FanFiction


  You Should Not Come Back #2 




Rachel? Kau ada disini? sosok pria itu sontak membulatkan matanya. Ia tidak menyangka akan kembali bertemu gadis masa lalunya disini. Ia memandangi penuh wanita yang sekarang berdiri tegak dihadapannya itu.

Mengapa kau kembali? Bukannya kau sudah melarikan diri ke luar negeri, hah? Rachel sedikit mengalihkan pandangannya. Ia membelokkan wajahnya.

Aku.. aku kembali satu bulan yang lalu. Aku kira kau sudah pergi dari kota ini.Namun ternyata.. Pria itu berbicara dengan sedikit gelagapan. Ia kemudian melempar pusat pandangannya. Matanya pun beralih ke arah sebuah kereta bayi yang tepat berada disamping gadis itu.

Ini? Siapa anak ini? Apa dia anak kita? wajah pria itu mulai berubah berbinar-binar. Ia mulai mendekatkan wajahnya, dan tangan kanannya tampak menimbulkan sebuah gerakan kecil.

Kita bicara diluar. Rachel menjauhkan kereta bayinya dari jangkauan pria itu. Ia mulai bergerak dan langsung keluar dari bangunan bertingkat itu.

Untuk apa kau tanyakan anak ini? Dia bukan siapa-siapamu. Dia anakku dan laki-laki lain. Lagi-lagi Rachel memalingkan wajahnya. Tampaknya ia benar-benar tidak ingin lagi menatap lama-lama wajah pria yang setahun lalu menghancurkan hidupnya itu.

Aku tidak percaya padamu. Kau tidak usah berbohong, Rach. Dia adalah anakku, kan? Aku meninggalkanmu saat kau sedang berbadan dua. Tidak mungkin anak ini adalah anak laki-laki lain! pria itu mulai mendekatkan wajahnya kembali dan sedikit membungkukkan punggungnya. “Lihat, dia sangat mirip denganku. Kau tidak bisa menutupinya, aku tahu. Dia mewarisi hampir semua bagian wajahku. Matanya, bibirnya, alisnya. Hampir semuanya sempurna menyerupaiku. Hanya hidungnya saja yang sedikit menyerupaimu. Siapa namanya? Tangan pria itu perlahan tapi pasti mulai mengusap lembut kepala anak laki-laki itu. Senyum tersungging manis diwajahnya.

Rachel menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Ia kemudian menghembuskannya perlahan sembari menatap tajam mata coklat pria itu. Luis Marquez Alenta. Begini, Dani Pedrosa. Kuakui anak ini memang anakmu. Dia adalah darah dagingmu. Tapi, aku rasa dia sama sekali tidak mirip denganmu. Dia sepenuhnya menyerupaiku. Kau ingat saat waktu itu kau meninggalkanku dan tidak mengharapkan kehadirannya di dunia ini? Kau bahkan membencinya, bukan? Lantas mengapa sekarang kau malah menyama-nyamakan dirimu dengannya? Dengar, ini adalah kali pertama dan terakhirmu untuk bertemu dengannya. Aku tidak ingin dia tahu kalau kau adalah ayah kandungnya. bantah Rachel dengan cukup frontal. Ia kemudian menepis kasar tangan kekar pria itu dan menarik mundur kereta bayinya.

Dia adalah anakku, Rach. Kau tidak berhak memisahkan kami. Satu lagi, apa? Marquez Alenta? Seharusnya kau memberi namanya Luis Pedrosa Ramal, bukan malah Luis Marquez Alenta. Aku ini adalah ayah kandungnya! Mata coklat Dani mulai mengilatkan sebuah kilatan marah.

Ayah macam apa yang rela meninggalkan calon anaknya sendiri dan melarikan diri ke luar negeri hanya untuk menghindari tanggung jawabnya? Lalu kembali seenaknya dan sekarang berubah hati menyayanginya? Kupikir itu menyedihkan, Dani! Rachel langsung membalikkan tubuhnya, mencoba berjalan meninggalkan pria itu sebelum ia digagalkan oleh sebuah uluran tangan.

Aku tau aku bukanlah seorang laki-laki yang baik untukmu. Aku sadar aku telah membuat kesalahan terbesar dalam hidupku, lari dari tanggung jawab dan meninggalkanmu serta calon anak kita. Aku memang laki-laki pecundang. Aku menyesal. Aku minta maaf, Rach. Tapi sekarang.. Dani sedikit berdeham sebelum melanjutkan. ..setelah kehadiran anak kita ini, aku ingin memperbaiki semuanya. Kembalilah padaku dan tinggal bersama anak kita. Dani langsung membalikkan tubuh mungil gadis itu. Nada suaranya memelan saat mengucapkan kata-kata terakhir dari kalimatnya.

