FanFiction

I Promise You..

Rachel melangkahkan kaki gandanya ke arah sebuah taman yang terletak tepat di belakang kampusnya. Ia melewati jalan lurus selebar kira-kira tiga meter yang terbentang mulus dihadapannya dengan perasaan yang benar-benar berbeda dari biasanya. Senyum sangat tampak jelas mengembang diraut wajahnya. Kotak berwarna putih berukuran sedang dengan pita biru kecil disudut kanannya sudah terduduk manis di genggaman tangannya. Rachel sudah siap memberikan kejutan kecilnya itu pada seorang pria yang sering menghabiskan waktunya selama berada di kampus hanya untuk duduk menyendiri di taman belakang.

Rachel memelankan langkahnya, tiba-tiba ia merasakan udara disekitarnya berubah mendadak. Menjadi sedikit menyengat dan sangat menusuk hidung mancungnya. Wajahnya pun berubah drastis. Gadis itu semakin memelankan langkahnya, ia berbelok tajam ke kiri dan akhirnya langkahnya memang benar-benar terhenti. Rachel sudah berada tepat di belakang pria yang ingin ditemuinya itu. Namun sayang, fenomena yang tengah ada dihadapannya sekarang benar-benar di luar ekspektasinya. “Marc?” katanya lirih.

Pria yang tengah jantannya mengembuskan asap keluar dari hidung itu pun sontak membalikkan kepala. “Rach?” sahutnya pelan sambil membuang sebatang rokok yang tengah dijepitnya dengan jari telunjuk dan jari tengahnya ke tanah begitu saja. Ia kemudian berdiri dan langsung memijak batangan tembakau itu dengan kasarnya. Marc refleks berlari menyusul gadis itu yang sudah duluan melarikan diri.

“Rachel?? Berhenti!! Aku bisa menjelaskan semuanya. Kumohon, berhentilah!!” Marc semakin mempercepat frekuensi lariannya. Ia terus berteriak hingga urat lehernya pun kian tampak menyembul. “Rach, berhentilah sebentar..” Marc sedikit memelankan volume suaranya ketika ia sudah berada lebih dekat dengan gadis itu.

Akhirnya Marc berhasil menarik tangan kanannya dan langsung mencengkram bahunya. Ia mendorongya tubuh gadis itu sedikit ke dinding dan ia mulai mendekatkan wajahnya. “Aku bisa menjelaskan semuanya, Rach..”

“Apa? Kau mau menjelaskan apa? Mau menjelaskan bahwa kau sudah membohongiku dan kembali menghisap batangan tembakau sialan itu? Kau.. Aku benci..Aku benci kau, Marc!! Kau pembohong!!” sahut gadis itu dengan napas terengah-engah. Ia langsung menghentak kuat kedua tangan kekar pria itu yang kini mencengkramnya dengan sisa-sisa tenaganya. Ia kemudian kembali berlari semampu dan sejauh yang ia bisa sambil terus mengusap air mata yang membanjiri pipinya. Perasaannya benar-benar dikeluti oleh kekecewaan luar biasa. Ia tidak menyangka akan mendapati lelaki itu kembali menghisap batangan yang sama seperti yang ia hisap dua minggu yang lalu.

Marc terdiam. Ia mundur beberapa langkah. Berbanding terbalik dengan gadis itu, kini perasaannya malah berhasil disarangi oleh rasa bersalah. Kalau saja ia bisa menahan diri dan tidak terpengaruh oleh temannya tadi, mungkin tragedi hari ini tidak akan terjadi. Mungkin gadis itu tidak akan menangis dan berlari menghindarinya. Mata pria itu memanas. Bulir-bulir keringat mulai keluar dari pori-pori kulit wajahnya. Tangannya mengepal tanpa disadarinya. Buku-buku tangannya pun mulai berubah memutih drastis. Marc akhirnya mengarahkan kepalan tangan kekarnya itu ke papan putih panjang yang berada tepat disamping kirinya. Rasanya ia ingin membunuh dirinya saat itu juga. Kebodohannya telah menyeretnya kedalam suatu masalah. Lelaki itu bahkan tidak lagi merasakan nyeri yang kini mulai menjalar di sepanjang tangannya akibat pukulan bodohnya sendiri. Ia tidak peduli lagi dengan apapun.

