*Di part ini Rachel memiliki suatu ketakutan. Semacam phobia gitu. Yaitu phobia akan ruang kosong*
Let Me Save This Feeling #2
Rachel bolak-balik menanyakan pendapat kakaknya mengenai masalah
yang satu ini. Ia terus mendesak pria itu untuk segera memberinya sebuah
jawaban. Ya atau tidak.
“Ayolah, Jorge. Menurutmu bagaimana?” tanya Rachel dengan tatapan
memelas. Ia terus mengguncang-guncang lengan kanan pria itu.
Jorge menarik napas dan menghembuskannya perlahan. “Terserah kau,
Rachel. Aku juga tidak bisa memaksamu, kan? Lagi pula itu berlangsung malam hari
dan kau tidak terbiasa keluar malam. Jadi, kupikir tidak usah saja.” sahut pria
itu lembut.
Gadis itu berhenti mengguncang-guncang. “Tapi jika aku tidak
datang, pasti nilaiku kosong. Jika aku datang, aku juga tidak terlalu berani.
Lantas bagaimana ini?” Rachel memajukan bibirnya beberapa sentimeter kedepan.
Lagi-lagi Jorge menghela napas melihat tingkah adik satu-satunya
ini. Berbeda di rumah berbeda juga di dunia luar.
“Menurutku, kau tidak usah datang, Rachel. Tapi jika kau tetap
ingin datang, datang saja. Lagi pula bukan hanya kau kan yang akan datang ke
kampus itu? Kau akan bersama teman-temanmu yang lain, kan?”
“Iya sih. Tapi kau tahu sendiri kan? Aku tidak terbiasa dengan
mereka. Aku takut, Jorge.” Rachel semakin menampakkan wajah manyunnya.
“Ok, begini saja. Kau datang besok malam ke kampus itu dan aku akan
menjemputmu tepat pukul setengah sepuluh malam. Tidak lewat. Bagaimana? Jika
tugas kelompokmu belum selesai, biar aku yang akan bicara dengan mereka. Bisa?”
Tidak ada respon untuk beberapa detik hingga akhirnya seulas senyum
tersungging di wajah gadis itu.
“Boleh. Kurasa itu ide yang bagus. Kau memang kakakku yang paling
pintar, Jorge!”
“Memangnya kau punya kakak lain selain aku?” Jorge menatap adiknya
dengan tatapan menantang.
“Hmm..” Gadis itu mengangkat tangannya dan mulai meletakkannya di
bawah dagu. “Tidak ada, haha.”
“Bagus. Aku memang kakakmu yang paling pintar dan satu-satunya.
Baiklah, kalau begitu kau tidurlah, sudah malam. Selamat tidur, Rachel
Guerrero.” Jorge tersenyum sembari beranjak dari kursinya dan
menggosok-gosokkan sebentar telapak tangannya di ubun-ubun gadis itu sebelum
berbalik dan menutup pintu kamarnya.
***
Bolak-balik tangan gadis itu memegang dan melepas pintu
mobil. Hatinya masih belum membulat seutuhnya. Ia bimbang. Apa ia harus turun
dari mobil ini dan berjalan melewati gelapnya malam atau tetap duduk disini dan
kembali pulang ke rumah? Berulang-ulang ia menimbang-nimbang hingga akhirnya ia
menjatuhkan pilihannya pada pilihan pertama. Ragu-ragu Rachel membuka pintu
mobilnya dan menginjakkan kakinya di tanah gelap.
“Jorge, jangan lupa menjemputku jam setengah sepuluh
ya, atau aku akan marah padamu.” Rachel memasang ekspresi pura-pura manyun.
Tunggu, atau ia memang benar-benar manyun?
Jorge mencondongkan tubuhnya lebih dekat. “Tenang saja
gadis kecil. Aku tidak akan terlambat menjemputmu.”
“Janji?”
“Janji. Sudah, masuklah. Pasti teman-temanmu yang lain
sudah menunggu.” Jorge menjulurkan tangannya dan meletakkannya tepat diujung
hidung gadis itu, lalu ia menariknya pelan dan kembali meluruskan tubuhnya.
Rachel berjalan pelan ke arah gedung aula kampusnya.
