*Awalnya mau buat chapter, tapi berubah pikiran jadi buat TWOSHOT aja, hehe. Happy reading!! Dan, apabila ada yang baca dan bersedia repot sedikit, tolong dikomen yaa. Thank you ;)*
Misunderstanding #1
Aku membuka kedua
mataku untuk pertama kalinya sejak hari berganti pagi ini. Beberapa kali kubuka
dan kututup kembali mataku secara perlahan dan lemah, berusaha menyesuaikan pupilku
dengan keadaan dan memastikan bahwa aku tidak perlu beberapa menit atau bahkan
jam lagi untuk tertidur. Pelan-pelan aku bangkit, menarik naik punggungku
sekaligus mengucek-ngucek mataku. Lalu aku berjalan pelan menuju jendela dan
menarik kesamping gorden kamarku yang berwarna kuning bercampur merah di tiap sisinya
dan bermotif bunga tulip mekar musim semi, membiarkan udara pagi yang lembut
menelusuri tubuh dan menyegarkan darah.
Tepat ketika aku berbalik dan melihat wajah suamiku
yang masih terlelap, dengan posisi punggung yang menghadap ke atas dan tangan kanan
yang terimpit kepala serta bagian lutut sampai ke bawah yang masih terbalut
selimut katun, pikiranku melayang. Aku mendekat dan mengamati wajah tidurnya
sambil tersenyum ramah. Wajah itu adalah wajah yang sama setiap hari, wajah
yang tampak begitu menggemaskan bagiku sampai-sampai aku harus menahan dorongan
alamiah dalam diriku untuk menyubiti dan menyentuh-nyentuh serta memainkan satu
per satu bagian wajahnya ketika tertidur. Terutama adalah bagian favoritku,
sepasang alis matanya yang tebal dan bibirnya yang berbentuk busur, yang
apabila ia mengucapkan huruf “U”, akan tampak menggoda dan seksi sekali bagiku.
Dan mungkin juga bagi orang lain. Itulah mengapa aku sering melarangnya untuk
mengucap segala sesuatu yang membuat bibirnya agak maju saat berada di depan
umum. Bibir itu adalah milikku, hanya aku yang boleh melihat dan memandanginya
dengan perasaan kagum. Bukan orang lain. Egois memang, tapi memang begitulah
kenyataannya. Aku egois untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan suamiku
(terutama bagian-bagian wajahnya).
Seketika bayangan imajinasiku berkelebat, membayangkan
betapa manisnya hari ini akan berlangsung sesuai rencana yang sudah
kupersiapkan sejak dua minggu lalu dengan detail-detail khusus yang luar biasa. Aku membayangkan bagaimana ia akan menciumku tepat di dahi ketika
bangun tidur, bagaimana aku dapat merasakan gelombang kehangatan mengalir dalam
tubuhku ketika mendengar suaranya yang berat namun damai ketika mengucapkan
“Selamat hari jadi pernikahan, Sayang” atau “Selamat ulang tahun pernikahan
yang pertama, Rachy”-panggilan sayangnya padaku-, caranya mendekap tubuhku
dalam pelukan hangatnya, dan bagaimana kami akan menghabiskan waktu bersama. Makan
bersama, tertawa bersama, bercanda bersama, dan bahkan mungkin ia akan mengambil
libur kerja hari ini hanya untuk menghabiskan waktu berdua seharian bersamaku.
Hanya berdua.
Aku masih berlutut di atas lantai bermotif heksagonal
kami saat melihat mata suamiku bergerak-gerak, pertanda bahwa ia akan membuka
matanya sebentar lagi, mungkin tidak lebih dari tiga detik lagi. Dan tepat
saja, persis seperti dugaanku yang hampir selalu berakhir tepat di berbagai
kesempatan, aku menarik mundur tubuhku ketika akhirnya ia terbangun dan menatap
wajahku yang mungkin terlihat samar-samar baginya dengan matanya yang masih
sayu dan sipit.
“Pagi, Sayang,” sapaku dengan suara yang masih
terdengar parau, namun tetap mengedipkan mata dan bertanya-tanya dalam hati apa
respons pertamanya padaku di hari yang spesial ini.
Namun Marc tak bergeming, ia hanya menampakkan sebuah senyum
kecil khas baru bangun tidurnya padaku sebagai balasan yang tak terucapkan.
