FanFiction


Finally!! Akhirnya bisa nge-post di blog lagi setelah hampir sebulan ga nge-post. Hampir sebulan belakangan ini memang hari-hari yang penuh tekanan. But Alhamdulillah semuanya udah selesai. Tinggal sedikit pengorbanan dan usaha lagi semuanya akan kembali normal. Iseng-iseng lagi nulis FF ga jelas. Hahaha. Does someone out there wanna read this story? I don't know. Just hope. Wkwk :D 
 
 You Should Not Come Back #1 



Cervera. Ya, itu adalah kota indah dimana wanita itu menetap sejak satu tahun terakhir. Kota indah yang secara geografis terletak di negeri matador-Spanyol itu seolah menjadi saksi buta akan perubahan besar yang terjadi dalam hidupnya. Perubahan dalam artian positif  tepatnya. Ia memulai lembaran hidup baru sejak ia bertemu pria itu disana. Pria yang siap menerima dirinya apa adanya. Termasuk menerima seorang anak laki-laki yang bukan darah dagingnya sekalipun. Rachel menarik kulkas bertingkat tiga yang terletak disudut ruangan dapur rumah klasik hitam-putih itu. Matanya memutar-mutar sejenak sebelum akhirnya bola mata coklat hazelnya berpusat pada sebuah kaleng berwarna. Ia langsung memasukkan setengah tangan kanannya dan meraih kaleng berbentuk tabung itu. Rachel berjalan kembali ke arah ruang makan dan melakukan hal yang persis seperti yang ia lakukan pada pagi-pagi sebelumnya.

“Hei, pagi, Rachel..” pria itu langsung menyosorkan tubuh kekarnya mendekati tubuh mungil gadis itu.

“Oh, hei, pagi Marc.” Rachel berbalik setengah dan memandang lekat tubuh kekar pria itu, seolah matanya tertambat pada lem ekstra kuat. “Hari ini kau ada meeting ya?”

“Ya, mengapa kau bisa tahu?” Marc langsung meraih segelas susu putih yang berdiri tegak diatas meja makan ovalnya.

“Aku rasa semua orang juga bisa tahu, Marc. Kau berpakaian sangat rapi dari biasanya.” Guratan senyum mulai timbul pada wajah gadis itu.

“Oh, haha. Kau tampaknya sangat memperhatikanku, ya! Oh ya, kau tidak apa aku tidak bisa menemanimu untuk berbelanja hari ini?” Marc menatapi sekujur tubuhnya, kemudian berbalik menatap bola mata gadis itu dan mendekatkan wajahnya.

“Tidak, aku bisa, Marc. Aku sudah dewasa. Kau jangan meremehkanku!!” Rachel sedikit memamerkan kilatan marah palsunya.

“Bukannya aku meremehkanmu. Tapi apa kau tidak kerepotan membawa Luis bersamamu? Kau tidak pernah mau aku menyewa seorang baby-sitter karena alasan kau takut kehilangan kontak batin dengannya. Tapi aku pikir dalam kondisi seperti ini, kau membutuhkannya sekarang.” Marc mulai menarik wajahnya kembali, membengkokkan tukang belakangnya perlahan dan kemudian mendaratkan tubuhnya mulus diatas kursi disampingnya.

“Tapi aku masih merasa cukup mampu untuk melakukan semuanya. Kau tidak perlu khawatir, Marc. Aku tidak akan lama. Kau bisa percaya padaku. Aku akan segera menghubungimu sesaat setelah aku kembali di rumah.” Rachel meletakkan pisau selainya, kemudian menyodorkan roti lapis yang telah dibuatnya pada pria itu.

Marc menghela napas sejenak. Otak dan hatinya benar-benar tidak sedang sejalan. Rasanya hatinya berat membiarkan calon istrinya itu untuk berpergian sendirian, terlebih lagi mereka akan segera menikah dalam dua minggu kedepan. Marc dan Rachel memang belum melangsungkan ikatan resmi hubungan mereka, namun gadis itu sudah tinggal serumah dengannya sejak pertama kali mereka bertemu satu tahun silam. Satu-satunya alasan mereka memutuskan untuk tinggal bersama adalah anak itu, Luis Marquez Alenta. Marc tidak akan membiarkan wanita pujaan hatinya itu tinggal berdua dengan anak laki-lakinya dalam rumah yang terpisah darinya.

“Baiklah. Maafkan aku tidak bisa ikut bersamamu.” tangan Marc sedikit menyodor, bermaksud mengambil roti sarapannya kali ini.

