You Should Not Come Back #2
“Rachel? Kau ada disini?” sosok pria itu sontak membulatkan
matanya. Ia tidak menyangka akan kembali bertemu gadis masa lalunya disini. Ia
memandangi penuh wanita yang sekarang berdiri tegak dihadapannya itu.
“Mengapa kau kembali? Bukannya kau sudah
melarikan diri ke luar negeri, hah?” Rachel sedikit mengalihkan
pandangannya. Ia membelokkan wajahnya.
“Aku.. aku kembali satu bulan yang lalu.
Aku kira kau sudah pergi dari kota ini.Namun ternyata..” Pria itu berbicara dengan sedikit gelagapan.
Ia kemudian melempar pusat pandangannya. Matanya pun beralih ke arah sebuah
kereta bayi yang tepat berada disamping gadis itu.
“Ini? Siapa anak ini? Apa dia anak kita?” wajah pria itu mulai berubah
berbinar-binar. Ia mulai mendekatkan wajahnya, dan tangan kanannya tampak
menimbulkan sebuah gerakan kecil.
“Kita bicara diluar.” Rachel menjauhkan kereta bayinya dari
jangkauan pria itu. Ia mulai bergerak dan langsung keluar dari bangunan
bertingkat itu.
“Untuk apa kau tanyakan anak ini? Dia
bukan siapa-siapamu. Dia anakku dan laki-laki lain.” Lagi-lagi Rachel memalingkan wajahnya.
Tampaknya ia benar-benar tidak ingin lagi menatap lama-lama wajah pria yang
setahun lalu menghancurkan hidupnya itu.
“Aku tidak percaya padamu. Kau tidak
usah berbohong, Rach. Dia adalah anakku, kan? Aku meninggalkanmu saat kau
sedang berbadan dua. Tidak mungkin anak ini adalah anak laki-laki lain!” pria itu mulai mendekatkan wajahnya kembali
dan sedikit membungkukkan punggungnya. “Lihat, dia sangat mirip denganku. Kau
tidak bisa menutupinya, aku tahu. Dia mewarisi hampir semua bagian wajahku.
Matanya, bibirnya, alisnya. Hampir semuanya sempurna menyerupaiku. Hanya
hidungnya saja yang sedikit menyerupaimu. Siapa namanya?” Tangan pria itu perlahan tapi pasti
mulai mengusap lembut kepala anak laki-laki itu. Senyum tersungging manis
diwajahnya.
Rachel
menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Ia kemudian menghembuskannya
perlahan sembari menatap tajam mata coklat pria itu. “ Luis Marquez Alenta. Begini, Dani Pedrosa.
Kuakui anak ini memang anakmu. Dia adalah darah dagingmu. Tapi, aku rasa dia
sama sekali tidak mirip denganmu. Dia sepenuhnya menyerupaiku. Kau ingat saat
waktu itu kau meninggalkanku dan tidak mengharapkan kehadirannya di dunia ini?
Kau bahkan membencinya, bukan? Lantas mengapa sekarang kau malah
menyama-nyamakan dirimu dengannya? Dengar, ini adalah kali pertama dan
terakhirmu untuk bertemu dengannya. Aku tidak ingin dia tahu kalau kau adalah
ayah kandungnya.” bantah Rachel dengan cukup frontal. Ia kemudian menepis kasar tangan kekar pria
itu dan menarik mundur kereta bayinya.
“Dia adalah anakku, Rach. Kau tidak
berhak memisahkan kami. Satu lagi, apa? Marquez Alenta? Seharusnya kau memberi
namanya Luis Pedrosa Ramal, bukan malah Luis Marquez Alenta. Aku ini adalah
ayah kandungnya!”
Mata coklat Dani mulai mengilatkan sebuah kilatan marah.
