FanFiction

 Let Me Save This Feeling #4  

Rachel belum beranjak juga. Ia masih betah berjalan-jalan di kamarnya hanya untuk mencari benda itu. Sudah hampir setengah jam lewat ia hanya berpusing-pusing di kamar tanpa berpikir hal lain selain salah satu benda kesayangannya itu. Rachel memegangi kepalanya, mengingat-ngingat kembali dimana ia meletakkan benda itu. Kembali ia memeriksa meja kecil dekat ranjang tidurnya, walaupun ia sudah berulang-ulang melakukannya dalam setengah jam terakhir. Gadis itu menarik laci meja kecil itu, membuka lemari pakaiannya, membongkar tasnya, bahkan sampai memanjat hanya untuk mengecek di atas lemari pakaian. Gagal. Benda itu tak kunjung ditemukannya. 

“Rachel, apa yang kau lakukan?” tanya sosok itu heran selagi mengerutkan dahinya. 

Rachel membalikkan kepalanya. “Kacamataku, kau melihatnya?” 

“Tidak. Memangnya kau taruh dimana?” 

“Aku ingat sekali aku menaruhnya di atas meja kecil, tapi sudah tiga kali aku memeriksanya dan tetap tidak ada.” Rachel pelan-pelan turun dari kursi dan meletakkannya kembali di sudut kamar. 

Jorge diam sejenak. “Kalau memang tidak ada, sudahlah, tidak usah dicari lagi. Nanti saja biar kubantu carikan. Sekarang kau makanlah dulu.” 

“Tidak mau. Aku tidak mau pergi tanpa kacamataku.” protes Rachel tidak setuju sebagaimana ia memanyunkan wajah dan menekuk sebelah tangannya di pinggang. 

“Ayolah, Rach. Lagi pula kau masih dapat melihat kan tanpa kacamata itu? Kau tidak menggunakan kacamata itu karena matamu rusak kan?” Jorge bersandar di dinding dan melipat kedua tangannya di dada. 

“Tapi aku sudah terbiasa memakainya, Jorge.” Rachel semakin memasang ekspresi cemberut. Membuat beberapa kerutan kecil timbul diwajahnya. 

“Hanya sekali ini saja.” 

Rachel masih menyemberutkan wajah untuk beberapa detik, hingga akhirnya ekspresinya berubah drastis. “Aku tau. Aku pinjam kacamatamu, Jorge.” Gadis itu menyeringai gembira. 

“Kacamataku? Tidak.” tegas Jorge sambil meluruskan tulang belakangnya kembali. 

“Ayolah, Jorge.” pinta gadis itu lagi, sedikit memelas. 

“Kau gila ya? Aku hanya mempunyai kacamata hitam. Tidak ada yang lain.” 

“Memangnya kenapa?” 

“Kau mau ditertawakan seluruh kampus karena dikira orang gila yang lepas dari rumah sakit jiwa, begitu?” 

“Lalu? Tidak masalah bagiku.” Rachel mengedikkan bahunya. 

“Tapi masalah bagiku. Aku tidak mau kau ditertawakan dan menjadi bahan guyonan kampus. Mengerti?” sahut Jorge tegas. Ia menarik tangan gadis itu dan menuntunnya ke meja makan. 

***

Sudah berkali-kali Marc mencoba untuk mengumpulkan konsentrasinya. Mengumpulkan fokusnya untuk membaca buku tebal yang ada dihadapannya dan segera menyelesaikan tugas kuliahnya yang harus dikumpul besok lusa. Namun, semakin keras pria itu mencoba, maka semakin bergejolak juga perasaannya. Gelombang penasaran tepatnya. Inilah karakter Marc yang asli. Tingkat rasa ingin tahunya sangat tinggi. Yah, walaupun itu bagus, tapi terkadang sifat ingin tahunya itu juga bisa menjadi sangat merepotkan bagi orang lain. Terutama bagi orang yang tidak terlalu banyak bicara, pendiam, dan terkesan cool

Marc menutup kasar buku tebalnya, ia mendangakkan kepala sedikit dan mendesah napasnya. 