“Tidak apa, Marc. Kau berkonsentrasilah untuk meeting-mu hari ini. Aku akan baik.” lagi-lagi guratan senyum muncul pada wajah manis gadis itu. Tangannya mulai bergerak, menekuk sedikit dan akhirnya sukses melingkar disekitar leher pria itu.

“Terima kasih. Kau jaga dirimu baik-baik dan anak kita.” Marc kemudian bangkit berdiri dan mengecup dahi gadis itu lembut. Ia langsung beranjak ke arah beranda rumahnya dengan diikuti oleh Rachel dibelakangnya.

“Aku hanya pergi berbelanja sebentar. Kau tidak perlu begitu mengkhawatirkanku.” Rachel sedikit memiringkan tubuhnya, bersandar sedikit pada dinding putih bersih rumahnya.

“Tapi tetap saja. Aku takut akan terjadi sesuatu yang buruk terhadapmu dan anak kita ketika aku tidak sedang berada didekat kalian. Well, sekali lagi hati-hati, Rach. Aku pergi dulu.” Marc langsung menarik pintu mobil merah Lamborghini-nya setelah memamerkan kembangan senyum pada gadis itu sekali lagi.

“Kau juga. Hati-hati, Marc.” Rachel kembali menegakkan tulang belakangnya dan sedikit meninggikan nada suaranya. Gadis itu kemudian membalikkan tubuhnya setelah Marc benar-benar menghilang dari pandangannya.

***
Rachel melangkahkan kaki gandanya pelan ke arah sebuah bangunan minimalis bertingkat yang sudah tidak terlalu jauh lagi dari jangkauannya. Ia memutuskan untuk berjalan kaki karena memang bangunan itu tidak terlalu jauh dari rumahnya, bisa dikatakan masih satu blok dengan komplek perumahan elitnya. Gadis itu menaiki tiga buah anak tangga panjang yang tersusun dihadapannya seraya mengangkat sedikit kereta bayi yang dibawanya sebelum kembali mendorongnya perlahan.

Rachel mendorong pintu transparan bangunan itu dan langsung meraih sebuah keranjang yang terletak ditumpukan keranjang-keranjang merah disudut toko itu. Ia mengitari sekat-sekat supermarket itu yang dibatasi oleh dinding kokoh tempat barang-barang disusun berjejer. Matanya terus bolak-balik memandang bagian kanan dan kirinya secara bergantian. Tangan kanannya dengan cekatan langsung meraih barang-barang bayi yang diperlukannya. Rachel kembali berbelok tajam dan lagi-lagi ia meraih beberapa barang keperluan rumah tangga lain. Tampaknya ia sudah sangat terbiasa melakukannya, menjalani peran sebagai seorang ibu rumah tangga. Ya, walaupun ia masih dua minggu lagi baru akan menyandangnya. Namun dikarenakan ia sudah satu tahun terakhir tinggal bersama Marc, lantas ia sudah sangat profesional melakukannya. Itulah caranya untuk membalas budi baik pria itu, melakukan apapun yang bisa dilakukannya.

Rachel menundukkan sedikit kepalanya dan melirik isi keranjang merahnya. Tangannya merogoh-rogoh isi keranjang berukuran sedang itu. “Ok, semuanya sudah.” gemingnya datar dalam hati. Gadis itu kembali mendorong kereta bayinya dan mulai beranjak ke arah meja sang kasir. 

“Terima kasih.” Ucapnya seraya tersenyum saat orang berbaju hijau itu menyodorkan beberapa lembar uang kecil sebagai kembalian. Rachel memasukkan beberapa lembar uang kembalian itu sebentar kedalam saku celananya dan kembali menaikkan kepalanya. Tangan kirinya langsung meraih sekantong plastik berukuran sedang yang tergeletak dihadapannya. Rachel memalingkan wajahnya. Jantungnya sontak hampir berhenti memompa detik itu juga. Ia memundurkan kakinya selangkah. Apa? Laki-laki bajingan ini ada disini? Tepat berdiri disampingnya? Oh Tuhan, apa yang terjadi? Mengapa dia ada disini? Bukannya laki-laki sialan ini sudah melarikan diri ke luar negeri? Kedua lutut gadis itu reflek melemas. Tulang sum-sum belakangnya seolah ingin rontok saat itu juga. Bulir-bulir keringat dingin mulai keluar tak terkendali dari pori-pori kecilnya. “Kau? Mengapa kau ada disini sialan?” gumamnya sinis dalam hati.

Comments