“Ayah macam apa yang rela meninggalkan
calon anaknya sendiri dan melarikan diri ke luar negeri hanya untuk menghindari
tanggung jawabnya? Lalu kembali seenaknya dan sekarang berubah hati
menyayanginya? Kupikir itu menyedihkan, Dani!” Rachel langsung membalikkan tubuhnya,
mencoba berjalan meninggalkan pria itu sebelum ia digagalkan oleh sebuah uluran
tangan.
“Aku tau aku bukanlah seorang laki-laki
yang baik untukmu. Aku sadar aku telah membuat kesalahan terbesar dalam
hidupku, lari dari tanggung jawab dan meninggalkanmu serta calon anak kita. Aku
memang laki-laki pecundang. Aku menyesal. Aku minta maaf, Rach. Tapi sekarang..” Dani sedikit berdeham sebelum
melanjutkan. “..setelah
kehadiran anak kita ini, aku ingin memperbaiki semuanya. Kembalilah padaku dan
tinggal bersama anak kita.”
Dani langsung membalikkan tubuh mungil gadis itu. Nada suaranya memelan saat
mengucapkan kata-kata terakhir dari kalimatnya.
“Apa kau bilang? Kembali padamu? Oh
ayolah, Dani! Penyesalan memang selalu datang terlambat. Kau pikir akan semudah
itu bagiku untuk memaafkan dan kembali lagi padamu setelah semua yang kau
lakukan padaku? Kau tahu, Dani? Tepat hari dimana kau meninggalkanku dan calon
anak kita, aku benar-benar terlihat seperti orang bodoh. Berjalan kesana kemari
tanpa tahu tujuan pasti. Kau tahu kan aku hanya tinggal bersama bibiku di kota
ini? Namun, setelah kesalahan terbesar dalam hidupku waktu itu, dia tidak mau
lagi menerimaku. Dia pindah keluar kota dan ikut meninggalkanku. Tapi..” Rachel memejamkan matanya sejenak. “.. disamping penderitaanku itu, aku
masih bersyukur pada Tuhan. Karena kau meninggalkanku, aku sadar sekarang, kau
memang laki-laki sialan. Sekarang aku telah menemukan seorang laki-laki yang
jauh lebih baik darimu untuk menjadi ayah bayi ini. Jadi, kau tidak perlu
repot-repot menjalani tugasmu sebagai seorang ayah. Kau bahkan tidak pantas
menyandangnya.”
Rachel terkekeh pelan. Kekehan sebagai suatu sindiran keras. Ia menghentak
genggaman tangan kekar pria itu dari lengan bawahnya.
“Jadi kau tinggal bersamanya selama ini?
Apa kalian sudah menikah? Siapa laki-laki itu?’ Dani sedikit memajukan tubuhnya, mulai
mendekati Rachel.
“Itu bukan urusanmu. Kau tidak perlu tahu
siapa dia.”
bibir bawah Rachel sedikit bergetar.
“Baik, jika kau tidak ingin
memberitahuku siapa pria itu. Itu adalah hak-mu. Tapi kau sama sekali tidak
berhak untuk tidak pernah lagi mengizinkanku bertemu dengan anakku sendiri,
Rach! Jangan egois!”
Dani meninggikan suaranya. Lagi-lagi kedua bola matanya teralihkan ke arah Luis.
“Aku tidak peduli!.” Teriak Rachel sambil membalikkan
tubuhnya. Ia langsung mendorong kereta bayinya secepat yang ia bisa.
Meninggalkan pria itu masih membatu ditempat dengan segala macam campur aduk
perasaannya.
“Rachel!!”
***
Rachel
memutar kunci rumahnya. Kakinya langsung melangkah masuk ke ambang pintu dan ia
reflek menghempaskan tubuhnya keatas sofa empuk ruang tamunya. Ia mengusap
keningnya sebentar, mencoba menghilangkan bulir-bulir keringat akibat langkah
lebarnya tadi. Kedua bola matanya melirik ke arah kanannya. Ia memandangi seorang
bayi laki-laki yang tengah tergeletak menggemaskan didalam keretanya dengan
terbungkuskan pakaian khas bayi. Rachel memajukan tubuhnya sejenak. Tangannya
langsung masuk lebih dalam dan menarik bayi itu keluar dari keretanya, lalu
mendekatkan wajah bayi itu dan wajahnya.