Marc memutar kembali tubuhnya dan mulai berjalan pelan. Pikirannya belum bisa mendapatkan kembali kesadarannya. Ia masih memikirkan bagaimana keadaan gadis itu sekarang, kemana ia pergi, dan apa yang akan dilakukannya. Oh Tuhan, ingin sekali rasanya kepalanya meledak saat itu juga.

Marc menelusuri jalan yang sama seperti yang sudah dilewatinya sebelumnya. Raut wajahnya masih melukis dengan jelas kekalutan dan penyesalan yang kini benar-benar berhasil menguasai dirinya. Marc menelan ludahnya sedikit sebelum berhenti. Matanya tiba-tiba menangkap sebuah kotak putih berukuran sedang yang tengah tergeletak dengan malangnya dilantai. Marc membungkukkan sedikit tubuhnya, kuda-kudanya pun ikut membengkok. Tangannya langsung menjulur dan meraih kotak putih itu. Ia kemudian kembali meluruskan tubuhnya dan mulai menelusuri kotak itu.

Marc membuka kotak itu perlahan. Ia menemukan sehelai kain berwarna biru berpadu dengan warna merah disana. Terdapat tulisan “Marc Marquez Alenta” disudut kirinya. Mata pria itu kemudian beralih ke bagian bawah. Ia mendapatkan tulisan “Rachel Guerrero” tersulam manis disudut kanannya. Marc cukup sadar bahwa sapu tangan itu akan diberikan padanya kalau saja gadis itu tidak duluan mengetahui perbuatan konyolnya. Tiba-tiba tangan pria itu berubah dingin. Petir seolah menyambar jantungnya. Bodoh! Makinya dalam hati. Marc melipat kembali kain itu dan meletakkannya kembali pada posisi awalnya. Ia kemudian langsung berlari sambil terus memegangi kotak berpita itu.

***

Rachel berjalan kearah kelasnya seperti biasa. Tampaknya pikirannya sudah berubah normal kembali. Ia tidak lagi memikirkan pria itu. Terserah saja pikirnya. Terserah dia mau melakukan apa sekarang. Itu adalah dirinya sendiri dan itu adalah tanggung jawabnya. Gadis itu memelankan langkahnya dan langsung terduduk di kursinya yang terletak tepat disudut ruangan. Dua setengah jam telah berlalu. Dosen berkacamata yang mengajar di kelasnya hari ini sudah melangkahkan kakinya keluar dari ruangan berwarna kehijauan itu.

Rachel langsung meraih tasnya dan melakukan hal yang sama seperti yang telah lebih dulu dilakukan oleh dosennya. Entah kenapa gadis itu merasa sangat lelah hari ini. Ia ingin cepat tiba di rumah dan menghempaskan tubuhnya di ranjang tidurnya. Rachel berjalan cepat melewati ambang pintu coklat kelasnya. Ia tidak pernah berpikir kalau-kalau ada yang menggagalkan usaha pulang cepatnya hari ini. Gadis itu hampir terpelanting karena tarikan kuat dari sebuah tangan lain yang sudah menunggunya dari beberapa menit yang lalu. Rachel sontak membalikkan kepalanya. “Kau?” ujarnya singkat. Sosok itu langsung menuntunnya menuju sebuah tempat indah dibelakang kampus.

