You Must Know, How Much I Care About You..
Hujan
semakin menjadi-jadi. Petir dan kilat tampak seolah bergantian menampakkan
tajinya. Angin kian berembus menusuk tulang. Gadis itu masih melakukan hal
yang sama. Duduk bersandar pada hamparan dinding polos yang tepat berada di
belakangnya. Sesekali ia melirik kertas-kertas yang berantakan di hadapannya.
Ia belum juga selesai mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Yvette memalingkan wajahnya,
kepalanya sakit melihat kertas-kertas jelek itu. Ingin rasanya ia mencampak
kertas-kertas itu keluar dan membiarkannya hanyut terbawa air hujan.
Pikirannya terus saja dihinggapi oleh perasaan cemas. Sejak
pertama kali gadis itu menginjakkan kakinya di tempat ini, konsentrasinya
memang sudah terpecah. Ia memikirkan pria itu. Bagaimana keadaannya sekarang?
Apa ia baik-baik saja dalam memacu kuda besi ber-cc tingginya di sirkuit yang
super ganas itu? Apa ia masih merasakan sakit dilengan bawahnya setelah
operasi? Kekalutannya semakin menggila. Ponsel dan laptopnya sama-sama
tertinggal di rumah saat ia terburu-buru berlari ke tempat penuh buku-buku ini.
Ia sama sekali tidak bisa mengawasi pria itu meski hanya melalui media sosial.
Sejenak Yvette melempar pandangannya ke arah luar. Tangannya terus saja
memegangi kaca jendela yang sudah tampak sangat berkabut itu. Ingin rasanya ia
segera melarikan diri dari tempat ini kalau saja hujan tidak menahannya.
Satu, dua, dua setengah jam. Sudah dua setengah jam ia
hanya duduk terbodoh di perpustakaan 24 jam ini. Untungnya hujan sudah mulai
mereda dan hanya meninggalkan setetes dua tetes gerimis yang masih setia
membasahi bumi. Yvette sontak menarik punggungnya dan membereskan kertas-kertas
di mejanya. Sejujurnya ia sangat muak melakukannya. Ia muak dengan banyaknya
tugas-tugas yang menumpuk itu. Gadis itu mendorong pintu transparan perpustakaan
dan langsung berjalan cepat menuju rumahnya. Tangan kirinya ia gunakan untuk
memayunginya dan tangan yang lainnya untuk memeluk kertas-kertas kuliahnya.
Tidak butuh waktu lama bagi Yvette untuk mencapai rumahnya,
karena memang perpustakaan itu hanya berjarak sekitar 500 meter saja dari
tempat tinggalnya. Yvette melempar begitu saja kertas-kertasnya keatas ranjang
tidurnya. Ia menghelas napas sejenak dan langsung meraih ponselnya yang tepat
sekali berada diatas meja kecil dekat ranjangnya. Ia duduk seraya menempelkan
punggungnya kearah dinding kamarnya. Tangannya dengan cekatan terus
menyentuh-nyentuh layar ponsel hitam itu. Tepat ketika ia menyentuh aplikasi
berlambang burung di ponselnya, jantung Yvette tiba-tiba berubah memompa dua
kali lebih cepat. Matanya refleks membelalak. Apa ia tidak salah membaca?
Laki-laki itu terjatuh dan langsung dilarikan ke rumah sakit? Oh Tuhan, apa ini
mimpi?
Yvette menelan ludahnya dan terus menyentuh-nyentuh layar
ponselnya. Ia ingin hal yang pasti, bukan candaan tidak berguna seperti ini.
Beberapa kali Yvette mencoba men-stalk akun-akun twitter lain yang masih
berhubungan dengan dunia pria itu-MotoGP. Benda keras seolah menghantam dada
gadis itu. Ketakutannya resmi menjadi kenyataan. Yvette refleks melempar
ponselnya begitu saja keatas ranjang tidurnya. Ia segera bangkit dan menyambar
kunci mobilnya yang menggantung manis di dinding. Ternyata otaknya masih cukup
berfungsi ditengah kekacauan hatinya. Gadis itu mengemudi seperti orang gila.
Ia tidak lagi terlalu memperhatikannya jalanan dan kendaraan lainnya.