“Mom menyayanyimu, Luis. Sangat
menyayangimu.”
bibir Rachel terbuka sedikit, ia semakin mendekatkan wajahnya. Kecupan hangat
langsung mendarat tepat di kening bayi mungil itu.
Rachel
tiba-tiba merasakan sebuah getaran dari dalam saku celana jeans hitamnya.
Getaran berdurasi sedang itu sukses mengagetkannya. Ia sontak menarik wajahnya
cepat. Perlahan Rachel mulai mengembalikan bayinya kedalam tempat semula. Ia
kemudian merogoh saku celananya dan menarik ponselnya dari dalam sana. “Marc?” ucapnya singkat sebelum menempelkan
benda tipis itu tepat ditelinga kanannya.
“Aku akan sampai di rumah sekitar 15
sampai 20 menit lagi. Apa kau sudah berada di rumah, Rach?” laki-laki diseberang sana langsung
berucap, tanpa memberikan kesempatan lebih dulu untuk gadis itu bicara.
“Oh, ya, aku sudah pulang, Marc. Barusan
saja. Hmm, hanya perasaanku saja atau memang meeting-mu kali ini lebih cepat
dari biasanya?”
Rachel mulai beranjak berdiri dari sofanya. Ia ingin berberes sebentar sebelum
pria itu tiba di rumah.
“Meeting kali ini memang diluar
hipotesa-ku. Lebih cepat satu setengah jam dari perkiraanku sebelumnya.” Suara tempat Marc berada mulai
terdengar bising. Entah jalan apa yang tengah dilewatinya sekarang.
“Hmm, begitu. Oh ya, Marc. Aku ingin
berberes sebentar sebelum kau tiba. Sudah dulu, ya!” Rachel semakin mempercepat langkahnya
menuju dapur. Ia belum memasak apapun untuk makan siang pria itu hari ini. Marc
tidak menjawab. Salah, bukan tidak menjawab. Lebih tepatnya belum sempat
menjawab. Rachel sudah lebih dulu menuntaskan telponnya.
***
Rachel
melangkahkan kakinya cepat ke arah pintu utama rumahnya. Ia sudah tahu bahwa
laki-laki yang tengah berdiri tegak di luar sana adalah Marc. Ya, ia tidak mungkin
salah. Rachel memutar kenop pintu berukir rumahnya dan langsung menarik mundur
kebelakang. “Marc..” katanya singkat setelah melihat wajah
laki-laki itu menyemburatkan senyuman. Marc tidak bergeming. Ia hanya mendorong
masuk tubuh mungil Rachel dan mengecup keningnya. Hal yang selalu dilakukannya
tiap kali kembali dari bekerja. Seolah sebuah kecupan hangat dapat mengurangi
hampir seluruh penatnya. Marc langsung meraih tangan kanan Rachel dan menuntunnya
ke arah meja makan setelah meletakkan jas hitamnya dipunggung kursi. Tampaknya
laki-laki itu sudah benar-benar tidak bisa menahan rasa laparnya. Marc melepas
gandengannya dan berbelok ke arah yang berlawanan dengan Rachel. Ia lalu
menarik salah satu kursi makan dan langsung mendarat mulus diatasnya.
“Pelan-pelan, Marc. Kau tampaknya sangat
lapar hari ini, ya?”
Rachel membuka pembicaraan diantara mereka.
“Hah? Ya. Entah kenapa, hari ini aku
merasa sangat lapar.”
Marc melirik gadis itu sebentar sebelum kembali memotong daging di piringnya.
“Kau lapar atau memang masakanku sangat
lezat?” senyuman nakal menyeruak pada wajah
Rachel. Ia kemudian menopang dagunya dengan kedua telapak tangannya.
Marc
menelan potongan daging kecil didalam mulutnya sebelum menyahut. “Hahaha, kalau dua-duanya bagaimana?”
