*Short Story*

 Short Meeting..

Gracie melangkahkan kakinya kearah sebuah bangunan bertingkat berwarna biru dengan desain yang sedikit berbau klasik. Sudah lama sekali ia tidak berkunjung ketempat dimana beberapa tahun lalu ia sering bercengkrama dengan seorang sahabatnya-Joanna Hart. Gadis kebangsaan asli Argentina itu tidak pernah lagi menjumpainya atau bahkan sekedar mencoba menghubunginya sejak saat itu. Saat dimana ia memaki dan mempermalukannya didepan publik.

“Dasar kau wanita jalang! Kau ini sebenarnya sahabatku atau bukan? Kau tega menusukku dari belakang? Kau rela menghancurkan persahabatan kita yang sudah berlangsung selama dua tahun lebih hanya karena seorang laki-laki? Apa tidak ada laki-laki lain diluar sana yang bisa kau jadikan pelampiasan hah?” bahu Joanna naik turun dengan napas yang sedikit terengah-engah.

“Dengar Joanna! Aku tidak pernah mencoba merebutnya darimu. Bahkan aku tidak pernah berpikir tentang hal itu sedikitpun. Aku sudah pernah mengatakannya padamu, kalau kau memang menyukainya, ambillah. Aku tidak menyukainya, kau tahu? Satu lagi, bukan aku yang merusak persahabatan kita, tapi kaulah yang melakukannya! Kau rela memaki-makiku hanya karena egomu yang terlalu tinggi! Kau salah paham, Joanna!!”

“Aku tidak percaya padamu. Ada seorang lain yang melihatmu duduk berdua dengannya. Mau mengelak apalagi kau? Aku punya saksinya! Dasar wanita penggoda!” amarah gadis itu mulai tidak terkendali.

“Dia menghampiriku sewaktu aku duduk sendirian waktu itu. Kami hanya mengobrol sebentar dan isi pembicaraan kami pun tidak lebih dari sebatas percakapan antar sesama teman. Puas kau? Sekali lagi kutegaskan padamu, aku tidak menyukainya dan aku tidak pernah merebutnya darimu!!” teriak Gracie sambil memutar balik tubuhnya dan berjalan menorobos kerumunan publik yang memadati tempat itu menonton adegan perkelahian mereka.

“Dasar pembohong besar! Tak tahu malu! Pergi kau, penganggu! Pergi kau wanita jalang!!” balas Joanna dengan maki-makian yang membanjiri mulutnya.

Gracie langsung menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia tidak ingin lagi mengingat tragedi memalukan itu. Ia kemudian menarik sedikit kursi yang terletak dipinggiran jalan Cervera dan langsung terduduk. Beberapa menit ia hanya duduk termenung dipinggiran jalan itu sebelum memanggil seorang waiter untuk memesan makanan. Ia hanya memesan cemilan dan sebuah minuman dingin karena memang saat itu belumlah waktu untuk makan siang.

“Terima kasih..” katanya lembut ketika orang dengan setelan baju hitam-putih itu kembali dengan membawakan makanan dan minumannya.

Gracie menyeruput minumannya hingga tersisa setengah. Ia kembali terdiam sebelum timbul secercah suara yang merobek kesunyiannya.

“Gracie?”
Sontak gadis itu langsung membalikkan tubuhnya sedikit. Ia menoleh kearah sosok itu dan menatapnya.

“Lucas?” sahutnya datar.

“Hei, apa benar ini kau? Sudah lama sekali aku tidak melihatmu. Kau ini kemana saja?” pria itu langsung mengambil posisi duduk tepat disamping Gracie.

“Aku berada di Jerman untuk beberapa tahun terakhir. Oh ya,bagaimana hubunganmu dengan Joanna? Apa kalian sudah resmi berpacaran?” Gracie sedikit menjauhkan kursinya.

“Hmm, begitulah. Aku rasa aku sudah mulai muak menjalin hubungan dengannya. Dia selalu saja mengekangku, bahkan ia juga tidak memperbolehkanku untuk berbicara dengan wanita lain selain dengannya dan keluargaku. Dia benar-benar menyebalkan. Sebenarnya..” kata-kata pria itu tergantung begitu saja.

“Sebenarnya apa?”

“Kau janji ya jangan katakan ini dengan siapapun. Sebenarnya.. hmm, sebenarnya aku tidak mencintainya selama ini.” lanjutnya dengan sedikit ragu-ragu.

“Apa?! Kau serius? Tapi dia sangat mencintaimu, Luke. Kau ingat kejadian waktu itu? Dia memaki-makiku hanya karena salah paham aku merebutmu darinya.” Gracie sedikit membulatkan matanya.

“Aku tahu. Tapi mau bagaimana lagi? Aku mencintai gadis lain. Selama ini aku memendamnya karena aku terlalu pengecut untuk mengungkapkannya. Selama ini aku mau menjalin kasih dengannya hanya karena aku kasihan, Grace. Tidak lebih.” Lucas membenamkan wajahnya sedikit.

Gracie tidak menjawab. Ia malah memalingkan wajahnya.

“Lucaaass!! Apa yang kau lakukan?”
Gracie dan Lucas sontak bengkit berdiri dari kursi mereka dan langsung berbalik kearah belakang.

