Short Story

Promise me, You Will Come Back..


Gracie melempar tas punggungnya begitu saja ke meja kecil yang berada tepat di sudut kamarnya dan langsung menghempaskan tubuh mungilnya ke atas tempat tidur dengan alas berwarna hijau tosca bermotif bunga tulips yang sudah siap sedia menangkapnya dari belakang. Ia memijat-mijat keningnya sebentar. Masih melekat erat di otaknya tentang kejadian “mimpi buruk” yang baru saja terjadi dalam hidupnya beberapa jam yang lalu. Ia benar-benar tidak pernah menyangka bahkan tidak pernah bermimpi sekalipun bahwa semuanya akan berakhir hanya dalam hitungan hari saja. Gracie semakin memperkuat frekuensi pijatannya. Rasanya sakit itu semakin saja menyerangnya. Pusing. Pusing sekali rasanya.

“Besok adalah hari dimana digelarnya acara pelepasan siswa-siswi sekolah kita. Aku harap kau datang. Aku sangat mengharapkan kehadiranmu, Gracie. Itu akan menguatkanku untuk bisa kokoh berdiri diatas panggung megah dimana aku akan membaca puisi dan memberi kata-kata terakhir sebagai perwakilan siswa kelas XII.” Pria itu sedikit mencondongkan wajahnya.

“Aku tahu. Namun aku benar-benar tidak yakin aku akan sanggup untuk melihatmu berdiri diatas sana sambil terus mengumandangkan kata-kata terakhir. Aku tidak kuat, Lucas.” Gadis itu sedikit mencoba menenggelamkan wajahnya.

“Kau kuat, Gracie. Aku berani bertaruh kalau kau adalah gadis yang kuat. Lagipula aku tidak akan pergi lama. Aku akan segera kembali untuk menjemputmu disini.” Tiba-tiba tangan pria itu bergerak dan langsung merengkuh bahu Gracie.

“Menunggumu sendiri disini selama hampir empat tahun kau bilang tidak lama, Lucas? Oh, ayolah. Kau jangan bercanda.” Gracie menarik wajahnya dan kini ia memandang pria itu bulat.

“Aku menjamin itu tidak akan berlangsung lama. Hanya kedengarannya saja yang begitu. Aku harap kau bisa tetap disini dan menungguku.” Lucas meraih sejumput rambut gadis itu dan menariknya ke belakang telinga Gracie.

Gadis itu menarik napas panjang dan mengembuskannya melewati mulut indahnya. Ia tidak cukup yakin akan tetap bertahan disini selama pria itu tidak ada disampingnya. Berbagai macam pikiran negatif terus saja menyaranginya. Pemikiran bahwa Lucas mungkin akan menemukan gadis lain selama berada disana sampai kemungkinan pria itu akan mendapatkan hal buruk dalam hidupnya dan ia tidak bisa melakukan apa-apa cukup membuat gadis itu frustasi dan menggelengkan kepalanya. Seolah itu dapat meringankan pikirannya sejenak dan menghapus segala pemikiran-pemikiran negatif sialan itu dalam otaknya.

Gracie bangkit dan melirik kearah meja kecil disampingnya. Ia kemudian memutar ritsluiting tas punggungnya dan merogoh-rogoh keseluruhan isinya. Tangannya berhenti seketika setelah ia berhasil menggenggam benda elektronik hitam berukuran 5 inchi itu. Ia kemudian menarik tangannya dan langsung menyentuh-nyentuh layar ponsel itu.

“Hi, kau sedang apa?” suara gadis itu langsung terdengar setelah ia menempelkan ponsel itu di telinga kanannya.

“Oh, aku sedang latihan untuk besok, Gracie. Apa kau sudah berada dirumah?” pria itu langsung menyahut dari seberang sana.

“Sudah. Hmm, apa kau sudah makan?” Gracie semakin melembutkan nada suaranya.

“Lucaass!! Kembalilah berlatih puisimu.” Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari ujung sana dan Gracie cukup sadar bahwa itu bukanlah suara kekasihnya.
Lucas sontak membalikkan kepalanya dan memutar tubuhnya setengah. Ia kemudian menjauhkan benda itu dari telinganya sebelum menjawab suara itu. “Ya. Aku akan segera kembali berlatih.”
Sedetik setelah ia menjawab teriakan salah satu rekan sekelasnya itu, Lucas kembali menempelkan ponselnya ke telinga. “Maaf Gracie. Aku harus kembali latihan. Aku tunggu kau besok. Bye gadis kecil!” Lucas langsung menuntaskan telponnya.

Gracie mendesah dari seberang sana. Ia kembali mengambil napas panjang dan menghembuskannya. Kali ini ia membuang karbon dioksida itu melalui hidungnya. Ia kini menyandarkan punggungnya pada dinding tempat tidurnya. Dengan bantal yang menyangga tulang belakangnya. Ia merasa kebimbangan yang luar biasa. Apakah ia harus menghadiri acara pelepasan itu ? Melihat kekasihnya membaca puisi perpisahan dan melepas balon-balon warna-warni penuh harapan ke udara bersama rekan-rekannya? Oh Tuhan, apa yang seharusnya kulakukan? Aku tidak cukup yakin aku akan kuat melihat wajah pria itu berdiri tegak disana, namun aku juga tidak ingin mengecewakannya hanya karena ketidakhadiranku setelah ia cukup mewanti-wantiku untuk datang. Gumam gadis itu dalam hati kecilnya.