Jadi, aku memutuskan untuk menyentuh wajahnya dan mengusap-ngusapnya lembut
penuh kasih sayang (bagian pertama yang kusentuh adalah alis tebalnya), lalu
aku memijit-mijitnya pelan. Marc kembali memejamkan matanya dan tetap
tersenyum, seolah begitu menikmati sensasi pijatanku yang selalu disukainya. “Jadi,
apa kau tidak berniat untuk beranjak dan mandi sementara aku menyiapkan
sarapan?” tanyaku, berhenti memijit dan bangkit berdiri sambil meyakinkan
diriku bahwa Marc hanya belum mendapatkan kesadarannya secara utuh untuk
mengucapkan selamat dan mengecup dahiku.
Marc mengucek-ngucek sepasang matanya secara bersamaan
dengan cara yang sama seperti yang kulakukan sebelum beranjak dari ranjang
tidur kami. “Baiklah,” katanya datar sembari melompat turun dan menuju kamar
kecil untuk bersiap.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, tepatnya tidak tahu
bagaimana ini bisa terjadi. Aku berharap sesuatu yang berbeda akan terjadi pagi
ini, setidaknya Marc akan mencium dahiku dan menarik masuk tubuhku ke dalam pelukan
dadanya yang bidang, lalu kedua tangannya yang kekar dan hangat akan
mengelilingi tubuhku dan kami akan berada di posisi yang sama mungkin untuk
beberapa menit atau paling tidak beberapa detik. Namun Marc tidak melakukannya,
bahkan sekadar mengucapkan kata lain selain “Baiklah” pun tidak. Satu rencana
yang telah kususun matang-matang sejak lama runtuh begitu saja, tidak berbekas
selain hanya meninggalkan puing-puing kecil tak berguna.
Aku mengembuskan napas dan mulai berjalan, memutar
kunci pintu kamar dengan lemas, melangkahkan kaki menuju kamar kecil lain di luar
kamar kami, mencuci muka, menyikat gigi dan kemudian berhenti di dapur, mulai
menjalani rutinitas hari-hariku seperti biasa yang telah berlangsung selama
satu tahun terakhir, tepatnya pada hari kedua puluh satu di bulan Oktober saat
Marc dengan semangat menggandeng tanganku masuk ke rumah ini dan menggiringku
untuk sekadar melihat-lihat seluk beluk rumah yang telah dipersiapkannya sejak
satu tahun (menurut versi ucapannya), agar aku merasa lebih mengenal dan
leluasa di rumah kami yang baru.
Aku tak bisa menahan senyum lebar saat Marc mengajakku
untuk berkeliling rumah dan menunjuk setiap bagiannya dan mulai menjelaskan
satu per satu dengan antusias. Mulai dari kamar tidur kami yang secara khusus dipilihkannya,
dapur kami yang cukup luas dan teratur seperti yang biasa muncul diacara
memasak televisi, dengan dinding berwarna coklat karamel serta permukaan
mejanya yang terbuat dari batu granit, ruang keluarga yang tampak bersahabat
dan nyaman dengan permadani bermotif daun-daun kering berwarna kekuningan, hingga
sebuah ruangan kosong yang tidak terlalu besar namun sangat menenangkan dan
nyaman karena langsung terhubung ke halaman belakang rumah kami, dimana banyak
sekali jenis pepohonan hijau yang berdiri tegas di atas tanahnya yang coklat
dan merupakan tanah dengan kualitas baik, yang pada akhirnya kukatakan padanya bahwa ruangan ini adalah
bagian favoritku, sebuah ruangan yang bisa membuat pikiran dan imajinasiku
terbuka untuk menyalurkan hobi melukisku. Sangat cocok sekali.
Beberapa menit setelah menelusuri, kami memutuskan
untuk berhenti sejenak, berdiri
bersampingan dengan jari-jemari kami yang masih saling menyilang. Jadi aku memanfaatkan
jeda ini untuk mendongak, menatap wajahnya yang sedikit lebih tinggi dari
posisi wajahku yang berada sejajar dengan dagunya yang tegas, lalu mengucapkan
terima kasih karena telah menyiapkan semua ini untukku. Marc membalas tatapanku
dan untuk beberapa detik mata kami saling beradu sebelum akhirnya ia
berdeham dan mengajakku kembali untuk melihat-lihat. Kali ini kami mulai
mengamati lebih lanjut bagaimana keadaan halaman belakang rumah dan
mendiskusikan apakah kami harus mempekerjakan seseorang untuk mengurus halaman atau
tidak.
