FanFiction


The Second Chance..

Yvette menarik selimut biru muda garis-garis merahnya hingga sebatas pinggang. Cuaca malam itu memang cukup dingin dari biasanya. Ia membetulkan posisi bantalnya dan meraih sebuah guling yang terletak secara vertikal di sebelah kanannya. Gadis itu menatap bulat kearah langit-langit. Ia mengingat-ngingat kembali tiap detik yang terjadi hari ini. Hampir semuanya berhasil terekam baik di dalam memori otaknya.

Hari ini Yvette mengunjungi sebuah bangunan umum bertingkat yang terletak tidak jauh dari kampusnya. Awalnya ia hanya ingin mencari sebuah buku yang bisa membantunya mengerjakan tugas kuliahnya, tanpa berpikir akan terjadi sesuatu hal yang lain. Gadis itu benar-benar tidak menyangka sesuatu yang besar akan terjadi di hari Rabunya ini.

Yvette berjalan pelan dengan langkah gontai menuju bangunan hijau yang sudah tidak terlalu jauh darinya. Ia kemudian menaiki lima buah anak tangga yang tersusun rapi tepat di depan bangunan itu. Ia menarik gagang pintu beningnya dan langsung menginjakkan kakinya di dalam ruangan ber-AC itu. Yvette berjalan pelan sambil melihat-lihat tiap rak yang menyekat ruangan itu hingga tiga bagian. Matanya dengan sigap melihat tiap buku yang berjejer rapi di tempatnya. Sudah tiga kali ia mengitari ruangan itu, namun ia masih tidak menemukan buku yang tengah dicarinya. Gadis itu menghela napas sebentar. “Dimana buku itu??” tanyanya dalam hati. Kesal sudah mulai menyarangi hatinya. Ia kemudian mencoba sekali lagi untuk melakukan hal yang sama-mengitari ruangan itu dengan pelan sambil menebar sorot matanya ke tiap buku yang berderet disana.

Tiba-tiba Yvette menghentikan langkahnya ketika ia sudah berada tepat disudut ruangan. Matanya menatap penuh kearah sebuah buku yang terletak paling ujung dan dikepung oleh dua buku tebal ilmiah lain. “Ah, ini dia..” gumamnya dalam hati. Tangan Yvette langsung tergerak dan perlahan tapi pasti menarik buku itu dari tumpukan buku-buku lain. Ia kemudian kembali berjalan ke arah seorang wanita berumur 25 tahunan yang sedang berdiri didekat pintu akses masuk utama dibelakang mesin kasir.

“Terima kasih..” ujarnya pelan sesaat setelah ia menyodorkan tangannya untuk mengambil uang kembalian dari sang wanita berbaju coklat itu. Yvette langsung menggerakkan kakinya beberapa langkah kedepan sebelum ia kembali terhenti tepat diambang pintu. Matanya membelalak reflek. Tiba-tiba tangannya berubah dingin. “Dani?” gemingnya secara tidak sadar dalam hati. Lelaki itu kembali lagi? Dia ada disini? Oh Tuhan, mengapa ia kembali? Mengapa ia kembali lagi??

“Maaf, bisa kau bergeser sedikit?” nada suara pria itu terdengar sedikit risih dengan tubuh Yvette yang menutupi jalan masuknya.

“Oh, tentu. Maaf.” Ekspresi terkejut langsung terbentuk diwajah Yvette. Ia benar-benar tidak percaya atas penampakan sosok yang ada dihadapannya sekarang ini. Ternyata pria itu tidak mengenalinya lagi.

Gadis itu kembali menggerakkkan kakinya perlahan. Pikirannya masih disarangi oleh berbagai macam asumsi tidak jelas. Dia tidak mengenaliku lagi? Dia ada disini? Mengapa dia ada disini? Bukannya dia sudah pindah dari kota ini? Apa kepalanya terbentur selama lima tahun terakhir ini? Atau dia memang sudah benar-benar melupakanku dan menganggap aku tidak ada? Oh, tolonglah, apa yang terjadi denganku? Yvette mengetuk-ngetuk pelan kepala sebelah kanannya.