Apa kau bilang? Kembali padamu? Oh ayolah, Dani! Penyesalan memang selalu datang terlambat. Kau pikir akan semudah itu bagiku untuk memaafkan dan kembali lagi padamu setelah semua yang kau lakukan padaku? Kau tahu, Dani? Tepat hari dimana kau meninggalkanku dan calon anak kita, aku benar-benar terlihat seperti orang bodoh. Berjalan kesana kemari tanpa tahu tujuan pasti. Kau tahu kan aku hanya tinggal bersama bibiku di kota ini? Namun, setelah kesalahan terbesar dalam hidupku waktu itu, dia tidak mau lagi menerimaku. Dia pindah keluar kota dan ikut meninggalkanku. Tapi.. Rachel memejamkan matanya sejenak. .. disamping penderitaanku itu, aku masih bersyukur pada Tuhan. Karena kau meninggalkanku, aku sadar sekarang, kau memang laki-laki sialan. Sekarang aku telah menemukan seorang laki-laki yang jauh lebih baik darimu untuk menjadi ayah bayi ini. Jadi, kau tidak perlu repot-repot menjalani tugasmu sebagai seorang ayah. Kau bahkan tidak pantas menyandangnya. Rachel terkekeh pelan. Kekehan sebagai suatu sindiran keras. Ia menghentak genggaman tangan kekar pria itu dari lengan bawahnya.

Jadi kau tinggal bersamanya selama ini? Apa kalian sudah menikah? Siapa laki-laki itu? Dani sedikit memajukan tubuhnya, mulai mendekati Rachel.

Itu bukan urusanmu. Kau tidak perlu tahu siapa dia. bibir bawah Rachel sedikit bergetar.

Baik, jika kau tidak ingin memberitahuku siapa pria itu. Itu adalah hak-mu. Tapi kau sama sekali tidak berhak untuk tidak pernah lagi mengizinkanku bertemu dengan anakku sendiri, Rach! Jangan egois! Dani meninggikan suaranya. Lagi-lagi kedua bola matanya teralihkan ke arah Luis.

Aku tidak peduli!. Teriak Rachel sambil membalikkan tubuhnya. Ia langsung mendorong kereta bayinya secepat yang ia bisa. Meninggalkan pria itu masih membatu ditempat dengan segala macam campur aduk perasaannya.

Rachel!!

***
Rachel memutar kunci rumahnya. Kakinya langsung melangkah masuk ke ambang pintu dan ia reflek menghempaskan tubuhnya keatas sofa empuk ruang tamunya. Ia mengusap keningnya sebentar, mencoba menghilangkan bulir-bulir keringat akibat langkah lebarnya tadi. Kedua bola matanya melirik ke arah kanannya. Ia memandangi seorang bayi laki-laki yang tengah tergeletak menggemaskan didalam keretanya dengan terbungkuskan pakaian khas bayi. Rachel memajukan tubuhnya sejenak. Tangannya langsung masuk lebih dalam dan menarik bayi itu keluar dari keretanya, lalu mendekatkan wajah bayi itu dan wajahnya. 

Mom menyayanyimu, Luis. Sangat menyayangimu. bibir Rachel terbuka sedikit, ia semakin mendekatkan wajahnya. Kecupan hangat langsung mendarat tepat di kening bayi mungil itu.

Rachel tiba-tiba merasakan sebuah getaran dari dalam saku celana jeans hitamnya. Getaran berdurasi sedang itu sukses mengagetkannya. Ia sontak menarik wajahnya cepat. Perlahan Rachel mulai mengembalikan bayinya kedalam tempat semula. Ia kemudian merogoh saku celananya dan menarik ponselnya dari dalam sana. Marc? ucapnya singkat sebelum menempelkan benda tipis itu tepat ditelinga kanannya.

Aku akan sampai di rumah sekitar 15 sampai 20 menit lagi. Apa kau sudah berada di rumah, Rach? laki-laki diseberang sana langsung berucap, tanpa memberikan kesempatan lebih dulu untuk gadis itu bicara.

Oh, ya, aku sudah pulang, Marc. Barusan saja. Hmm, hanya perasaanku saja atau memang meeting-mu kali ini lebih cepat dari biasanya? Rachel mulai beranjak berdiri dari sofanya. Ia ingin berberes sebentar sebelum pria itu tiba di rumah.

