca dan mau repot sedikit, tolong komennya yaa. Happy reading ;)*


Kaum hawa adalah makhluk yang selalu identik dengan estetika. Keindahan tubuh, sifat, pikiran, dan yang paling menonjol, keindahan wajah. Setiap wanita pasti mengharapkan wajah yang indah. Mengharapkan anugerah berharga dari Tuhan berupa wajah yang bersih dan mulus yang sangat berguna untuk menarik lawan jenis. Gadis itu memilikinya. Ya, ia adalah salah satu wanita beruntung yang diciptakan Tuhan dengan wajah yang cantik. Hampir setiap komponen wajahnya merupakan bagian terbaik. Sepasang mata  indah berwarna coklat karamel, hidung mancung yang tegas, bibir merah muda nan lembut, deretan gigi-gigi yang rapi dan menawan, hingga alis mata yang tebal dan berwarna hitam pekat bagai semut beriring. Dan semua anugerah itu dibungkus rata oleh balutan kulit putih yang mulus serta helaian rambut panjang terurai berwarna coklat kehitaman. Komponen-komponen terbaik yang pada akhirnya menciptakan seorang individu yang luar biasa.

Namun, terkadang ada sesuatu yang di luar ekspektasi tiba-tiba datang dan mengganggu ketentraman komponen-komponen terbaik itu. Sesuatu yang  juga berasal dari Tuhan. Syringoma. Semacam tumor jinak yang berasal dari saluran keringat. Syringoma itu datang sebagai pengganggu penampilan. Suatu pengganggu yang sama sekali tidak diharapkan oleh setiap wanita. Begitu pula dengan gadis itu, ia tidak menginginkan tumor jinak itu datang dan hinggap di kelopak mata atasnya.

Gracie terus menundukkan kepala dengan bibir yang tidak bercelah, tidak berani menatap wajah pria itu. Beberapa perasaan berkolaborasi dalam batinnya. Takut, sedih, kesal. Semua bersatu dan pada akhirnya menciptakan sebuah perasaan jenis baru yang tidak tertafsirkan. Pria itu meraih satu pundak Gracie dan meremasnya lemah. “Ada yang salah?” tanya pria itu dengan nada datar, namun tetap terdengar mengayomi.

“Aku takut.”

“Takut?” ulang pria itu dengan wajah yang dimiringkan, memandangi puncak kepala Gracie yang sudah hampir sejajar dengan permukaan bahunya.

Gadis itu mengangguk, tangannya meraba dan menemukan salah satu telapak tangan milik pria itu, lalu menggenggamnya. “Ya.”

“Elektrokauter?”

“Menurutmu apalagi?”

Marc menarik oksigen dan mengembuskan hasil respirasi itu melalui bibir. “Tidak apa, semuanya akan baik-baik saja.”

“Risiko meninggalkan bekas cukup besar dan kau bilang tidak apa?” Gracie refleks mengangkat kepalanya dan menyelami sepasang bola mata kegelapan milik pria itu.

“Lantas mau bagaimana lagi? Kau akan bertahan dengan syringoma itu dan tidak akan melenyapkannya, begitu?” Marc membalas tatapan mata gadis itu dengan sorot tajam seperti yang biasa ia lakukan di saat-saat tertentu. Lebih tepatnya di saat ia lebih memilih untuk bersikap tidak terlalu peduli dan face the fact.

“Oh, ayolah, Marc, hanya begitu saja?” raut wajah gadis itu berubah drastis, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang barusan ditangkap oleh telinganya. Lantas mau bagaimana lagi? Sesederhana itu?

Marc hanya merespons dengan dua kali anggukan kepala sebelum lidahnya berucap lagi, “Kenapa? Kau takut kadar kecantikanmu akan berkurang?”

“Bukan itu maksudku!”

“Lalu?”

“Kau sungguh tidak mengerti?”

Kedua alis mata pria itu bertaut membentuk sebuah tautan ragu-ragu, ia menggigit bibir bawahnya keras-keras, sementara kedua bahunya terdorong secara bersamaan ke atas. “Mungkin.”

Gracie menghela napas, merasa putus asa atas ketidakpekaan pria itu. “Begini ...” Gracie mengubah posisi duduknya agar lebih serius, “Aku takut. Aku memang takut karena sebentar lagi aku akan menjalani bedah listrik dan risiko akan meninggalkan bekas di kelopak mataku ini cukup besar. Tapi, bukan itu alasan utamaku ...”

“Lantas apa alasan utamamu?” potong Marc tanpa basa-basi.

“Bisakah kau diam sebentar  dan mendengarkanku?”

“Baik, lanjutkan.”

Gracie menelan ludah dengan susah payah lalu mengumpulkan napas, “Alasan utamaku adalah karena aku takut itu akan mengurangi rasa sukamu padaku. Aku takut jika bekas itu akan mempengaruhi hubungan kita. Aku takut kau tidak akan lagi melihatku sebagai sosok yang sama setelah elektrokauter itu. Aku takut karena fisikku yang sedikit berbeda lantas membuatmu melihatku sebagai wanita yang tidak menarik lagi. Membuatmu melihatku sebagai wanita ... hmm .. wanita ... yang jelek. Aku takut sikapmu akan berubah dan ketertarikanmu padaku akan berkurang. Aku takut kau akan berpaling dan melirik gadis lain yang jauh lebih mulus dan tidak bercela. Dan yang paling parah, aku takut kau akan mengakhiri segalanya bersamaku setelah kau lihat bekas itu menggantung di kelopak mataku,” Gracie menggaruk-garukkan buku tangannya di paha dan menggigit bibir atasnya kuat-kuat, “Ketakutan itu membunuhku, Marc. Aku benar-benar takut,” kata-kata gadis itu terpenggal-penggal saat ia mengucapkannya, nada suaranya merendah.