Satu-satunya yang ada di otaknya sekarang ini adalah bagaimana caranya agar ia
bisa cepat sampai di bandara dan memesan tiket penerbangan ke Spanyol. Ia harus
sudah sampai di Spanyol besok. Apapun yang terjadi. Ia ingin melihat bagaimana
kondisi pria itu disana.
***
Langit hitam menjadi layar background salah satu kota di Swiss hari ini. Sesekali
terasa angin kencang yang kian menggerogoti tubuh. Kabut tebal pun senantiasa
melengkapi cuaca buruk hari ini. Yvette tiba 45 menit lebih cepat dari jadwal
penerbangannya. Ia tidak ingin ketinggalan pesawat dan harus menunggu lebih
lama lagi untuk bertemu pria itu. Gadis itu membengkokkan kuda-kudanya dan
langsung terduduk di salah satu kursi yang tersedia di ruang tunggu. Raut
ketegangan tampak jelas sekali di wajahnya. Yvette menyatukan kedua belah
tangannya dan menyilangkannya di depan dada. Dingin. Gadis itu menggigil
kedinginan.
35 menit telah berlalu. Tersisa 10 menit lagi. Yvette terus
saja menghela napas setiap 5 menit sekali. Rasanya 45 menit sangat lama
berlalu baginya. Ia sudah tidak sabar untuk menemui pria itu dan memastikan bagaimana
kondisinya sekarang. Pesawat menuju Spanyol sebenarnya dijadwalkan akan take-off
tepat pukul 10 pagi hari ini. Namun,
tiba-tiba saja pihak maskapai menunda keberangkatan. Cuaca buruk dan kabut
tebal menjadi alasan utama. Sial! Yvette terpaksa menunggu beberapa jam lagi.
Ingin sekali rasanya ia menjerit sejadi-jadinya saat itu kalau saja otaknya
yang masih berfungsi tidak melarangnya. Ia ingin marah, mengamuk dan menangis
sekeras-kerasnya. Apa tidak ada seorang pun yang mengerti bagaimana perasaannya
sekarang ini? Bagaimana kekalutan ini terus saja mencoba membunuhnya? Oh Tuhan,
tolonglah!
***
Hari sudah gelap saat gadis itu menginjakkan kakinya di
negeri matador-Spanyol. Negeri yang juga sekaligus menjadi tanah kelahirannya.
Sudah hampir satu bulan ia tidak berkunjung ke negara ini. Untungnya, cuaca di
Spanyol hari ini sedang bagus, jadi ia tidak perlu terlalu repot-repot untuk
mencari kendaraan umum menuju rumah sakit. Yvette langsung berlari kecil sesaat
setelah ia sampai di rumah sakit elit itu. Sebelumnya, ia sudah menghubungi
manager laki-laki itu-Raul Jara untuk menanyakan dimana rumah sakit dan nomor
kamar tempat pria itu dirawat.
Yvette berbelok tajam ke kiri dan langsung menghentikan
langkahnya. Pintu transparan sudah tepat berada dihadapannya sekarang. Perlahan
ia menarik kenop pintu dan mulai mencondongkan kepalanya. Tepat saja dan tak
butuh waktu lama, pemandangan yang tengah ada dihadapannya sekarang ini sukses
membuat degupan jantungnya terdengar lebih kencang. Matanya yang sejak tadi
sudah memanas sekarang malah semakin memanas. Bulir-bulir air mata sudah
menggantung di tiap sudutnya. Hatinya seolah teriris oleh sebilah bambu tajam.
Lututnya melemas. Ia tidak sanggup melihat pria itu terbaring lemah tak berdaya
disana. Yvette memajukan langkahnya, bermaksud mendekati pria itu. Dahi Yvette
mengernyit, menyatukan kedua alis tebalnya. Bibirnya pun terasa kering
mendadak.
“Bagaimana kejadian itu bisa terjadi?” Yvette membuka celah
kecil di bibirnya.
“Ia tidak bisa mengontrol ban belakang motornya. Ban jenis
soft yang digunakannya saat balapan waktu itu sudah tergerus habis dan ia
kehilangan kendali atas motornya. Terlebih lagi lengan bawahnya yang belum sembuh
benar menjadi pelengkap. Ia terseret keluar lintasan dan terhempas ke pembatas
sirkuit.” sahut pria itu penuh simpati. Matanya menatap Yvette lekat.
