Let Me Save This Feeling #3
Rachel mengerutkan dahinya beberapa kali. Tangannya
terangkat dan memijit keningnya pelan. Ragu-ragu ia mencoba membuka sepasang
kelopak matanya, namun rasanya berat sekali. Seolah ada beban keras yang
menimpa dan menghalanginya. Gadis itu menarik napas dan masih memicingkan mata
untuk beberapa detik. Hingga sampai detik kesepuluh, akhirnya ia mencoba hal
yang sama untuk kedua kalinya. Berhasil. Putih dan sangat menyilaukan. Itulah
hal pertama yang menusuk maniknya.
“Jorge. Apa itu kau?” Gadis itu masih belum membuka
sempurna kelopak matanya. Tangannya tetap terangkat, namun kali ini ia memegang
kepalanya, meremas sedikit beberapa helai rambutnya.
“Ini aku. Sudah merasa lebih baik?” sahut pria itu
dengan sedikit mencondongkan kepala.
Rachel mengangguk lemah. “Lumayan.”
“Bagus. Sekarang buka mulutmu, kau belum makan dari
tadi malam.” Jorge membalikkan setengah tubuhnya dan langsung meraih sepiring
nasi diatas meja kecil disampingnya.
“Jorge, siapa yang membawaku pulang?” Rachel mencoba
mendudukkan tubuhnya dan bersandar di kepala ranjang.
“Aku. Memangnya siapa lagi?”
“Kau? Sungguh?”
Pria itu mengangguk dua kali. “Hmm.”
Rachel meringis dan mengernyitkan dahi sekaligus,
seolah sedang memutar kembali memori di otaknya. “Seingatku, tadi malam aku
duduk meringkuk seperti orang bodoh di ambang pintu aula kampus. Tidak ada
seorang pun disana. Kosong dan gelap sekali. Lalu aku mulai bergetar dan...”
“Dan kau pingsan.” potong Jorge cepat.
“Dan kau yang menemukanku dan membawaku pulang?”
“Ya, aku yang membawamu pulang, setelah...” Jorge diam
sejenak. Otaknya sedang menimbang-nimbang. “Setelah aku memutuskan untuk
menjemputmu lebih awal. Kau tahu, perasaanku berubah tidak enak tak lama
setelah aku kembali ke rumah sehabis mengantarmu. Jadi, kuputuskan untuk
menjemputmu setengah jam lebih cepat.”
Rachel menarik napas ringan. “Oh, baguslah.”
“Ayo, buka mulutmu.” Jorge menyendok beberapa butir
nasi lengkap dengan potongan daging kecil sebagai lauknya dan mengarahkannya ke
mulut gadis itu.
Rachel menatap sendok yang diarahkan padanya sejenak.
Ia membuka mulutnya perlahan dan sukses menelan sesendok sarapan paginya kali
ini.
***
Marc tak henti-hentinya menanyakan tips itu pada
temannya yang satu ini. Ini bukan lagi kali pertamanya menanyakan pertanyaan
yang sama, tapi ia sudah sering sekali menanyakannya dan pria itu hanya
menjawab seadanya. Tidak ada yang lebih. Dan sudah bisa ditebak, itu bukanlah
jawaban yang ingin didengar Marc. Ia ingin jawaban yang lain. Yang lebih
berarti. Pria itu terus bertanya dan.. mungkin sedikit merengek.
“Ayolah, Tom. Katakan padaku!”
“Aku sudah berulang kali mengatakannya, kan? Apa lagi?”
sahut Tom enteng. Ia terus menggerak-gerakkan jarinya diatas kertas.
“Bohong! Aku tidak percaya dengan jawabanmu. Hanya itu?
Tidak ada yang lain?” Marc memasang ekspresi meremehkan.
Tom menaikkan kedua bahunya. “Tepat.”
Marc mendengus. “Kau tidak mau berbagi dengan temanmu
ini?”
“Apalagi yang harus kubagi, hmm? Kau bertanya dan aku
menjawab. Selesai.” Tom melirik Marc sebentar sebelum kembali memusatkan
pandangannya ke atas kertas.
Marc memajukan bibirnya. Wajahnya masih tampak
penasaran sekali.
“Baiklah. Terserah kau. Kau memang pelit!” Marc
meninggikan nada suaranya. Ia pura-pura tersinggung.
Tom melirik Marc sekali lagi. Senyum manis mengembang
di wajahnya. Dasar, Marc, gumamnya tak terucapkan.