Sesuatu yang kubuat kali ini untuk sarapan Marc tidak
berbeda, tetap roti tawar berlapis selai coklat yang tebal dan segelas susu
coklat hangat sebagai pelengkap dengan segelas kecil air putih lainnya. Bukan
karena aku tidak mau membuatkannya sesuatu lain yang spesial, terutama saat
hari jadi pernikahan kami ini, namun lebih kepada bermain aman dengan mengikuti
selera dan kemauan Marc yang tidak pernah mau beralih dari jenis sarapannya yang
biasa bahkan sebelum kami menikah. Ia selalu mengatakan bahwa aku adalah salah
satu wanita beruntung dari sedikitnya wanita beruntung di luar sana karena
memiliki seorang suami yang simple dan tidak banyak menuntut seperti
dirinya. Dan tiap kali ia mengatakannya, aku pun berpura-pura tidak merasa
bangga dan selalu berdalih bahwa ia jauh lebih beruntung karena berhasil memiliki
seorang istri seperti diriku yang bersedia membuatkan apa saja untuknya bahkan
apabila ia adalah seorang pria yang selalu menuntut lebih (khususnya dalam hal
makanan).
Aku duduk, menangkup kedua tulang pipiku sendiri dengan
sikut yang menyentuh permukaan meja, menunggu kedatangan suamiku, dan
bertanya-tanya cemas apakah ia ingat atau tidak tanggal hari ini. Salah,
tepatnya apakah ia ingat atau tidak bahwa hari ini adalah hari yang berbeda
bagi kami. Biasanya aku akan memanggilnya duluan jika aku telah selesai
membuatkan sarapan, tapi kali ini aku libur melakukannya. Perasaanku masih
berputar-putar saat memandangi Marc menuruni anak tangga dengan langkah kaki
maskulin dan jas kerjanya yang menggantung dilengan kiri bawahnya. Tampak
tampan sekali saat berpose seperti ini. Wajah dan gaya ini adalah salah satu
dari sekian banyaknya hal dalam dirinya yang aku cintai, satu poin dibawah
betapa aku sangat menyukai wajahnya ketika tertidur, yang selalu kuamati untuk beberapa
menit sebelum aku ikut tertidur disebelahnya, dan aku baru saja melakukannya
tadi malam.
“Kau tidak ikut sarapan?” Marc bertanya seraya mengulurkan
lengannya.
“Tidak,” jawabku cepat sambil menatap dalam mata coklat
madunya, berusaha menyelami dan membaca pikirannya (jika aku bisa) apakah ia
sama sekali tidak ingat mengenai hari ini. Aku masih menahan dorongan kuat
dalam diriku untuk tidak mengatakannya duluan, dan itu berlangsung selama
beberapa menit hingga saat memasuki menit kedelapan, aku akhirnya menyerah. Aku
akan mengatakannya duluan. Aku tidak tahan lagi untuk mengendapkannya lebih
lama. Jadi, aku berdeham dan mencondongkan diriku beberapa sentimeter
mendekatinya dan mulai membuka mulut.
Namun sayangnya, tepat ketika aku sudah bersiap untuk
melontarkan satu kata pembuka yang masih penuh toleransi (aku tidak bisa
menjamin bahwa aku tidak akan marah atau tersinggung jika ia benar-benar mengaku
bahwa ia melupakan hari ini), Marc menggagalkan usahaku. Dia mendorong pelan kursinya
kebelakang dan bangkit berdiri dengan rahang kokohnya yang masih
bergerak-gerak, menandakan bahwa ia masih belum selesai mengunyah. “Aku pergi
dulu, Rach,” Marc berujar sembari meraih segelas susu coklatnya dan menenggaknya
hingga tuntas. Kemudian, ia berjalan beberapa langkah mendekatiku. “Aku mungkin
akan pulang sedikit larut malam hari ini, jadi kau bisa tidur duluan jika mau,”
Marc mengusap lembut rambutku dan langsung berbalik. Tanpa ucapan kata selamat,
dan yang lebih parah, tanpa mengecup dahiku. Jadi, aku hanya bisa tersenyum
getir menyaksikan punggungnya yang semakin menjauh dan akhirnya benar-benar hilang
dari jangkauan mataku.
To Be Continued..
Hmmm hmmm aku jelaous...aaaa
ReplyDeleteBaca ffku di www.mercymarc.blogspot.com