Baru beberapa langkah perjalanan keluarnya, gadis itu lagi-lagi terhenti. Kali ini oleh secercah suara yang berhasil ditangkap oleh telinganya.

“Yvette? Apa itu kau?”

Tidak salah lagi, suara itu adalah suara laki-laki. Suara maskulinitasnya tidak bisa tertutupi.

Yvette belum berbalik sepenuhnya. Ia hanya membelokkan kepalanya sedikit. Gadis itu benar-benar merasa kalau sosok itu semakin mendekati dirinya. Tangannya pun semakin dingin dan lutut gandanya lemas.

“Yvette?” sosok pria itu berhenti tepat dihadapannya. “Kau, Yvette Amescua kan?” kini sosok itu mulai menyentuh bahu Yvette.

Gadis itu sempat terdiam untuk beberapa detik sambil menundukkan kepalanya sebelum ia membuka bibir mungilnya yang sedikit kering.

“Aku bukan Yvette Amescua. Aku bahkan tidak mengenalnya. Maaf.” Gadis itu langsung berlari tanpa melihat kearah wajah sosok itu lagi.

“Tidak. Aku tau ini kau, Yvette. Sorot mata itu masih.. aku masih cukup ingat sorot matamu itu. Kau tidak bisa berbohong..” pria itu dengan sigap menarik tangan kanan Yvette dan menggagalkannya.

“Tidak. Aku bukan dia. Aku tidak kenal dia!!” kini nada suara Yvette mulai meninggi, ia dengan tajam menghentakkan genggaman tangan sosok itu dan kembali berlari.

“Tunggu, Yvette. Aku yakin itu kau. Mata tidak akan pernah bisa berbohong!!” sosok itu terus berucap dengan penuh keyakinan. Kini ia malah mengikuti gadis itu.

Yvette berlari tak keruan. Pikiran dan hatinya tidak lagi sejalan. Ia bahkan tidak melihat jalan yang berhampar dihadapannya. Ia hanya menundukkan kepalanya sambil menahan genangan air mata itu disudut matanya.

“Yvetteeeeee!!!!” pria itu semakin mempercepat larinya ketika melihat seorang wanita yang diyakininya sebagai “Yvette Amescua” itu hampir terhempas ke arah sebuah mobil ukuran besar yang sudah berada cukup dekat dengannya. Kira-kira kurang dari satu meter lagi. Sosok itu mendorong tubuh mungilnya hingga sejauh beberapa meter. Punggung gadis itu terhempas cukup kuat ke arah sebuah tembok polos yang berada dibelakangnya.

“Ahh..” erang Yvette ketika merasa punggungnya menabrak benda keras.

Pria itu ikut terhempas kearah tembok yang sama. Namun tampaknya ia mendapat dampak yang sedikit lebih parah. Yvette bangkit berdiri perlahan mendekati sosok pria itu yang sudah tergolek lemas ditanah sambil memegangi lututnya.

“Kau tidak apa?” tanyanya takut-takut seraya mencoba membantu duduk pria itu.

“Ahh.. tidak apa-apa.” sahutnya dengan sedikit ringisan yang terlukis diraut wajahnya. “Kau juga tak apa kan?”

“Aku tidak apa. Hanya sedikit terkejut.” Yvette kini menyandarkan tubuh pria itu.

“Terima kasih telah membantuku..” ujar pria itu lembut sambil memandangi wajah manis Yvette.

“Aku yang seharusnya berterima kasih padamu.. Kau tidak perlu mencoba mengorbankan nyawamu sendiri tadi. Bodoh!”

“Aku memang bodoh. Bodoh sekali bahkan. Tapi aku tidak pernah mempersoalkan tentang itu, karena aku menolongmu, Yvette..” kini timbul sebuah guratan senyum diwajah imut pria itu.

Yvette sedikit terenyak. Ia kemudian juga menyandarkan punggungnya.
“Mengapa kau begitu yakin kalau aku ini Yvette Amescua?”