Pria itu melihat ke sekelilingnya. Kedua bola matanya
bolak-balik melihat ke kanan dan ke kiri, serta ke belakang. Seperti
sedang mencari-cari sesuatu.
“Tom..” sapa Marc lembut tanpa menatap wajah lawan
bicaranya.
“Hmm?”
“Dia tidak tampak seharian ini.”
“Siapa?” Tom melirik kesamping dan mengambil botol
minuman bersoda kalengnya.
“Si aneh.” sahut Marc polos. Tanpa merasa bersalah atau
semacamnya telah menyematkan sebuah nama panggilan baru untuk seorang gadis.
“Si aneh siapa?” Jakun Tom naik turun saat ia menenggak
minuman bersodanya.
“Aduh, kau ini lupa ya? Ituloh, gadis yang kuceritakan padamu
waktu itu. Yang kubilang dia selalu berjalan dengan menundukkan kepala dan
penampilannya sangat.. sangat.. sangat tidak menarik. Juga sangat, sangat,
sangat membosankan.” Marc memanjang-manjangkan kalimatnya. Kepalanya sedikit
terangkat dan punggung tangannya naik turun seirama dengan nada bicaranya.
“Oh, dia.”
Marc menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Hmm, dia.
Aku tidak melihatnya seharian ini. Kau sudah tahu bagaimana wajahnya? Perawakannya?”
“Belum.” jawab Tom datar. Ia melirik Marc sebentar dan
akhirnya memutuskan untuk berbohong.
Marc menelan ludah sebelum beralih menghela napas.
Ia sedikit mendesah. “Tom, Tom. Kurasa kau butuh pergaulan lebih. Berteman
dengan mereka yang mempunyai hobi sama denganku akan sangat membantu untuk
mengobati penyakit cuekmu itu. Cobalah sedikit lebih merasa ingin tahu, kawan!
Maksudku, kau setidaknya penasaran dengan berita-berita terpanas di kampus
kita, mencari tahu skandal-skandal di kalangan para mahasiswa atau para dosen,
dan semacamnya. Dan yang pasti, kau seharusnya mencari tahu bagaimana keadaan
gadis itu. Perawakannya, wajahnya, sikapnya. Yang kuceritakan padamu itu. Yah,
walaupun pernah kukatakan bahwa aku akan menunjukkannya padamu, tapi setidaknya
kau juga mencari tahu sendiri sebelum aku berhasil melakukannya.” Marc
berbicara dengan penuh gelombang emosional di beberapa kalimatnya.
“Begitu?”
Marc terdiam. Wajahnya berubah kaku mendadak. Sorot
matanya pun kosong seketika. Tidak menyangka akan mendapat respons sebegitu
datar dan singkatnya setelah ia berbicara dengan cukup panjang lebar dan penuh
semangat.
“Oh ya, Marc. Aku harus pulang lebih cepat hari ini.
Sampai jumpa besok.” Tom bangkit berdiri dan bergerak menuju tempat sampah yang
berada tak terlalu jauh darinya. Ia lalu kembali ke tempat sebelumnya duduk dan
bermaksud mengambil kertas yang sudah berisi sebuah gambar itu sebelum ia
akhirnya membelalakkan matanya. Dengan sigap Tom berlari ke arah Marc dan
berusaha merebut kertas itu kembali.
“Kembalikan padaku, Marc!!” teriak Tom sambil terus
berusaha mengambil kertasnya kembali dari segala sisi.
Marc menggeliat, menghindari serangan demi serangan
yang diluncurkan Tom padanya. Pria itu lalu beranjak dan berlari.
“Oh demi Tuhan, Tom!! Kau melukis wajahnya?” teriak
Marc histeris.
Wah..., kerennn.., tapi setiap chapternya pendek2,, jdi tambah penasaran :D keep writing :)
ReplyDeleteHehe, iyaa kak, kemarin itu pernah nulis panjang dan ada yang komen kepanjangan, haha, jadi diperpendek deh :D thank you kak, ff kakak yang masha itu udah di next belum? Belum ke blog kakak lagi nih..
Deleteaku bener2 naksir sama sosok Tom ._. si Marc nya banyak omong sih jadi nyebelin haha :D lanjut yaa :) aku penasaran hehe
ReplyDeleteHehe, iyaa. Makasih udah baca dan komen :)
ReplyDelete