“Kau? Mengapa kau kembali lagi wanita jalang? Apa kau sudah mendapatkan malumu kembali sehingga kau berani kembali kesini dan melakukan hal yang sama dengannya? Kau benar-benar..” tiba-tiba Joanna datang dan langsung meneriaki mereka dengan sejurus makiannya.

“Kami hanya berbicara tentangmu, Joanna.” Lucas buru-buru mengklarifikasikan dan langsung menggenggam tangan gadis Argentina itu untuk mencoba meredam emosinya.

“Lepas! Kau ini benar-benar tidak tahu malu ya! Menggoda kekasih orang lain dan berpura-pura tidak melakukannya.Mungkin kau adalah satu-satunya wanita terjalang yang pernah kutemui seumur hidupku!” emosi Joanna kembali tidak terkendali. Napasnya terengah-engah dan bahunya naik-turun. Urat-urat wajahnya pun mulai tampak sedikit menyembul.

“Cukup, Joanna. Tidak lagi kali ini. Kau sudah cukup memaki-makiku waktu itu. Dan sekarang aku tidak ingin hal serupa terjadi lagi. Dengar baik-baik. Kalau ini memang yang kau inginkan, aku berani bersumpah aku tidak akan pernah lagi berbicara dengannya sekalipun itu membicarakan tentang kau!” Gracie malah ikut berteriak dan berjalan masuk kedalam kafe klasik itu untuk mengurus pembayaran sebentar. Tak lama ia keluar dan langsung berlari semampu yang ia bisa.

Ia tidak lagi mempedulikan Lucas dan gadis itu yang tengah berdiri tegak disana. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah bagaimana caranya untuk bisa secepat mungkin menghilang dari tempat terkutuk itu. Tempat dimana ia kembali harus menerima hal yang serupa seperti lima tahun yang lalu.

Gracie mulai berjalan pelan ketika merasa tenaganya sudah terkuras setengah karena berlari. Untungnya ia sudah tidak terlalu jauh lagi dengan tempat yang sekarang ditujunya. Taman dekat danau. Ia selalu duduk sendiri disana ketika merasa hidupnya sedang benar-benar kacau sewaktu ia masih tinggal di Cervera.

Plung, plung..

Gracie melempar beberapa kerikil yang dipungutnya dari tanah sesaat setelah ia terduduk dibangku panjang satu-satunya yang ada ditaman itu. Pikirannya sedang benar-benar kacau sekarang. Ia tidak pernah berharap akan berjumpa lagi dengan orang itu. Yang ia pikirkan saat memutuskan kembali ke kota kelahirannya itu hanyalah ingin sekedar melihat dan jalan-jalan di kota indah itu. Tidak pernah berharap lebih. Salah. Mungkin ia sedikit berharap lebih, namun tidak kembali berjumpa dengan orang-orang itu.

“Sedang kesal?”

Gracie kontan membalikkan wajahnya kebelakang ketika mendengar suara khas seorang pria. Ia memandangi wajah tampan pria itu untuk beberapa saat. Dia? Dia ada disini? Satu-satunya pria yang kucintai ada disini? Satu-satunya harapanku ketika kembali ada disini? Mengapa dia tahu kalau aku ada disini? Oh Tuhan, apa benar ini dia?

“Sudah lama sekali tidak bertemu, Grace. Aku kira kau benar-benar tidak akan pernah kembali ke kota ini, namun aku salah. Kau kembali.” Pria itu berjalan pelan memutar dan langsung duduk tepat disampingnya.

“Marc?” bibir mungil Gracie terbuka sedikit. “Aku kira kau juga sudah pergi meninggalkan kota ini sama sepertiku.”

“Tidak. Mana mungkin aku bisa meninggalkan kota kelahiranku dan kota wanita yang kucintai ini.” terlihat seulas senyuman nakal menghiasi wajah pria itu.

“Maksudmu?”

“Yah, intinya aku tidak akan pernah meninggalkan kota ini.” Marc sedikit menyembunyikan maksud sebenarnya. “Oh ya, sejak kapan kau kembali kesini?”

“Sejak kemarin.” jawabnya singkat sembari melemparkan sebuah kerikil lagi masuk ke dalam danau.

“Oh ya, ketika kau kembali kesini, apa kau bertemu lagi dengannya? Apa hubungan kalian sudah jauh lebih baik?” Marc menoleh kearah gadis itu.

“Siapa? Joanna maksudmu?” Gracie balas menatap pria itu.

“Ya, siapa lagi?” Marc menaikkan bahunya.

“Tidak. Bahkan sekarang semakin buruk.” nada suaranya terdengar sedikit memelan.

“Oh, aku mengerti. Aku rasa kau tidak perlu memikirkannya lebih jauh. Kau hanya perlu sedikit lebih bersabar dan mengganggapnya seolah-olah tidak pernah terjadi.” Marc kembali tersenyum.

“Ya. Aku rasa juga begitu. Terima kasih..” Gadis itu membalas senyum Marc.

“Oh ya, apa kau akan pergi lagi? Maksudku, apa kau akan meninggalkan kota ini lagi?”

“Hmm, aku rasa ya. Mungkin aku akan kembali ke Jerman besok.” Gracie menundukkan sedikit wajahnya.

Marc terdiam. Dia akan pergi lagi? Secepat itu? Besok?
Oh Tuhan, tolonglah. Jangan lagi.

Comments