“Walaupun sudah lima tahun berlalu, namun aku masih cukup mengingat wajahmu, Yvette. Ditambah lagi sorot matamu dan tingkah anehmu tadi. Itu semakin memperjelas kalau kau ini memang Yvette-ku.” Pria itu menoleh sedikit kearah Yvette.

“Tidak lagi. Aku bukan lagi Yvette-mu. Semuanya sudah berakhir lima tahun yang lalu.” jawab gadis itu sedikit tajam.

Pria itu menarik napas pendek dan kemudian menghembuskannya. “Aku tau. Aku cukup sadar kalau kau pasti terluka karena sikap bodohku waktu itu. Aku benar-benar minta maaf. Aku terlalu gegabah dalam mengambil keputusan mengakhiri semuanya. Ini semua karena temanku yang sialan itu. Dia memanasiku dengan berkata kalau kau bermain api dibelakangku, dan satu bukti lagi. Aku memang bodoh karena mempercayai omongan setannya itu. Aku tidak mencari tahu kebenarannya dulu atau bahkan sekedar bertanya padamu. Sekali lagi aku minta maaf. Tapi setelah aku tau bahwa dia hanya menipuku enam bulan yang lalu, aku langsung teringat padamu. Aku mencarimu, Yvette.” nada suaranya kini terdengar lebih rendah dan pilu.

Yvette terdiam. Kata-kata pria itu seolah kembali mengingatkannya pada  luka masa lalu yang sudah dikuburnya dalam-dalam. Air bening mulai kembali menyeruak disudut matanya. Namun lagi-lagi Yvette masih berhasil menahan air mata itu agar tetap berada ditempatnya.

“Sudahlah, Dani. Tidak usah membicarakan itu lagi. Dimana rumahmu sekarang? Aku akan menemanimu pulang sebagai ucapan terima kasihku, lagipula tampaknya kau tidak bisa berjalan normal sekarang.” kini Yvette mulai menarik tubuhnya.

“Mobilku ada disebelah sana.” jawab Dani sembari menunjuk kearah mobilnya yang terparkir disebelah utara.

Yvette menoleh kebelakangnya, ia kemudian kembali berbalik dan membantu Dani berdiri. Selama berada di dalam mobil Lamborghini hitam itu, tidak ada satupun dari mereka yang sekedar mencoba membuka pembicaraan lagi. Sunyi dan hening sekali. Dani hanya menatapi ekspresi serius dan fokus Yvette saat mengemudikan mobil miliknya dari belakang. Senyum pun mengembang pada wajah manisnya. “Kau lucu sekali saat mengemudikan mobil, Yvette..” gemingnya dalam hati.

“Itu rumahku, yang berwarna biru.” tiba-tiba Dani menjulurkan tangannya sambil menunjuk kearah sebuah rumah bertingkat yang terbilang cukup besar dengan desain berwarna biru langit.

Yvette membuka pintu mobilnya dan langsung berbelok tajam kearah sisi mobil dimana Dani duduk. Ia kemudian membuka pintunya dan memapah pria itu berjalan. Tampaknya lututnya memang cukup parah, walaupun salah satu dari mereka belum ada yang melihat bagaimana kondisinya.

Yvette mendudukkan Dani diatas sebuah sofa panjang di ruang tamunya. “Maaf jika aku terlalu lancang, tapi bisa aku lihat bagaimana keadaan lututmu? Aku rasa lututmu itu lumayan parah.”

“Oh, tentu..” Dani langsung menarik celana jeans hitam panjangnya hingga ke atas lutut sedikit.

“Oh Tuhan, tampaknya darahmu beku. Lebar sekali memar lututmu itu..” Yvette sontak membulatkan matanya sesaat setelah melihat dampak hempasan tadi terbilang cukup parah pada lutut kanan pria itu. “Boleh aku mengobatinya? Kau punya air hangat dan sebuah kain?”

“Air hangat ada di dapur sementara kain polos tergantung diruang keluarga. Kau bisa mengambilnya disana. Tinggal berbelok ke kanan sedikit dan kau menemukan dapur. Ruang keluarga tepat berada didekat dapur..” jelas pria itu sambil mencoba meluruskan kakinya.