Yvette tak bergeming. Air mata langsung jatuh merembes
membasahi wajahnya. Ia lalu mendaratkan tubuhnya tepat di atas kursi yang sebelumnya
diduduki oleh Raul. “Lalu bagaimana keadaan lengan kanannya? Apa berpengaruh
besar?”
“Ya, lihatlah. Tangannya membengkak dan kata dokter akan
butuh waktu lama untuk memulihkannya kembali.” Raul lalu mengambil sebuah kursi
lain dan menempatkannya tepat disamping kanan pria itu.
“Inilah yang sangat kutakutkan. Aku takut akan terjadi
sesuatu yang buruk padanya. Dan sekarang, ketakutanku itu nyata.” Yvette mulai
terisak. Napasnya tercekat. Tenggorokannya seolah tidak bisa lagi menelan
ludahnya. “Apa ada dampak lain dari kecelakaan itu?” lanjutnya lagi.
“Lututnya memar, begitu juga bagian bawah kakinya. Mungkin
ia akan kesulitan berjalan untuk beberapa hari kedepan.” jelas Raul. Matanya
kini beralih ke arah pria malang itu.
Tiba-tiba Yvette merasakan sebuah gerakan kecil. Tangannya
yang diletakkan tepat di punggung tangan kiri pria itu merasakan ada sesuatu
yang baru. Jari kelingking pria itu mulai bergerak, disusul oleh jari-jarinya
yang lain. “Dani?” kata Yvette pelan. Segera ia menghapus bekas-bekas air mata
yang masih melembapi wajahnya.
Sinar lampu sukses menusuk sepasang kornea mata pria itu. Ia
membuka kelopak matanya pelan sambil sesekali ia kembali menutupnya, berusaha
menyesuaikan matanya dengan keadaan. Hamparan polos berwarna putih sukses
menjadi pemandangan pertama yang dilihat pria itu. “Apa ini rumah sakit?”
gemingnya dalam hati. Dani menolehkan kepalanya sedikit. Ia merasakan ada sesuatu
yang menimpa punggung tangan kirinya. “Yvette?” ucapnya lemah.
“Dani, syukurlah kau sudah sadar. Aku sangat mencemaskanmu.
Aku mengkhawatirkanmu, Sayang.” Yvette mulai menyatukan jari-jemari mereka. Ia
menggenggamnya erat.
“Hmm, aku keluar sebentar. Ada yang perlu ku urus.” Raul
beranjak dari kursinya. Ia sengaja. Ia ingin memberi ruang bagi Dani dan Yvette
untuk berdua. Agar mereka dapat berbicara dengan lebih leluasa.
Yvette hanya menatap Raul penuh arti. Ia tahu apa maksud lelaki
berusia 30-an itu sebenarnya. Ia ingin memberi ruang baginya untuk berdua
dengan Dani. Ulasan senyum tercetak di wajah Yvette. Sebuah senyum yang jelas
sekali mewakili rasa terima kasihnya.
“Mengapa kau bisa ada disini?” ucap pria itu lagi, masih lemah.
“Aku langsung memesan tiket ke Spanyol saat pertama kali
aku tahu kau mengalami kecelakaan saat balapan itu. Dani, kau ingat apa yang
kukatakan seminggu lalu? Aku sudah memintamu agar tidak ikut balapan untuk
beberapa seri kedepan, kan? Kau tahu? Ini adalah alasan utamaku. Aku takut,
Dani. Aku benar-benar takut akan kehilanganmu. Aku tidak ingin kau terluka. Melihat
lengan kanan bawahmu di operasi saja sudah membuat hatiku nyeri. Dan sekarang
kau malah memperparahnya.” jelas Yvette. Ia mulai menempelkan kepalanya tepat
disamping kepala pria itu.
“Maafkan aku. Tapi tidak semudah itu bagiku untuk
meninggalkan balapan, Yvette. Aku masih punya kontrak.” balas Dani pelan.
Hampir tidak terdengar.
“Lalu jika kau terjatuh seperti ini apa kontrak itu bisa
membantu? Apa kontrak itu bisa menyembuhkanmu? Jangan mengorbankan
keselamatanmu sendiri, Dani. Lihat lenganmu sekarang. Bertambah parah dan
malah membengkak. Banyak sekali bekas luka di lutut dan di kakimu. Aku
hanya tidak ingin kau terluka. Apa kau tidak tahu itu? Aku sangat khawatir,
Dani.” Yvete menarik kepalanya. Suaranya sedikit meninggi namun masih tercekat.