Meeting kali ini memang diluar hipotesa-ku. Lebih cepat satu setengah jam dari perkiraanku sebelumnya. Suara tempat Marc berada mulai terdengar bising. Entah jalan apa yang tengah dilewatinya sekarang.

Hmm, begitu. Oh ya, Marc. Aku ingin berberes sebentar sebelum kau tiba. Sudah dulu, ya! Rachel semakin mempercepat langkahnya menuju dapur. Ia belum memasak apapun untuk makan siang pria itu hari ini. Marc tidak menjawab. Salah, bukan tidak menjawab. Lebih tepatnya belum sempat menjawab. Rachel sudah lebih dulu menuntaskan telponnya.

***
Rachel melangkahkan kakinya cepat ke arah pintu utama rumahnya. Ia sudah tahu bahwa laki-laki yang tengah berdiri tegak di luar sana adalah Marc. Ya, ia tidak mungkin salah. Rachel memutar kenop pintu berukir rumahnya dan langsung menarik mundur kebelakang. “Marc..” katanya singkat setelah melihat wajah laki-laki itu menyemburatkan senyuman. Marc tidak bergeming. Ia hanya mendorong masuk tubuh mungil Rachel dan mengecup keningnya. Hal yang selalu dilakukannya tiap kali kembali dari bekerja. Seolah sebuah kecupan hangat dapat mengurangi hampir seluruh penatnya. Marc langsung meraih tangan kanan Rachel dan menuntunnya ke arah meja makan setelah meletakkan jas hitamnya dipunggung kursi. Tampaknya laki-laki itu sudah benar-benar tidak bisa menahan rasa laparnya. Marc melepas gandengannya dan berbelok ke arah yang berlawanan dengan Rachel. Ia lalu menarik salah satu kursi makan dan langsung mendarat mulus diatasnya.

Pelan-pelan, Marc. Kau tampaknya sangat lapar hari ini, ya? Rachel membuka pembicaraan diantara mereka.

Hah? Ya. Entah kenapa, hari ini aku merasa sangat lapar. Marc melirik gadis itu sebentar sebelum kembali memotong daging di piringnya.

Kau lapar atau memang masakanku sangat lezat? senyuman nakal menyeruak pada wajah Rachel. Ia kemudian menopang dagunya dengan kedua telapak tangannya.

Marc menelan potongan daging kecil didalam mulutnya sebelum menyahut. Hahaha, kalau dua-duanya bagaimana?

Haha, jangan bohong. Akuilah, Marc. Kau makan tergesa-gesa karena memang masakanku lezat kan? Rachel melepas tempelan kedua telapak tangannya. Ia kemudian berganti menyilangkan tangannya diatas meja. Senyum menggoda lagi-lagi menghiasi wajah cantik gadis itu.

Hmm, ya, ya. Aku akui masakanmu memang sangat lezat. Terima kasih, Rachel sayang. Marc mengedipkan matanya. Membalas tatapan dan senyum nakal gadis itu. Oh ya, dimana Luis? Apa dia tidur? sambungnya lagi.  

Rachel mengangguk. “Ya, dia sedang tertidur di kamarku.”

Marc ikut menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Oh ya, bagaimana belanja bulananmu hari ini? Menyenangkan? Sekali lagi aku minta maaf ya tidak bisa menemanimu dan anak kita.” Marc mulai mengalihkan pembicaraan.

“Tidak apa-apa Marc sayang. Sudah berapa kali aku katakan padamu, tidak apa. Aku bisa melakukannya sendiri. Kau tidak perlu khawatir.” Sahut Rachel lembut. Sejujurnya ia sedikit bosan menjawab permintaan maaf pria itu.

“Oh begitu. Jadi sekarang kau tidak membutuhkan aku lagi? Kau bisa melakukan semuanya sendiri dan aku sama sekali tidak diperlukan, hah?” Marc pura-pura tersinggung. Ia menaikkan sebelah alisnya. Sorot matanya pun dibuat seolah menyorotkan kilatan marah.

“Tidak begitu juga, Marc. Aku membutuhkanmu. Hanya saja untuk hal-hal kecil seperti ini kau tidak perlu terlalu mengkhawatirkanku. Aku pernah melakukannya sebelumnya saat aku belum tinggal bersamamu. Jadi, yah, bisa dikatakan aku sudah profesional.” tukas Rachel cepat. Mencoba meyakinkan Marc.