Yvette langsung berjalan mengikuti instruksi dari pria itu. Dengan sedikit takut-takut ia berbelok ke kanan dan mengambil sebuah mangkuk berukuran cukup besar dari rak piringnya. Ia lalu menuangkan air hangat secukupnya hingga setengah mangkuk cukup besar itu. Yvette kemudian menoleh kearah kirinya sebentar, ia melirik dimana ruang keluarga rumah itu terletak. Tak lama ia mulai berjalan kearah kirinya dan tepat saja, ia menemukan ruang keluarga rumah itu. Dengan sigap ia langsung menarik kain polos yang menggantung disudutnya dan langsung kembali ke dapur. Gadis itu meraih semangkuk air hangatnya tadi dan langsung kembali menuju ruang tamu. Yvette sedikit merunduk dan membengkokkan kuda-kudanya hingga ia berhasil berada dalam posisi berlutut. Ia kemudian mencelupkan kain polos itu dalam air hangat dan meremasnya hingga tidak terlalu berair. Dengan hati-hati ia menempatkan kain hangat itu pada lutut memar Dani dengan sekali-sekali ia menariknya dan mencelupkannya kembali ke air hangat.

“Ahh..” ringis pria itu dengan dahi yang mengernyit.

“Maaf, tapi kau harus sedikit menahannya.” sahut Yvette singkat tanpa mendongak kearah pria itu.

Dani hanya memandangi wajah manis Yvette. Kini perasaan menyesal kembali menyerangnya. Alangkah bodohnya pria yang menyia-nyiakan gadis semanis dan sebaik Yvette, gumamnya dalam hati. Yah, walaupun ia termasuk dalam kategori pria seperti yang dikatakannya.

“Kau masih sama seperti yang dulu. Baik dan sangat perhatian..” tiba-tiba bibir pria itu kembali terbuka.

 Yvette sontak membeku ditempat. Ia langsung berhenti mengompres lutut pria itu. Gadis itu diam untuk beberapa saat sebelum ia menguatkan dirinya untuk menjawab. “Tidak, aku hanya sekedar mencoba untuk bertanggung jawab. Kau yang sudah menolongku tadi dan sudah sepantasnya aku juga menolongmu..” Yvette kembali menempatkan kain hangat itu pada lutut “biru” Dani.

Kini giliran Dani yang terdiam. Ia tidak tahu apakah dia harus senang atau malah sebaliknya. Yvette sedang berada cukup dengan dengannya saat ini, namun tampaknya dia tidak lagi menganggap pria itu spesial.

“Sudah selesai. Tampaknya lututmu sudah lebih baik sekarang. Kau hanya perlu beristirahat saja. Warna biru memarnya juga sudah mulai perlahan-lahan memudar.” Yvette langsung bangkit berdiri dan berjalan menuju dapur. Ia meletakkan kain hangat dan mangkuknya itu tepat diatas meja dapur dan kemudian kembali berjalan kearah ruang tamu rumah itu.

“Aku pulang dulu..” katanya sambil melihat setengah kearah pria itu yang masih terduduk dengan meluruskan kakinya.

“Terima kasih banyak, Yvette..” sahut Dani dengan sedikit ragu-ragu. Tampaknya ia ingin mengucakan kata-kata lain selain hanya ucapan terima kasih.

Yvette tidak menjawab. Ia hanya berbalik sebentar dan memberi seulas senyum pada pria itu sebelum berbalik kembali. Ia kemudian menarik kenop pintu utama rumah itu perlahan.

“Hmm, tunggu, Yvette..” tiba-tiba pria itu kembali berucap dan menyebabkan Yvette gagal membuka pintu utama rumahnya.

“Ya? Ada apa?” gadis itu kemudian membalikkan tubuh mungilnya.

“Hmm, aku.. hmm.. Maaf jika aku terlalu tidak tau diri untuk menanyakan hal ini. Tapi.. apa kau masih mencintaiku?” Ahh, akhirnya kata-kata itu berhasil keluar juga!!

Gadis itu diam tak bergeming. Otaknya masih mencerna dengan hati-hati perkataan yang baru ditangkap oleh telinganya. Apa dia tidak salah dengar? Pria itu menanyakan perasaannya?