“Haha, jangan bohong. Akuilah, Marc. Kau
makan tergesa-gesa karena memang masakanku lezat kan?” Rachel melepas tempelan kedua telapak
tangannya. Ia kemudian berganti menyilangkan tangannya diatas meja. Senyum
menggoda lagi-lagi menghiasi wajah cantik gadis itu.
“Hmm, ya, ya. Aku akui masakanmu memang
sangat lezat. Terima kasih, Rachel sayang.” Marc mengedipkan matanya. Membalas
tatapan dan senyum nakal gadis itu. “Oh ya, dimana Luis? Apa dia tidur?” sambungnya lagi.
Rachel mengangguk. “Ya, dia sedang tertidur di kamarku.”
Marc ikut
menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Oh ya, bagaimana belanja bulananmu hari ini? Menyenangkan?
Sekali lagi aku minta maaf ya tidak bisa menemanimu dan anak kita.” Marc mulai mengalihkan pembicaraan.
“Tidak
apa-apa Marc sayang. Sudah berapa kali aku katakan padamu, tidak apa. Aku bisa
melakukannya sendiri. Kau tidak perlu khawatir.” Sahut Rachel lembut. Sejujurnya ia
sedikit bosan menjawab permintaan maaf pria itu.
“Oh
begitu. Jadi sekarang kau tidak membutuhkan aku lagi? Kau bisa melakukan
semuanya sendiri dan aku sama sekali tidak diperlukan, hah?” Marc pura-pura tersinggung. Ia
menaikkan sebelah alisnya. Sorot matanya pun dibuat seolah menyorotkan kilatan
marah.
“Tidak
begitu juga, Marc. Aku membutuhkanmu. Hanya saja untuk hal-hal kecil seperti
ini kau tidak perlu terlalu mengkhawatirkanku. Aku pernah melakukannya
sebelumnya saat aku belum tinggal bersamamu. Jadi, yah, bisa dikatakan aku
sudah profesional.” tukas Rachel cepat. Mencoba meyakinkan Marc.
“Hahaha,
aku tau Rachel. Aku hanya bercanda.” canda Marc lagi. Ia lalu bangkit dari kursinya dan mencubit
kedua pipi gadis itu gemas.
“Hey,
Marc. Lepaskan!” protes Rachel. Kedua tangannya langsung menyentuh punggung
tangan Marc yang masih mencubit pipinya, berusaha melepaskan cubitan tangan
kekar itu.
“Lihat
wajahmu, merah semerah kepiting rebus. Aku suka, Rachel. Aku suka wajahmu
seperti ini.” alih-alih mengendurkan cubitannya, Marc malah semakin
memperkuatnya. Mungkin ia terlalu gemas dan tidak bisa menahan dirinya.
Rachel mengerutkan
keningnya. Membuat beberapa garis halus tercetak beriringan disana. “Terserah kau saja, Marc. Bisa kau
lepaskan cubitanmu sekarang?” desis Rachel.
Senyum mengembang
lebar di wajah Marc. Perlahan-lahan ia mulai mengendurkan cubitannya. “Maaf, Rach. Tapi kau sangat
menggemaskan, kau tahu?”
Rachel memasang wajah
cemberut. Beberapa jarinya ia gunakan untuk mengelus-ngelus pipi merah
jambunya. “Sakit
tahu, Marc.” Gadis itu memajukan bibirnya.
“Hei,
lihat bibirmu. Kau malah memajukannya. Kau mau aku tidak bisa menahan diriku
lagi dan mencubitmu lagi, hmm?” tangan Marc mulai terbentuk seperti ingin mencubit lagi.
Perlahan tapi pasti ia mulai menggerak-gerakkan jari-jemarinya.
Rachel sontak
memundurkan kepalanya, menjauhkan pipinya dari jangkauan tangan kekar Marc. “Baiklah, aku tidak memajukan bibirku
lagi.”