“Aku masih sangat penasaran, Tom.” 

“Penasaran apa?” sahut pria itu dingin. 

Marc mengangkat kedua alis tebal berantakannya. “Yaaa, penasaran tentang itu.” 

“Tentang apa?” Tom mengulangi pertanyaannya, sekali lagi. 

“Tentang dia. Yang kemarin itu.” Marc masih mengkhayal-khayal. Matanya memutar dan memandangi langit biru diatasnya, yang tampak seolah-olah dilukis.

Sementara Tom menghela napas. “Marc, kau tahu? Kupikir kau harus belajar untuk tidak membuat orang lain jengkel. Katakan saja kau penasaran tentang apa dan selesai. Semudah itu.” Tom menutup buku tebalnya setengah, jari tengah dan manisnya ia gunakan untuk menjepit sisi buku. 

Marc melempar pandangannya ke arah Tom, yang masih menundukkan kepala dengan raut jengkel mendominasi di wajahnya. Ia mendengus sebentar. “Tom, kau tahu? Kupikir kau harus mengubah sikapmu yang satu ini. Kau harus belajar sabar dan lebih tenang.” balas Marc tidak mau kalah. Ia berbicara dengan nada yang kurang lebih sama dengan pria itu. Sedikit jengkel dan terselip gelombang kedinginan dari iramanya. 

Tom menghela napas untuk kedua kalinya. Sebelah tangannya terangkat dan menggosok rambut hitam kepirangannya hingga menjadi sedikit acak-acakan. Namun, tetap terlihat keren. Ketampanan dan maskulinitasnya tidak bisa tertutupi. Malah dengan kondisi rambutnya yang acak-acakan, semakin menampakkan pancaran auranya yang begitu memesona. Bentuk wajah bujur telur lengkap dengan bentuk rahang yang menawan, sepasang alis mata tegas, iris mata berwarna biru langit, hingga hidung mancungnya yang berbatang, terlihat cocok sekali dipadukan dengan rambut yang acak-acakan. 

“Baiklah, terserah kau.” sahut Tom menyerah. 

Marc mengulas sebuah senyum. Senyum penuh kemenangan. “Aku hanya penasaran tentang gadis itu. Sungguh, Tom, aku masih tidak percaya kau melukis wajahnya. Aku bahkan tidak menyangka kau sudah mengetahui wajahnya, bertemu dengannya, dan yang paling parah, aku.. kurasa aku harus mengantukkan kepalaku ke dinding. Kau tertarik padanya?!” 

Tom mengangkat wajah dan melirik Marc dengan lirikan tajam. Mungkin juga lirikan membunuh. “Tidak. Aku tidak melukis wajahnya. Itu bukan dia. Sama sekali bukan dia.” 

Marc refleks tertawa kencang. “Begini.” Marc menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan energinya pada satu titik dan mempersiapkan dirinya untuk sesuatu yang besar. Yah, mungkin hal ini adalah hal besar baginya.  “Aku mungkin tidak terlalu bagus di bidang akademik, seni, ataupun bahasa. Tapi untuk urusan yang satu ini, aku tidak sebodoh itu, Tom. Aku tahu itu adalah wajahnya karena aku sudah pernah bertemu dengannya dan melihatnya dari jarak dekat. Ya, walaupun waktu itu gadis aneh itu hanya menundukkan kepala, tapi aku masih dapat melihat dan menyusuri bentuk wajahnya. Lain kali, kalau kau ingin berbohong, belajarlah dulu dengan ahlinya, Tom. Hahaha.” Marc kembali melepas tawanya. Terdengar persis sekali seperti gelak tawa “Jerry” di serial anak-anak fenomenal Tom&Jerry. Lepas dan sedikit terkikik. 