Dengan kembali ke gayanya semula, menundukkan kepala dan hanya sesekali melihat
ke depan. Sesekali gadis itu menghentikan langkahnya, lalu kembali berjalan dan
begitu berulang-ulang hingga ia sampai tepat di ambang pintu gedung
berkapasitas hingga 300 orang itu. Seharusnya telinganya sudah bisa menangkap
adanya tanda-tanda keberadaan manusia dan suara hiruk pikuk keributan dari
jarak sedekat ini. Namun, ia sama sekali tidak mendengar apa-apa. Tidak
suara-suara, tidak hentakan kaki, tidak suara geseran kursi, juga tidak ada
keributan. Keringat dingin mulai melembapi kedua pelipisnya. Ada apa ini?
Akhirnya, setelah berusaha keras menahan rasa takutnya
dan menghirup udara berkali-kali, Rachel memberanikan diri untuk menarik gagang
pintu coklat kegelapan itu. Tidak terkunci, pintu langsung terbuka lebar. Kedua
bola mata gadis itu refleks membelalak. Lututnya melemas dan jantungnya seperti
tersambar kilat hujan badai. Tangannya pun sampai bergetar. Suhu tubuhnya mulai
tidak teratur. Panas dingin.
Cukup lama Rachel tidak bergerak dan hanya berdiri
mematung dengan keringat yang sudah membanjiri punggungnya. Ada apa sebenarnya?
Kemana orang-orang itu? Kemana suara manusia-manusia itu?
***
Sudah hampir satu jam pria itu hanya berkutat di
kamarnya. Tidak keluar juga tidak sekedar mencoba keluar. Sudah berulang-ulang
ia hanya mondar-mandir dan mencari sana-sini. Membongkar seluruh isi tasnya,
lemarinya, lacinya, hingga memeriksa sampai bagian bawah ranjang tidurnya. Tom
menghela napas panjang, ia memegang keningnya dan memijitnya pelan. Kemana?
Kemana buku penting itu? Apa tertinggal di kampus? Sudah tidak terhitung lagi
banyaknya pria itu memutar kembali memorinya hari ini. Apa yang dilakukannya,
tempat apa saja yang dikunjunginya dan siapa yang ada bersamanya seharian ini.
Tom menepuk dahinya agak kuat saat ia menyadari
kecerobohannya. Buru-buru ia meraih jaket hitamnya di sudut kamar dan langsung
beranjak pergi. Dengan langkah gontai ia melangkahkan kakinya memasuki gerbang
kampus dan melewati lorong panjang menuju kelasnya hari ini. Ia meninggalkan
buku penting itu disana. Buku yang tanpanya pria itu tidak akan bisa menjawab
soal mid-term kuliahnya besok. Yah, mungkin dia bisa, namun
kemungkinannya terbilang cukup kecil.
Tom memperlambat langkahnya saat ia melewati gedung
aula. Telinganya menangkap secercah suara... ya, tidak salah lagi. Itu adalah
suara sesenggukan. Tapi sesenggukan siapa? Memangnya ada orang lain selain
dirinya di kampus ini sekarang? Tiba-tiba pria itu bergidik ngeri. Bulu
kuduknya pun mulai bangkit dan berdiri tegak. Takut-takut ia mendekati pintu
aula dan dengan mengerahkan seluruh keberanian lelakinya, ia melangkahkan
kakinya lebih dekat ke arah suara itu berasal.
Tubuh kekar Tom hampir saja terpelanting kedepan kalau
saja kedua tangannya tidak sigap meraih sudut pintu. Kakinya menabrak sebuah benda
lain. Tom melihat kebawah kakinya, mencari tahu benda apa yang hampir membuat
wajahnya mencium lantai dingin. Seketika mata pria itu membulat saat dilihatnya
sosok seorang gadis sedang duduk meringkuk ketakutan di ambang pintu. Yah,
walaupun hanya terlihat samar-samar karena memang suasana malam di kampus itu
tidak terlalu banyak difasilitasi oleh penerangan.
Tom membungkukkan tubuhnya, mencoba menyentuh tubuh
gadis itu. Dirasakannya getaran yang luar biasa saat tangannya berhasil
menyentuh sebelah bahu asing itu. Tom semakin mendekatkan wajahnya, sekali lagi
mulai menyentuh wajah sosok itu. Namun, saat ia baru mau menarik tubuh itu
berdiri, tubuh itu sudah duluan merosot ke lantai. Seketika gelombang kepanikan
mulai menjalari aliran darah Tom. Bagimana ini? Sekarang apa yang harus
dilakukannya?
“Hei, bangun! Bangun, bangun!” Tom menepuk-nepuk pipi
gadis itu lembut.
“Tolonglah, siapapun kau, bangunlah. Kumohon!” Terselip
suatu kecemasan dari nada bicaranya.
To Be Continued..
Comments
Post a Comment