“Hahaha, aku tau Rachel. Aku hanya bercanda.” canda Marc lagi. Ia lalu bangkit dari kursinya dan mencubit kedua pipi gadis itu gemas.

“Hey, Marc. Lepaskan!” protes Rachel. Kedua tangannya langsung menyentuh punggung tangan Marc yang masih mencubit pipinya, berusaha melepaskan cubitan tangan kekar itu.

“Lihat wajahmu, merah semerah kepiting rebus. Aku suka, Rachel. Aku suka wajahmu seperti ini.” alih-alih mengendurkan cubitannya, Marc malah semakin memperkuatnya. Mungkin ia terlalu gemas dan tidak bisa menahan dirinya.

Rachel mengerutkan keningnya. Membuat beberapa garis halus tercetak beriringan disana. “Terserah kau saja, Marc. Bisa kau lepaskan cubitanmu sekarang?” desis Rachel.

Senyum mengembang lebar di wajah Marc. Perlahan-lahan ia mulai mengendurkan cubitannya. “Maaf, Rach. Tapi kau sangat menggemaskan, kau tahu?”

Rachel memasang wajah cemberut. Beberapa jarinya ia gunakan untuk mengelus-ngelus pipi merah jambunya. “Sakit tahu, Marc.” Gadis itu memajukan bibirnya.

“Hei, lihat bibirmu. Kau malah memajukannya. Kau mau aku tidak bisa menahan diriku lagi dan mencubitmu lagi, hmm?” tangan Marc mulai terbentuk seperti ingin mencubit lagi. Perlahan tapi pasti ia mulai menggerak-gerakkan jari-jemarinya.

Rachel sontak memundurkan kepalanya, menjauhkan pipinya dari jangkauan tangan kekar Marc. “Baiklah, aku tidak memajukan bibirku lagi.”

“Tapi wajahmu masih memancingku untuk mencubit lagi, Rachel. Senyumlah..” Marc mulai mendekatkan tangannya pada wajah gadis itu. Ibu jarinya menarik sedikit bibir Rachel, membuat lengkungan senyum membentuk di wajahnya.

Rachel menyentuh tangan Marc. Ia kemudian menjauhkannya dan benar-benar membuat sendiri guratan senyum di wajahnya. “Aku sudah tersenyum kan, Marc?”

“Sudah, kalau begini kan kau terlihat jauh lebih cantik, Sayang..”

“Jadi selama ini aku tidak cantik, begitu?” Rachel lagi-lagi memajukan bibirnya. Ia lupa bahwa bibir majunya itu dapat memancing nafsu Marc untuk mencubit pipinya lagi.

“Kau melakukannya lagi, kau mau..” senyum nakal refleks tercetak di wajah pria itu.

“Oops! Aku lupa!” Dengan cepat Rachel langsung mengubah ekspresinya. Ia tidak ingin pipinya bertambah memerah akibat ulah usil calon suaminya itu.

Marc tidak henti-hentinya menertawai Rachel. Sempat terbesit dalam hatinya betapa beruntungnya ia memiliki Rachel. Wanita cantik, lucu, dan yang pasti selalu saja bisa membuatnya tersenyum dan tertawa. Rasanya tenang sekali.

“Kau istirahatlah dulu, aku akan membereskan piringmu.” Rachel beranjak dari kursinya, memaksa Marc memundurkan beberapa langkahnya.

“Oh ya, kau tidak makan? Aku sampai lupa mengajakmu makan bersama tadi karena terlalu lapar.” Marc menggaruk-garuk kepalanya, yang sejujurnya tidak gatal sama sekali.

“Tidak, aku masih kenyang, Marc. Mungkin aku akan makan sebentar lagi.” sahut Rachel lembut.

“Baiklah, tapi kau jangan sampai lupa makan. Aku tidak ingin kau jatuh sakit.” Tangan Marc terangkat. Jari telunjuknya mulai menyentuh dagu gadis itu.

“Kau tenang saja, Marc.” Senyum lagi-lagi mengembang di wajah Rachel. Tangan kanannya pun ikut terangkat dan membalas dengan menarik-narik hidung mancung Marc.