Tom mengesal. Gelombang kesebalan mengalir deras di sepanjang aliran darahnya. Hatinya mulai bergejolak. Rasanya ingin sekali ia melayangkan sebuah pukulan keras tepat di wajah ataupun salah satu lengan pria itu. “Tidak. Aku benar-benar tidak melukis wajahnya. Waktu itu insting seniku mengalir begitu saja dan menuntun tanganku untuk melukis wajah itu. Aku sama sekali tidak bermaksud melukis wajahnya. Bahkan bertemu dengannya saja aku tidak pernah.” elak Tom sekali lagi. Sebisa mungkin ia menghindari kontak mata dengan pria itu. Namun diam-diam, Tom merutuki kebodohannya sendiri karena beralasan demikian. Memangnya siapa yang akan percaya dengan alasan tak logis seperti itu? Tidak ada. Bahkan anak kecil pun mungkin tidak akan percaya. 

Marc tersenyum sekali lagi, namun kali ini lebih tajam. Atau mungkin terkesan mematikan? Ia mulai mencondongkan kepalanya perlahan ke arah Tom. “Oh ya? Baiklah, kalau begitu kita lihat saja, Tom. Ini akan membuktikan semuanya.” Marc menarik wajahnya dan langsung menghampiri seorang gadis yang kebetulan sedang berjalan cepat ke arah berlawanan dengan setumpuk buku-buku tebalnya dikedua lengan. 

Marc memamerkan ekspresi termanisnya dengan seulas senyum kecil kembali tersungging damai diwajahnya. “Hai.” sapa Marc lembut sambil terus menunjukkan jejeran gigi-gigi putihnya. 

Gadis itu tidak merespons. Ia hanya berhenti sebentar dan kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti karena aksi aneh pria itu yang tiba-tiba saja datang. 

“Tunggu, Aneh. Kau mau kemana, hm?” Marc meraih bahu gadis itu, memutarnya kasar, dan memposisikan tubuh mungil itu menghadapnya. 

Rachel meringis sedikit. Apa-apaan ini? tanyanya dalam hati. 

“Kau yang kemarin tidak menjawab permintaan maafku, kan? Ingat?” Marc menarik lengan atas gadis itu dan menyeretnya kuat ke arah balik pohon besar terdekat. 

Kini Rachel mengerutkan keningnya. Sebisa mungkin ia menggeliat agar terlepas dari cengkraman setan pria tak dikenalnya tersebut. Atau mungkin hanya pernah dilihatnya sekali. 

“Gadis aneh, kau ini sebenarnya kenapa, hah? Selalu saja menundukkan kepala dan tidak pernah bicara.” Marc meninggikan suaranya. Tangannya tergerak dan mulai menyentuh dagu gadis itu, mengangkatnya sedikit. “Oh hei, lihat matamu. Hanya ada dua sekarang. Kemana yang dua lagi, hm? Kemana kacamata tebalmu itu?” lanjutnya sambil terkekeh pelan. Tunggu, mungkin kata “pelan” tidak cocok untuk menggambarkan jenis kekehan Marc saat ini. Kata “puas” mungkin lebih baik. 

Sementara Rachel meraung dalam hati. Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Degupannya begitu kencang hingga ia dapat merasakan dadanya sesak. Lutut-lututnya mulai melemas. Ia terus menggerak-gerakkan tubuh dan wajahnya. Dalam hati Rachel hanya bisa meronta. Ia takut. Takut sekali. Sebenarnya apa yang diinginkan pria ini? Sebenarnya apa salahnya pada pria setan ini? Gadis itu mulai mendesah. 

“Kenapa? Kau takut, ya? Tenanglah, Aneh. Aku laki-laki baik kok. Aku tidak akan menyakitimu.” Marc sedikit menekan cengkaramannya pada dagu gadis itu. Sejujurnya ia juga tidak mau bersikap kasar begini, Marc hanya ingin memancing temannya yang keras kepala itu. Melihat bagaimana reaksinya dan apa yang akan dilakukannya terhadap gadis yang.. yang diyakini Marc adalah gadis yang menarik bagi Tom, namun selalu saja disangkalnya. Marc semakin memojokkan gadis malang itu. 

