*Maaf sebelumnya kalo cerita ini agak boring dan kurang nge-feel._. Oh ya, di part ini sebuah ciuman di pipi oleh seorang pria berhasil membuat sebuah perubahan yang besar pada diri seorang gadis :D*
Let Me Save This Feeling #6
Rachel membalikkan tubuh dan memutar kunci pintu kamarnya.
Gadis itu menarik gagang pintu sebentar untuk memastikan bahwa pintu terkunci seutuhnya
sebelum berjalan selangkah demi selangkah meletakkan buku-buku dan tasnya masing-masing
di meja kecil dan sudut kamar. Ia melepas kacamatanya dengan gerakan tangan
lemah dan berjalan dengan tatapan kosong ke arah kamar kecil. Rachel membasuh
lembut wajahnya dengan air hangat dan menyapunya dengan selapis kain putih yang
tergantung di salah satu sisi, berharap dengan percikan air yang mengenai
wajahnya akan membuat hati dan pikirannya menjadi lebih segar.
Masih dengan kesan terbodoh-bodoh, Rachel berjalan
keluar dan mengganti pakaiannya, lalu mengambil kursi kayu bermotif elegan
dari sudut kamar dan duduk diatasnya setelah lebih dulu menempatkannya di dekat
daun jendela. Pikiran gadis itu melayang, kembali terbayang oleh kejadian yang
benar-benar tidak pernah terduga olehnya sama sekali. Batinnya semakin
teraduk-aduk. Gagal sudah usahanya untuk menyegarkan pikiran. Malah sebaliknya,
pikirannya semakin gelisah dan seolah tidak bisa melupakan kejadian itu.
Tangan kanan Rachel terangkat, memegangi besi-besi
pengaman jendela kamarnya dengan lemah. Sepasang matanya terlempar dan terpaku
pada daun-daun hijau tua yang menari dengan liuk memukau dari sebatang pohon
dihalaman samping rumahnya. Daun-daun itu tampak bebas dan seolah menyiratkan
sebuah senyuman ramah kepadanya dari bunyi gemerisik yang diciptakan oleh
terpaan angin yang menghantam. Sementara tangan kiri Rachel bermain refleks dengan
tergerak dan menyentuh pipi kanannya, pipi dimana sebuah kecupan mendadak seorang
pria asing sempat menempel dipermukaannya sebelum hilang entah kemana terhapus oleh
basuhan air. Hati gadis itu terputar-putar oleh campuran perasaan yang bahkan
ia sendiri tidak tahu perasaan-perasaan apa saja itu. Senang? Malu? Sedih? Atau
bahkan marah?
Sejak kejadian hitam yang berhasil menggerogoti mental
dan batinnya beberapa tahun yang lalu itu, Rachel memang tidak pernah lagi
dekat dengan laki-laki apalagi dikecup oleh seorang pria. Kejadian itu banyak
meninggalkan trauma yang masih sukses tinggal damai dibatinnya yang terdalam. Rachel
mengidap androphobia. Ia sulit berinteraksi dengan pria, kecuali Jorge, saudara
kandung laki-lakinya. Banyak sekali efek-efek negatif yang ditimbulkan dari
pengalaman gelap itu yang dapat dilihat jelas perwujudannya dari perawakan dan
sikap Rachel saat berada diluar, termasuk yang paling parah adalah reaksi
alamiah tubuhnya yang baru saat berada dibawah tekanan laki-laki (semacam
bergetar, mendesah, menggeliat dan berkeringat dingin). Sejujurnya Rachel benci
tinggal dalam hidupnya yang baru ini, ia ingin kembali pada dirinya yang dulu,
kembali pada dirinya yang normal dan terkendali. Dimana tidak ada lagi getaran,
desahan, dan keringat dingin yang berlebihan seperti saat ia berada dalam
jangkauan dua orang laki-laki belakangan ini. Juga tanpa kacamata dan tundukkan
kepala lagi saat berjalan.
Ia lelah. Lelah terus hidup dalam pengaruh kejam masa
lalu. Namun apa daya? Ia tidak ingin kejadian yang sama terulang dan ini memang
adalah jalan satu-satunya agak tidak berhubungan dengan laki-laki asing. Namun
tiba-tiba Rachel tersentak, pikirannya yang tadi melayang entah kenapa teringat
dan menjangkau sesuatu yang tidak pernah dipikirkannya selama ini. Pikirannya
yang sebelumnya tidak terbuka tiba-tiba terlintasi oleh beberapa spekulasi. Sampai
kapan ia akan hidup seperti ini? Sampai kapan ia akan terus bergantung pada
Jorge? Seberapa lama lagi Jorge dapat bersamanya dan melindunginya? Laki-laki
itu memiliki hidupnya sendiri dan ia pasti ingin memulai hubungan percintaan
yang serius mengingat usianya sekarang yang sudah pantas untuk menikah. Sampai
kapan ia harus berada dalam situasi seperti ini? Apa benar tidak akan ada lagi
laki-laki yang datang ke kehidupannya dan ia tidak akan pernah menikah seumur
hidup? Tidak. Itu tidak mungkin. Rachel adalah seorang wanita. Suatu saat ia
butuh pria dan ia harus berubah untuk mendapatkannya. Atau setidaknya, ia harus
mencoba untuk melihat hasilnya, apakah ia kuat dan bisa atau tidak. Tidak ada
salahnya mencoba untuk hal yang lebih baik. Hanya sekadar mencoba dan tidak
perlu terlalu drastis. Ia harus berusaha untuk menghilangkan phobia kejam itu.