“Tapi
wajahmu masih memancingku untuk mencubit lagi, Rachel. Senyumlah..” Marc mulai mendekatkan tangannya pada
wajah gadis itu. Ibu jarinya menarik sedikit bibir Rachel, membuat lengkungan
senyum membentuk di wajahnya.
Rachel menyentuh
tangan Marc. Ia kemudian menjauhkannya dan benar-benar membuat sendiri guratan
senyum di wajahnya. “Aku sudah tersenyum kan, Marc?”
“Sudah,
kalau begini kan kau terlihat jauh lebih cantik, Sayang..”
“Jadi
selama ini aku tidak cantik, begitu?” Rachel lagi-lagi memajukan bibirnya. Ia lupa bahwa bibir
majunya itu dapat memancing nafsu Marc untuk mencubit pipinya lagi.
“Kau
melakukannya lagi, kau mau..” senyum nakal refleks tercetak di wajah pria itu.
“Oops!
Aku lupa!”
Dengan cepat Rachel langsung mengubah ekspresinya. Ia tidak ingin pipinya
bertambah memerah akibat ulah usil calon suaminya itu.
Marc tidak henti-hentinya
menertawai Rachel. Sempat terbesit dalam hatinya betapa beruntungnya ia
memiliki Rachel. Wanita cantik, lucu, dan yang pasti selalu saja bisa
membuatnya tersenyum dan tertawa. Rasanya tenang sekali.
“Kau
istirahatlah dulu, aku akan membereskan piringmu.” Rachel beranjak dari kursinya, memaksa
Marc memundurkan beberapa langkahnya.
“Oh
ya, kau tidak makan? Aku sampai lupa mengajakmu makan bersama tadi karena
terlalu lapar.” Marc menggaruk-garuk kepalanya, yang sejujurnya tidak gatal
sama sekali.
“Tidak,
aku masih kenyang, Marc. Mungkin aku akan makan sebentar lagi.” sahut Rachel lembut.
“Baiklah,
tapi kau jangan sampai lupa makan. Aku tidak ingin kau jatuh sakit.” Tangan Marc terangkat. Jari
telunjuknya mulai menyentuh dagu gadis itu.
“Kau
tenang saja, Marc.” Senyum lagi-lagi mengembang di wajah Rachel. Tangan
kanannya pun ikut terangkat dan membalas dengan menarik-narik hidung mancung
Marc.
***
Marc meraih remote tv
dan langsung menghempaskan tubuhnya diatas sofa panjang ruang keluarganya.
Menonton acara tv yang disukainya sore-sore begini memang selalu menjadi
kebiasaannya sehabis pulang bekerja-apabila ia tidak harus menginap di kantor
karena banyaknya tugas-tugas perusahaan. Marc mengambil sebuah bantal kecil
yang tergeletak disudut sofa dan menempatkannya tepat dibelakang kepalanya. Ia
kemudian menyandarkan tubuh dan kepalanya bersamaan. Rachel yang baru selesai
menjalankan tugas setiap para wanita pun tampak berjalan menghampiri Marc dari
arah dapur. Tangan kirinya tampak membawa segelas air berwarna oranye. Rachel
menghentikan langkahnya tepat dihadapan pria itu.
“Ini, Marc.” ucapnya lembut seraya memindahtangankan gelas minuman itu.
“Ini, Marc.” ucapnya lembut seraya memindahtangankan gelas minuman itu.
“Terima
kasih, Rach.” Tangan Marc langsung terulur. Ia mengambil gelas minuman
itu dan langsung menyedot airnya melalui sedotan.
Marc berhenti
menyedot jus jeruk itu ketika sudah tersisa setengah. Ia kemudian menarik
tubuhnya kedepan dan meletakkan gelas kaca itu keatas meja kecil disampingnya.
“Marc..” panggil Rachel manja.
“Hmm?” sahut Marc sembari merentangkan tangan
kanannya. Tepat sekali melingkar di bahu gadis itu.
“Hari
ini....”
Rachel mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia mulai
menenggelamkan wajahnya.