“Aku tidak akan menyakitimu...” 

“Tenanglah gadis kecil, aku adalah laki-laki baik..” 

“Kau bisa percaya padaku, kemarilah...” 

“Kemarilah, Manis...”
 
“Bergabunglah denganku...”

Rachel bergetar. Keningnya terus mengerut hingga menciptakan beberapa garis bergelombang. Saraf-saraf motoriknya menegang. Pelukannya terhadap buku-buku itu buyar dan seketika berhamburan ditanah. Keringat mulai keluar dari sarangnya dengan tidak terkendali. Telapak tangan Rachel mengekar dan ia mencengkram kuat batang pohon dibelakangnya, mendesah dan wajahnya berubah pucat sekali. Memutih seperti yang apa yang biasa terjadi dengan mayat hidup. Kata-kata itu seolah kembali membangunkan ingatannya yang kelam. Membangunkan sesuatu bagian yang hitam dari masa lalu yang sudah dikuburnya dalam-dalam, dan tidak akan pernah lagi diingatnya. Tidak, tidak sekarang. Jangan sekarang. Tolonglah. Tidak boleh sekarang. 

Rachel semakin bergetar. Telapak tangannya berganti mengepal dan ia langsung berlari sekencang yang ia bisa menjauhi pria itu. Melepas dengan sendirinya cengkraman tangan kekar Marc pada dagunya. “Tidak!! Diam!! Hentikan!!” raungnya keras, kalap.

Marc tersentak kaget. Kini tubuhnya pun ikut melemas. Tangan kekarnya yang sedari tadi begitu kuat menjadi tak berdaya seketika, sementara tatapan matanya berubah kosong. Batinnya terguncang melihat reaksi mengerikan dari gadis itu. Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Mengapa ia bisa berubah begitu menakutkan? Marc mengerjapkan matanya. 

Pria itu bergerak. Ya, pria itu menggerakkan kakinya menghampiri Marc yang masih membatu di tempat. Jantung dan batinnya sama-sama terguncang dan reaksi tubuhnya pun juga tidak terlalu jauh berbeda dari reaksi alamiah temannya itu. Tom berjalan pelan ke arah Marc yang masih terbodoh dibawah pohon besar itu dengan perasaan takut-takut. 

“Marc.” Tom menepuk bahu Marc kuat hingga ia tersentak sekali lagi. 

Marc terperanjat. Ia menolehkan wajahnya cepat. Tidak ada respons kata-kata yang mengudara. 

“Sungguh, demi Tuhan atau demi apapun di dunia ini. Aku baru melihat untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun hidupku, apa yang barusan terjadi. Sebenarnya apa yang kau katakan padanya, Marc?” Tom menyandarkan tubuhnya kebatang pohon. Memberi kesempatan bagi tulang belakangnya untuk kembali normal dan tidak terlalu menegang. 

Hening sementara. Tidak ada respons. Marc masih merasa batinnya antara sadar dan tidak sadar. “Aku juga. Sumpah, aku tidak menyangka reaksinya akan seperti itu. Seperti kesetanan, kau tahu Tom? Bahkan tubuhku pun sampai melemas.” suara Marc bergetar. Terdengar jelas sekali dari kesendatannya. Perlahan-lahan ia mulai ikut menyandarkan punggungnya di pohon yang sama. 

Tom memutar wajahnya ke arah Marc. Sebenarnya batinnya juga belum kembali normal seutuhnya. Masih dipadati oleh bayang-bayang kejadian mengerikan yang terjadi beberapa menit yang lalu. Yang benar-benar diluar ekspektasi dan hipotesanya. 

Tom mencoba menghirup oksigen melalui hidungnya, sekali lagi, membiarkan oksigen itu tertukar dengan karbon dioksida di alveolus, dan mengeluarkannya kembali melewati celah kecil di bibirnya. Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Guerrero?? tanyanya dengan nada aku-sangat-mencemaskanmu dalam hati. 

To Be Continued.. 

Comments