Rachel memejamkan kedua bola mata coklat madunya.
Punggungnya terlepas dari sandaran kursi dan kakinya melangkah ke arah meja
kecil di sudut kamar, meraih ponselnya dan memain-mainkan layarnya sejenak.
Seketika seulas senyum kecil (yang bahkan hampir tak terlihat) timbul
dimasing-masing sudut bibirnya. Gadis itu telah menemukannya. Menemukan
beberapa alternatif pilihan lain untuk menghilangkan androphobia-nya (yang
pasti diluar berkonsultasi dengan psikiater atau psikolog yang selalu saja
ditolaknya setiap kali Jorge menyarankan). Rachel meletakkan ponselnya diatas
meja dan kembali berjalan ke arah jendela kamar. Kemudian ia menghirup oksigen
banyak-banyak-sebanyak mungkin yang bisa didapatkannya melalui hidung-dan
mengeluarkan kembali hasil respirasi itu melalui celah kecil di bibir.
Rachel mencoba keras untuk menghilangkan ketakutan
dalam dirinya itu melalui motivasi yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Ia
berusaha untuk meyakinkan dan memotivasi dirinya bahwa ia mampu, bahwa ia akan segera
terbebas dari cengkraman kuat masa lalu yang gelap dan akan kembali pada
dirinya yang dulu. Hanya perlu sedikit dorongan kuat dan membiasakan diri serta
lebih tenang ketika berada dibawah tekanan para lelaki. Berubah sekarang atau
tidak sama sekali? Berusaha bangkit sekarang atau bertahan dalam lubang keterpurukan selama-lamanya? Ya atau tidak
sama sekali? Ini adalah saatnya.
***
Berpuluh-puluh pasang mata selalu mengiringi langkah
gadis itu. Tidak ada satu pun sepasang mata yang melewatkannya. Semua tertuju
pada satu fokus. Dirinya. Rachel berjalan cepat melewati lorong panjang ke arah
kelasnya. Ia tahu. Tidak perlu mendapatkan medali emas atau sertifikat dalam
bidang pendidikan atau keahlian khusus untuk menebak isi otak mereka tentang
dirinya. Dimulai dari gerbang kampus, halaman kampus, daerah mading, sampai ke
lorong panjang ini pun gadis itu terus ditatapi oleh tatapan penasaran.
Beberapa dari mereka ada yang menyorotkan tatapan iri. Bagaimana tidak? Memangnya
siapa yang bisa merasakan kecupan seorang Luis Witwicky si anak pemilik kampus
sekaligus pria paling tampan dan populer di kampus ini? Tidak ada. Kecuali
segelintir wanita yang juga populer dalam bidang-bidang keremajaan. Semisal fashion,
beauty, style, kekayaan, dan keelokan tubuh.
Namun gadis itu, memangnya siapa dia? Tidak lebih dari
sekadar gadis culun, aneh, dan terkenal karena kekutu-bukuannya. Siapa yang
tertarik dengan dirinya? Memangnya siapa yang mau menjadi kekasihnya selain
pria yang juga tidak jauh berbeda darinya? Siapa pria yang mau menyentuhnya?
Berbagai macam pemikiran meremehkan sempat menyeruak di pikiran-pikiran mereka.
Beberapa dari mereka bahkan ada yang tidak tahan untuk tidak menggosipinya, suatu
kebiasaan lumrah yang sering terjadi dikalangan remaja kampus.
Namun, semua pemikiran-pemikiran itu berubah seketika
setelah sepasang mata mereka melihat fenomena itu. Fenomena yang sukses membuat
mata mereka terbuka lebar-lebar untuk tidak memandang rendah seorang gadis
culun dan aneh. Bermacam asumsi rendah mereka pun langsung tergantikan. Kini
pancaran iri yang mengisi asumsi baru tentang gadis itu dalam pikiran mereka.
“Hei, kau lihat gadis itu?” bisik gadis dengan bulu
mata palsu itu pada temannya.
“Kau ingat dia? Dia adalah gadis yang.. oh aku tidak
sanggup mengatakannya. Dia adalah gadis yang dikecup seorang Luis Witwicky!!”
ujar si gadis berkuncir kuda pelan dengan menutup sisi mulutnya ketika bicara.
“Aku tidak tahan melihatnya!” ucap si pembuat masalah
kampus sambil membalikkan punggung dan berlalu.
“Sihir apa yang dia pakai?” sinis si jangkung sambil
memasang ekspresi jijik.
“Dia.. dia sangat mengagumkan! Mungkin aku akan menjadi
penggemarnya!” kata gadis berponi depan itu dengan mata yang berbinar-binar. Terlihat
sekilas seperti mata berbinar anak kecil yang berhasil mendapatkan permen
kecintaannya.