Matanya memandang Dani bulat. Tanpa sadar, genangan-genangan air bening
mulai membayangi kedua matanya.
“Aku tahu. Ini memang resikonya. Aku akan mencoba
menahannya.” sahut Dani lagi, mudah. Kini giliran bola matanya yang menatap
Yvette lekat.
“Sampai kapan kau akan menahannya?” Cukup sudah. Yvette
tidak sanggup lagi menyembunyikan tangisnya didepan pria itu. Air mata begitu
mudah meluncur dari kelopak matanya.
“Entahlah. Akupun tidak tahu. Jangan menangis, Sayang.
Kumohon.” Dani mulai menggerakkan punggungnya, mendekati wajah gadis itu. Ia
mengendurkan perpaduan tangan mereka dan mengulurkan tangan kirinya.
“Jujur saja. Aku hampir pingsan saat mengetahui kau
kecelakaan. Aku hampir gila memikirkanmu, Dani. Kau masih mau mengujiku seperti
ini lagi?” Yvette menggerakkan tangannya. Mulai menyentuh tangan pria itu yang
sudah duluan menyentuh wajahnya.
“Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf.” kini ibu jari
pria itu dengan lembutnya mulai mengusap pipi Yvette. Lebih tepatnya ia menghapus
linangan-linangan air mata Yvette.
Beberapa detik tanpa suara. Sunyi sukses mengambil alih
suasana. Dani menarik kembali punggungnya. Kembali ke posisi tidurnya semula.
“Sudah jam berapa sekarang?” Dani mengalihkan pandangan ke
sekelilingnya. Matanya mencari-cari dimana ada jam dinding tergantung.
Sekaligus ia ingin mengalihkan pembicaraan.
“Jam sebelas malam.” sahut Yvette singkat. Tangan kanannya mulai mengusap-usap rambut pria itu. “Kenapa?”
katanya lagi.
“Kau tidak lelah? Sebaiknya kau istirahat, Yvette.” suruh
Dani. Nada suaranya jelas sekali menggambarkan perasaan lembutnya.
“Tidak. Aku tidak
lelah. Aku tidak mau tidur.” mimik wajah Yvette berubah sedikit cemberut. Bibirnya
pun dicondongkan sedikit kearah depan.
“Ayolah, Sayang. Ini sudah malam. Kau tidak ingin kan
menambah lukaku hanya karena kau yang jatuh sakit karena kelelahan?” bujuk Dani
lagi. Gurat demi gurat senyum mulai terlukis di wajah pria itu.
“Tapi aku tidak ingin..” kata-kata gadis itu mengambang
seketika. Ia langsung menutup kedua belah bibirnya rapat saat sentuhan tangan
kiri Dani menyentuh bibirnya.
“Sudah, tidurlah, Sayang. Aku tidak apa.” Dani semakin
memperdalam senyumnya. Masih tampak lemah sekali. Namun terasa begitu
menenangkan. Aura senyum manis pria itu memang tidak bisa tertutupi.
Yvette memegang tangan kiri Dani, ulasan senyum pun ikut timbul
di wajahnya. “Baik, tapi aku akan tidur disini. Didekatmu.” perlahan Yvette
mulai mengelus-ngelus punggung tangan kiri pria itu.
“Baiklah. Kalau begitu selamat malam, Yvette Amescua.” kini
giliran Dani yang menggosok-gosok rambut Yvette. Walaupun lebih tepatnya ia
hanya mengusap-usahpnya lembut.
“Selamat malam, Dani Pedrosa. Aku mencintaimu.” Yvette
mencondongkan kepalanya lebih dekat dengan wajah Dani. Sebuah kecupan hangat
langsung didaratkannya tepat di pipi kiri pemuda tampan itu.
“Aku juga mencintaimu.” Dani memejamkan matanya. Sensasi
kasih sayang mulai menjalar di tubuhnya. Ia menikmati sensasi itu. Sangat
menikmatinya.
*Dan.. Inilah keadaan lengan bawah Dani yang dilihat Yvette. Yang membengkak itu.*
Ouch, Dani. Get well really soon!
Comments
Post a Comment