Rachel terus mencoba untuk melepaskan cengkraman tangan kekar sosok pria itu, namun tenaganya tidak cukup kuat untuk mengalahkan kekuatan tangan kekar seorang laki-laki. Pria itu melepas cengkramannya dan langsung mendudukkan Rachel disebuah bangku putih panjang yang selalu berada di tempat itu. “Apa-apaan kau ini? Seenaknya menarik tanganku dan menyeretku kesini? Apa kau sadar dengan apa yang sudah kau lakukan, Marc Marquez Alenta??” Rachel langsung menyerocos dan reflek bangkit berdiri.

Marc kembali menyentuh bahu gadis itu dan mendorongnya pelan hingga ia kembali terduduk. Marc langsung mengambil posisi duduk tepat disampingnya. “Maafkan aku jika kau terkejut. Tapi aku tidak punya cara lain selain ini. Kau tidak menghiraukan telponku semalam. Jadi aku pikir ini adalah jalan terbaik untuk bertemu denganmu dan mengklarifikasikan semuanya.”

“Mau mengklarifikasikan apa lagi? Dengar, aku tidak peduli lagi denganmu. Aku lelah, Marc. Aku lelah terus mengingatkanmu untuk berhenti menghisap batangan tembakau itu. Itu hanya merusak dirimu saja, kau tahu? Itu bisa membuatmu cepat mati!” Rachel sedikit menekankan pada kata terakhir kalimatnya. Ia langsung mencoba berdiri dan lagi-lagi ia tetap digagalkan oleh tangan pria itu.

“Duduklah sebentar lagi. Aku tahu. Aku cukup tahu akibat dari perbuatan konyolku itu. Aku minta maaf. Aku menyesal menerima tawaran dari temanku kemarin. Dia meninggalkanku setelah ia memberiku sebatang rokok. Aku menyesal, Rach. Kumohon, maafkan aku..” nada suara Marc terdengar sedikit tercekat.

Gadis itu diam sesaat. Ia hanya memandangi kedua bola mata pria itu. “Aku tidak tahu apa aku bisa memaafkanmu atau tidak. Aku kira kemarin akan menjadi hari yang sangat menyenangkan bagi kita. Namun aku salah besar, kemarin justru menjadi hari yang buruk.” Rachel berhenti menatap pria itu dan kini melempar pandangannya kearah depan.

“Kemarin memang bukan hari terbaik kita. Namun kali ini aku berani menjamin kalau hari ini akan menggantikan kesenangan tertunda kita.” ujar Marc sambil memamerkan kembangan senyum pada raut wajahnya.

“Maksudmu?” Rachel kembali menatap mata coklat pria itu.

Marc tidak menjawab sejenak. Guratan senyum masih menghiasi wajahnya. Ia kemudian menarik tas punggung hitamnya dan langsung membuka ritsluitingnya. Tangan kanannya menyusuri isi tas itu. Tak lama ia kembali menarik mundur tangannya bersama sebuah kotak putih berpita yang ia temukan kemarin.

“Kemarin kau ingin memberikanku ini kan?” Marc sedikit menyodorkan kotak putih itu.

Rachel sedikit menunduk. Ia hanya menatapi kotak putih itu sesaat. Marc kembali menarik sedikit kotak itu. Ia kemudian membukanya dan mengeluarkan sehelai kain berwarna biru langit dari dalamnya. “Marc Marquez Alenta-Rachel Guerrero”, aku suka sulaman ini.” Marc menoleh kearah gadis itu. “Terima kasih.”

“Terima kasih untuk apa? Aku gagal memberikannya padamu. Awalnya aku ingin memberimu kejutan, namun sebaliknya. Kau yang malah memberikanku kejutan lebih dulu.” sahut Rachel datar seraya memajukan tubuhnya, melepaskan punggungnya dari besi yang menjadi tempat sandarannya.

“Kemarin aku memberimu kejutan lebih dulu. Kau tidak menyangkanya kan? Kini aku akan melakukan hal yang sama. Aku akan memberimu sebuah kejutan lagi hari ini. Hanya berbeda sedikit. Kemarin aku memberimu kejutan pahit dan hari ini sebaliknya.” Marc sedikit mendekatkan wajahnya.