***
Marc meraih remote tv dan langsung menghempaskan tubuhnya diatas sofa panjang ruang keluarganya. Menonton acara tv yang disukainya sore-sore begini memang selalu menjadi kebiasaannya sehabis pulang bekerja-apabila ia tidak harus menginap di kantor karena banyaknya tugas-tugas perusahaan. Marc mengambil sebuah bantal kecil yang tergeletak disudut sofa dan menempatkannya tepat dibelakang kepalanya. Ia kemudian menyandarkan tubuh dan kepalanya bersamaan. Rachel yang baru selesai menjalankan tugas setiap para wanita pun tampak berjalan menghampiri Marc dari arah dapur. Tangan kirinya tampak membawa segelas air berwarna oranye. Rachel menghentikan langkahnya tepat dihadapan pria itu. 

“Ini, Marc.” ucapnya lembut seraya memindahtangankan gelas minuman itu.

“Terima kasih, Rach.” Tangan Marc langsung terulur. Ia mengambil gelas minuman itu dan langsung menyedot airnya melalui sedotan.

Marc berhenti menyedot jus jeruk itu ketika sudah tersisa setengah. Ia kemudian menarik tubuhnya kedepan dan meletakkan gelas kaca itu keatas meja kecil disampingnya. 

“Marc..” panggil Rachel manja.

“Hmm?” sahut Marc sembari merentangkan tangan kanannya. Tepat sekali melingkar di bahu gadis itu.

“Hari ini....” Rachel mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia mulai menenggelamkan wajahnya.

“Hari ini kenapa?” ujar Marc penasaran. Kepalanya berpaling. Tangan kirinya kembali meraih gelas minuman yang Rachel bawakan tadi untuknya. Ia mulai kembali menyedot sisa airnya.

“Hari ini aku berjumpa dengannya, laki-laki sialan itu, yang telah menghancurkan hidupku. Dani Pedrosa.” Rachel menggigit bibir bawahnya, ia lalu memainkan jari-jari tangannya.

Marc refleks tersedak. Air yang belum sepenuhnya ditelan hampir saja muncrat keluar kalau saja ia tidak sigap menarik tangan kanannya dan menutup mulutnya. Marc lalu mengernyitkan dahi dan langsung meletakkan kembali gelas yang tengah berada digenggamannya. “Apa kau bilang? Dia kembali?”

“Ya, dia kembali. Dia sudah tahu kalau Luis adalah anaknya. Dan terlebih lagi, kau tahu, Marc? Dia bersikeras untuk tetap menjumpai Luis.” Nada pilu mulai tersirat dalam nada suara gadis itu.

“Dia tahu kalau kau tinggal disini bersamaku?”

“Tidak, dia tidak tahu. Tapi aku rasa dia pasti akan mencariku dan Luis karena dia sudah mengetahui bahwa aku masih tinggal di kota ini, Marc.” Rachel menerbitkan wajahnya. Kedua bola matanya menatap kearah Marc penuh arti. 

Marc membalas tatapan Rachel. Cukup lama mata mereka saling bersitemu sebelum akhirnya Marc merengkuh bahu Rachel lebih dekat. “Tenanglah Rach, kau punya aku. Kau bisa mengandalkanku. Aku tidak akan membiarkannya membawamu dan Luis pergi. Tidak akan. Aku berjanji.” ujar Marc, berusaha meyakinkan Rachel.

“Aku tidak rela, Marc, jika ia bertemu dengan Luis lagi, terlebih jika ia membawa Luis pergi. Aku tidak sanggup.” Rachel melepas tangisnya dalam pelukan dada bidang pria itu. Ia menyembunyikan wajahnya didalam sana.

“Tidak akan pernah, Rach. Aku akan melakukan apapun untuk kita. Apapun. Aku tidak akan membiarkan kebahagiaan kita hancur begitu saja oleh kehadirannya kembali.” Marc semakin memperkuat pelukannya. Ia cukup mengerti bagaimana perasaan gadis itu sekarang. Mata Marc mulai ikut memanas. Ludahnya tertahan. Hatinya seolah dihantam oleh benda keras. Ia tidak rela dua orang kebahagiaannya di dunia ini dan salah satu alasannya untuk tetap hidup di dunia ini diambil begitu saja oleh orang lain. Tidak, ia benar-benar tidak rela. Tanpa sadar air bening pun sudah timbul membayangi kedua bola mata coklat pria itu.

***
Marc memutar kunci pintu kamarnya. Ia berbalik dan langsung melempar tubuhnya tepat diatas ranjang tidurnya. Marc memejamkan mata dan menarik napas panjang. Tangannya lalu dilipat dan ditempatkan tepat dibalik kepalanya. Hatinya benar-benar kacau saat pertama kali gadis itu kembali mengucap nama pria sialan itu. Nama pria yang juga sekaligus adalah temannya sendiri. Pikiran Marc sontak melayang ke masa lalu. Cukup lama ia sudah berteman dengan pria itu. Malam itu, adalah malam saat seorang Dani Pedrosa melarikan diri dari tanggung jawabnya.