Marc sempat menatap wajah Gracie yang ditenggelamkannya sebelum tergelak lebar-lebar. “Hahaha, hanya itu? Itu yang kau takutkan? Itu yang hampir membunuhmu, Grace? Itu yang membuatmu berubah pendiam dan tidak bersemangat? Itu? Itu yang membuatmu memintaku untuk diam dan mendengarkanmu? Hanya itu? Itu yang akhir-akhir ini menghantuimu sampai-sampai kau begitu ketakutan dan depresi? Itu yang kau sebut hampir mati, hah? Hahaha,” Marc melepas tawanya, kepalanya terangkat ke atas menengadah langit-langit dan suaranya menggema.

“Oh, begitu responsmu padaku?! Begitu kata-kata penyemangatmu untukku setelah aku menjelaskan semuanya? Begitukah reaksimu setelah aku hampir mati karena frustasi? Begitu balasanmu setelah aku sangat mencintaimu sampai-sampai aku harus berpikir jutaan kali untuk memutuskan elektrokauter itu, Marc?!” bentak Gracie sembari menonjok paha pria itu dengan skala cukup kuat hingga membuat Marc menghentikan tawanya. Air muka gadis itu berubah drastis. Membangun beberapa tautan baru yang melukiskan kedongkolan. Yang benar saja, siapa kekasih yang tidak kesal setelah ia menjelaskan dengan panjang lebar namun hanya mendapat respons tertawaan?

“Ouch! Sakit, Grace!” ringis pria itu sambil mengelus-ngelus pahanya yang berbalut celana jins hitam pekat. Cocok sekali jika dilihat dari keseluruhan penampilannya. Berpadu dengan kaus lengan pendek berwarna biru dan sepatu bertali terurai yang berwarna senada. Ditambah lagi dengan lekuk menawan dari wajahnya. Marc memang cukup tampan dan sebanding dengan Gracie. Pria itu juga memiliki hidung mancung yang tegas, mata indah dengan dua pembingkai berupa alis tebal yang sedikit berantakan, gigi-gigi yang putih bersih dan teratur, senyum manis yang begitu menghipnotis, hingga potongan rambut yang sengaja ditata khusus agar melahirkan kesan menawan. Hampir semuanya sempurna.

“Beri aku respons yang lebih baik!”

Marc berdeham, mengusap rambutnya, menelan ludah, kemudian meluruskan punggungnya, “Oke, aku beri kau respons yang lebih baik,” Marc menghadapkan dadanya ke arah Gracie sebelum melanjutkan, masing-masing tangannya menangkup kedua belah pipi gadis itu, “pertama ... aku ingin meluruskan kefrustasianmu ... kau tidak perlu merasa takut bahwa aku akan menganggapmu berbeda, terlebih lagi menganggapmu jelek. Itu tidak akan pernah terjadi selama akal sehatku masih berfungsi. Kau tetaplah wanita tercantik yang pernah kukenal. Kedua ... kau tetaplah wanita terindah yang pernah datang ke kehidupanku yang tidak menarik. Ketiga ... aku tidak mencintaimu hanya karena fisik dan sewaktu-waktu dapat berubah saat fisikmu sudah berbeda, apalagi hanya karena bekas bedah listrik di kelopak mata. Aku mencintaimu luar dan dalam, apa adanya. Keempat ... kau tetaplah kau dan tidak akan pernah menjelma menjadi orang lain. Kelima ...” Marc menyendatkan kalimatnya, menggali dalam tatapan mata gadis itu.

“Apa yang kelima?”

“Kelima dan yang terakhir ...” Marc merogoh saku celana depannya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna putih susu dengan pita merah muda di atasnya yang sudah sedikit terlipat. “Ini ... ini yang kelima. Selalu kenakan ini dan jangan kau lepas kecuali di saat-saat tertentu. Aku mungkin tidak bisa datang saat kau menjalani elektrokauter itu, tapi kau bisa mendapatiku dalam kalung ini. Hanya ragaku saja yang tidak bersamamu, namun hatiku ... akan selalu ada bersamamu. Jaga baik-baik kalung ini, kau mengerti?” Marc melingkarkan kalung bermata diamond itu tepat di sekeliling leher Gracie, membiarkannya jatuh terurai ke bawah dan berkilauan terpantul cahaya.

Sejenak Gracie menekuk lehernya dan memandangi kalung itu dengan tatapan berbinar. Sudut bibirnya tertarik ke samping dan melahirkan secuil guratan senyum. Sementara jari telunjuknya sibuk mengusap-ngusap diamond kalung pemberian itu dengan sentuhan kagum. “Terima kasih, aku akan menjaganya.”

“Kau berjanji?”

“Aku berjanji.”

Seulas senyum kecil membayang di masing-masing sudut bibir pria itu, menciptakan sebuah ketenangan yang menjalar dari ulasan senyum itu sendiri. Marc mendekatkan tubuhnya, menarik tubuh Gracie masuk dalam dekapannya, mengusap lembut punggung gadis itu, lalu melepaskan aliran kehangatan itu dan mengecup kening Gracie.

“Lakukan itu untukku.”

“Aku akan melakukannya untukmu.”


To Be Continued.. 

Comments