“Maksudmu?” Rachel mengernyitkan dahinya, membuat satu alisnya.

Marc kembali menunjukkan guratan senyumnya. Ia sedikit menarik tubuhnya dan langsung merogoh saku kiri celana jeans hitamnya. Ia kembali menarik tangannya bersama sehelai kain merah jambu lain.

“Ini, aku ingin memberimu ini. Aku membuatnya sendiri, sama sepertimu kan yang membuatkanku sulaman nama pada sehelai kain biru itu?”

Senyum gadis itu dengan reflek mengembang. Ia bahkan tidak sadar kalau wajahnya sudah melukis sebuah guratan senyum. Marc membentangkan sapu tangan itu tepat diatas kedua tangan Rachel yang tengah setengah mengepal. “Kau menyulam nama kita pada sapu tangan milikku, jadi aku menyulam singkatan nama kita berpadu dengan tanggal dimana aku memintamu untuk menjadi kekasihku satu setengah tahun yang lalu.”

Rachel memejamkan matanya sejenak. Ia menarik napas pendek dan menghembuskannya. “Kau.. Kau Marc Marquez..” ulasan senyum kian melebar pada wajah gadis itu. “Kau.. kau benar-benar berhasil melakukannya. Kau benar-benar berhasil membuatku terkejut hari ini.”

Rachel memandangi bentangan sapu tangan di tangannya. MMA-RG tersulam rapi diujung kirinya. Sementara 21-Oktober-2013 dengan manisnya tersulam miring disudut kanan bawah kain itu. “Terima kasih, Marc.”

“Terima kasih juga atas kejutan gagalmu kemarin.” Terlihat seringaian nakal terbentuk  pada wajah pria itu.

Seulas senyum manis pada wajah Rachel sontak memudar seketika. “Kejutan gagal katamu? Itu juga karena salahmu, Marc. Kau yang menggagalkannya.” Rachel sedikit memajukan bibir mungilnya.

“Haha, kau terlihat lucu dengan wajah manyunmu itu, Rach. Aku benar-benar minta maaf atas ulah konyolku kemarin, ya. Aku berjanji aku akan menahan diriku untuk tidak melakukannya lagi.” Marc tanpa sadar langsung menggosok-gosokkan tangannya pada rambut tergerai gadis itu.

“Kau kira akan semudah itu bagiku untuk memaafkanmu, Marc? Aku rasa tidak. Kau sudah membohongiku. Kau juga berjanji waktu itu untuk tidak mengulanginya lagi. Tapi apa buktinya sekarang? Kau malah mengulanginya lagi kan?.” Rachel melipat sapu tangan itu dan memasukkannya kedalam tas selempangnya. Ia kemudian mencoba menenggelamkan wajahnya.

“Aku tau, Rach. Aku berjanji kali ini untuk yang terakhir kalinya. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Kau bisa percaya padaku. Kumohon..” Marc mencoba mendekatkan wajahnya. Ia mulai merengkuh bahu gadis itu.

“Haha, aku sudah memaafkanmu, jelek.” Rachel mencubit pipi Marc dan langsung bangkit berdiri. Ia menoleh kebelakang sebentar sebelum mencoba berlari dan melepas tawanya.

“Heiii!! Kau Rachel Guerrero!! Kau sudah mulai mempunyai keahlian dalam mengusili orang ya? Apa kau tidak sadar betapa tampannya kekasihmu ini? Mengapa kau malah mengatai aku jelek, hah??” Marc buru-buru memasukkan kembali kotak putih yang sedari tadi berada disamping kanannya ke dalam tas punggung hitamnya. Ia kemudian langsung bangkit berdiri dan mengejar gadis itu yang tengah menertawainya dari sudut taman. 

“Hei, berhenti menertawaiku, Rachel Guerrero!!”

Comments