08.16 AM..
 Gracie melangkahkan kakinya keluar dari rumah birunya. Hatinya terus mengucapkan doa dan kata-kata yang bisa menguatkan mentalnya. Ia sudah memutuskan untuk tetap hadir dalam acara pelepasan itu. Gracie langsung duduk disalah satu kursi penonton yang terletak disudut halaman sekolahnya. Ia terus menggenggam tangannya satu sama lain dengan sesekali ia meremas tangannya sendiri. Suara sang Master of Ceremony terus menggema di seluruh penjuru bangunan bertingkat itu. Hingga kemudian nama seorang laki-laki yang keluar dari mulut sang pembawa acara itu sukses membuat Gracie mendongakkan kepalanya sedikit. “Lucas?” gemingnya lirih dalam hati.

Laki-laki berbaju biru dengan motif garis-garis itu terus saja mengumandangkan puisi dari atas sana. Ia sampai sedikit bergetar saat mengucapkan kata demi kata dari mulutnya. Tampaknya ia sangat mendalami isi puisi yang sedang dibacanya sekarang. Air wajah lelaki itu benar-benar mewakili makna puisi yang dibawakannya. Sesekali ia berhenti dan melirik secarik kertas yang berada digenggamannya sebelum kembali melanjutkan. 


Gracie yang melihat kekasihnya berdiri tegak diatas sana tidak kuasa menahan air bening matanya agar tidak jatuh merembesi pipi indahnya. Suara Lucas seolah menyihirnya untuk berubah semakin lemah mendadak. Ia semakin mendapatkan puncak kesedihannya ketika pria itu berhenti dan bergantian mengucapkan kata-kata terakhirnya sebagai salah satu siswa yang pernah menjadikan sekolah itu sebagai salah satu tempat persinggahannya. 

Gracie langsung bangkit berdiri dari kursinya dan berlari semampu yang ia bisa. Ia tidak kuat lagi jika harus mendengar kata-kata “menyakitkan” itu keluar dari bibir kekasihnya. Gracie menghentikan langkahnya sesaat setelah ia tiba di taman yang terletak di sebelah utara sekolahnya. Ia membengkokkan tulangnya sedikit dan reflek terduduk di bangku putih panjang yang sudah menunggunya tersebut. Gadis itu menutup wajahnya menggunakan telapak tangan gandanya. Ia melepas tangisnya di dalam sana. Ia tidak sanggup jika harus menjalani hari-harinya tanpa pria yang hampir dua tahun terakhir ini selalu ada untuknya. Tangisnya semakin menyeruak. Gracie bisa dengan puas melepas tangisnya karena memang tidak ada orang lain selain dirinya yang berada ditempat indah itu. Salah, bukan tidak ada orang lain, namun belum ada tepatnya.

“Kau menangis?” tiba-tiba timbul secercah suara dari arah belakang dan sontak membuat gadis itu melepaskan tempelan kedua telapak tangannya dari wajahnya. Ia langsung berbalik dan menegakkan punggungnya.

“Lucas?” sahutnya lirih.

“Kau kenapa, Gracie? Aku tadi melihatmu sebentar dibangku penonton sebelum aku kehilangan sosokmu disana.” Pria itu mengatur posisi duduknya disamping Gracie.

“Aku tidak kuat, Lucas. Aku tidak sanggup mendengarmu mengucapkan kata-kata terakhirmu disini. Kata-katamu itu terdengar seperti kata-kata mengerikan yang akan memisahkan kita selamanya. Aku benci itu. Aku benci kehilanganmu, Luke!!” Gracie kini sedikit meninggikan suaranya.

“Kau tidak akan pernah kehilanganku, Grace. Aku berani menjamin itu. Aku berjanji selama aku berada di Australia aku akan selalu menjaga komunikasi kita. Kau bisa percaya padaku.” Pria itu langsung meraih bahu Gracie dan menenggelamkan kepalanya kedalam dada bidangnya.

“Ketakutan bahwa aku akan kehilangan dirimu pada gadis lain yang jauh lebih cantik disana seolah terus mencoba membunuhku. Aku takut. Benar-benar takut, Lucas.” Gadis itu kembali melepas tangisnya di dalam sana.

“Aku hanya pergi berkuliah selama kurang lebih empat tahun, Gracie. Aku berjanji aku akan kembali lagi kesini setelah aku menyelesaikan semuanya. Aku sudah pernah katakan padamu sebelumnya, aku milikmu, dan kau adalah hartaku.” Lucas sedikit mengendurkan pelukannya. Ia kemudian merogoh saku celananya sebentar dan kembali menarik tangannya dari dalam sana bersama sebuah kotak kecil.

“Ini.. pakailah. Aku ingin kau selalu memakainya. Apapun yang terjadi. Aku ingin melihat kalung ini tetap melingkar dilehermu saat aku kembali nanti.” Pria itu melepaskan pelukannya. Kemudian mengusap pipi basah Gracie dan memakaikan selingkar kalung perak pada lehernya.

Gracie terdiam sejenak. Ia memandangi tangan Lucas yang melingkar dilehernya saat memakaikan kalung itu. Ia kemudian menatap kalung perak indah yang sudah melingkar bulat dilehernya sebentar. Tertulis dua huruf kapital “G-L” sebagai matanya. Sebuah singkatan untuk Gracie-Lucas.  

“Berjanjilah padaku, kau akan selalu mengenakannya.” Lucas lagi-lagi meraih bahu lemas Gracie dan kembali merangkulnya.

“Aku berjanji, Luke. Berjanjilah juga padaku untuk akan kembali suatu saat nanti.” sahut gadis itu pelan. Masih dengan nada lirih.

“Aku berjanji, Gracie. Aku akan kembali lagi kesini untukmu. Aku mencintaimu, sayang..” bisik pria itu seraya mengecup puncak kepala Gracie.

“Aku juga mencintaimu..” lirihnya lagi.


Comments