“Hei, apa-apaan kau ini?” ketus teman gadis berponi itu
tidak setuju sambil menyedekapkan tangan di dada.
Tidak terhitung lagi jumlahnya reaksi bermacam-macam
dari seluruh mahasiswa dan mahasiswi kampus. Mereka masih tidak menyangka dan
sulit sekali memercayai fenomena itu. Sementara di sisi lain, Rachel terus
berjalan dan tidak menggubris apalagi berkomentar tentang pandangan orang lain
pada dirinya. Ia berusaha tidak peduli.
Dan masih dengan perasaan yang berkecamuk, Rachel berbelok
tajam ke kiri tanpa memelankan langkahnya. Ia ingin segera sampai di kelas dan
tidak lagi mendengar bisik-bisik sialan itu (kecuali teman sekelasnya juga
menggosipinya). Namun seketika tubuh mungilnya hampir terpelanting kalau saja
lengannya tidak segera ditangkap oleh sebuah uluran tangan lain. Buru-buru
Rachel menghentak tangan kekar itu ketika mendapatkan keseimbangannya kembali.
“Kau mau kemana, hm?” tanya pria itu sembari meraih
tangan Rachel untuk kedua kalinya. Namun kali ini tanpa refleks, dan ia sadar dalam
melakukannya.
Rachel masih diam dan sama sekali tak bergeming. Tangannya
masih bertahan dalam genggaman tangan pria itu.
“Kau berani melakukannya lagi? Berani tidak
menghiraukanku lagi, hah?” bentak pria berkemeja hitam polos itu dengan lengan
baju yang digulung hingga sebatas sikut. Tampak tampan dan keren sekali berpadu
dengan celana jins Levi’s hitam pudar dan sepatu tali merah terurainya. Dilengkapi
dengan sebuah tas ransel berukuran sedang berwarna hitam biru bermotif pria yang
menggantung dimasing-masing bahunya.
Perhatian semua orang semakin tertuju pada gadis itu.
Tepatnya pada mereka yang benar-benar berhasil menjadi trend kampus.
Rachel memejamkan mata selagi mencoba menenangkan pikirannya.
Dalam hati ia berusaha mati-matian untuk bertahan dan menahan dorongan alamiah
tubuhnya yang baru ( berusaha keras agar lebih tenang). Ia harus kuat. Ia sudah
berjanji pada dirinya sendiri untuk berubah dan tidak boleh mundur lagi. Ia
sudah memotivasi dirinya sendiri dengan mengerahkan seluruh kemampuannya.
Lantas apa arti usahanya semalam jika ia harus kembali bergetar dan kalah dalam
situasi ini? Lalu apa arti usahanya semalam jika phobia itu tidak hilang dan
masing betah bersarang di dirinya? Atau setidaknya phobia itu harus berkurang. Ya, harus.
“Ada apa?” sahut Rachel dingin. Suaranya terdengar
tercekat, namun cukup menjadi bukti bahwa ia sudah selangkah lebih maju.
“Whoaaahhh!!”
“Awwww!!”
“Uhhhhh!!”
“Ya Tuhan!!”
“Apa ini nyata?”
Semua mulut menyuarakkan responsnya masing-masing
menyaksikan si gadis culun akhirnya memberanikan diri untuk membuka mulutnya
dan menyahut seorang ... pria yang mengecupnya didepan umum.
Pria itu tertegun. Apa telinganya tidak salah dengar
dan matanya tidak salah melihat? Gadis itu menyahut dan membalas tatapannya?
Oh, yang benar saja!
“Mau kemana?” ulang pria itu lagi, sedikit kikuk. Namun
ia tetap berusaha untuk tampil tenang dan santai. Ini adalah kali pertamanya
merasakan kaku dan tegang saat berhadapan dan berbicara dengan seorang gadis.
Mungkin karena respons gadis itu yang diluar ekspektasi dan mengejutkan
batinnya.
“Ke kelas,” sahut Rachel singkat, masih bertahan
menatap kedua bola mata pria itu.
Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah berbeda.
Otaknya sedang berpikir matang-matang kata-kata santai apa yang harus
dilontarkannya lagi untuk menguasai suasana.
“Kutemani sampai ke kelas?” ujar pria itu lagi sembari
memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana dan membolak-balikkan
wajahnya, seolah-olah bersikap dingin dan keren.
Rachel ikut melempar pandangannya ke arah depan. “Tidak
usah,” tolaknya. Kakinya langsung bergerak lagi dan ia kembali berjalan ke arah
kelasnya, meninggalkan pria itu masih dengan sikap sok santainya di tempat.
Sosok dibalik tangga itu memanas. Tangan kanannya
bergetar dan langsung mengepal tanpa disadarinya. Menciptakan warna merah muda
yang membalut tangannya. Sekaligus menampakkan urat-urat tangannya yang
menyembul dan buku-bukunya yang memutih. Wajah sosok itu berubah menjadi merah
padam. Dalam hati ia menyuarakkan “Sialan kau Witwicky!!!”
To Be Continued..
Comments
Post a Comment