“Hari
ini kenapa?” ujar Marc penasaran. Kepalanya berpaling. Tangan kirinya
kembali meraih gelas minuman yang Rachel bawakan tadi untuknya. Ia mulai
kembali menyedot sisa airnya.
“Hari
ini aku berjumpa dengannya, laki-laki sialan itu, yang telah menghancurkan
hidupku. Dani Pedrosa.” Rachel menggigit bibir bawahnya, ia lalu memainkan
jari-jari tangannya.
Marc refleks
tersedak. Air yang belum sepenuhnya ditelan hampir saja muncrat keluar kalau
saja ia tidak sigap menarik tangan kanannya dan menutup mulutnya. Marc lalu
mengernyitkan dahi dan langsung meletakkan kembali gelas yang tengah berada digenggamannya.
“Apa
kau bilang? Dia kembali?”
“Ya,
dia kembali. Dia sudah tahu kalau Luis adalah anaknya. Dan terlebih lagi, kau
tahu, Marc? Dia bersikeras untuk tetap menjumpai Luis.” Nada pilu mulai tersirat dalam nada
suara gadis itu.
“Dia
tahu kalau kau tinggal disini bersamaku?”
“Tidak,
dia tidak tahu. Tapi aku rasa dia pasti akan mencariku dan Luis karena dia
sudah mengetahui bahwa aku masih tinggal di kota ini, Marc.” Rachel menerbitkan wajahnya. Kedua
bola matanya menatap kearah Marc penuh arti.
Marc membalas tatapan
Rachel. Cukup lama mata mereka saling bersitemu sebelum akhirnya Marc merengkuh
bahu Rachel lebih dekat. “Tenanglah Rach, kau punya aku. Kau bisa mengandalkanku. Aku
tidak akan membiarkannya membawamu dan Luis pergi. Tidak akan. Aku berjanji.” ujar Marc, berusaha meyakinkan Rachel.
“Aku
tidak rela, Marc, jika ia bertemu dengan Luis lagi, terlebih jika ia membawa
Luis pergi. Aku tidak sanggup.” Rachel melepas tangisnya dalam pelukan dada bidang pria
itu. Ia menyembunyikan wajahnya didalam sana.
“Tidak
akan pernah, Rach. Aku akan melakukan apapun untuk kita. Apapun. Aku tidak akan
membiarkan kebahagiaan kita hancur begitu saja oleh kehadirannya kembali.” Marc semakin memperkuat pelukannya. Ia
cukup mengerti bagaimana perasaan gadis itu sekarang. Mata Marc mulai ikut memanas.
Ludahnya tertahan. Hatinya seolah dihantam oleh benda keras. Ia tidak rela dua
orang kebahagiaannya di dunia ini dan salah satu alasannya untuk tetap hidup di
dunia ini diambil begitu saja oleh orang lain. Tidak, ia benar-benar tidak
rela. Tanpa sadar air bening pun sudah timbul membayangi kedua bola mata coklat
pria itu.
***
Marc memutar kunci
pintu kamarnya. Ia berbalik dan langsung melempar tubuhnya tepat diatas ranjang
tidurnya. Marc memejamkan mata dan menarik napas panjang. Tangannya lalu
dilipat dan ditempatkan tepat dibalik kepalanya. Hatinya benar-benar kacau saat
pertama kali gadis itu kembali mengucap nama pria sialan itu. Nama pria yang
juga sekaligus adalah temannya sendiri. Pikiran Marc sontak melayang ke masa
lalu. Cukup lama ia sudah berteman dengan pria itu. Malam itu, adalah malam
saat seorang Dani Pedrosa melarikan diri dari tanggung jawabnya.
“Kau
yakin akan meninggalkannya?” Marc memegang tangan kanan Dani. Membuatnya berhenti
sejenak mengemasi barang-barang.
“Ya,
aku yakin. Aku tidak bisa bertanggung jawab dan menikahinya. Aku masih muda,
Marc. Aku tidak sebodoh itu! Masa depanku masih panjang dan masih banyak
gadis-gadis diluar sana yang bersedia menikahiku, bukan gadis gampangan seperti
dia.”