“Hmm, aku.. aku tidak tahu.” Yvette kembali membalikkan tubuhnya. Ia sengaja hanya menjawab singkat dan langsung berbalik. Ia tidak ingin menangis dihadapan pria yang sejujurnya masih sangat dicintainya itu.

“Yvette Amescua Ramal.. apa kau masih ingat nama itu? Kau selalu yakin bahwa nama belakangku akan juga terdapat pada akhiran namamu suatu saat nanti. Kau selalu mengatakannya, Yvette. Kau masih ingat?” kini pria itu mencoba berdiri dengan memegangi sudut meja yang tepat berada disampingnya. “Aku masih mencintaimu.. Kau mau memberikanku kesempatan kedua?” katanya lagi dengan sedikit terdengar lirih.

Cukup sudah. Kali ini gadis itu benar-benar gagal menahan tangisnya. Ia tidak sanggup lagi menahan air bening itu untuk tidak beranjak dari tempat asalnya. Air mata dengan mulusnya meluncur di pipi gadis itu. Ia masih memunggungi pria itu untuk beberapa detik sebelum ia akhirnya memutuskan untuk menghadapnya. Yvette masih diam tak bergeming dihadapan pria itu. Ia kemudian berjalan perlahan mendekati Dani yang masih menunggunya.

“Aku.. aku juga masih mencintaimu, Daniel Pedrosa Ramal. Aku masih sangat mencintaimu..” kali ini Yvette tidak bisa mengontrol perasaannya. Ia langsung memeluk pria itu hingga sedikit mendorongnya yang masih belum bisa berdiri tegak kearah sebuah sofa yang ada tepat dibelakangnya. Ia bahkan tidak sadar kalau ia sudah menyentuh lutut memar pria itu.
“Mengapa begitu lama, Dani? Aku lelah menunggumu..” tangis Yvette semakin meledak dalam pelukan pria itu.

“Maafkan aku, Yvette. Aku benar-benar minta maaf atas kebodohanku selama ini..” Dani semakin mempererat pelukannya.

“Ahh..” tiba-tiba suara ringisan menyadarkan gadis itu. Ia kemudian menarik tubuhnya dari tubuh bidang pria itu dan langsung berdiri sambil mengusap air matanya.

“Kau kenapa? Lututmu sakit lagi?”

“Kau sedikit menimpanya.” jawab Dani lembut sambil memamerkan senyuman termanisnya.

“Hah? Aku menimpanya? Oh, maaf Dani. Aku benar-benar tidak sadar telah menimpa lututmu.” Kini pipi Yvette mulai berubah sedikit merah. Tidak, salah. Mungkin sangat merah hingga Dani tidak bisa menahan tawanya.

“Kau.. kau benar-benar masih Yvette-ku yang dulu. Pipimu selalu memerah hingga semerah kepiting rebus tiap kali kau melakukan hal konyol..” ujar pria itu seraya melepas tawanya.

“Kau.. kau benar-benar menyebalkan, Dani!!” Yvette sedikit memamerkan wajah manyunnya seraya menepuk pundak Dani manja.

“Kau.. duduklah disampingku, Yvette..” Dani menjulurkan tangannya.

“Jadi sekarang kita sudah resmi memulai awal yang baru kan?” tanya pria itu sesaat setelah Yvette duduk tepat disampingnya.

Gadis itu tidak menjawab, ia hanya tersenyum sembari menunjukkan rekahan senyumnya pada pria yang tengah merangkul bahunya sekarang ini.

“Aku berjanji, aku tidak akan mengulangi kesalahan bodohku lagi, Yvette. Terima kasih atas kesempatan keduamu ini..” Dani menoleh kearah gadis itu seraya mencoba kembali meluruskan kakinya.

“Aku harap kau tidak akan pernah menyia-nyiakan yang ini, Dani..” Yvette sedikit memiringkan kepalanya hingga menyentuh bahu pria itu.

“Tidak, tidak akan lagi, Yvette..” sahut Dani sembari semakin mempererat rengkuhannya.

Comments