“Kau yakin akan meninggalkannya?” Marc memegang tangan kanan Dani. Membuatnya berhenti sejenak mengemasi barang-barang.

“Ya, aku yakin. Aku tidak bisa bertanggung jawab dan menikahinya. Aku masih muda, Marc. Aku tidak sebodoh itu! Masa depanku masih panjang dan masih banyak gadis-gadis diluar sana yang bersedia menikahiku, bukan gadis gampangan seperti dia.” Dani melirik sebentar kearah Marc. Ia kemudian menghentak pegangan tangan pria itu dari tangannya dan kembali berkemas.

“Lalu bagaimana nasibnya selanjutnya? Dia sudah hamil tiga bulan, Dani. Apa kau tidak kasihan dengan janin yang sekarang ada dalam rahimnya? Dia adalah anakmu. Kau harus mengakuinya dan bertanggung jawab. Nikahi dia, tolonglah. Jika kau tidak ingin menikahinya karena alasan cinta, nikahi dia karena aku. Tolong, tetaplah tinggal disini.” Nada suara Marc memelan. Entah kenapa, tapi rasanya hatinya ikut sakit melihat gadis itu tersakiti oleh sahabatnya sendiri. Apa mungkin perasaan itu mulai bersemi dihatinya?

“Maaf, Marc. Aku tahu kita sudah berteman lama, namun kali ini, aku tidak bisa. Aku harus pergi. Soal janin itu, aku yakin dia pasti akan membunuhnya. Memangnya siapa lagi yang mau menerima gadis berbadan dua sepertinya? Kau tidak perlu terlalu mencemaskannya, lagipula dia bukan siapa-siapamu kan? Sudahlah.” Dani memasukkan barang terakhir kedalam kopernya. Ia lalu mengunci ritsluitingnya.

“Dia memang bukan siapa-siapaku. Tapi aku mencintainya, Dani.!” Mata Marc mulai memanas.

Kedua bola mata Dani memutar cepat. Apa ia tidak salah dengar? Marc Marquez mencintai seorang gadis bekas sahabatnya sendiri? “Apa?”

“Ya, aku mencintainya, Dani. Sejujurnya sudah lama aku menyimpan perasaan ini, tapi aku selalu menahannya karena aku tahu bahwa dia mencintaimu. Dan kau tahu apa? Aku selalu memperhatikannya dari kejauhan walaupun dia tidak mengenalku. Aku terlalu menyayanginya.” jelas Marc blak-blakan. Akhirnya ia dapat mengungkapkan semuanya sekarang.

“Oh, kalau begitu kau ambil saja dia. Nikahi dia dan hiduplah bahagia bersamanya, Marc.” Nada suara Dani meninggi. Ia kemudian mulai menyeret kopernya dan berjalan pelan.

“Tunggu, Dani. Tapi dia mencintaimu. Dia tidak mencintaiku, terlebih lagi dia bahkan tidak mengenalku.” Marc refleks mengulurkan tangannya. Berusaha menghalangi pria itu pergi untuk kesekian kalinya.

“Masalah cinta, itu bisa tumbuh seiring dia bersamamu. Kau mulailah hidup barumu bersamanya. Aku tidak akan pernah mengganggu kalian. Selamat tinggal, Marc.” Dani membalikkan kepalanya setengah. Ia hanya melihat Marc dari ekor matanya dan kembali berjalan. Meninggalkan sahabatnya itu masih mematung di tempat.

Marc menggeleng-gelengkan kepalanya, bermaksud membuyarkan garis-garis masa lalu yang kembali terngiang di pikirannya. Ia kemudian membuka kelopak matanya perlahan. Tidak, ia tidak boleh membiarkan pria itu merebut lagi kebahagiaannya sekarang. Ia sudah berjanji untuk tidak akan pernah mengusik kehidupan barunya bersama gadis itu. Dulu ia sudah pernah mencampakkannya begitu saja seperti sampah. Dan sekarang ia kembali untuk merebut gadis itu kembali? Tidak, tidak boleh. Ia harus mempertahankan mereka. Gadis itu dan Luis. Luis Marquez Alenta. Ia harus. Apapun yang terjadi.  

To Be Continued.. 

Comments