Dani melirik sebentar kearah Marc. Ia kemudian menghentak pegangan tangan pria
itu dari tangannya dan kembali berkemas.
“Lalu
bagaimana nasibnya selanjutnya? Dia sudah hamil tiga bulan, Dani. Apa kau tidak
kasihan dengan janin yang sekarang ada dalam rahimnya? Dia adalah anakmu. Kau
harus mengakuinya dan bertanggung jawab. Nikahi dia, tolonglah. Jika kau tidak
ingin menikahinya karena alasan cinta, nikahi dia karena aku. Tolong, tetaplah
tinggal disini.” Nada suara Marc memelan. Entah kenapa, tapi rasanya hatinya
ikut sakit melihat gadis itu tersakiti oleh sahabatnya sendiri. Apa mungkin
perasaan itu mulai bersemi dihatinya?
“Maaf,
Marc. Aku tahu kita sudah berteman lama, namun kali ini, aku tidak bisa. Aku
harus pergi. Soal janin itu, aku yakin dia pasti akan membunuhnya. Memangnya
siapa lagi yang mau menerima gadis berbadan dua sepertinya? Kau tidak perlu
terlalu mencemaskannya, lagipula dia bukan siapa-siapamu kan? Sudahlah.” Dani memasukkan barang terakhir
kedalam kopernya. Ia lalu mengunci ritsluitingnya.
“Dia
memang bukan siapa-siapaku. Tapi aku mencintainya, Dani.!” Mata Marc mulai memanas.
Kedua bola mata Dani
memutar cepat. Apa ia tidak salah dengar? Marc Marquez mencintai seorang gadis
bekas sahabatnya sendiri? “Apa?”
“Ya,
aku mencintainya, Dani. Sejujurnya sudah lama aku menyimpan perasaan ini, tapi
aku selalu menahannya karena aku tahu bahwa dia mencintaimu. Dan kau tahu apa?
Aku selalu memperhatikannya dari kejauhan walaupun dia tidak mengenalku. Aku
terlalu menyayanginya.” jelas Marc blak-blakan. Akhirnya ia dapat mengungkapkan
semuanya sekarang.
“Oh,
kalau begitu kau ambil saja dia. Nikahi dia dan hiduplah bahagia bersamanya,
Marc.”
Nada suara Dani meninggi. Ia kemudian mulai menyeret kopernya dan berjalan
pelan.
“Tunggu,
Dani. Tapi dia mencintaimu. Dia tidak mencintaiku, terlebih lagi dia bahkan tidak
mengenalku.” Marc refleks mengulurkan tangannya. Berusaha menghalangi
pria itu pergi untuk kesekian kalinya.
“Masalah
cinta, itu bisa tumbuh seiring dia bersamamu. Kau mulailah hidup barumu
bersamanya. Aku tidak akan pernah mengganggu kalian. Selamat tinggal, Marc.” Dani membalikkan kepalanya setengah.
Ia hanya melihat Marc dari ekor matanya dan kembali berjalan. Meninggalkan
sahabatnya itu masih mematung di tempat.
Marc menggeleng-gelengkan
kepalanya, bermaksud membuyarkan garis-garis masa lalu yang kembali terngiang
di pikirannya. Ia kemudian membuka kelopak matanya perlahan. Tidak, ia tidak
boleh membiarkan pria itu merebut lagi kebahagiaannya sekarang. Ia sudah
berjanji untuk tidak akan pernah mengusik kehidupan barunya bersama gadis itu.
Dulu ia sudah pernah mencampakkannya begitu saja seperti sampah. Dan sekarang
ia kembali untuk merebut gadis itu kembali? Tidak, tidak boleh. Ia harus
mempertahankan mereka. Gadis itu dan Luis. Luis Marquez Alenta. Ia harus.
Apapun yang terjadi.
To Be Continued..
Comments
Post a Comment